Eps 2
Suara teriakan seorang laki-laki muda yang keluar dari distro sangat menggema di telinga. Sementara orang-orang di sekitar lokasi Swari menabrak segera memberi pertolongan pada pengendara yang ditabraknya.
"Mbak tidak apa-apa?" tanya seorang laki-laki paruh baya mendekati Swari lalu dijawabnya dengan gelengan kepala.
"Alhamdulillah tidak apa-apa, anak kecil yang saya tabrak tadi bagaimana kondisinya Pak?" tanya Swari dengan perasaan cemas. Dia sudah mengabaikan anak muda yang teriak keluar dari distro. Dia lebih mementingkan nyawa orang daripada mengurusi mobil lecet.
"Anak itu baik-baik saja Mbak. Dia selamat."
Sebuah keajaiban apa yang dipikirkan di otak Swari ternyata berbeda dengan kehendak Tuhan. Mungkin Allah bersama anak yang baik. Swari menghela nafas lega dan segera menepi, sementara motornya dibawa ke pinggir oleh warga.
"Hei, kamu yang membuat mobilku jadi ringsek kan?"
Swari tak menggubris laki-laki yang kelihatan lebih muda darinya. Sepertinya anak sekolah kentara sekali dengan sikapnya. Harusnya dia peduli dan menanyakan keadaan orang lain bukan malah mengkhawatirkan mobilnya.
"Ciihh, memang kamu punya bukti kalau aku yang membuat mobilmu ringsek, hah?" sahut Swari ketus dan menantangnya.
"Lihat itu ada cctv," ucapnya sambil jari telunjuknya mengarah ke sisi atas pojok bangunan distro.
Swari tak mempedulikannya justru balik badan mencari anak kecil yang ditabraknya.
Laki-laki muda itu menarik tangannya secara kasar membuat dadanya sesak dan sebisa mungkin menahan emosinya yang sebentar lagi memuncak.
Dihempaskannya tangan itu, justru dia ingin mengajak berkelahi Swari.
'Isshh dasar bocah tak tahu diri mengajak berkelahi perempuan,' batin Swari.
Swari sudah akan mengayunkan tangkisannya namun salah satu warga segera melerainya.
Bisa jadi bukan Swari yang babak belur tapi laki-laki muda itu yang akan kena pukulan pemilik sabuk hitam itu. Ya, Swari selain jadi mahasiswi dia ikut bela diri karate dengan rambut yang dikuncir menyamarkan kesan tomboynya.
"Pokoknya kamu harus tanggung jawab dengan mobilku atau aku laporkan ke polisi. Bahkan bisa aku laporkan ayahku juga," gertaknya pada Swari.
"Siapa takut? Kamu juga salah, ngapain parkir di sini. Noh lihat ada tanda P di silang," cerocos Swari tak mau kalah."
"Ayo sekarang ikut aku!" Swari sudah di tarik masuk ke mobil oleh laki-laki muda itu.
Namun belum sempat masuk mobil, Swari berlari ke arah warga yang menuntun motornya.
Dia meminta salah satu warga membawa motornya ke bengkel terdekat dan akan segera kembali mengambilnya nanti.
Selain itu, Swari memastikan pengendara yang ditabraknya tidak apa-apa bahkan dia akan memberikan sejumlah uang untuk berobat namun ditolak oleh seorang ibu yang memboncengkan anak kecil tadi.
"Kami tidak apa-apa kok Mbak. Semoga urusan mobilnya segera beres ya. Maaf kami tidak bisa membantu banyak," terang sang ibu pada Swari.
Setelahnya, Swari meminta maaf dan berpamitan mengikuti keinginan bocah ingusan untuk ke kantor polisi.
Sepanjang perjalanan Swari melihat anak laki-laki di sampingnya tampak cemas.
'Jangan-jangan ini mobil bukan miliknya, sepertinya dia ketakutan sekali," batin Swari.
"Hei, kau kenapa ketakutan gitu. Jangan-jangan ini bukan mobilmu ya? Mana mungkin anak kecil diijinkan bawa mobil mewah begini," ejek Swari.
"Namaku Arka bukan hei, lengkapnya Arka Putra Hangga. Jangan mengataiku anak kecil. Ini memang mobil ayahku tapi beliau pasti marah karena mobil kesayangannya rusak. Dan semua ini gara-gara kamu."
"Panggil namaku Swari, bocah. Jangan bawel, tabrakan tadi bukan keinginanku. Salahkan saja pengemudi yang melawan arah jalur lambat dan kabur saat terjadi tabrakan!" pinta Swari dengan santai.
Swari heran pada Arka yang katanya membawanya ke kantor polisi kenapa justru melewati tempat yang dituju tidak segera berhenti.
Selang beberapa menit mobil berhenti di depan rumah besar bergaya modern. Ada satpam yang membukakan pintu gerbang dan mobil sudah terparkir sempurna.
"Ini rumah atau kantor polisi? Kenapa kita nggak berhenti di kantor polisi yang pertama kita lewati?" ungkap Swari heran.
Benar tebakannya Arka anak orang kaya, pasti dia takut dimarahi orang tuanya.
Biarlah nanti aku gunakan sebagai senjata membela diri kalau dia memojokkanku padahal dirinya parkir sembarangan, pikir Swari.
Mereka berdua turun dari mobil dan melangkahkan kaki ke rumah besar.
Rumah yang menurut Swari sangat sejuk dengan taman bunga dan air mancur menghiasi halaman depan.
Dilihatnya beberapa lukisan pemandangan yang terpasang di dinding ruang tamu serta beberapa kaligrafi indah menghiasi ruangan itu.
Hanya ada satu foto keluarga lengkap, Swari memandang lekat foto yang terdiri laki-laki dewasa tampan, anak laki-laki kecil yang pasti si bocah tadi dan perempuan paruh baya.
Eh sebentar, istrinya yang mana. Kenapa lebih tua. Tapi ini lebih mirip neneknya seharusnya.
Swari segera tersadar kenapa malah melamunkan kehidupan orang lain.
Dia digeret begitu saja oleh laki-laki muda mencari ayahnya.
"Mas, di mana?" Suara Raihan terdengar dari seberang."Siapa, Mas." tanya Dena penasaran."Astaga, Mas Ardi di mana? Ingat Mas, Mbak Dena belum ketemu kenapa Mas Ardi sama perempuan lain. Suara siapa perempuan tadi?" teriak Raihan memaksa Ardi menjauhkan ponselnya. "Pakai baju, Sayang. Ada Raihan."Ardi lalu mengubah panggilan Raihan menjadi videocall."Ada apa, Rai?""Mas apa-apaan nggak pakai baju gitu. Mas tidur sama...""Hush, jangan sembarangan. Ini Mas sama Mbak Dena.""Hah?!" Dena menyunggingkan senyum di depan layar ponsel. "Dena! Mana Dena putriku?""Mama!" jerit Dena saat melihat wajah mama Ardi dan mamanya ada di layar menggantikan Raihan yang sudah memberi ruang bagi kedua wanita paruh baya itu. Sorot mata sendu terutama terlukis di wajah Bu Sinta--mama Dena. Mamanya beberapa hari menginap di rumah sahabatnya sekaligus besannya itu. Ia tidak tahan sendirian di rumah kare
"Na, tolong dengarkan aku! Semua bisa diselesaikan dengan baik-baik. Jangan gegabah. Jangan berpikiran sempit. Kamu tidak sendiri, Sayang. Ada aku, mama, papa, teman-teman. Kumohon, buka pintunya, Na!"Teriakan memohon dari Ardi sebagai usaha terakhir setelah dengan kalimat lembut tidak mempan, akhirnya membuahkan hasil.Cklek, Ardi bersyukur Dena mau membuka pintu. Namun, begitu ia masuk kamar mandi, Dena masih terisak. Tubuhnya menggigil karena terlalu lama mengguyur dengan air dari shower."Ya Allah, Dena! Apa yang terjadi? Kenapa kamu jadi begini?!"Ardi meraih handuk lalu mengganti baju Dena dengan bathrope. Ia memapah Dena keluar kamar mandi. Hening, tidak ada yang mau memulai pembicaraan. Ardi membiarkan istrinya tenang dengan memberi segelas teh panas buatannya."Minumlah untuk menghangatkan badanmu, Na!" Ardi memberi ruang pada Dena untuk berpikir dingin supaya tenang hatinya.Tidak berselang lama, Dena justru
Dena berniat menuju restoran untuk menikmati makan malam karena Ardi sudah mengirim pesan agak terlambat datang. Ia sudah merasa lapar, karena Ardi tidak kunjung tiba. Sampai di restoran hotel. Dena berjalan pelan hingga tubuhnya terpaku di pintu masuk restoran. Netranya memicing ke arah sosok yang dilihatnya mirip Ardi.Deg,"Ardi? Kenapa dia malah makan malam sendiri?" Dilihatnya Ardi hanya duduk sendiri menikmati makan dan minuman. Namun, Dena baru mau melangkah terlihat seorang wanita berjalan menuju kursi di seberang Ardi."Hah, siapa wanita itu?" Dena melihat pakaian wanita itu rapi, rambutnya digelung ke atas. Keduanya terlihat akrab saat menikmati makan.Dena merasakan setitik nyeri di dada, pun rasa sesak menyeruak hingga membuatnya susah bernapas."Kenapa kamu melakukan ini padaku, Ar? Apa karena semalam aku menolakmu." Berbagai spekulasi menari-nari di otak Dena hingga membuat kepalanya pening. Ia masih setia berdiri
Bab 49 Bangkit"Suami? Istri? Astaghfirullah." Dena menepuk jidatnya berkali-kali setelah ingat kalau mereka sudah menikah."Iya kamu istriku, tapi belum istri yang sesungguhnya karena belum melakukan ini.""Ardi?!" Dena sudah menjerit akibat sentuhan lembut dan dingin mengejutkan dari Ardi terasa di bibirnya. Dekapan erat pun menyusul menghangatkan tubuhnya, hingga keduanya bersiap melakukan ibadah yang dinantikan selama ini."Aargh. Jangan sentuh aku. Pergi!"Dena berteriak sekencang-kencangnya saat Ardi hendak memberikan sentuhan penuh cinta. Sontak saja Ardi terkejut luar biasa, ternyata istrinya masih trauma. Ia segera mendekap erat Dena yang tubuhnya masih gemetaran. Bahkan istrinya itu meronta-ronta saat ia ingin melakukan lebih jauh."Maafkan aku, Sayang. Aku tidak akan memaksamu. Tenanglah! Aku di sini melindungimu."Dena masih sesenggukan dengan kepala merebah di dada bidang suaminya. Ia bisa merasakan suaminya mendesah pelan seolah menahan sesuatu. Raut kecewa jelas terlukis
Bab 48"Mbak Kusuma ayo pulang!""Tidak! Tolong pergi! Jangan ikuti saya!" Teriakan histeris Dena semakin membuat Pak Rahmat panik. Ia tidak tahu kejadian tak terduga itu. Bahkan Dena mendadak pingsan karena teriakan disusul tangisannay yang kencang."Mbak, Mbak Kusuma, Bangun!"Pak Rahmat menepuk-nepuk lengan lalu pipi Dena tetapi tidak ada respon."Astaga! Kenapa jadi begini. Kalau terjadi apa-apa bagaimana ini."Pak Rahmat bergegas membobong Dena ke mobil. Pakaian keduanya sudah mulai basah terkena air hujan terutama Pak Rahmat. Setelah dibaringkan di kursi belakang, Pak Rahmat mencari apa saja yang bisa untuk menutupi tubuh Dena supaya tidak kedinginan. Lama mengobrak abrik bagasi hingga akhirnya Pak Rahmat menemukan sebarang kain.Pak Rahmat merasa lega, lalu berniat keluar dari mobil dan harus segera membawa Dena ke rumah sakit. Namun, baru saja hendak keluar, ia dikejutkan oleh sebuah tarikan pada kerahnya.
Bab 47 Trauma itu"Jadi, Bapak tinggalkan mereka berdua?! Kalau terjadi apa-apa dengan istri saya bagaimana?! Siapa yang bertanggung jawab, hah?!" Ardi sudah tidak bisa mengontrol emosinya. Semua mata tercengang mendengar ucapan mengejutkan Ardi."Istri?" lirih Andi."Ya, Dena Artha Kusuma adalah istri saya.""Apa?!" Semua saling pandang dengan wajah dipenuhi penyesalan.Gegas Ardi menarik Andi menuju mobil yayasan untuk mencari Dena."Ya Allah, semoga Dena baik-baik saja."Ardi tidak mempedulikan hujan lebat yang mengguyur, bahkan petir pun terdengar bersahutan. Ia menarik lengan Andi dan bergegas mencari Dena juga Pak Rahmat."Saya ikut juga, Pak!" Suara Pak RT terdengar lantang. Karena merasa bersalah telah meninggalkan mobil Pak Rahmat yang membawa Dena bersamanya."Mari, Pak!" ucap Andi karena Ardi sudah tidak sempat membalas. Akhirnya mobil itu berisi empat orang, bu kepala panti pun turut kembali mencari Dena. Ia khawatir terjadi apa-apa pada salah satu relawan yang terlihat pal
Bab 46B Kepanikan"Yang ini bagus, Mbak Tantri," sahut Ardi sambil melirik ke arah istrinya yang berdecak kesal."Dasar suami berondong. Awas saja kalau besok sampai rumah." Dena melanjutkan kegiatannya sambil sesekali mencuri pandang ke arah suaminya, manatahu suaminya tebar pesona hingga membuat Tantri salah mengartikan.Sampai waktu menjelang senja, beberapa pengunjung telah kembali pulang. Ardi dan Andi serta tim relawan membantu anak panti membawa beberapa barang kembali ke rumah panti. Namun, Dena masih membereskan tempat pameran bersama Tantri, Pak Rahmat, kepala panti dan juga anak-anak."Bu, ada info rombongan dari sekolah SD mobilnya macet di dekat hutan. Apa bisa kita beri pertolongan?" ucap Tantri dengan wajah sedikit khawatir, tangannya memegang ponsel yang baru saja menyala."Ada apa, Mbak?" Dena mendekati Tantri yang mengobrol serius dengan kepala panti."Ada mobil pengunjung yang membawa anak-a
Bab 46A KepanikanPagi itu suasana panti ramai oleh hiruk pikuk anak-anak yang semangat menyiapkan karya mereka yang akan dipamerkan di hari terkahir. Andi sudah bangun awal dan bersiap dengan seragam kaosnya. Pikirannya masih terngiang percakapan semalam dengan Ardi di kamar."Hmm, maaf nih Pak Ardi kalau saya lancang.""Ya, Mas.""Tadi...hmm, saya lihat Pak Ardi keluar dari kamar Mbak Kusuma."Uhuk, uhuk."Pak Ardi nggak apa-apa?""Nggak, Mas. Saya tadi kebetulan lewat depan kamarnya. Ada suara jeritan dari dalam. Katanya sih kecoa. Ya, saya bantu ngusir.""Oh."Andi masih belum percaya, tetapi pikiran aneh-anehnya segera terhempas begitu saja. Ia harus membantu persiapan hari ini."Mbak Kusuma, di mana?" tanya Andi sambil mengangkat dus berisi karya anak-anak panti. Teman relawan yang kebetulan lewat mengambil dus snack pun menjawab."Itu pergi sama Pak Rahmat dan bu kepala panti untuk menjemput rombongan siswa dari sekolah yang ingin kemari, Mas.""Oh, oke. Makasih infonya. Ayo k
Bab 45B Salah Sangka"Sttt!" Dena merapat dengan sigap tangannya menutup mulut Ardi. Tanpa sadar keduanya saling menatap,menyelami manik mata masing-masing. Ada kerinduan yang ingin disampaikan lewat tatapan mata.Ardi mengikis jarak hingga kening keduanya menempel."Aku mencintaimu, Na. Izinkan aku menyelami hatimu hingga tidak ada lagi lara yang tertinggal di sana. Hanya ada kamu dan aku yang akan mengukir masa depan. Menghadirkan keramaian anak-anak kita nantinya."Memilih diam mencerna setiap kata lembut yang keluar dari mulut suaminya, Dena tenggelam dalam pusaran kerinduan yang terobati dengan sentuhan. Hingga tak terasa keduanya merasakan puncak kebahagiaan dengan sentuhan. Dena menarik diri karena harus menghirup oksigen banyak-banyak. Kedua tangannya reflek menutup bibir bahkan mukanya yang sudah memerah seperti buah Cherry."Kamu cantik sekali kalau seperti ini, Na. Kita lanjutkan besok pulang dari sini ya, sekalian ho