Akhirnya saya pelan-pelan bisa mengikutinya dan skenario yang saya tulis mulai jarang direvisi oleh headwriter yang mengepalai di team kami. Jujur, naskah pertama yang saya kirim ke headwriter dimaki habis-habisan karena saya dinilai merusak citra komedi Indonesia. Mengapa? Karena saya mengubah satu episode sitkom yang terkenal itu menjadi kisah sedih sepanjang masa. Andi sampai geleng-geleng melihat saya. Untunglah headwriter saya berbaik hati pada saya. Akhirnya saya diberi kesempatan karena dinilainya memiliki potensi. Seperti yang saya ceritakan di atas, akhirnya saya berhasil. Tentu itu menjadi kemenangan buat saya.
Jujur, saat itu bisa menjadi penulis skenario sudah membuat saya sangat bersyukur. Kesempatan ini tidak mudah didapatkan oleh penulis lain. Karena mendapatkan pekerjaan sebagai penulis scenario tidak seperti menulis novel yang bisa mengajukan naskah ke penerbit mana pun yang disuka atau bisa memuatnya di platform-platform novel online yang sudah meraja di Indonesia. Saat ini, menjadi penulis scenario di Indonesia harus membutuhkan channel. Jika diterima pun belum tentu akan langsung dijadikan penulis utama, biasanya akan dijadikan co writer atau anggota team penulis yang dikepalai oleh headwriter. Saya akan bisa bertahan di sana kalau saya mampu mengikuti standar penulisan skenario dari pihak PH. Jika tidak, pihak PH tak akan segan untuk mendepak saya dari team penulis dan mencari penulis lainnya yang lebih berbakat.
***
Hari yang panjang dan cukup melelahkan. Tepat pukul empat sore saya berhasil mengerjakan satu episode naskah sitkom. Di kostan sempit yang jendelanya menghadap ke sungai Ciliwung itu, saya yang masih duduk di depan leptop pun meregangkan sedikit otot-otot tubuh saya yang agak tegang setelah seharian menulis naskah.
Sebuah notif sms masuk dari m-banking. Saya tercengang melihat saldo saya bertambah. Uang yang masuk berjumlah dua puluh empat juta. Ini honor pertama yang saya tulis dari sebulan saya menjadi team penulis di sana. Jumlah yang sangat besar dari pendapatan saya selama ini. Jumlah honor segitu besarnya adalah untuk honor delapan episode yang sudah saya tulis. Di team kami ada empat orang penulis, yang kesemuanya akan diminta secara estafet menulis naskah. Setiap episodenya diberi honor tiga juta untuk satu episode naskah, itu untuk penulis yang baru bergabung, dan untuk penulis senior akan lebih besar lagi honor tiap episodenya, bisa mencapai empat juta sampai dengan lima juta.
Saya tanpa sadar menangis terharu. Ini untuk pertama kalinya saya mendapatkan uang yang cukup besar dari menulis, setelah tertatih, kadang makan dan kadang tidak. Seketika saya menelepon Andi, saya ingin mengajaknya makan di luar dan mentraktirnya sebagai ucapan terima kasih yang sudah menarik saya untuk bergabung di sana. Sebagai warga negara yang baik yang tahu membalas budi, bukan kah harusnya begitu yang saya lakukan kepada Andi?
"Nggak usah, Sob. Lo nikmatin aja hasil lo dan pertahankan terus kualitas tulisan elo," ucap Andi ditelepon dengan bijaknya.
“Yaudah kalo nggak mau,” ucap saya sedikit kecewa.
“Kecuali kalo elo mau beliin gue motor, gue baru mau.” Andi tertawa.
“Kalo gitu nggak jadi aja,” ucap saya langsung mematikan handphone saya.
Saat saya sudah berhasil mendapatkan honor yang lumayan dari menulis, seketika saya ingin menelepon ayah. Namun niat itu urung karena itu adalah hal yang percuma. Ayah pasti akan tetap pada pendiriannya dan tak akan senang dengan pekerjaan saya saat ini meski honornya lumayan. Perang dunia ketiga pasti akan terjadi.
Saya pun langsung memeriksa lemari. Mungkin sudah waktunya untuk membeli pakaian baru. Semuanya sudah lusuh. Ya, apapun itu saya harus nikmati apa yang saya dapatkan saat ini. Bukan kah memberi hadiah pada diri sendiri itu perlu?
Sesaat kemudian handphone saya berdering. Saya periksa rupanya dari nomor baru. Saya pun bergegas menggunakan handphone saya dengan rasa penasaran siapa yang menelepon saya.
"Halo," sapa saya kepada penelpon yang belum saya ketahui namanya.
"Ini dengan kak Tarwan, ya?"
Suara seorang perempuan. Saya sangat penasaran ini siapa. Kenapa dia tahu nama saya.
"Iya. Kamu siapa?"
"Aku Andara, kak. Maaf banget soal semalem ya. Aku dapet nomor telepon kakak dari managerku. Kita bisa ketemuan nggak, kak?"
Kakak? Pikir saya. Mendadak jantung saya kembali berpacu saat mendengar nama itu. Dia membahas sewaktu saya menolongnya menyetiri mobilnya disaat dia mabuk malam itu.
"Iya, nggak apa-apa. Boleh kalo mau ketemuan," jawab saya dengan gugup.
Setelah itu Andara memberi tahukan tempat ketemuannya. Dia mengajak saya ke sebuah cafe di daerah Kemang. Saya pun langsung bergegas mandi dan mencari pakaian terbaik yang saya punya. Dan saya harus menunjukan yang terbaik kepada dirinya. Saya memang tidak tampan dan juga tidak jelek, tapi perlu diketahui, dibandingkan dengan kedua kakak lelaki saya, kata pembantu saya dulu, sayalah yang paling sedap dipandang diantara semua lelaki yang ada di rumah. Entah ini valid atau tidak, tapi begitulah kata pembantu saya dulu.
Dan malam yang tenang itu. Saya menemui Andara yang sudah duduk cantik di meja makan. Dengan penuh percaya diri disertai gugup sepuluh persen. Akhirnya saya menghampiri dia. "Andara?" sapa saya. Andara cukup lama memandangi saya. Dia berdiri lalu seperti shock melihat saya. Saya heran. “Kenapa? Saya serem ya?” celetuk saya. “Nggak kok,” kata Andara yang masih tampak tercengang, "kamu Kak Tarwan?" Andara mengatakan itu seperti orang yang baru ketemu dengan orang yang sudah lama dia kenal. Sesaat kemudian saya lihat dia tampak senang dengan kehadiran saya. Di pikiran saya sudah berkecamuk. Ini pasti akan menjadi cerita indah. Cerita cinta antara seorang artis yang sedang naik daun dengan penulis sederhana. Mungkin seperti FTV yang sering diperankannya. "Iya," jawab saya. "Duduk kak," pintanya kemudian. Aku pun duduk dengan salting. Beberapa pengunjung melihat ke arah Andara. Mungkin mereka tahu kalau Andara adalah a
Kami pun makan malam bersama di café yang sama tempat pertama dia mengajak saya makan malam. Kebetulan yang melayani kami adalah pelayan yang dulu menuduh saya belum membayar bill. Pelayan itu tampak malu melayani saya. Saya mencoba bersikap biasa saja, pura-pura lupa. Tak berapa lama kemudian menu makanan yang kami pesan datang. Saya dan Andara langsung melahapnya. “Gimana nulisnya, Kak?” tanya Andara sambil melahap menu makanan di hadapannya. “Alhamdulillah, lancar-lancar aja.” Andara mengangguk. “Menurut kakak, acting aku di sitkom udah bagus belum?” “Udah, kok.” “Beneran?” “Saya serius.” “Kalo ada yang kurang bilang aja kak, nanti aku perbaiki.” “Nggak ada yang kurang kok. Peran Siti yang kamu mainkan di sana sudah bagus kok.” Andara tampak senang dipuji. Setelahnya kami mengobrol banyak lagi. Ngalor ngidul membicarakan apapun. Saya pun akhirnya cerita soal Ira yang salah ngasih minuman ke saya. Anda
“Perasaan temen elo cuman gue dah.” Saya menghela napas. Emosi. “Udah jawab aja, ribet amat sih pengen tau siapanya.” Andi kemudian berpikir. “Bisa jadi sih.” Saya senyum-senyum sendiri mendengar jawaban Andi. Jawaban Andi dan Yongki sama. Mungkin benar kalau Andara memang menyukai saya. Kalau dia tidak suka, tidak mungkin dia bisa sebaik itu sama saya. “Tapi tunggu dulu,” Perkataan itu memadamkan senyum saya yang terlanjur merekah. “Kenapa?” “Jangan keburu ge er dulu.” “Kok?” “Ada juga orang baik karena ada maunya.” “Contohnya?” “Ya kayak si Indro, anggota team penulis kita.” “Emang dia kenapa?” “Ada artis cewek yang deketin dia dan baik banget sama dia. Dia nyangka artis itu suka sama dia, tahunya mau manfaatin doang biar si artis itu sering dapet peran ditulisannya.” Saya kembali layu. Kebetulan si Andara ini adalah artis yang main di sitkom yang sedang
Sesaat kemudian saya pandangi wajahnya dengan gugup. “Andara?” “Iya, Kak.” Andara tampak heran. “Saya boleh nanya? “Mau nanya apa kak? Setelah itu saya berpikir lagi. Saya mendadak gugup untuk menanyakan itu. Akhirnya saya urungkan niat itu. “Nggak jadi aja deh.” “Kok nggak jadi?” “Nggak apa-apa.” “Yaudah, kalo gitu, aku aja yang nanya ke kakak ya?” Deg. Dia mau bertanya apa ke saya? Dengan gugup akhirnya saya mengiyakan ucapannya. "Kakak mau jadi kakak angkat aku nggak?" tanya Andara seketika. Dia mengatakan itu dengan tulus. Saya diam sejenak. Sungguh hati kecil saya bukan itu yang saya inginkan. Walau berlebihan, setidaknya biarkan saya berjuang dulu untuk mengejar dan menyatakan cinta disuatu saat nanti. Tapi jika sudah ditawari untuk menjadi kakak angkatnya begitu, mungkin itu sudah menjadi sebuah jawaban kalau saya tidak akan pernah bisa menjadi kekasihnya. Dan itu juga bisa
Akhirnya gaun yang dinginkan Andara ditemukan juga dibutiknya. "Gila lo, Sob. Nggak nyangka pacar lo artis," bisik Cheng Lie pada saya. Saya hanya senyum-senyum sendiri, membiarkan dia berhalusinasi sendiri. Soalnya jika saya jelaskan bagaimana hubungan kami sebenarnya, pasti akan Panjang ceritanya. Jujur saya senang melihat senyum bahagia Andara saat dia menemukan gaun yang diinginkannya itu. Saya pun senang sudah bisa membantunya menyelesaikan masalahnya. Saya yakin, suatu saat pasti ada sebuah keajaiban. Ya, suatu saat nanti Andara tahu kalau kakak angkatnya ini mencintai dia dan dia akhirnya menerima cinta saya apa adanya. Mungkin kah? "Kakak!" "Iya dek." Kami bicara di telepon. "Kakak lagi apa?" "Kakak abis nulis." "Udah dikirim?" "Udah." "Ada aku kan di sana?" “Nggak ada.” “Kok nggak ada?” “Kalo peran Siti, ada.” Peran Siti ini adalah nama peran yang dimainkann
Andara pulang sambil membawa oleh-oleh untuk kami. Andara menarik saya menuju ke kamarnya. Saya heran. Setiba di kamarnya, Andara mencari sesuatu di rak bukunya, kemudian dia mengeluarkan sebuah album foto dan menunjukkannya satu persatu kepada saya. "Ini waktu aku SMA, kak. Jangan diketawain ya," pinta Andara pada saya. Saya sebenarnya terkejut. Di foto itu Andara tampak berkulit agak gelap dan hidungnya agak pesek. Tapi biar begitu Andara masih terlihat sangat manis. "Kok beda banget sama sekarang?" tanya saya heran. "Tuntutan, Kak. Waktu aku jadi model, managerku yang lama nyuruh aku operasi hidung biar makin mancung, terus nyuruh aku suntik putih juga," ucap Andara jujur pada saya. Ya, sebagaimana yang saya ketahui, memang banyak artis-artis yang melakukan hal itu. Walau tidak semuanya, tapi kebanyakan memang begitu. Tujuannya tidak lain agar bisa terlihat menarik di layar kaca atau layar lebar. "Padahal kamu nggak operasi hidung d
Di dalam kostan, saya merenung cukup lama. Saya tidak bisa seperti ini dengan Andara. Saya sudah kelewat batas. Akhirnya, hari itu juga saya blokir nomor Andara dan saya berjanji untuk tidak menghubunginya dan menemuinya lagi. Saya mengabaikan janji saya pada mamahnya. Ini demi kebaikan. Apakah saya bisa? Sudah hampir tiga hari, saya benar-benar menghindari Andara. Saya sengaja tidur di kostan Andi untuk menghindarinya. Nomornya masih saya blokir. Saya yakin, dia pasti mendatangi kostan saya. Sebenarnya saya sedih dan merasa bersalah karena sudah mengabaikannya. Tapi sebagai manusia yang masih berjuang untuk beriman, saya paham bahwa yang saya lakukan ke Andara adalah sebuah kesalahan. Saya tidak ingin kesalahan itu berlarut-larut. Hari itu saya datang ke kantor PH untuk mengikuti rutinitas seperti biasa ; yaitu setiap dua kali dalam seminggu saya harus brainstorming dengan headwriter saya untuk mengajukan sinopsis dan membuat plot untuk episode lan
Akhirnya saya terpaksa buru-buru mengganti pakaian dan langsung menemuinya di depan gang. Benar saja, Andara sudah menunggu saya dalam mobilnya. Kami pun pergi menuju cafe. Saya diam saja. Andara fokus menyetir sambil teleponan dengan managernya si Ira. "Ini aku lagi di jalan sama Kakak." Selanjutnya, dia masih teleponan dengan Ira sampai kami tiba di parkiran. Sebagaimana dirinya dan Ira yang sesama perempuan, mereka mengobrol ngalor ngidul tak ada putus-putusnya, tapi tak ada satupun bahasan mengenai seseorang yang akan dikenalkan Andara pada saya. Padahal saya sangat perlu kisi-kisi itu. Saat itu juga Andara menyudahi teleponnya dengan Ira. Andara mengajak saya menuju lift. Ketakutan saya semakin menjadi. Sungguh saya tidak siap jika benar bahwa Andara akan mengenalkan pacar barunya kepada saya nanti. Kami pun tiba di lantai paling atas di gedung itu. Sesaat kemudian saya melihat pelayan perempuan yang bekerja di café langganan kami tiba-tiba ada di sana m