Dan malam yang tenang itu. Saya menemui Andara yang sudah duduk cantik di meja makan. Dengan penuh percaya diri disertai gugup sepuluh persen. Akhirnya saya menghampiri dia.
"Andara?" sapa saya.
Andara cukup lama memandangi saya. Dia berdiri lalu seperti shock melihat saya. Saya heran.
“Kenapa? Saya serem ya?” celetuk saya.
“Nggak kok,” kata Andara yang masih tampak tercengang, "kamu Kak Tarwan?"
Andara mengatakan itu seperti orang yang baru ketemu dengan orang yang sudah lama dia kenal. Sesaat kemudian saya lihat dia tampak senang dengan kehadiran saya. Di pikiran saya sudah berkecamuk. Ini pasti akan menjadi cerita indah. Cerita cinta antara seorang artis yang sedang naik daun dengan penulis sederhana. Mungkin seperti FTV yang sering diperankannya.
"Iya," jawab saya.
"Duduk kak," pintanya kemudian.
Aku pun duduk dengan salting. Beberapa pengunjung melihat ke arah Andara. Mungkin mereka tahu kalau Andara adalah artis pendatang baru yang namanya mulai di kenal setelah berperan di sitkom yang sedang saya tulis. Perlu diketahui, sitkom yang saya tulis ini cukup terkenal, menduduki rating 10 besar di Indonesia. Saya sengaja tidak menyebutkan judul sitkomnya karena saya tidak ingin ada masalah di kemudian harinya.
Saya dan Andara kemudian terdiam. Kami baru saja memilih menu makanan dan sedang menunggu menunya tiba di meja kami.
"Aku makasih lo kak, udah ditolongin semalam," ucap Andara tampak malu.
"Sama-sama," jawabku.
"Tapi aslinya aku nggak kayak gitu loh kak. Aku malu banget sebenernya."
"Nggak usah malu. Saya nggak akan cerita kok soal kejadian kemaren ke yang lain."
"Beneran ya, Kak. Soalnya tau sendiri kan gimana di dunia entertainment ini."
"Iya, saya ngerti. Dunia entertainment itu keras."
Andara tersenyum. Menu makanan kami tiba. Kami pun bercerita banyak hal tentang diri kami masing-masing. Saya hanya bercerita kalau saya seorang penulis saja. Saya tidak cerita siapa keluarga saya dan bagaimana drama hidup saya. Saya tidak mau cerita ini nantinya terjebak seperti di drama korea yang muncul kisah perebutan kekuasaan siapa yang menjabat direktur utama, tidak sama sekali. Dan perlu saya tekankan, di hadapan tidak akan ada cerita seperti itu.
Sementara Andara bercerita banyak hal pada saya. Katanya dia datang dari Bandung. Berawal casting menjadi model, lalu ditawari di sebuah film dan sekarang bertahan di serial televisi. Ayah ibunya sudah cerai semenjak dia masih bayi. Dia dirawat neneknya. Karena dari bayi neneknya yang mengurus, kini dia memanggil neneknya dengan panggilan mamah. Ayahnya tidak tau kemana. Sementara ibunya ada di Bandung, sudah menikah lagi dengan lelaki lain. Sungguh kisah yang sangat dramatis. Saya kira hanya saya saja yang memiliki kisah hidup yang sedramatis itu, ternyata tidak.
Makan malam pun selesai. Kami keluar dari café itu. Andara menawarkan diri untuk mengantar aku ke kostan. Aku menolaknya dengan halus. Akhirnya kami berpisah di sana. Andara pergi dengan mobilnya, sementara aku mencari taksi yang lewat. Sesaat kemudian ada pelayan perempuan yang datang menghampiri saya dengan buru-buru.
“Mas, maaf.”
Saya heran.
“Kenapa, Mbak?”
“Makanannya belum dibayar.”
Saya kaget luar biasa.
“Bukannya tadi udah dibayar sama temen saya?”
Pelayan perempuan itu bingung. Beberapa pengunjung yang baru datang melihat ke arahku sambil berbisik-bisik. Mungkin mereka menyangka saya melarikan diri membayar bill.
“Kalo gitu boleh ikut saya ke dalem sebentar buat diperiksa?”
Saya pun langsung mengikuti pelayan itu masuk ke kasir. Setelah diperiksa ternyata pelayan itu saya orang, yang dimaksud bukan saya melainkan penghuni meja sebelah. Saya pun lega.
Ya, semenjak itu Andara sering mengirim makanan ke kostan. Saya heran, apa maksudnya dia menjadi sangat baik kepada saya. Saya tanyakan prihal ini kepada Yongki, penghuni kost sebelah, teman satu penderitaan saya yang bekerja sebagai satpam di sebuah super market besar di Jakarta.
“Mungkin dia suka sama elo. Makanya dia baik sama elo,” ucap Yongki di suatu petang itu.
Saya masih belum bisa mempercayai pendapat Yongki dengan seksama. Sekelas Andara tak mungkin bisa menyukai pria sederhana seperti saya. Akhirnya saya biarkan pertanyaan ini bersemayam di otak saya tanpa ingin tahu jawabannya.
“Kok diem?” tanya Yongki heran melihat saya tidak menanggapi pertanyaannya.
“Kayaknya saya nggak perlu jawaban.”
Yongki menghela napas dengan kesal.
“Kalo gitu ngapain nanya?” ucap Yongki langsung bangkit dan meninggalkan saya. Dia langsung masuk ke dalam kostannya dan menutup pintu kostannya dengan kencang.
Dan beberapa hari kemudian, Andara kembali menelepon saya.
“Halo, Kak.”
“Halo,” jawab saya.
“Kakak lagi sibuk nggak?”
“Nggak.”
“Mau makan malem bareng aku nggak?”
Saya lagi-lagi heran dengan permintaan Andara yang menurut saya sudah berlebihan. Tanpa pikir panjang akhirnya saya jawab ; mau.
Kami pun makan malam bersama di café yang sama tempat pertama dia mengajak saya makan malam. Kebetulan yang melayani kami adalah pelayan yang dulu menuduh saya belum membayar bill. Pelayan itu tampak malu melayani saya. Saya mencoba bersikap biasa saja, pura-pura lupa. Tak berapa lama kemudian menu makanan yang kami pesan datang. Saya dan Andara langsung melahapnya. “Gimana nulisnya, Kak?” tanya Andara sambil melahap menu makanan di hadapannya. “Alhamdulillah, lancar-lancar aja.” Andara mengangguk. “Menurut kakak, acting aku di sitkom udah bagus belum?” “Udah, kok.” “Beneran?” “Saya serius.” “Kalo ada yang kurang bilang aja kak, nanti aku perbaiki.” “Nggak ada yang kurang kok. Peran Siti yang kamu mainkan di sana sudah bagus kok.” Andara tampak senang dipuji. Setelahnya kami mengobrol banyak lagi. Ngalor ngidul membicarakan apapun. Saya pun akhirnya cerita soal Ira yang salah ngasih minuman ke saya. Anda
“Perasaan temen elo cuman gue dah.” Saya menghela napas. Emosi. “Udah jawab aja, ribet amat sih pengen tau siapanya.” Andi kemudian berpikir. “Bisa jadi sih.” Saya senyum-senyum sendiri mendengar jawaban Andi. Jawaban Andi dan Yongki sama. Mungkin benar kalau Andara memang menyukai saya. Kalau dia tidak suka, tidak mungkin dia bisa sebaik itu sama saya. “Tapi tunggu dulu,” Perkataan itu memadamkan senyum saya yang terlanjur merekah. “Kenapa?” “Jangan keburu ge er dulu.” “Kok?” “Ada juga orang baik karena ada maunya.” “Contohnya?” “Ya kayak si Indro, anggota team penulis kita.” “Emang dia kenapa?” “Ada artis cewek yang deketin dia dan baik banget sama dia. Dia nyangka artis itu suka sama dia, tahunya mau manfaatin doang biar si artis itu sering dapet peran ditulisannya.” Saya kembali layu. Kebetulan si Andara ini adalah artis yang main di sitkom yang sedang
Sesaat kemudian saya pandangi wajahnya dengan gugup. “Andara?” “Iya, Kak.” Andara tampak heran. “Saya boleh nanya? “Mau nanya apa kak? Setelah itu saya berpikir lagi. Saya mendadak gugup untuk menanyakan itu. Akhirnya saya urungkan niat itu. “Nggak jadi aja deh.” “Kok nggak jadi?” “Nggak apa-apa.” “Yaudah, kalo gitu, aku aja yang nanya ke kakak ya?” Deg. Dia mau bertanya apa ke saya? Dengan gugup akhirnya saya mengiyakan ucapannya. "Kakak mau jadi kakak angkat aku nggak?" tanya Andara seketika. Dia mengatakan itu dengan tulus. Saya diam sejenak. Sungguh hati kecil saya bukan itu yang saya inginkan. Walau berlebihan, setidaknya biarkan saya berjuang dulu untuk mengejar dan menyatakan cinta disuatu saat nanti. Tapi jika sudah ditawari untuk menjadi kakak angkatnya begitu, mungkin itu sudah menjadi sebuah jawaban kalau saya tidak akan pernah bisa menjadi kekasihnya. Dan itu juga bisa
Akhirnya gaun yang dinginkan Andara ditemukan juga dibutiknya. "Gila lo, Sob. Nggak nyangka pacar lo artis," bisik Cheng Lie pada saya. Saya hanya senyum-senyum sendiri, membiarkan dia berhalusinasi sendiri. Soalnya jika saya jelaskan bagaimana hubungan kami sebenarnya, pasti akan Panjang ceritanya. Jujur saya senang melihat senyum bahagia Andara saat dia menemukan gaun yang diinginkannya itu. Saya pun senang sudah bisa membantunya menyelesaikan masalahnya. Saya yakin, suatu saat pasti ada sebuah keajaiban. Ya, suatu saat nanti Andara tahu kalau kakak angkatnya ini mencintai dia dan dia akhirnya menerima cinta saya apa adanya. Mungkin kah? "Kakak!" "Iya dek." Kami bicara di telepon. "Kakak lagi apa?" "Kakak abis nulis." "Udah dikirim?" "Udah." "Ada aku kan di sana?" “Nggak ada.” “Kok nggak ada?” “Kalo peran Siti, ada.” Peran Siti ini adalah nama peran yang dimainkann
Andara pulang sambil membawa oleh-oleh untuk kami. Andara menarik saya menuju ke kamarnya. Saya heran. Setiba di kamarnya, Andara mencari sesuatu di rak bukunya, kemudian dia mengeluarkan sebuah album foto dan menunjukkannya satu persatu kepada saya. "Ini waktu aku SMA, kak. Jangan diketawain ya," pinta Andara pada saya. Saya sebenarnya terkejut. Di foto itu Andara tampak berkulit agak gelap dan hidungnya agak pesek. Tapi biar begitu Andara masih terlihat sangat manis. "Kok beda banget sama sekarang?" tanya saya heran. "Tuntutan, Kak. Waktu aku jadi model, managerku yang lama nyuruh aku operasi hidung biar makin mancung, terus nyuruh aku suntik putih juga," ucap Andara jujur pada saya. Ya, sebagaimana yang saya ketahui, memang banyak artis-artis yang melakukan hal itu. Walau tidak semuanya, tapi kebanyakan memang begitu. Tujuannya tidak lain agar bisa terlihat menarik di layar kaca atau layar lebar. "Padahal kamu nggak operasi hidung d
Di dalam kostan, saya merenung cukup lama. Saya tidak bisa seperti ini dengan Andara. Saya sudah kelewat batas. Akhirnya, hari itu juga saya blokir nomor Andara dan saya berjanji untuk tidak menghubunginya dan menemuinya lagi. Saya mengabaikan janji saya pada mamahnya. Ini demi kebaikan. Apakah saya bisa? Sudah hampir tiga hari, saya benar-benar menghindari Andara. Saya sengaja tidur di kostan Andi untuk menghindarinya. Nomornya masih saya blokir. Saya yakin, dia pasti mendatangi kostan saya. Sebenarnya saya sedih dan merasa bersalah karena sudah mengabaikannya. Tapi sebagai manusia yang masih berjuang untuk beriman, saya paham bahwa yang saya lakukan ke Andara adalah sebuah kesalahan. Saya tidak ingin kesalahan itu berlarut-larut. Hari itu saya datang ke kantor PH untuk mengikuti rutinitas seperti biasa ; yaitu setiap dua kali dalam seminggu saya harus brainstorming dengan headwriter saya untuk mengajukan sinopsis dan membuat plot untuk episode lan
Akhirnya saya terpaksa buru-buru mengganti pakaian dan langsung menemuinya di depan gang. Benar saja, Andara sudah menunggu saya dalam mobilnya. Kami pun pergi menuju cafe. Saya diam saja. Andara fokus menyetir sambil teleponan dengan managernya si Ira. "Ini aku lagi di jalan sama Kakak." Selanjutnya, dia masih teleponan dengan Ira sampai kami tiba di parkiran. Sebagaimana dirinya dan Ira yang sesama perempuan, mereka mengobrol ngalor ngidul tak ada putus-putusnya, tapi tak ada satupun bahasan mengenai seseorang yang akan dikenalkan Andara pada saya. Padahal saya sangat perlu kisi-kisi itu. Saat itu juga Andara menyudahi teleponnya dengan Ira. Andara mengajak saya menuju lift. Ketakutan saya semakin menjadi. Sungguh saya tidak siap jika benar bahwa Andara akan mengenalkan pacar barunya kepada saya nanti. Kami pun tiba di lantai paling atas di gedung itu. Sesaat kemudian saya melihat pelayan perempuan yang bekerja di café langganan kami tiba-tiba ada di sana m
Setelah itu, pergilah kami ke tempat yang tidak seharusnya saya kunjungi. Alex memesan minuman di ruangan gelap penuh cahaya laser itu. Musik DJ mengalun, memekakkan gendang telinga. Saya pun minum. Segelas, dua gelas, tiga gelas hingga saya ambruk bersama rasa sakit hati saya melihat Andara yang tampak mesra dengan Alex. Andara tampak panik melihat saya ambruk. Setelah itu saya tidak tahu lagi apa yang terjadi. Saya tersadar saat mobil yang dikendarai Alex bersama Andara tiba di depan gang kostan saya. Alex mencoba menuntun saya. "Nggak usah, saya bisa jalan sendiri," ucap saya pada Alex. "Nggak apa-apa kak, biar aku anter sampai rumah kakak," ucap Alex pada saya. Saya merasa jijik mendengarnya memanggil saya kakak. "Iya, Kak. Biar Alex anterin kakak ya?" Jujur, kepala saya masih berat rasanya. Saya pun mengangguk. Membiarkan Alex menuntun saya berjalan menuju kostan. Di tengah jalan saya berhenti. "Di sini aja," pinta saya pada Alex.