Jasmin duduk di kursi kayu kecil di pojok toko buku independen, jari-jarinya bermain gugup di ujung kertas. Tumpukan novel barunya tertata rapi di sebelah. Di depannya, seorang gadis remaja dengan mata bersinar menyerahkan buku untuk ditandatangani.“Namanya siapa?” tanya Jasmin lembut.“Lala,” jawab gadis itu malu-malu. “Aku suka banget bukunya, Kak. Rasanya kayak… ada yang ngerti isi kepala aku.”Jasmin tersenyum. Ia menulis di halaman pertama buku itu:Untuk Lala,Jangan pernah merasa sendiri.Luka bisa membuat kita kuat, asal kamu terus memilih untuk bangkit.Setelah gadis itu berlalu, Reyan duduk di sampingnya, menyerahkan botol air. “Kamu hebat.”“Aku cuma nulis,” ucap Jasmin pelan.“Kamu menyentuh hati orang. Itu lebih dari sekadar nulis.”Pandangan Jasmin menerawang ke antrean yang masih panjang. Beberapa wajah terlihat gugup, beberapa lagi hanya penasaran. Tapi semuanya datang untuk membaca kisah yang dulu ia sembunyikan mati-matian.Dunia tahu sekarang. Tentang kisah cinta y
Jasmin merebahkan tubuhnya di sofa, tangan kirinya masih memegang draft cetak novel barunya. Halaman-halaman yang sudah penuh coretan tinta merah itu berserakan di meja kopi. Matanya lelah, tapi dadanya hangat.Reyan duduk di karpet, menyandarkan punggungnya ke sisi sofa, sambil menatap layar laptopnya yang masih terbuka. Ia tidak berkata apa-apa. Tapi satu tangannya terangkat ke belakang, meraih tangan Jasmin dan menggenggamnya tanpa menoleh.Sentuhan itu sederhana.Tapi mampu menghentikan segala kegelisahan.“Aku takut,” bisik Jasmin, nyaris seperti gumaman pada dirinya sendiri.Reyan mengangkat wajahnya, menatapnya dari bawah. “Takut apa?”“Kalau cerita ini terlalu jujur. Terlalu personal. Aku takut orang akan tahu, itu tentang aku.”Reyan memiringkan kepala. “Memangnya kenapa kalau mereka tahu?”“Karena aku telanjang di sana. Aku menulis luka-lukaku. Kekeliruanku. Dan cinta yang bahkan sampai hari ini… masih terasa salah di mata orang.”Reyan menggenggam tangannya lebih erat. “Kal
“Apa menurutmu… cinta bisa berubah jadi hal yang menyesakkan?”Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Jasmin. Ia sedang duduk di anak tangga teratas menuju loteng, tempat Reyan sedang membenahi rak-rak buku tua. Suara angin dari jendela yang terbuka membuat gorden bergoyang perlahan, menciptakan suasana yang tenang namun rapuh.Reyan menoleh dari atas, lalu turun satu-dua anak tangga, sampai berada di samping Jasmin.“Kapan terakhir kali kamu merasa sesak karena cinta?” tanyanya pelan.Jasmin mengangkat bahu. “Mungkin waktu aku terlalu banyak berharap. Waktu aku merasa harus layak dulu buat bisa disayang.”Reyan menyentuh jemari Jasmin. “Dan sekarang?”“Sekarang aku tahu… cinta seharusnya nggak mengikat. Tapi menenangkan. Nggak menuntut, tapi hadir.”Mereka duduk bersebelahan di anak tangga itu, tanpa banyak bicara. Kadang diam lebih menyembuhkan daripada kalimat panjang yang tak perlu. Lalu Jasmin bersandar ke bahu Reyan, seperti yang biasa ia lakukan ketika pikirannya penuh
“Aku baru sadar,” ujar Jasmin, mengaduk tehnya perlahan. “Ternyata yang paling sulit bukan memaafkan orang lain… tapi memaafkan diri sendiri.”Reyan meletakkan bukunya, menoleh dengan penuh perhatian.“Apa kamu masih marah pada dirimu?”Jasmin mengangguk pelan. “Marah karena dulu aku terlalu diam, terlalu takut, terlalu menyesuaikan diri. Aku benci diriku yang lemah.”Reyan meraih tangan Jasmin, menggenggamnya erat. “Tapi dari semua versi dirimu, yang aku cintai justru yang itu. Karena dia bertahan, meskipun sakit.”Jasmin menatap Reyan, air matanya mengambang di pelupuk mata. “Kamu nggak lelah, Rey? Menemani aku yang penuh bagasi masa lalu?”Reyan tidak menjawab langsung. Ia mengangkat tangan Jasmin, menciumnya dengan lembut.“Kalau kamu melihat luka itu sebagai beban, ya kamu akan merasa berat. Tapi aku melihatnya sebagai bagian dari kamu. Dan aku nggak pernah merasa itu berat. Karena yang aku pilih bukan sekadar hari
Jasmin tidak pernah menyangka, menulis tentang keluarganya justru membuka lebih banyak pintu yang selama ini ia tutup rapat.Bukan hanya tentang ibu tiri yang dulu ia benci, tapi juga tentang dirinya sendiri—yang dulu selalu merasa harus jadi kuat, padahal tidak pernah benar-benar tahu caranya menjadi rapuh tanpa merasa bersalah.Ia menatap naskah cetak yang baru dikirim dari penerbit. Sampulnya sederhana, hanya latar putih dengan judul berwarna cokelat tanah. Mereka yang Kupanggil Rumah.Tak ada namanya di sampul depan, hanya sebuah inisial: J. F.“Kenapa cuma inisial?” tanya Reyan sambil membolak-balik halaman pertama.“Karena ini bukan tentang aku. Ini tentang semua orang yang pernah merasa asing di rumah sendiri.”Reyan tidak menjawab. Tapi ia mencium puncak kepala Jasmin dan membiarkannya duduk dalam diam.•Dering ponsel mengusik ketenangan di ruang kerja mereka yang sederhana.“Jasmin Febrianti?” su
“Rey… kalau suatu saat aku nggak bisa nulis lagi, kamu bakal kecewa?”Jasmin mengucapkannya dengan lirih, sembari memeluk lututnya di atas sofa. Rambutnya diikat sembarangan, wajahnya polos tanpa make-up. Tapi bagi Reyan, justru seperti itu Jasmin yang paling nyata.“Kenapa kamu tiba-tiba ngomong gitu?” tanyanya, duduk di lantai, tepat di depan gadis itu.Jasmin menggigit bibir bawahnya, ragu-ragu. “Aku cuma takut… setelah semua yang terjadi, ternyata aku cuma kuat sebentar.”Reyan tersenyum pelan. “Jas, kamu itu bukan kuat karena nulis. Tapi kamu bisa nulis karena kamu kuat.”Jasmin diam.Reyan meraih tangan gadis itu, menggenggamnya hangat. “Kalau kamu berhenti nulis pun, aku tetap bangga. Karena kamu udah berani jujur sama perasaanmu. Itu yang nggak semua orang bisa lakukan.”“Aku takut kehilangan gairah itu, Rey. Dulu menulis jadi tempatku melarikan diri. Tapi sekarang aku bahagia… dan aku malah bingung harus me