Zahra duduk dengan gelisah di samping Aaro yang sedang mengemudi. Sesekali dirinya melirik suami brondongnya itu untuk membuka percakapan, tapi kemudian mengurungkan niatnya dan kembali menatap lurus ke depan. Pagi ini mereka berangkat ke sekolah bersama setelah mengunjungi ibunya sebentar untuk mengucapkan selamat ulang tahun dan memberikan hadiah. Yang membuat Zahra terharu adalah, ternyata Aaro pun telah menyiapkan kado untuk diberikan pada ibunya. Entah kapan dia membeli kado itu, padahal baru juga tadi mengetahui bahwa ibunya sedang berulang tahun.
"Kenapa gugup begitu?" Aaro mengawasi Zahra dari spion depan dan menyadari bahwa istrinya itu sedang gugup atau tidak tenang.
"Ehh, apa tidak sebaiknya aku turun di halte di perempatan sekolah saja? Dari situ aku bisa berjalan ke sekolah. Tidak terlalu jauh, kok."
"Kenapa?"
Zahra menoleh dan menatap Aaro sambil memicingkan matanya. "Tentu saja karena kita tidak
Zahra berjalan sambil menundukkan kepala, tak berani membalas tatapan-tatapan sinis murid dan guru yang berpapasan dengannya. Sepertinya kabar tentang hubungannya dan Aaro sudah tersebar luas. Terlihat dari cara mereka meneliti dirinya mulai dari atas ke bawah seolah ingin menemukan sesuatu dari dirinya yang bisa disebut kayak untuk menjadi istri seorang brondong yang most wanted di sini.Lalu apa yang harus ia lakukan sekarang? Pasti saat ini sebagian besar warga SMA Biru Berlian membencinya, batin Zahra.Zahra mendongak dan menatap ke depan, ke arah punggung Aaro yang berjalan mendahuluinya menuju ke kelas 12 Ipa 1-kelas Aaro. Jika dilihat dari cara Aaro yang berjalan tegap tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan, suami brondongnya itu seperti tidak terpengaruh oleh keadaan sekitar. Bahkan sepertinya Aaro juga tidak peduli jika dirinya dikeluarkan dari sekolah karena ketahuan menikah dengan statusnya yang masih pelajar. Padahal ujian k
"Tunggu di sini sebentar," ujar Aaro setelah menutupkan pintu mobil untuk Zahra."Mau kemana?" Zahra bertanya bingung karena Aaro yang memaksanya untuk pulang meskipun jam pelajaran masih berlangsung, tapi sekarang justru Aaro meninggalkannya sendiri di dalam mobil untuk masuk kembali ke dalam sekolah. "Apa aku harus menunggu di sini sampai jam pulang sekolah?"Aaro tergelak mendengar pertanyaan Zahra. "Tentu saja tidak. Aku akan segera kembali." Aaro menjawab sambil masuk ke dalam mobil di bagian belakang untuk mengeluarkan beberapa alat berat seperti dongkrak, kunci roda dan beberapa buah obeng."Apa bannya bocor? Kalau begitu aku turun saja dulu.""Tidak usah. Kau tetao di situ saja. Aku tidak akan lama," ujar Aaro sambil berjalan kembali ke dalam sekolah, membawa alat-alat yang tadi ia keluarkan dari dalam mobil. Dirinya berencana untuk membuat perhitungan pada seseorang yang sudah berani mengirim surat an
"Kumohon buka matamu." Aaro menatap sang istri yang tengah terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan tatapan merana seraya menggenggam erat tangan sang istri.Jika masih bisa menangis, mungkin saat ini Aaro masih akan terus mengeluarkan air mata akibat rasa bersalah karena telah membuat istrinya sampai mengalami pendarahan. Meski hanya sebuah pendarahan ringan, tapi rasa bersalah yang ia tanggung sangatlah besar, karena golongan darah yang dimiliki Zahra termasuk langka, yaitu golongan darah O Bombay."Aku minta maaf," bisik Aaro seraya merebahkan kepalanya di samping bantal Zahra. "Apa pun salahku, aku minta maaf."Sebuah usapan lembut di kepala membuat Aaro kembali menegakkan badan. Tanpa menoleh pun, ia tahu bahwa yang sedang berdiri di sebelahnya sambil terus membelai dengan lembut kepalanya adalah bundanya."Dia pasti akan bangun setelah pengaruh obatnya memudar," ujar sang bunda. "Dia akan b
"Maaf, aku tak percaya meski kamu banting HP!" Zahra menggelengkan kepalanya kemudian kembali berbaring dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, termasuk kepalanya.Aaro mengembuskan napas keras untuk menjaga agar kewarasannya tetap terkendali. Jika itu bukan Zahra, mungkin saat ini dirinya sudah kalap dan mencekik leher siapa saja yang berani bersikap kurang ajar padanya. Namun, karena ini adalah wanita yang ia cintai, Aaro benar-benar harus menahan diri meski dirinya telah direndahkan sampai pada titik paling memalukan. Seorang Aaro, yang dikenal oleh banyak orang sebagai sosok yang ditakuti dan disegani sudah merendahkan diri di hadapannya, Zahra tetap belum bersedia memberikan maaf.Aaro mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Ia kesal sekaligus bingung dengan semua sikap kekanakan Zahra padanya. Bukan kesal pada Zahra, tapi kesal pada dirinya sendiri yang entah kenapa belum mau menyerah untuk sekedar mendapatkan satu k
"Aa, ini?" Zahra menoleh ke arah Aaro bingung. Pasalnya selepas menjemput dirinya dari rumah sakit, suaminya itu tidak langsung membawanya pulang ke rumah, tapi malah mengajaknya ke tempat ini. Sebuah bangunan dua lantai yang terletak di kompleks pertokoan pinggir jalan tak jauh dari SMA Biru Berlian. "Tunggu sebentar." Aaro melepas tangannya yang melingkar di pinggang sang istri, kemudian mengeluarkan sebuah kain hitam panjang dari dalam saku celananya. "Tutup dulu matanya. Cuma sebentar, kok.""Iya, tapi kenapa?" "Sst!" Aaro membungkam sang istri dengan sebuah ciuman singkat di bibir. "Karena ini kejutan, jadi memang harus ditutup dulu matanya. Ayo, aku akan menuntunmu."Zahra menurut. I
"Ihh, kok mau aja sih cowoknya?"Zahra memperlambat langkahnya untuk membuat jarak dengan Aaro. Awalnya, mereka masih berjalan beriringan sambil bergandengan tangan, tapi ketika mendengar suara sumbang yang menerpa telinganya, Zahra pun sadar diri. Ia berjalan sedikit di belakang Aaro meski tangan mereka masih saling bertautan. Minder.Selama perjalanan dari tempat tinggal mereka sampai ke kawasan Car Free Day di stadion, tidak sekali dua kali Zahra melihat tatapan mencibir yang ditujukan padanya. Ia pun sadar diri. Mereka pasti sedang membandingkan dirinya dengan Aaro.Dengan mulut sedikit terbuka, Zahra mengamati sang suami, mengagumi penampilan sederha Aaro yang meski hanya memakai T-shirt polos berwarna putih, celana gunung berwarna khaki di bawah lutut serta sepatu cats, tapi bisa membuat suaminya itu terlihat begitu luar biasa menawan. Zahra mengembuskan napas sambil menunduk melihat penampilannya send
Aaro tak bisa tidur nyenyak. Selain karena perutnya terus melilit, juga rintik hujan yang menerpa atap tempat tinggalnya terdengar begitu nyaring memekakkan telinga. Ia tak menyangka bahwa atap galvalum yang awalnya ia kira sangat ekonomis untuk menaungi tempat tinggalnya bersama sang istri ternyata begitu berisik ketika hujan. Anehnya, Zahra sama sekali tak terganggu dengan kebisingan itu. Tidurnya tetap pulas, bahkan sesekali dia mengigau tak jelas.Perut Aaro terus melilit. Selepas dirinya menghabiskan dua piring nasi goreng mengerikan buatan istrinya, ia terpaksa memuntahkan semua isi perutnya. Ternyata sok bersikap ksatria dengan menghabiskan semua makanan dan minuman hasil karya sang istri membuat perutnya bergejolak tak karuan. Mual, sebah, dan panas bercampur menjadi satu.Setelah menguras isi perut, ia akhirnya memutuskan untuk meminum obat lambung dan efeknya membuat perutnya terasa lapar.Tak tahan dengan perut yan
"Huft..." untuk kesekian kalinya Zahra membuang napas dengan keras. Hatinya merasa tak tenang, tapi apa penyebabnya ia sendiri juga tidak tahu.Sejak bangun tidur sampai saat ini sudah sekitar dua puluh menit lebih dirinya berada di dalam kamar mandi, ia hanya diam sembari duduk di atas closet. Melamun. Sampai suara ketukan di pintu menyadarkan bahwa sejak tadi dirinya masih berpakaian."Cinta, masih lama mandinya?" Aaro bertanya sembari mengetuk pintu kamar mandi."Sebentar lagi," jawab Zahra pelan. Setelah menghirup napas panjang untuk sekedar mengusir rasa gelisah di hati, ia pun mulai membuka baju dan mandi. Hari ini, hari pertamanya kembali mengajar di SMA Biru Berlian setelah cutinya selama sakit beberapa waktu kemarin. Ia tak ingin terlambat.Tak sampai lima belas menit kemudian, Zahra sudah keluar dari kamar mandi dan berpakaian rapi."Kenapa lama sekali? Kamu nggak apa-apa kan?" Aa