Kami pun makan malam bersama di café yang sama tempat pertama dia mengajak saya makan malam. Kebetulan yang melayani kami adalah pelayan yang dulu menuduh saya belum membayar bill. Pelayan itu tampak malu melayani saya. Saya mencoba bersikap biasa saja, pura-pura lupa. Tak berapa lama kemudian menu makanan yang kami pesan datang. Saya dan Andara langsung melahapnya.
“Gimana nulisnya, Kak?” tanya Andara sambil melahap menu makanan di hadapannya.
“Alhamdulillah, lancar-lancar aja.”
Andara mengangguk.
“Menurut kakak, acting aku di sitkom udah bagus belum?”
“Udah, kok.”
“Beneran?”
“Saya serius.”
“Kalo ada yang kurang bilang aja kak, nanti aku perbaiki.”
“Nggak ada yang kurang kok. Peran Siti yang kamu mainkan di sana sudah bagus kok.”
Andara tampak senang dipuji. Setelahnya kami mengobrol banyak lagi. Ngalor ngidul membicarakan apapun. Saya pun akhirnya cerita soal Ira yang salah ngasih minuman ke saya. Andara tertawa mendengarnya dan berjanji akan menghukum Ira. Saya heran, akan menghukum seperti apa? Andara bilang hukumannya akan meminta Ira memesankan minuman soda dan menyuruhnya mengirim ke kostan saya.
“Nggak usah,” kata saya pada Andara.
“Kenapa?”
“Minuman soda itu mengerikan,” jawab saya.
“Mengerikan gimana?”
“Katanya berbahaya buat mereka yang giginya udah banyak yang bolong.”
Andara makin heran.
“Emang gigi kakak banyak yang bolong?”
“Bukan gigi saya, mungkin gigi pelayan perempuan itu.” Saya bicara begitu sambil menunjuk ke arah pelayan perempuan yang bermasalah soal bill dengan saya.
Andara penasaran lalu memanggil pelayan perempuan itu. Saya kaget. Pelayan perempuan menghampiri kami.
“Kenapa, Mbak? Mau pesan menu lagi?” tanya pelayan perempuan itu dengan penasaran.
“Nggak, aku mau nanya, emang gigi mbak banyak yang bolong?”
Pelayan perempuan itu tampak bingung. Saya membuang muka biar tidak ketahuan bahwa saya adalah tersangka utama dari pembahasan gigi bolong itu.
Setelah selesai makan malam bersama di café itu, kami pulang. Saya menawarkan diri untuk membayar bill-nya. Andara tidak mau. Akhirnya saya biarkan Andara membayar bill-nya. Saya pulang dengan menghindari pelayan perempuan yang berdiri di dekat meja kasir yang tampak murka pada saya karena dituduh giginya bolong-bolong.
Sesampainya di rumah, Andara menelepon saya lagi.
“Halo, Kak.”
“Halo.”
Kami seperti sepasang kekasih yang pulang kencan lalu saling memastikan apakah kami masih memiliki kerinduan yang sama.
“Makasih ya kak, udah mau makan malam sama aku.”
“Sama-sama.”
Saya kembali bertanya dalam hati. Apa maksudnya dia mengucapkan terima kasih. Harusnya saya yang berterima kasih karena sudah diajak makan dan ditraktir pula.
“Kakak udah ngantuk?” tanya Andara kemudian.
“Belum.”
“Kok belum?”
“Di langit nggak ada bintang buat dihitung. Soalnya langit Jakarta lagi mendung”
Andara tertawa.
“Hitung aja rambut kakak, jumlahnya sama nggak taunya sama jumlah bintang kok.”
Kini giliran saya yang tertawa. Setelahnya kami menyudahi pembicaraan melalui telepon karena besok Andara ada jadwal shooting pagi-pagi. Setelah itu dengan bodohnya saya benar-benar menghitung jumlah rambut saya.
“Satu.”
“Dua”
“Tiga”
“Empat”
Kemudian gelap.
Esok paginya saat saya hendak berangkat brainstorming ke kantor PH, Andara mengirim makanan lagi ke kostan saya. Katanya ditelepon, saya harus sarapan yang sehat biar imajinasinya lancar. Jujur, satu sisi saya sangat senang mendapat perhatian darinya. Siapa yang tidak senang mendapatkan perhatian dari orang yang kita suka? Ya, saya menyukainya karena dia cantik. Saya tidak tahu ini bisa disebut cinta apa bukan. Yang jelas, lelaki normal manapun pasti suka pada perempuan cantik. Karena saya suka pada perempuan cantik, minimal saya tahu kalau saya normal.
Setelah selesai brainstorming di kantor PH bersama headwriter dan penulis yang lain, saya mengajak Andi mengopi di warkop. Andi heran, karena biasanya sehabis brainstorming di kantor, saya selalu ingin buru-buru pulang dan selalu menolak tawaran Andi untuk nongkrong, tapi kali ini saya yang mengajaknya nongkrong duluan.
“Tumbenan lo. Ada apa?” tanya Andi heran saat kami sudah di warkop.
“Nggak ada apa-apa, pengen nongkrong sama kamu aja,” jawab saya. Kemudian saya menyeruput kopi hitam yang sudah tersaji di hadapan saya.
“Kagak mungkin, pasti ada apa-apanya nih.”
Saya sebenarnya ingin curhat ke dia, tapi setelah saya ingat kalau dia tipikal orang yang tidak bisa menjaga rahasia, akhirnya saya urungkan niat itu, karena bagaimana pun si Andara berada dalam lingkaran pekerjaan kami. Saya khawatir akan bermasalah jika Andi tahu. Akan tetapi, dia teman baik satu-satunya yang sering memberikan solusi terbaik pada saya saat saya ada masalah.
“Sob, kok malah ngelamun?” tanya Andi.
Saya berpikir, mungkin subjeknya saja yang harus saya ganti. Saya akan curhat, tapi seolah itu bukan masalah saya.
“Kalo ada cewek baik sama kita, karena kita pernah nolong dia, itu bisa dikatakan dia suka sama kita nggak ya?” tanya saya dengan penuh keberanian pada Andi.
Andi tampak heran.
“Siapa?”
“Jawab dulu.”
“Siapa dulu?” tegas Andi.
“Temen saya.”
Andi heran.
“Perasaan temen elo cuman gue dah.” Saya menghela napas. Emosi. “Udah jawab aja, ribet amat sih pengen tau siapanya.” Andi kemudian berpikir. “Bisa jadi sih.” Saya senyum-senyum sendiri mendengar jawaban Andi. Jawaban Andi dan Yongki sama. Mungkin benar kalau Andara memang menyukai saya. Kalau dia tidak suka, tidak mungkin dia bisa sebaik itu sama saya. “Tapi tunggu dulu,” Perkataan itu memadamkan senyum saya yang terlanjur merekah. “Kenapa?” “Jangan keburu ge er dulu.” “Kok?” “Ada juga orang baik karena ada maunya.” “Contohnya?” “Ya kayak si Indro, anggota team penulis kita.” “Emang dia kenapa?” “Ada artis cewek yang deketin dia dan baik banget sama dia. Dia nyangka artis itu suka sama dia, tahunya mau manfaatin doang biar si artis itu sering dapet peran ditulisannya.” Saya kembali layu. Kebetulan si Andara ini adalah artis yang main di sitkom yang sedang
Sesaat kemudian saya pandangi wajahnya dengan gugup. “Andara?” “Iya, Kak.” Andara tampak heran. “Saya boleh nanya? “Mau nanya apa kak? Setelah itu saya berpikir lagi. Saya mendadak gugup untuk menanyakan itu. Akhirnya saya urungkan niat itu. “Nggak jadi aja deh.” “Kok nggak jadi?” “Nggak apa-apa.” “Yaudah, kalo gitu, aku aja yang nanya ke kakak ya?” Deg. Dia mau bertanya apa ke saya? Dengan gugup akhirnya saya mengiyakan ucapannya. "Kakak mau jadi kakak angkat aku nggak?" tanya Andara seketika. Dia mengatakan itu dengan tulus. Saya diam sejenak. Sungguh hati kecil saya bukan itu yang saya inginkan. Walau berlebihan, setidaknya biarkan saya berjuang dulu untuk mengejar dan menyatakan cinta disuatu saat nanti. Tapi jika sudah ditawari untuk menjadi kakak angkatnya begitu, mungkin itu sudah menjadi sebuah jawaban kalau saya tidak akan pernah bisa menjadi kekasihnya. Dan itu juga bisa
Akhirnya gaun yang dinginkan Andara ditemukan juga dibutiknya. "Gila lo, Sob. Nggak nyangka pacar lo artis," bisik Cheng Lie pada saya. Saya hanya senyum-senyum sendiri, membiarkan dia berhalusinasi sendiri. Soalnya jika saya jelaskan bagaimana hubungan kami sebenarnya, pasti akan Panjang ceritanya. Jujur saya senang melihat senyum bahagia Andara saat dia menemukan gaun yang diinginkannya itu. Saya pun senang sudah bisa membantunya menyelesaikan masalahnya. Saya yakin, suatu saat pasti ada sebuah keajaiban. Ya, suatu saat nanti Andara tahu kalau kakak angkatnya ini mencintai dia dan dia akhirnya menerima cinta saya apa adanya. Mungkin kah? "Kakak!" "Iya dek." Kami bicara di telepon. "Kakak lagi apa?" "Kakak abis nulis." "Udah dikirim?" "Udah." "Ada aku kan di sana?" “Nggak ada.” “Kok nggak ada?” “Kalo peran Siti, ada.” Peran Siti ini adalah nama peran yang dimainkann
Andara pulang sambil membawa oleh-oleh untuk kami. Andara menarik saya menuju ke kamarnya. Saya heran. Setiba di kamarnya, Andara mencari sesuatu di rak bukunya, kemudian dia mengeluarkan sebuah album foto dan menunjukkannya satu persatu kepada saya. "Ini waktu aku SMA, kak. Jangan diketawain ya," pinta Andara pada saya. Saya sebenarnya terkejut. Di foto itu Andara tampak berkulit agak gelap dan hidungnya agak pesek. Tapi biar begitu Andara masih terlihat sangat manis. "Kok beda banget sama sekarang?" tanya saya heran. "Tuntutan, Kak. Waktu aku jadi model, managerku yang lama nyuruh aku operasi hidung biar makin mancung, terus nyuruh aku suntik putih juga," ucap Andara jujur pada saya. Ya, sebagaimana yang saya ketahui, memang banyak artis-artis yang melakukan hal itu. Walau tidak semuanya, tapi kebanyakan memang begitu. Tujuannya tidak lain agar bisa terlihat menarik di layar kaca atau layar lebar. "Padahal kamu nggak operasi hidung d
Di dalam kostan, saya merenung cukup lama. Saya tidak bisa seperti ini dengan Andara. Saya sudah kelewat batas. Akhirnya, hari itu juga saya blokir nomor Andara dan saya berjanji untuk tidak menghubunginya dan menemuinya lagi. Saya mengabaikan janji saya pada mamahnya. Ini demi kebaikan. Apakah saya bisa? Sudah hampir tiga hari, saya benar-benar menghindari Andara. Saya sengaja tidur di kostan Andi untuk menghindarinya. Nomornya masih saya blokir. Saya yakin, dia pasti mendatangi kostan saya. Sebenarnya saya sedih dan merasa bersalah karena sudah mengabaikannya. Tapi sebagai manusia yang masih berjuang untuk beriman, saya paham bahwa yang saya lakukan ke Andara adalah sebuah kesalahan. Saya tidak ingin kesalahan itu berlarut-larut. Hari itu saya datang ke kantor PH untuk mengikuti rutinitas seperti biasa ; yaitu setiap dua kali dalam seminggu saya harus brainstorming dengan headwriter saya untuk mengajukan sinopsis dan membuat plot untuk episode lan
Akhirnya saya terpaksa buru-buru mengganti pakaian dan langsung menemuinya di depan gang. Benar saja, Andara sudah menunggu saya dalam mobilnya. Kami pun pergi menuju cafe. Saya diam saja. Andara fokus menyetir sambil teleponan dengan managernya si Ira. "Ini aku lagi di jalan sama Kakak." Selanjutnya, dia masih teleponan dengan Ira sampai kami tiba di parkiran. Sebagaimana dirinya dan Ira yang sesama perempuan, mereka mengobrol ngalor ngidul tak ada putus-putusnya, tapi tak ada satupun bahasan mengenai seseorang yang akan dikenalkan Andara pada saya. Padahal saya sangat perlu kisi-kisi itu. Saat itu juga Andara menyudahi teleponnya dengan Ira. Andara mengajak saya menuju lift. Ketakutan saya semakin menjadi. Sungguh saya tidak siap jika benar bahwa Andara akan mengenalkan pacar barunya kepada saya nanti. Kami pun tiba di lantai paling atas di gedung itu. Sesaat kemudian saya melihat pelayan perempuan yang bekerja di café langganan kami tiba-tiba ada di sana m
Setelah itu, pergilah kami ke tempat yang tidak seharusnya saya kunjungi. Alex memesan minuman di ruangan gelap penuh cahaya laser itu. Musik DJ mengalun, memekakkan gendang telinga. Saya pun minum. Segelas, dua gelas, tiga gelas hingga saya ambruk bersama rasa sakit hati saya melihat Andara yang tampak mesra dengan Alex. Andara tampak panik melihat saya ambruk. Setelah itu saya tidak tahu lagi apa yang terjadi. Saya tersadar saat mobil yang dikendarai Alex bersama Andara tiba di depan gang kostan saya. Alex mencoba menuntun saya. "Nggak usah, saya bisa jalan sendiri," ucap saya pada Alex. "Nggak apa-apa kak, biar aku anter sampai rumah kakak," ucap Alex pada saya. Saya merasa jijik mendengarnya memanggil saya kakak. "Iya, Kak. Biar Alex anterin kakak ya?" Jujur, kepala saya masih berat rasanya. Saya pun mengangguk. Membiarkan Alex menuntun saya berjalan menuju kostan. Di tengah jalan saya berhenti. "Di sini aja," pinta saya pada Alex.
Hari-hari berikutnya saya kembali diteror via telepon oleh Andara. Teleponnya tentang Alex semua. "Kak tau nggak, tadi Andara ngasih bunga." "Kak, Alex ngajak aku jalan-jalan ke Bali." "Kak, kok telepon aku nggak di angkat sama Alex sih." "Kak, Alex mau ngenalin aku sama papa mamanya." "Kak!" "Kaak!" "Kaaak! Saya pun menjerit di pinggir sungai Ciliwung. Membangunkan para tetangga yang sedang terlelap tidur. Saya benar-benar tidak tahu apa yang harus saya lakukan kepada hati saya yang terluka. Saya benar-benar sudah tidak tahan menahan kecemburuan itu. Kepada bintang dan rembulan di malam itu saya utarakan semua isi hati saya. Sebagaimana kita tahu, mereka tak dapat memberi saya solusi karena tak bisa bicara apalagi mendengar. Dan esoknya, saya utarakan isi hati saya ke pada pohon-pohon di taman kota. Di sana malah saya disangka orang gila. Juga pada