POV : BenAku mencintai Mala, tak pernah terpikirkan olehku untuk menyakitinya. Aku tak pernah berniat membohongi istriku. Semua perkataanku selaras dengan apa yang kulakukan. Tapi kondisiku memang sempat tidak terkontrol, dan sekarang bahkan menjadi diluar kendali. Aku bahkan tak tahu apa yang harus kulakukan dan bagaimana caraku untuk menjelaskan semuanya kepada Mala? Sekali lagi kutegaskan, aku mencintai Mala dan tak ingin kehilangannya sampai kapanpun!Aku tidak berbohong saat aku mengatakan akan pergi hiking ke gunung. Aku memang ke gunung, tapi bukan acara kepenulisan seperti yang kukatakan pada ibu mertuaku, ibunya Mala, saat aku mengantarkan Kayas untuk menitipkannya di rumah neneknya.Aku ke gunung untuk healing. Aku biasa melakukannya dan Mala tahu itu. Saat aku jengah, suntuk, tak punya inspirasi, aku kerap melakukan healing sendiri. Entah itu pergi ke gunung, ke pantai, ke hutan, ke pasar, ke mal, atau sekadar duduk di pesawahan sendirian. Dan akhir-akhir ini Mala sangat s
Aku menurunkan kecepatan laju kendaraan, saat mobil yang kukendarai semakin mendekati rumah Mala. Sedikit menahan diri, berniat untuk memantau situasi terlebih dulu sebelum benar-benar mengejutkannya dengan mendatangi Mala dan mengajaknya berangkat ke bandara bersama. Tapi mendadak perasaan excited dalam diriku berganti keresahan, saat kulihat sebuah mobil terparkir di depan gerbang rumah Mala. Yang kutahu pasti itu mobil milik Ben, suami Mala! Rupanya Ben sudah pulang! Kekecewaan mendadak menyeruak dalam diriku! Segala rencana yang tersusun rapi di kepala buyar seketika.Aku melajukan mobilku dengan perlahan saat melewati rumah Mala. Kulihat jelas Mala berdiri di teras rumah dengan kopernya, bersama Ben! Namun keduanya tidak terlihat baik!“Memang takdir tak pernah merelakanku untuk menyerah.” gumamku lega dan senang hati!Jelas Mala dan Ben tengah berdebat. Dan melihat pertengkaran suami istri yang baru bertemu setelah beberapa hari berpisah itu, semangatku kembali menggebu. Aku men
Aku melipat lengan kameja kerjaku, memutuskan untuk tidak memakai jas maupun dasi serta membiarkan kancing bagian atasnya terbuka. Sengaja pagi ini aku mengenakan style santai namun tetap formal. Demi kenyamananku dan juga sebagai alibi dari rencana licik di kepalaku. Pagi ini jadwal keberangkatan Mala dan Nia ke Bali untuk pekerjaan dinas luar mereka yang memang sudah kuatur dan rencanakan. Sejujurnya pekerjaan itu bisa kutangani sendiri tanpa Mala ataupun Nia. Namun karena kesempatanku untuk dekat dengan Mala adalah saat dia jauh dari rumahnya, maka aku memanfaatkan segala jenis pekerjaan area luar kota untuk membuat Mala bekerja di luar kota semata-mata demi aku bisa dekat dengan Mala. Kenapa Nia harus ada? Karena jika Mala saja yang kutugaskan pergi, maka tetap akan sulit untuk menciptakan momen bersama Mala. Dia akan sangat waspada dan berhati-hati.Aku memutuskan untuk tidak ke kantor, segala rencana licik sudah terangkai dengan apik di dalam kepalaku. Segera aku memasukkan bebe
POV : Sam.Aku terbangun dari tidurku, kebiasaan membuatku langsung menoleh pada jam yang tergantung di dinding kamar. Pukul 3 dini hari, bahkan alarm handphoneku belum berbunyi karena memang disetel untuk menyala setiap jam 04.30 pagi. Aku bangun lalu terduduk di tepi ranjang, menoleh sebentar ke belakang dan kulihat seraut cantik wajah Camelia tengah terlelap di sisi ranjang lainnya yang bersebrangan denganku.Entah jam berapa Camelia pulang semalam, mengingat saat aku sampai di rumah, aku di sambut Bi Inah yang membuka pintu rumah."Nyonya belum pulang, Tuan. Sementara Den Bambang sudah tidur." kata Bi Inah melaporkan."Baik, Bi! Terimakasih informasinya." kataku seraya berlalu melewatinya."Mau disipakan untuk makan malam, Tuan?" tanya Bi Inah kemudian."Tidak perlu, saya sudah makan." jawabku seraya terus melangkah dan naik ke tangga, untuk menuju kamarku yang memang ada di lantai dua.Dan sekarang aku melihat Camelia terlelap di ranjangku. Lebih tepatnya kamar kami, kamarku dan
"Selamat pagi! Mohon maaf, tujuan Adek-nya mau kemana ya?" tanya sopir taxi dengan sopan, seraya menoleh dan tersenyum.Aku mengernyit sesaat saat dipanggil adek oleh bapak sopir taxi yang terlihat berusia paruh baya itu. "Apa karena pakaian yang kukenakan? Atau memang aku yang terlihat muda?" pikirku sedikit senang."Tolong antarkan saya ke Bandara Soekarno-Hatta! Tetapi mohon maaf, sebelumnya minta tolong mampir dulu ke alamat ini!" aku menunjukkan alamat lengkap rumah ibu yang tertera di layar handphoneku.Sesaat Pak Sopir membaca alamatnya di handphone yang kutunjukkan. "Baik." ucapnya, lantas kembali berkonsentrasi dengan kemudinya dan mulai melajukan mobil.Sedang isi kepalaku masih mumet dikarenakan pertengkaran singkatku dengan Ben yang baru saja pulang. Setelah hampir seminggu tidak bertemu dan tidak berkomunikasi dengan baik, kita bahkan bertengkar saat akhirnya bisa bertemu lagi. Aku tidak tahu bagaimana pemikiranku, aku merasa marah, kesal, dan sakit hati. Tapi saat aku me
Rasanya tidak mungkin bisa tertidur cepat dengan perasaan resah seperti ini, hanya akan berguling-guling tidak jelas di kasur dengan isi kepala berisik yang memusingkan. Untuk mengalihkan perasaan tidak nyaman, aku memutuskan mulai beres-beres dan packing. Beruntung, untuk keperluan toiletries, make up, vitamin dan obat-obatan, aku tidak perlu repot-repot packing lagi. Karena sepulang dari Bali kemarin bahkan belum sempat aku keluarkan dari masing-masing pouch-nya. Bahkan kopernyapun belum aku bongkar sama sekali. Aku lantas membuka koper, mengeluarkan pakaian dan memasukkannya ke keranjang laundry lalu menaruhnya di ruang cuci. Memisahkan pakaian dalam yang bersih dari lemari dan memasukkannya ke pouch. Selain itu aku memisahkan dua set baju kerja untuk meeting di Bali. Sebenarnya cukup satu, tapi aku menambahkan satu set lagi sebagai cadangan, khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan.Schedulenya adalah, hari pertama berangkat ke Bali dengan penerbangan pagi. Sampai di sana langsu
"Duluan ya, mau jemput Kayas!" bisikku pada Nia yang masih tampak fokus pada layar komputernya.Nia menoleh, tampak sedikit terkejut dengan aku yang tiba-tiba sudah di sebelahnya."Oh oke, aku masih harus menyiapkan beberapa dokumen untuk besok. Kalau misal ada pekerjaan yang perlu bantuan untuk kusiapkan, bilang saja ya!" ucap Nia seraya tersenyum.Senyumannya selalu manis dan terlihat tulus, tapi entah mengapa selalu menimbulkan perasaan bersalah pada diriku. Padahal sungguh, jika ada yang salah dengan Sam, itu murni kesalahan Sam! Aku tidak berniat buruk sedikitpun terhadap Nia serta hubungannya dengan Sam!"Aman." jawabku lantas melambaikan tangan dan berlalu pergi. Semua pekerjaan yang sudah dijabarkan Nia untuk persiapan ke Bali besok, sudah ada di flasdisk kerja yang selalu kubawa di dalam tas kerjaku. Hanya perlu revisi sedikit di beberapa bagiannya saja.Aku naik taxi dan langsung menuju ke rumah ibu karena Kayas ada di sana. Ben masih belum pulang, sehingga saat jam pulang s
Handphoneku bergetar, kulihat nama Sam tertera di sana. Aku tidak langsung mengangkatnya dan lantas menoleh ke ruangan Sam, tampak di balik pintu kacanya Sam menatapku seraya menempelkan handphone ke telinganya, cukup terlihat jelas karena Sam berdiri tepat di depan pintu dengan kondisi ruangan yang menyala terang. Aku menduga ini prihal laporan yang tadi diminta Sam sebelum Pak Baroto datang, yang memang belum sempat dilaporkan dan ditinjau olehnya.Aku mengambil berkas yang sudah kususun rapi, dan segera ke ruangan Sam. Kulirik kursi Nia kosong, entah dia ke toilet atau kemana, aku tidak tahu pasti. Saat aku datang, Sam lekas membuka pintu kaca ruangannya sebelum aku sempat mendorongnya.“Permisi.” ucapku formal seraya menganggukkan kepala sopan.Sam berbalik dan melangkah ke kursi kerjanya, sedang tirai masih menutup seluruh jendela kaca ruangannya, kecuali pintu yang memang tak ada tirai penutup untuk itu.“Duduk!” titah Sam.Dengan patuh aku duduk di kursi depan meja kerja Sam, d
POV : SamSepeninggal ayah, aku berdiri cukup lama di depan pintu kaca. Menatap sedih sosok Mala di meja kerjanya yang tengah sibuk merapihkan dokumen laporannya yang tidak lagi tersusun dengan benar. Perempuan itu sudah membuat jantungku berdebar bahkan sejak usiaku meginjak 15 tahun. Mungkin Mala tidak mengingatnya, bahkan tidak menyadarinya. Tapi aku yakin aku tidak salah, aku bisa mengingat Mala dari sejak pertama melihatnya. Mala memang tidak banyak berubah, dia hanya bertambah tinggi dan bertambah umurnya saja. Wajahnya masih seperti itu, dari dia berusia 15 tahun sampai sekarang dia berusia 27 tahun, wajahnya tak banyak berubah. Tetap manis dan cantik dengan tipe wajah baby face.Aku dan Mala seperti ditarik ulur oleh takdir. Meski Mala tetap di tempatnya seperti pantai yang selalu indah, sedang aku yang harus terombang-ambing oleh ombak kehidupan! Sesaat mendekat kepadanya dan sesaat kemudian harus terseret arus lantas menjauh ke tengah laut, sampai tiba-tiba angin membawaku ke