Bandara Soekarno Hatta pukul tiga sore,
"Kamu dimana?" tanya Ibu Yuni pada Renya.
"Aku perjalanan ke butik, aku udah telpon Daru untuk ketemu di sana," jawab Renya saat dia baru saja masuk ke dalam sebuah taksi.
"Jangan sampai Daru menunggu lama Renya, Mama gak mau kamu mengacaukan ini semua."
"Mama tenang aja, aku tau apa yang aku lakukan."
Renya mematikan sambungan teleponnya, dia benar-benar kesal hari ini, baru saja beberapa jam yang lalu dia hampir mendapatkan apa yang seharusnya dari dulu ia lakukan.
Sekitar 45 menit perjalanan dari Bandara menuju butik yang sudah menjadi tempat mereka bertemu, Renya turun dari taksi. Wanita cantik yang mengenakan dress berwarna merah itu berjalan berlenggok memasuki butik dengan senyum tipis di sambut oleh para pelayan butik.
"Mbak Renya," sapa pemilik butik langganan Ibu Yuni itu.
Di Luar Rencana Daru sudah tiba di kantor. Masih sangat pagi. Bahkan Tyas yang biasanya tiba lebih dulu darinya, belum menampakkan diri. Pintu ruangannya terbuka dan seorang petugas cleaning service yang sedang berada di dalam dengan sebuah sapu dan serokan terlihat sedikit berjengit karena kehadiran Daru yang tiba-tiba. Daru meletakkan ponsel dan kunci mobilnya di atas meja. Ia lalu menuju lemari berkas. Ia sebenarnya tak pernah menyentuh lemari berkas itu. Namun Daru merasa tak enak kalau harus meminta Tyas datang lebih awal hanya untuk mencarikannya setumpuk berkas. Kedatangan Daru di pagi buta, ‘hanya’ demi seorang klien berengsek yang telah membuat faktur pajak palsu. Dan hal itu lolos dari pengamatannya. Banyaknya berkas yang bertumpuk di dalam lemari membuat kepalanya langsung pusing. “Pasti udah diurutkan sesuai abjad nama perusahaan.
Renya merangkak di atas tubuh Daru, lelaki angkuh yang tidak pernah mau menyentuhnya sama sekali. Namun, mampu menggetarkan hasratnya di setiap inci tubuhnya. Daru terdiam saat merasakan ada yang merangkak di atas tubuhnya. Kepalanya sakit bukan main, minuman yang tadi Daru minum terus menerus membuat dirinya pusing. "Siapa?" tanya Daru saat merasakan sesuatu menggosok bagian pribadinya, menggodanya. "Maunya siapa?" tanya wanita itu. "Ella?" Tawa Renya langsung terdengar di ruangan itu, ternyata lelaki angkuh yang sulit di sentuh ini sudah memiliki pelabuhan hati lain selain almarhumah istrinya. Dan wanita itu bernama Ella. "R
"Pagi," sapa keluarga Renya pagi itu saat Daru menuruni anak tangga rumah itu menuju meja makan tempat dimana keluarga itu berkumpul. "Gimana Daru? nyenyak tidur nya?" tanya Bramantya. Daru hanya tersenyum, dia menarik kursi yang berada di sebelah Renya. Wanita itu sudah tampil cantik dengan setelan blazer berwarna putih gading. "Teh? atau kopi?" tanya Renya. "Kopi," jawab Daru lalu mengambil satu lembar roti yang berada di hadapannya. "Daru udah coba dua jas yang Mama suruh coba kemarin kan?" Yuni, mama Renya memastikan kalau calon menantunya itu sudah siap dengan baju pilihannya. "Sudah ... Ma." Bohong Daru, menyentuh jas itu saja tidak apalagi berpikir akan memakainya. Keluarga aneh batinnya. "Persiapan untuk minggu depan kalian gak usah banyak mikir, sudah semua Mama dan mama kamu yang handle, kali
Semua wanita pasti hanya membiarkan seseorang yang spesial untuk menyentuhnya. Bagi Ella, dulu Andi begitu spesial. Selalu mendahulukan semua tentangnya. Ella sedang menyobek-nyobek kertas menjadi serpihan kecil di atas meja ruangannya. Hampir semua murid, guru dan pegawai telah mengosongkan bangunan sekolah itu. Tersisa tiga orang siswa di lapangan basket yang sedang memantul-mantulkan bola ke ring. Ella masih diam. Mencari berbagai pikiran positif soal Daru yang lenyap begitu saja. Demi memikirkan hal itu, ia mengabaikan telepon Andi dan juga rentetan pesan dari ibunya. Andi pasti sudah mengadu pada ibunya. Dari dulu begitu. Pada awalnya Ella merasa tingkah Andi manis sekali. Begitu manis. Dekat dengan ibunya dan mampu bercerita panjang lebar soal hal-hal membosankan yang terjadi sehari-hari. Namun, lama kelamaan Andi berubah bagai seorang pengadu. Hal apapun, sedikit saja jika Ella melakukan hal yang tak diterima oleh pria itu, Andi p
“Kamu—pacar Daru?” todong Tyas langsung.Ella sedikit terperanjat Tyas langsung menanyakan hal itu padanya. Bukan tak mau menjawab, ia hanya bingung akan menjawab apa pada sekretaris Daru yang sedang menelitinya itu.“Saya—aku … kita berdua cuma dekat, Mbak.” Ella mengangguk-angguk kecil kemudian mengatupkan mulutnya. Sekarang ia merasa seperti seorang siswa yang sedang ditanya-tanya di ruang BK.“Cuma dekat bagaimana? Maaf sebelumnya, aku bukan mau mencampuri urusan pribadi Handaru. Tapi kayaknya sebelum aku cerita lebih banyak lagi, aku mau ngasi tau sesuatu. AKu temen deket Daru dan … Nadya, almarhumah istri Daru. Aku menganggap diriku sebagai kerabat dekat mereka. Urusan Daru di luar sana sebenarnya bukan urusanku. Tapi ngeliat kamu dateng dengan wajah kayak gini, rasanya aku perlu ngomong ke kamu.” Tyas menarik napas dan menyandarkan punggungnya di sofa.
Ella melirik jam di dinding kamarnya. Satu jam lagi menuju pukul tujuh malam. Ia sudah mandi dan memakai pakaian terbaiknya. Berdandan secantik mungkin dan menyemprotkan parfum mahal hadiah dari Andi. Tampilannya sudah siap untuk menemui Daru. Namun, hatinya belum. Meski sedikit ragu, Ella memutuskan untuk tetap pergi keluar rumah. Atau jika ia sudah berada di dalam taksi menuju restoran itu, ia bisa menghentikan langkahnya kalau ia berubah pikiran. Ia hanya ingin melihat Daru. Sejak berhasil menidurinya, laki-laki itu bahkan belum mengirimkan sepotong pesan. Walau di dalam hati berharap taksi yang dipanggilnya datang lebih lama, ternyata dugaannya meleset. Taksi sudah tiba di depannya tak sampai lima menit kemudian. Pengemudinya bilang, ia baru saja menurunkan penumpang tak jauh dari sana. “Santai aja, Pak. Saya gak buru-buru.” Ella bersandar ingin menenangkan jantungnya yang bergemuruh. Tangannya tak henti meliha
Renya dengan santai melihat keributan yang ditimbulkan oleh Ella dan Daru, menarik. Mirip drama sabun colek picisan yang sering Renya tonton dulu. Asyik melihat gadis ingusan menangis dan menampar Daru. Rasanya Renya ingin tertawa terbahak-bahak melihat adegan tersebut, rencana orang tuanya ternyata bisa membuat seorang Handaru, pengacara hebat di Jakarta ditampar oleh gadis muda yang, menurutnya biasa saja. “Renya itu siapa?” tanya Bramantya sambil menatap Renya yang sedang santai meminum champagne. “Yang mana?” tanya Renya acuh tak acuh. “Renya ... jawab, itu siapa?” tanya Yani sambil menggoyangkan bahu Renya. “Itu?” tanya Renya sambil menunjuk Ella dengan gelasnya. “Iya itu, jawab?!” seru Bramantya. “Gundik,” jawab Renya santai. “Dia cuman gundik.” “Ngaco kamu Renya, gundik bagaimana? Kamu kok santai begitu?” seru Yani sambil mengguncang bahu Renya, rasa kesal langsung Yuni rasakan saat melihat betapa santai
Bramatya berlalu meninggalkan Daru yang terpaku menatap keluar. Rasanya seperti orang bodoh yang membiarkan gadis yang dia cintai pergi begitu saja. Astaga Ella maafin aku batin Daru. Ia menyugar rambutnya frustasi. Daru terlihat kacau, namun dia harus menutupi itu. Dia harus menutupi perasaan lukanya atas keputusan yang harus dia ambil. Gadis itu terlalu baik untuk dia sakiti, Ella dengan perasaan polosnya, Ella dengan tatapan penuh harap padanya saat mereka bercinta, Ella yang membuat hatinya bergetar setelah sekian lama ditinggal pergi selamanya oleh Nadya. Ella yang perlahan-lahan membuatnya jatuh cinta. Daru tak kuasa ikut menahan sesak di dadanya. Mata sang Mama, Anneke menatap anak laki-laki nya yang berdiri menatap dengan tatapan kosong. Anneke tahu apa yang dipikirkan oleh anaknya, tapi itu tak mengubah sedikitpun keputusannya. Daru harus tetap menikah dengan Renya, selain karena perjanjian bodoh Dar