"Cinta ...."
"Ya, suamiku. Kita sudah membicarakan ini kan kemarin?" Zahra menjawab sambil terus menyisir rambutnya tanpa menoleh ke arah Aaro. Ia tahu Aaro saat ini pasti sedang menatap tajam dirinya.
Seperti yang sering terjadi, Aaro dan Zahra seringkali berbeda pendapat dan ribut. Saat ini, mereka memperdebatkan soal kehamilan Zahra. Ohh, bukan kehamilan itu yang menjadi topik perdebatan, tapi karena Aaro menginginkan Zahra berhenti bekerja sementara waktu, sementara Zahra berkeras bahwa meski dalam kondisi hamil, dirinya tetap akan bisa bekerja dengan baik.
Perdebatan mereka belum menemukan titik temu. Zahra tetap pada pendiriannya untuk terus bekerja membuat Aaro kesal setengah mati.
"Aku cuma ingin yang terbaik buat kamu dan calon anak kita!" Aaro mulai meninggikan suaranya. "Aku tak mau kau tiba-tiba pingsan sampai harus dirawat di rumah sakit seperti kemarin."
Zahra meletakkan sisirnya
Sudah sekitar dua jam Aaro dan Zahra berkeliling kota untuk mencari ronde, tapi belum juga menemukan penjual ronde yang buka. Maklum saja, di kota megapolitan dengan cuaca panas seperti siang ini, orang pasti akan berpikir seribu kali jika ingin membuka usaha ronde di siang hari.Akhirnya Aaro memutuskan untuk membawa Zahra pulang saja. Saat dirinya memarkir motor di depan bengkel, istrinya sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah dengan wajah ditekuk.Baru saja Aaro hendak menyusul Zahra masuk ke dalam ketika salah seorang pekerja di bengkel menghampiri."Mas, tadi ditungguin sama cewek.""Cewek?" Aaro heran."Iyalah, dua jaman nungguin. Baru aja balik, katanya sih nanti atau besok mau datang lagi. Penting katanya.""Dia nyebutin nama, nggak?" Aaro bertanya karena ia tak pernah memiliki kenalan seorang wanita kecuali keluarga dan putri dari sahabat-sahabat aya
Tidurnya tak nyaman. Ia terus bergolek-golek di atas tempat tidur merasakan tak nyaman dari perutnya. Bukan mual atau ingin muntah. Hanya terasa kaku dan ketat ia rasakan di perut bawahnya.Tanpa membangunkan Aaro, Zahra memutuskan untuk bangun dan mengambil minum. Sebetulnya ia berniat membuat minuman hangat, tapi dirinya sudah menyerah sejak lama dan bertekad untuk tidak lagi menghancurkan dapur dengan kecerobohannya.Zahra membawa segelas susu dingin yang ia ambil dari dalam kulkas ke teras samping bengkel. Semenjak Aaro mengalami cedera, memang tempat tinggal mereka yang awalnya terletak di lantai dua bengkel pindah ke lantai satu. Sisa lahan kecil di samping bengkel telah disulap menjadi hunian mungil yang nyaman untuk mereka berdua. Terutama untuk Zahra, hunian mungil ini sudah lebih dari cukup mengingat semasa hidupnya-sebelum menikah dengan Aaro-ia tinggal di sebuah kamar sempit di bagian belakang sebuah kelab malam tempat ibunya men
Ia merasa gelisah. Tangannya tetap mengusap perut Zahra yang terasa tidak nyaman agar istrinya itu bisa tidur dengan nyenyak, tapi pikirannya menerawang jauh. Ada sesuatu yang menganggu hingga membuatnya begini gelisah.Takut. Tiba-tiba dirinya dilanda ketakutan luar biasa jika sesuatu yang buruk menimpa Zahra. Mengingat segala kejadian tak menyenangkan yang seolah selalu mendatangi istrinya itu, Aaro merasa begitu khawatir Zahra tak bisa melewati kehamilannya dengan baik.Sepulang dari angkringan beberapa jam lalu, Zahra tiba-tiba saja mengerang kesakitan sembari memegang perutnya dengan kedua tangan. Aaro tentu saja tak perlu menunggu lama untuk menelpon ayahnya, menceritakan apa yang dialami istrinya dan meminta sang ayah agar segera datang untuk memeriksa. Dan seperti biasa, ayahnya tak pernah membuat keluarganya menunggu. Tak lama berselang ayahnya datang bersama bundanya.Awalnya, Aaro mengira mungkin saja Zahra masuk angin, atau mungkin ada
Matahari masih belum muncul saat Aaro bangun. Pagi ini, banyak sekali hal yang harus ia persiapkan agar dirinya bisa total merawat dan menjaga Zahra. Merupakan suatu keberuntungan baginya bahwa Zahra bersedia untuk bed rest total tanpa perlu banyak berdebat dengannya.Aaro membuka MacBook miliknya dan mulai menyalakan tombolnya. Hari ini dirinya tak bisa meninggalkan Zahra untuk menghadiri meeting di beberapa tempat usaha miliknya seperti yang biasa ia lakukan setiap harinya.Ia menulis email untuk manager manager di beberapa cabang usaha miliknya, memberitahu bahwa mulai saat ini dirinya akan memantau semuanya bisnisnya dari rumah. Ia juga meminta kepada orang-orang yang sudah ia tunjuk sebagai wakil dari dirinya untuk menghandle semua dan melaporkan padanya setiap hari baik via email, video call atau datang langsung ke tempatnya.Setelah mengirim email itu kepada beberapa pihak yang berkepentingan, Aaro memut
"Ayah, sampai kapan Zaa harus di tempat tidur terus?" Zahra bertanya pada ayah mertuanya dengan nada manja persis seperti anak kecil pada ayahnya sendiri. Itu karena Zahra selalu merasa nyaman dan disayang ketika bersama Aidan."Memangnya kenapa?" Aidan balik bertanya. Nadanya sabar dan kebapakan sekali."Jenuh." Zahra merengek sambil memukul mukul kasur di sebelahnya. "Zaa mau kerja lagi dan bisa kemana-mana lagi."Aidan tak menjawab. Kepalanya menoleh melihat putranya Aaro tertidur di lantai dengan kepala direbahkan di atas meja. MacBook di hadapannya masih menyala menampilkan beberapa laporan kerja yang haru Aaro periksa. Sejujurnya, Aidan tak sampai hati melihat kondisi sang putra yang kelelahan dengan segala beban yang harus ditanggung, tapi Aidan harus menahan iba itu karena bagaimanapun Aaro adalah seorang laki-laki yang sudah beristri. Memang banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi sebagai suami.Aid
Aaro terlihat gelisah. Setiap satu menit sekali ia mengecek ponsel yang ia letakkan di atas meja di samping MacBook-nya. Ia tak bisa lagi konsentrasi memeriksa setiap laporan dan proposal kerjasama yang dikirim padanya pagi ini. Dan semua itu tak luput dari perhatian Zahra yang sejak tadi mengamati dari atas tempat tidur."Suamiku, istirahat saja dulu."Aaro menoleh dan memaksakan sebuah senyum untuk istrinya. "Aku nggak capek, kok."Zahra mendesah pelan kemudian berkata pada Aaro agar membawakan air putih di botol. Ia tak ingin terlalu sering merepotkan Aaro saat haus atau lapar atau yang lain. Suaminya itu sudah cukup sibuk tanpa perlu direcoki oleh dirinya yang merengek minta minum atau diambilkan sesuatu."Ada biskuit atau roti nggak?" Zahra bertanya saat Aaro mengulurkan sebotol besar air putih padanya.Aaro mengangguk dan tanpa banyak bertanya langsung mengambilkan biskuit dan roti untuk
Aaro memarkirkan motornya sembarangan di depan teras rumah kedua orangtuanya dan bergegas masuk ke dalam. Ia cemas dan takut sekali terlambat. Bagaimana jika kondisi Alea semakin memburuk dan...Baru saja dirinya masuk ke dalam ruang keluarga dan bertanya bagaimana kondisi Alea ketika sebuah Bogeman mentah ia terima di sisi telinga kirinya. Ia mendongak dan menatap siapa yang sudah berani menempeleng dirinya dengan ekspresi terkejut bercampur marah. Namun, saat tatapannya beradu dengan wajah murka sang ayah, ia merasa seperti penjahat yang baru saja ketahuan melakukan tindakan kriminal."PULANG SEKARANG JUGA!!! DASAR ANAK BODOH!!!""Alea... Bagaimana kondisinya?" Aaro mencoba menjelaskan kekhawatirannya pada kondisi Alea, tapi rupanya itu tetap saja tak bisa meredakan kemurkaan Aidan."JANGAN MEMBUAT PIKIRANKU TERPECAH DI SAAT SEPERTI INI!"Aidan kembali meninju wajah Aaro. Kali ini tepat menge
Tubuh Aaro lemas. Rasanya tak ada lagi tenaga dan semangat yang tersisa. Ia jatuh berlutut di lantai, di samping sosok tubuh yang terbaring di atas tempat tidur di ruang IGD dengan seluruh tubuh mulai kaki sampai ujung kepala tertutup kain putih.Tak ada air mata dan isak tangis. Hanya rasa kebas dan hampa seakan seluruh organ dalam tubuhnya telah dicabut paksa. Syok. Ia ingin berdiri dan memeluk tubuh yang terbujur kaku itu, tapi seluruh sel dalam tubuhnya seakan mati dan berhenti bekerja.Saat dua orang mengapit lengannya dan membawanya keluar dari ruang IGD, ia tak kuasa melawan. Dirinya masih terlalu terkejut dengan keadaan yang ada. Rasanya, baru beberapa jam yang lalu dirinya bersama dengan Zahra, tapi sekarang ...."Apa instruksi Aidan?" Seseorang berbicara dari sebelah kiri Aaro."Sebentar, aku bacakan lagi pesannya." Pria di sebelah kanan Aaro menjawab sambil merogoh saku celananya untuk mengeluarkan