Zahra mengamati tiga disain taman bermain, baik berupa gambar atau miniaturnya yang tertata di meja besar di ruang ketua yayasan~karena Aaro memaksa mendampingi dirinya meeting bersama para arsitek, ia akhirnya meminta izin pada ketua yayasan untuk menggunakan ruangannya.
Ia sama sekali tak menyadari wajah serius dan tegang para arsitek itu. Ketiganya berdiri menjauh dari tempat Zahra. Bahkan saat berbicara kepada Zahra, ketiganya pun lebih memilih menunduk dan tidak menatap langsung wajah menantu Blackstone itu. Apalagi dengan kehadiran Aaro yang terus mengamati mereka bertiga dalam diam.
Zahra menggelengkan kepala beberapa kali, tak setuju dengan disain yang mereka serahkan. Tiga disain terbaik yang tak sesuai dengan bayangannya. "Kenapa semua seperti ini?"
"Itu Waterboom mini. Seperti yang anda sampaikan dua hari yang lalu, Anda menginginkan kolam air."
Zahra menggeleng pelan. "Memang, tapi bukan seperti ini... Kolam pasir ini juga terlalu... Aku men
Zahra berdiri sambil melipat kedua tangan di depan dadanya. Memperhatikan para pekerja dari kantornya yang sedang menyelesaikan finishing taman seperti yang ia harapkan. Mereka bekerja dengan cepat. Hanya dalam waktu satu bulan lebih sedikit proyek itu hampir selesai. Ia curiga, bahkan ketika malam hari pun, pengerjaan itu tetap berjalan.Setelah beberapa kali diskusi dan revisi bersama para arsitek dan ahli tata taman dan hutan buatan, akhirnya miniatur air terjun itu hampir jadi. Ia tak sabar untuk segera membuka taman itu dan menunjukkannya pada anak-anak. Ia tersenyum sendiri membayangkan antusiasme murid-muridnya saat mengetahui kejutan yang sudah ia siapkan untuk mereka.Zahra melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Ia pun berlalu dari jendela yang menghadap ke arah taman, kembali ke mejanya untuk mengambil beberapa berkas dan mengambilnya. Ada satu hal penting yang harus ia sampaikan pada Pak Gun. Dan ia akan mengusulkan
Aaro menggandeng tangan Zahra melewati beberapa lubang yang terisi genangan air di sebuah gang. Gang itu sempit dan bau akibat air got yang luber ke jalan. Letaknya di sebuah perkampungan kumuh tak berapa jauh dari tempat tinggal mereka, tepatnya di pemukiman padat penduduk di bawah jembatan."Bentar lagi sampai, kok."Zahra mengangguk melihat Aaro menoleh dan tersenyum ke arahnya. Benar saja, tak lama kemudian Aaro berhenti di sebuah rumah reyot dan mengetuk pintunya.Lama tak ada jawaban dan Aaro mengetuk lagi.Seorang anak kecil kisaran usia enam tahun membuka pintu. Ia menatap Aaro dan Zahra bingung. "Cari siapa?""Agus ada?"Gadis kecil itu mengangguk dan membuka pintu rumahnya dengan susah payah. Sepertinya engsel pintunya bermasalah hingga pintu itu sulit untuk dibuka tutup.Zahra mengikuti Aaro masuk ke dalam rumah. Di dalamnya hanya terdiri dari satu rua
Zahra terbangun karena merasa kehausan. Dengan berat, ia maksa membuka matanya. Untuk sesaat, Zahra bingung melihat tempatnya saat ini. Ia pun duduk dan mengamati sekitar.Kamar ini didominasi nuansa mint lembut kombinasi putih. Tidak terlalu luas, tapi semua keperluan sepertinya tersedia di sini. Selain lemari baju tiga pintu di samping meja rias yang juga minimalis, di sudut ruangan dekat pintu yang sepertinya mengarah ke balkon terdapat satu set sofa nyaman yang menghadap ke arah sebuah layar televisi layar lebar."Ohh," Zahra tersentak. Ia ingat saat ini dirinya dan Aaro sedang berkunjung ke rumah Alea. Tapi bagaimana bisa dirinya berada di kamar ini?Zahra menepuk keningnya pelan. Ya, tadi ia pasti tertidur di ruang keluarga. Lalu, siapa yang memindahkannya kemari? Apakah Aaro?Pikiran bahwa Aaro yang menggendongnya ke kamar membuat perasaan Zahra kembali buruk. Apalagi, saat menoleh ke samping, Aaro tern
Aaro menatap punggung Zahra yang berjalan jauh di depannya dengan perasaan kacau. Sudah hampir dua minggu ini sikap istrinya itu berubah. Dia tak lagi ingin diantar atau dijemput saat berangkat atau pulang kerja. Dan Zahra selalu berhasil menghindar darinya.Tak hanya itu, bahkan saat di rumah pun, Zahra juga lebih sering diam. Dia tetap mengerjakan pekerjaan rumah, masak dan menyiapkan semua keperluannya~meski pada akhirnya dirinya yang harus membenahi semua kekacauan yang timbul karena itu~ tanpa banyak bicara.Ohh, yang lebih membuat Aaro merasa sangat terpukul adalah, bahkan Zahra tak bereaksi apapun saat dirinya meminta pemenuhan kebutuhan biologisnya. Dia hanya diam dengan mata nyalang menatap langit-langit menerima semua perlakuan Aaro sampai kebutuhannya terpenuhi.Beberapa kali Aaro sudah mencoba membahas masalah ini. Namun, setiap dirinya baru saja menyinggung masalah ini, Zahra akan berpura-pura ingin buang air besar, ngantuk atau yang lainny
"Ini dimana?" Zahra bertanya seraya mengedarkan pandangannya ke sekitar.Aaro membawanya ke sebuah hotel yang mewah di pusat kota kawasan gedung pencakar langit berada.Dari lobi sampai saat ini mereka sudah berada di dalam kamar mereka, Zahra tak henti-hentinya berdecak kagum melihat kemewahan dan segala fasilitas yang ada.Zahra berjalan ke arah dinding kaca yang menghadap ke arah kota. Ia berdiri di sana sambil menyaksikan pemandangan di bawah. Sungguh, dirinya masih tak menyangka bisa berada di tempat setinggi ini dan melihat di bawah semua tampak kecil tak berarti. Sewa kamar ini pastilah mahal, batin Zahra. Namun, sesaat kemudian ia ingat bahwa suaminya merupakan salah satu pewaris dari pengusaha tersukses di negara ini, jadi soal sewa yang mahal tentu tak akan jadi soal. Atau jangan-jangan, hotel ini juga merupakan aset keluarga Blackatone?Zahra mendesah pelan."Kenapa?" Aaro bertanya sembari menyerahkan sebotol minuman dingin yang suda
"Zahra harus punya saksi di pihaknya." Aidan mengingatkan sang putra. Pagi ini ia datang bersama Bian dan Damian membawa surat perjanjian yang Aaro minta semalam untuk dibuatkan.Zahra menatap sang ayah mertua dengan wajah bingung. Ia tak punya siapa-siapa. Jadi, mana bisa menyediakan saksi dari pihaknya. "Apa itu harus, Ayah?""Tentu saja. Saksi diperlukan untuk memperkuat surat perjanjian ini. Ayah sarankan kau punya saksi yang berada di pihakmu. Supaya ketika terjadi pelanggaran surat ini, kau bisa mengurusnya dengan lebih mudah.""Tapi siapa? Ibu tidak ada di sini?""Tidak harus ibumu. Pastikan saja dia mendukungmu dan berada di pihakmu."Zahra menatap Aaro bingung."Bagaimana jika aku saja saksi dari pihak Zahra?" Tiba-tiba Damian nyeletuk sambil mengedipkan mata ke arah Zahra. "Aku berada di pihakmu. Dan aku bersedia menerimamu jika suatu saat terjadi pel...""Itu tak akan pernah terjadi!" Hardik Aaro. Ohh, biasanya sang ay
Zahra menutup mulut dengan kedua tangannya saat mendengar sejarah pernikahan mertuanya yang diceritakan dengan begitu epic oleh sang ayah mertua.Matanya berkaca-kaca membayangkan bahwa impian dan cita-cita bunda Carmila harus putus di tengah jalan karena hamil. Dan Zahra juga baru tahu bahwa bunda mertuanya itu tak pernah ada kesempatan untuk menyelesaikan pendidikannya semasa SMA karena seluruh waktunya sudah terkuras untuk mengurus suami dan anak-anak yang memiliki jarak lahir tak terlalu jauh satu sama lain.Zahra menatap Carmila dengan penuh kekaguman. Itu pengorbanan yang luar biasa dari seorang ibu, sama seperti ibunya dulu yang rela banting tulang, mengabaikan cibiran dan hinaan manusia demi dirinya."Ayah menceritakan semua ini setiap tahun bukan untuk berbangga atas kesalahan itu, tapi ayah ingin kalian melihat sebuah bentuk tanggung jawab tanpa batas terhadap setiap kesalahan yang wajib kalian contoh." Aidan
Zahra merasa pusing dan matanya berkunang-kunang. Namun ia tetap memaksakan sebuah senyum dan bertepuk tangan saat band ayah mertuanya bersama para sahabatnya mengakhiri penampilan mereka.Awalnya, ia mengira pusingnya disebabkan oleh suara keras musik yang dimainkan oleh band ayah mertuanya. Tapi saat ini, ketika band itu sudah selesai dengan penampilannya, kepalanya masih juga terasa berputar. Lampu-lampu terang di sekitarnya pun membuatnya semakin buruk.Selama beberapa saat terakhir, Zahra tak bisa lagi menyaksikan apa yang terjadi di sekitarnya. Bahkan saat suaminya akhirnya harus maju ke panggung dan memainkan beberapa lagu bersama putra-putra Blackstone yang lain, Zahra tak melihatnya. Ia merebahkan kepalanya ke atas meja untuk meredakan pusing yang terus ia rasakan hingga membuat perutnya mual dan ingin muntah.Karena pusing dan mual yang dirasakan Zahra semakin kuat, ia pun memutuskan untuk pergi ke toilet dan mencuci muka agar l