Setelahnya saya mulai menyiapkan diri untuk menyatakan cinta pada Andara. Tapi selalu saja tak sanggup untuk mengatakannya bila berada di hadapan Andara. Dan Andi yang selalu penasaran dengan kisah saya ini selalu menekan saya untuk cepat-cepat menembaknya.
"Kapan lagi?" tanya Andi pada saya dengan kecewa.
"Saya masih nggak sanggup sob," ucap saya.
Kali itu kami bicara di teras kostan saya.
"Berarti elo beneran bodoh."
"Belum."
"Udah."
"Belum."
"Udah."
"Belum udah apaan sih?" tanya Andara yang mendadak muncul di hadapan kami.
Saya dan Andi kaget.
"Nggak kok," ucap saya pada Andara, lalu saya tarik Andara ke dalam kost sambil bicara ke Andi.
"Kamu udah mau pulang kan? Yaudah sana pulang." Saya tak ingin Andi memberitahukan perihal obrolan kami tadi pada Andara.
Andi menghela napas. Saat saya dan Andara sudah di dalam kost. Terdengar suara Andi berteriak di luar sana.
"Andar
"Ayah!" Lirihku dalam hati. Iya, pria yang sedang duduk bersama Andara itu adalah ayah saya. Apa yang Andara lakukan bersama ayah? Apakah dia lelaki baru yang sedang dipacari Andara yang ingin dikenalkannya pada saya? Saya benar-benar tidak percaya itu. Sesaat Andara melihat ke arah saya dan tampak senang dengan ketadangan saya. "Kakak?" Ayah juga menoleh pada saya lalu berdiri. Saya tak sanggup jika benar kalau ayah adalah kekasih baru Andara. Kemana ibu? Apa ayah sudah pisah dengan ibu? Saya pun memilih pergi dari sana. Kisah macam apa jika benar seperti dugaan saya? Andara mengejar saya. Di depan cafe, Andara menarik tangan saya. "Kakak mau kemana?" Saya menoleh pada Andara dengan marah. "Itu lelaki baru yang mau kamu kenalin ke kakak?" Saya mengucap kata ini dengan berteriak. "Jangan negative thiking dulu, Kak." "Mau cowok manapun yang mau kamu kenalin ke kakak, kakak bakal dukung, kecuali d
Tak berapa lama kami tiba di depan sebuah rumah. Ya, rumah itu memang megah. Gerbang langsung dibuka satpam saat dia melihat saya. Andara langsung memarkirkan mobil di depan garasi. Saya dan Andara turun. Saya terdiam. Andara menarik tangan saya untuk masuk ke dalam. "Ayo, Kak." "Iya." “Iya-nya jalan dong.” Kenapa Andara yang paling semangat? Pikir saya. Saya pun terpaksa berjalan menuju pintu masuk. Sudah lima tahun lebih saya meninggalkan rumah itu. Menghilang tanpa jejak. Kini dengan kekalahan dan tanpa bisa membuktikan kalau saya bisa sukses dengan menjadi penulis, saya kembali lagi. Kalau bukan karena mendengar ibu sering sakit gara-gara saya menghilang dan karena Andara, saya mungkin tak akan pulang lagi ke sini. Pintu rumah terbuka. Bibi Ijah, pembantu kesayangan saya datang dengan ternganga saat melihat saya. "Tuan ganteng!" Bibi Ijah menangis melihat saya. "Nyonya! Tuan ganteng pulang!" teriak Bibi Ijah sambil
Di dalam mobil Andara bicara banyak pada saya. “Keluarga kakak baik-baik kok. Kok bisa sih kakak kabur dari rumah?” tanya Andara penasaran lagi, padahal semua alasannya sudah saya jelasan semuanya. “Semuanya memang baik, cuman ayah doang kok yang dulunya jahat,” jawab saya. Andara menurunkan saya di depan gang ke arah kostan saya. Saya turun dari mobil. Andara kemudian dadah kepada saya lalu melajukan mobilnya menuju rumahnya. Saya masih mematung di sana, memastikan mobil Andara benar-benar menghilang dari pandangan saya. Saya pun melangkah pulang dengan lega. Lega karena ayah sudah bisa berdamai dengan mimpi-mimpi saya. Di pagi hari dan bertepatan dengan saat saya terbangun, saya langsung mencari handphone untuk memeriksa group chatting dari team penulis. Ini rutinitas yang biasa saya lakukan agar tidak ketinggalan update terbaru dari pekerjaan saya. Dan benar saja ada update terbaru di sana. Saya langsung membaca di group bahwa sitkom yang
Andara melihat ke luar kaca. Apartemen itu cukup luas. Ada tiga kamar. Ruang tamunya juga cukup luas. Andai saat itu saya dan Andara sudah berpacaran dan bukan sebagai adik kakak seperti sekarang, mungkin ini akan menjadi tempat yang romantis untuk kami. "Jadi kamu belum mau ngenalin cowok baru lagi nih ke kakak?" ledek saya pada Andara yang masih sibuk melihat pemandangan luas di bawah sana. Andara berbalik dan melihat ke arah saya. "Kayaknya aku mau stop pacaran dulu kak," ucap Andara agak sedih. Saya heran,"Kenapa?" "Aku mau fokus dulu ke karir." "Katanya mau buru-buru nikah?" "Kata siapa?" "Kemaren kan kamu sendiri yang bilang." "Itu kalo dapet pacar yang bener kak. Dan nggak mau cepet-cepet juga." Mendengar itu saya diam. Andara memegangi perutnya. "Adek laper," ucapnya polos. "Mau kakak masakin?" Andara kaget dan tampak tak percaya,"Emang kakak bisa masak?" "Ya bisal
Saya langsung ke rumahnya. Andara semakin histeris menangisnya saat melihat saya. Saya coba tenangkan dia. Ira yang ada di sana hanya diam. "Apa adek punya masalah sama orang di stasiun televisi?" tanya saya. "Nggak ada, kak. Kakak kan tau sendiri aku nggak pernah telat ke lokasi shooting dan aku juga nggak ada masalah apapun di sana." Saya pun diam. "Aku harus gimana kak?" "Yaudah, adek sabar ya. Kakak yakin nanti juga adek bakal dapet job yang lebih bagus dari ini." Hanya itu yang bisa saya ucapkan padanya. Jujur, melihat dia menangis saya ikut sedih, yang lebih sedihnya lagi kini melihat dia kehilangan sumber pendapatannya. Selama ini dia meniti karir dari bawah, dimulai dari model, bintang iklan, lalu terjun ke dunia sinetron. Hari-hari berikutnya Andara tidak sebawel biasanya. Kata Ira dia banyak mengurung diri di kamar. Namun saat Ira mengabarkan kalau tawaran iklan mulai berdatangan kepadanya, saya menjadi tenang. Andara
Saya pun memilih diam karena saya heran ini acara perayaan atau acara mak comblang. Akhirnya saya tanyakan soal diterimanya Andara menjadi peran utama di sinetron terbarunya nanti. Andara pun bercerita segala hal bagaimana dia lolos casting. Dan bercerita tentang Raka, bagaimana selama ini dia sangat kagum sama aktor satu itu. Andara bercerita kalau dia sudah mengimpikan sejak lama untuk bisa satu frame dengan Raka. Mendengar dia begitu memuji-muji Raka, rasa cemburu saya kembali datang. Cukup lama saya tidak merasakan ini lagi semenjak Andara berniat untuk berhenti pacaran. Setelah hampir 2 jam kami di sana, kami pulang. Setiba di apartemen Andara menelepon saya. "Menurut kakak si Diva gimana?" tanya Andara di seberang sana. Saya terkejut mendengar pertanyaan itu,"Gimana apanya?" "Ya, gimana? Kakak suka nggak?" Benar dugaan saya, Andara sengaja mengundang Diva untuk mengenalkannya pada saya. "Apaan sih dek, dia kan temen kamu
Akan tetapi, bukannya membuat saya pulih dari kegundahan, melainkan membuat saya hampir pingsan saking ketakutannya terhadap wahana-wahana ekstrim di sana. Berbeda dengan Yongki, dia malah senang dan ingin naik wahana itu berkali-kali sampai saya Lelah dan saya paksa untuk keluar dari sana. Saat saya sedang menikmati suasana senja di pinggir pantai Ancol, sambil menikmati es kelapa muda bersama Yongki, Diva mengirim pesan kepada saya. "Kakak apa kabar?" Sungguh, saya sangat berharap pesan itu datang dari Andara, bukan dari dirinya. "Baik," balas saya pada pesannya. "Si Andara kenapa ya susah banget dihubungi? Kakak kayak aku juga nggak?" Pertanyaan itu membuat saya berpikir, ternyata bukan saya saja yang dicueki Andara. Akhirnya saya membalas pesannya dengan jawaban bahwa saya diperlakukan begitu juga oleh Andara. Akhirnya saya menelpon ibu dan Shasa, rupanya mereka juga susah menghubungi Andara dan bahkan Andara tidak pernah menghubun
Tak berapa lama kemudian, Yongki masuk ke dalam lalu membawa sebotol besar minuman dan dua gelas kosong, kemudian meletakkannya di dekat saya. "Ini obat galaunya." Saya tercengang saat melihat sebotol minuman anggur beralkohol ukuran besar teronggok di dekat saya. "Nggak, saya nggak mau." "Harus mau, biar elo lepas!" "Itu bukan solusi." "Ini solusi." "Bukan." "Solusi." "Bukan." "Solusi" Tanpa pikir panjang akhirnya saya raih botol minuman itu lalu saya buka dengan gigi saya, kemudian saya tenggak sebanyak-banyaknya. Yongki tercengang tak percaya. "Sisain gue!" Setelahnya saya tepar, tak tahu lagi apa yang saya lakukan. Saya membuka mata. Saya terkejut sudah berada di kasur empuk saya. Saya menoleh, kaget mendapati kakak pertama saya duduk di sisi kasur sambil melotot marah ke saya. Dia mengambil bantal guling lalu memukul mukul saya dengan bantal guling itu sambil mengelua