Share

7. Apakah Dia Suka Saya?

Kami pun makan malam bersama di café yang sama tempat pertama dia mengajak saya makan malam. Kebetulan yang melayani kami adalah pelayan yang dulu menuduh saya belum membayar bill. Pelayan itu tampak malu melayani saya. Saya mencoba bersikap biasa saja, pura-pura lupa. Tak berapa lama kemudian menu makanan yang kami pesan datang. Saya dan Andara langsung melahapnya.

“Gimana nulisnya, Kak?” tanya Andara sambil melahap menu makanan di hadapannya.

“Alhamdulillah, lancar-lancar aja.”

Andara mengangguk.

“Menurut kakak, acting aku di sitkom udah bagus belum?”

“Udah, kok.”

“Beneran?”

“Saya serius.”

“Kalo ada yang kurang bilang aja kak, nanti aku perbaiki.”

“Nggak ada yang kurang kok. Peran Siti yang kamu mainkan di sana sudah bagus kok.”

Andara tampak senang dipuji. Setelahnya kami mengobrol banyak lagi. Ngalor ngidul membicarakan apapun. Saya pun akhirnya cerita soal Ira yang salah ngasih minuman ke saya. Andara tertawa mendengarnya dan berjanji akan menghukum Ira. Saya heran, akan menghukum seperti apa? Andara bilang hukumannya akan meminta Ira memesankan minuman soda dan menyuruhnya mengirim ke kostan saya.

“Nggak usah,” kata saya pada Andara.

“Kenapa?”

“Minuman soda itu mengerikan,” jawab saya.

“Mengerikan gimana?”

“Katanya berbahaya buat mereka yang giginya udah banyak yang bolong.”

Andara makin heran.

“Emang gigi kakak banyak yang bolong?”

“Bukan gigi saya, mungkin gigi pelayan perempuan itu.” Saya bicara begitu sambil menunjuk ke arah pelayan perempuan yang bermasalah soal bill dengan saya.

Andara penasaran lalu memanggil pelayan perempuan itu. Saya kaget. Pelayan perempuan menghampiri kami.

“Kenapa, Mbak? Mau pesan menu lagi?” tanya pelayan perempuan itu dengan penasaran.

“Nggak, aku mau nanya, emang gigi mbak banyak yang bolong?”

Pelayan perempuan itu tampak bingung. Saya membuang muka biar tidak ketahuan bahwa saya adalah tersangka utama dari pembahasan gigi bolong itu.

Setelah selesai makan malam bersama di café itu, kami pulang. Saya menawarkan diri untuk membayar bill-nya. Andara tidak mau. Akhirnya saya biarkan Andara membayar bill-nya. Saya pulang dengan menghindari pelayan perempuan yang berdiri di dekat meja kasir yang tampak murka pada saya karena dituduh giginya bolong-bolong.

Sesampainya di rumah, Andara menelepon saya lagi.

“Halo, Kak.”

“Halo.”

Kami seperti sepasang kekasih yang pulang kencan lalu saling memastikan apakah kami masih memiliki kerinduan yang sama.

“Makasih ya kak, udah mau makan malam sama aku.”

“Sama-sama.”

Saya kembali bertanya dalam hati. Apa maksudnya dia mengucapkan terima kasih. Harusnya saya yang berterima kasih karena sudah diajak makan dan ditraktir pula.

“Kakak udah ngantuk?” tanya Andara kemudian.

“Belum.”

“Kok belum?”

“Di langit nggak ada bintang buat dihitung. Soalnya langit Jakarta lagi mendung”

Andara tertawa.

“Hitung aja rambut kakak, jumlahnya sama nggak taunya sama jumlah bintang kok.”

Kini giliran saya yang tertawa. Setelahnya kami menyudahi pembicaraan melalui telepon karena besok Andara ada jadwal shooting pagi-pagi. Setelah itu dengan bodohnya saya benar-benar menghitung jumlah rambut saya.

“Satu.”

“Dua”

“Tiga”

“Empat”

Kemudian gelap.

Esok paginya saat saya hendak berangkat brainstorming ke kantor PH, Andara mengirim makanan lagi ke kostan saya. Katanya ditelepon, saya harus sarapan yang sehat biar imajinasinya lancar. Jujur, satu sisi saya sangat senang mendapat perhatian darinya. Siapa yang tidak senang mendapatkan perhatian dari orang yang kita suka? Ya, saya menyukainya karena dia cantik. Saya tidak tahu ini bisa disebut cinta apa bukan. Yang jelas, lelaki normal manapun pasti suka pada perempuan cantik. Karena saya suka pada perempuan cantik, minimal saya tahu kalau saya normal.

Setelah selesai brainstorming di kantor PH bersama headwriter dan penulis yang lain, saya mengajak Andi mengopi di warkop. Andi heran, karena biasanya sehabis brainstorming di kantor, saya selalu ingin buru-buru pulang dan selalu menolak tawaran Andi untuk nongkrong, tapi kali ini saya yang mengajaknya nongkrong duluan.

“Tumbenan lo. Ada apa?” tanya Andi heran saat kami sudah di warkop.

“Nggak ada apa-apa, pengen nongkrong sama kamu aja,” jawab saya. Kemudian saya menyeruput kopi hitam yang sudah tersaji di hadapan saya.

“Kagak mungkin, pasti ada apa-apanya nih.”

Saya sebenarnya ingin curhat ke dia, tapi setelah saya ingat kalau dia tipikal orang yang tidak bisa menjaga rahasia, akhirnya saya urungkan niat itu, karena bagaimana pun si Andara berada dalam lingkaran pekerjaan kami. Saya khawatir akan bermasalah jika Andi tahu. Akan tetapi, dia teman baik satu-satunya yang sering memberikan solusi terbaik pada saya saat saya ada masalah.

“Sob, kok malah ngelamun?” tanya Andi.

Saya berpikir, mungkin subjeknya saja yang harus saya ganti. Saya akan curhat, tapi seolah itu bukan masalah saya.

“Kalo ada cewek baik sama kita, karena kita pernah nolong dia, itu bisa dikatakan dia suka sama kita nggak ya?” tanya saya dengan penuh keberanian pada Andi.

Andi tampak heran.

“Siapa?”

“Jawab dulu.”

“Siapa dulu?” tegas Andi.

“Temen saya.”

Andi heran.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ar_key
wwkkkkk ada yang mulai suka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status