“Aku suka caramu memandang lukisan itu.”
Suara laki-laki itu datang begitu saja. Tenang. Tidak memaksa.Jasmin menoleh perlahan. Seorang pria muda berdiri di sampingnya, mengenakan jas kerja kasual dan name tag bertuliskan: Lucas. Wajahnya bersih, rambutnya agak berantakan tapi terawat. Tatapannya jernih, tapi bukan jenis yang mencuri.“Lukisan ini?” Jasmin menunjuk kanvas besar dengan kombinasi warna merah tua dan biru pucat. “Sejujurnya, aku tidak tahu apa artinya.”“Tidak semua seni butuh dimengerti,” jawab Lucas ringan. “Kadang cukup dirasakan.”Jasmin tersenyum kecil. “Itu juga berlaku untuk hidup, ya?”Lucas mengangguk. “Apalagi untuk hidup.”**Itu percakapan pertama mereka.Singkat. Biasa saja.Tapi bukan percakapan yang bisa diabaikan begitu saja. Karena untuk pertama kalinya, seseorang menatap Jasmin bukan dengan rasa ingin tahu yang memaksa, tapi dengan rasa hormat terhadap luka yang“Aku mau bawa kamu ke suatu tempat,” ucap Reyan sambil meraih tangan Jasmin.Jasmin menatapnya bingung. “Tempat apa?”Reyan hanya tersenyum. “Tempat yang dulu sering aku datangi… sebelum semua ini.”Mereka melangkah keluar rumah, berjalan beriringan tanpa banyak bicara. Angin menerpa rambut Jasmin, membuat helaian panjang itu bergerak pelan di sekitar wajahnya. Tapi ia membiarkannya. Ia lebih sibuk memperhatikan tangan Reyan yang tetap menggenggamnya, seolah takut lepas.Mereka naik mobil, tanpa tujuan yang diberitahukan. Jasmin tidak bertanya, karena ia percaya. Dan terkadang, rasa percaya tidak butuh penjelasan panjang—cukup langkah yang tidak berhenti.Setelah melalui jalan berkelok yang asing, mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah kayu kecil di lereng bukit.“Aku dulu sering ke sini,” ujar Reyan saat turun. “Tempat ini milik teman ayahku. Dulu aku datang sendirian, buat cari tenang. Sekarang, aku pengin kamu yang punya tempat ini.”Jasmin memandangi bangunan itu. Sederhana
“Rey, kamu pernah kepikiran buat punya anak nggak?” suara Jasmin pelan, nyaris tenggelam di antara denting sendok di cangkir.Reyan menoleh. Bukan karena pertanyaannya mengejutkan, tapi karena tatapan Jasmin saat mengatakannya. Ada keraguan. Ada ketakutan. Ada sesuatu yang ingin disembunyikan, tapi terlalu jujur untuk tetap dipendam.“Aku pernah,” jawab Reyan, menyesap tehnya. “Tapi aku juga pernah mikir… kalau punya kamu aja udah cukup.”Jasmin tersenyum samar, tapi itu bukan senyum bahagia. Itu senyum yang mencoba kuat.“Aku baru dari dokter tadi,” katanya. “Bukan buat periksa serius, cuma general check-up. Tapi dia bilang kemungkinan rahimku lemah.”Reyan diam. Tidak panik. Tidak kaget. Hanya mendengar, karena itu yang dibutuhkan Jasmin.“Aku nggak infertil,” lanjut Jasmin cepat, seolah tak ingin dikasihani. “Cuma… kalaupun suatu saat kita mau, kemungkinan untuk punya anak itu kecil. Dan kalaupun bisa, prosesnya mungkin berat.”Reyan menyentuh tangannya. “Kamu nggak perlu minta maa
Suara printer Reyan mengisi ruang kerja kecil mereka. Kertas-kertas jurnal akademik berserakan di meja, sebagian sudah diberi catatan tangan, sebagian lagi hanya tersentuh sudutnya.Jasmin duduk di lantai, bersandar pada kaki Reyan yang menyilangkan duduknya di kursi. Di tangannya, novel baru tengah dirancang. Tapi lembar kosong itu tak kunjung diisi.“Kamu kenapa nggak ngetik?” tanya Reyan tanpa menoleh.Jasmin menghela napas, menyandarkan kepala ke pahanya. “Aku takut nulis lagi.”Reyan menoleh, alisnya naik sedikit. “Padahal kamu baru bikin satu ruangan penuh orang diam karena kata-kata kamu.”“Justru itu. Aku takut ekspektasi orang terlalu tinggi. Takut kalau buku selanjutnya nggak akan bisa nyentuh mereka lagi.”Reyan memandangi wajah Jasmin yang penuh keraguan. Lalu perlahan, ia membelai rambutnya. “Kalau kamu terus mikirin ekspektasi, kamu nggak akan pernah nulis lagi. Menulislah karena kamu mau, bukan karena harus bikin orang terharu.”“Tapi sekarang orang tahu kisahku. Mereka
Jasmin duduk di kursi kayu kecil di pojok toko buku independen, jari-jarinya bermain gugup di ujung kertas. Tumpukan novel barunya tertata rapi di sebelah. Di depannya, seorang gadis remaja dengan mata bersinar menyerahkan buku untuk ditandatangani.“Namanya siapa?” tanya Jasmin lembut.“Lala,” jawab gadis itu malu-malu. “Aku suka banget bukunya, Kak. Rasanya kayak… ada yang ngerti isi kepala aku.”Jasmin tersenyum. Ia menulis di halaman pertama buku itu:Untuk Lala,Jangan pernah merasa sendiri.Luka bisa membuat kita kuat, asal kamu terus memilih untuk bangkit.Setelah gadis itu berlalu, Reyan duduk di sampingnya, menyerahkan botol air. “Kamu hebat.”“Aku cuma nulis,” ucap Jasmin pelan.“Kamu menyentuh hati orang. Itu lebih dari sekadar nulis.”Pandangan Jasmin menerawang ke antrean yang masih panjang. Beberapa wajah terlihat gugup, beberapa lagi hanya penasaran. Tapi semuanya datang untuk membaca kisah yang dulu ia sembunyikan mati-matian.Dunia tahu sekarang. Tentang kisah cinta y
Jasmin merebahkan tubuhnya di sofa, tangan kirinya masih memegang draft cetak novel barunya. Halaman-halaman yang sudah penuh coretan tinta merah itu berserakan di meja kopi. Matanya lelah, tapi dadanya hangat.Reyan duduk di karpet, menyandarkan punggungnya ke sisi sofa, sambil menatap layar laptopnya yang masih terbuka. Ia tidak berkata apa-apa. Tapi satu tangannya terangkat ke belakang, meraih tangan Jasmin dan menggenggamnya tanpa menoleh.Sentuhan itu sederhana.Tapi mampu menghentikan segala kegelisahan.“Aku takut,” bisik Jasmin, nyaris seperti gumaman pada dirinya sendiri.Reyan mengangkat wajahnya, menatapnya dari bawah. “Takut apa?”“Kalau cerita ini terlalu jujur. Terlalu personal. Aku takut orang akan tahu, itu tentang aku.”Reyan memiringkan kepala. “Memangnya kenapa kalau mereka tahu?”“Karena aku telanjang di sana. Aku menulis luka-lukaku. Kekeliruanku. Dan cinta yang bahkan sampai hari ini… masih terasa salah di mata orang.”Reyan menggenggam tangannya lebih erat. “Kal
“Apa menurutmu… cinta bisa berubah jadi hal yang menyesakkan?”Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Jasmin. Ia sedang duduk di anak tangga teratas menuju loteng, tempat Reyan sedang membenahi rak-rak buku tua. Suara angin dari jendela yang terbuka membuat gorden bergoyang perlahan, menciptakan suasana yang tenang namun rapuh.Reyan menoleh dari atas, lalu turun satu-dua anak tangga, sampai berada di samping Jasmin.“Kapan terakhir kali kamu merasa sesak karena cinta?” tanyanya pelan.Jasmin mengangkat bahu. “Mungkin waktu aku terlalu banyak berharap. Waktu aku merasa harus layak dulu buat bisa disayang.”Reyan menyentuh jemari Jasmin. “Dan sekarang?”“Sekarang aku tahu… cinta seharusnya nggak mengikat. Tapi menenangkan. Nggak menuntut, tapi hadir.”Mereka duduk bersebelahan di anak tangga itu, tanpa banyak bicara. Kadang diam lebih menyembuhkan daripada kalimat panjang yang tak perlu. Lalu Jasmin bersandar ke bahu Reyan, seperti yang biasa ia lakukan ketika pikirannya penuh