Ruangan itu tak banyak berubah. Hanya cahaya yang jatuh dari jendela memberi kesan seolah segalanya sedikit lebih terang dari biasanya. Tapi bukan cahaya itu yang membuat dada Jasmin sesak. Melainkan tatapan mama yang akhirnya menembus semua pertahanan yang ia simpan rapat-rapat selama ini.
“Duduklah, Jasmin,” ucap mama tenang.Jasmin menatap Reyan sekilas sebelum mengambil tempat di sofa berhadapan dengan ibunya. Reyan berdiri, tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk bisa ikut mendengar.Suasana terlalu hening untuk percakapan biasa. Bahkan detik jam terdengar sangat mengganggu.“Aku tahu ada yang kalian sembunyikan,” suara mama nyaris berbisik, tapi tajam. “Dan aku bukan gadis muda yang bisa dibodohi oleh senyuman manis atau diam-diaman seperti ini.”Jasmin menunduk. Tangannya saling mencengkram satu sama lain di pangkuannya.“Ma…” suaranya tercekat. Ia mencoba menelan keberanian, tapi seperti tersangkut di tenggorokan.Langkah kaki Jasmin menyusuri koridor rumah terasa jauh lebih lambat dari biasanya. Setiap langkah seperti mengukur kembali ruang-ruang kenangan yang sudah terlalu lama ia tempati. Dinding putih itu, foto-foto keluarga yang tergantung di sisi tangga, aroma kayu dari lantai yang tak pernah berubah—semuanya mengikatnya seperti pelukan yang tak ingin melepas.Reyan berdiri di depan pintu kamarnya, menyandarkan tubuh pada kusen kayu sambil memandangi punggung Jasmin yang semakin menjauh. Tak ada kata perpisahan. Tak ada pelukan terakhir. Hanya sepasang mata yang saling menahan dan mengerti: ini bukan akhir, tapi jeda.Begitu pintu rumah tertutup di belakangnya, Jasmin menarik napas panjang, seakan paru-parunya butuh lebih banyak udara dari biasanya. Ia tidak menangis. Tapi rasa yang berkecamuk di dadanya seperti air yang ditahan di bendungan retak. Setiap detik terasa seperti pertaruhan: antara bertahan atau runtuh.Saat mobil datang menjemput, ia naik tanpa m
Hembusan napas Reyan masih terasa di leher Jasmin. Ia duduk bersandar di sisi ranjang, sementara Reyan menyenderkan kepala di bahunya, diam tanpa bicara. Seperti dua tubuh yang telah melewati badai dan belum sepenuhnya pulih, tapi juga tak ingin kembali ke titik awal.“Kalau Papa benar-benar nggak setuju, kamu masih tetap mau sama aku?” Jasmin bertanya dengan suara lirih, hampir seperti gumaman.Reyan tidak langsung menjawab. Ia memejamkan mata sebentar, lalu mengangkat wajahnya dan menatap mata gadis itu dengan tatapan yang tak terbantahkan.“Bahkan kalau seluruh dunia bilang aku salah, aku tetap mau sama kamu.”Jawaban itu membuat dada Jasmin sesak oleh rasa yang tak bisa dijelaskan. Ia tak pernah merasa sepenuh ini sebelumnya—disayangi tanpa syarat, didengar tanpa dihakimi.“Aku takut kamu nyesel,” ucapnya.“Aku cuma nyesel karena nggak ngungkapin semua ini dari dulu.”Senyum kecil terbit di wajah Jasmin. Tapi kemudia
Langkah Jasmin terasa ringan saat naik ke lantai dua. Bukan karena segalanya telah selesai, tapi karena ia tak lagi menanggungnya sendirian. Dulu, setiap langkah menuju kamar hanya berisi perasaan bersalah. Kini, ada harapan kecil yang menyelinap di antara rasa takut.Ia belum menutup pintu saat Reyan ikut masuk ke kamarnya tanpa bicara. Tak ada yang menghentikan, dan untuk pertama kalinya, mereka tak merasa perlu meminta izin.“Papa nggak ada di ruang kerja,” kata Reyan sambil berdiri di dekat jendela, melihat ke luar.“Kamu mau bicara langsung ke dia?”“Kalau bisa sekarang, ya sekarang.” Reyan menoleh. “Kamu nggak perlu ikut, tapi aku mau dia dengar semuanya langsung dariku. Bukan dari omongan orang.”Jasmin mendekat, menyentuh lengan Reyan. “Aku ikut.”Reyan menatapnya, tak membantah. Dia tahu, keberanian Jasmin bukan lagi sesuatu yang rapuh.Langkah mereka berdua menuju lantai bawah terasa seperti menginjak arang pan
“Apa kamu yakin kita nggak salah langkah?” tanya Jasmin pelan, jari-jarinya masih menyusuri tangan Reyan yang memegang kemudi.Mereka berada di dalam mobil, bukan untuk kabur, bukan untuk melarikan diri. Tapi untuk mengambil ruang yang tak bisa mereka dapatkan di dalam rumah—ruang untuk bernapas, untuk menenangkan pikiran yang tadi tertahan dalam kerumitan keluarga.Reyan meliriknya sebentar. “Kamu nyesel?”Jasmin menggeleng. “Bukan nyesel… cuma takut.”“Kalau kamu nggak takut, berarti kamu nggak cukup sadar apa yang sedang kita lawan.”“Tapi kamu tetap memilih aku.”Reyan tersenyum kecil. “Karena kamu satu-satunya yang rasanya layak dilawan.”Jasmin bersandar ke jok. Dadanya belum sepenuhnya tenang, tapi ada kenyamanan yang tumbuh dari cara Reyan memandangnya—bukan sebagai saudara, bukan sebagai anak dari wanita yang menikahi ayahnya, tapi sebagai perempuan yang ingin dia jaga, dalam dan luar rumah.Mobil berhe
Suara pintu menutup kembali. Tapi kali ini, tak ada yang perlu disembunyikan di baliknya.Jasmin dan Reyan berdiri di lorong, saling menatap dalam keheningan yang berbeda dari sebelumnya. Tak ada lagi ketegangan yang menggantung di udara, tak ada lagi pertanyaan apakah ini benar atau salah. Yang tersisa hanya dua pasang mata yang berusaha mempercayai masa depan yang belum pasti.Jasmin menarik napas pelan. “Kamu yakin mau lakuin ini?”“Aku bahkan lebih yakin daripada saat aku bilang cinta padamu,” jawab Reyan dengan lirih, tapi mantap.Perlahan, tangan Jasmin menyentuh lengan Reyan, seolah menyentuh kembali sesuatu yang dulu sempat lepas. Tidak terburu-buru. Tidak dengan gejolak. Tapi dengan keberanian yang tumbuh dari luka.Langkah mereka menuruni tangga bersamaan. Tak ada lagi upaya untuk menyembunyikan keberadaan. Rumah itu tidak lebih luas dari biasanya, tapi untuk pertama kalinya terasa cukup untuk mereka berdua berdiri sebagai diri
Tangannya masih terasa hangat. Jasmin menunduk, memandangi jemarinya yang tadi digenggam Reyan. Seolah sisa kehadiran pria itu masih melekat di kulitnya, menetap di sana bersama denyut jantung yang belum benar-benar tenang.Pintu di belakangnya tertutup pelan, menandai langkah Reyan yang sudah meninggalkan ruangan, tapi tidak benar-benar pergi dari hatinya.Jasmin menarik napas dalam. Matanya menyapu seluruh ruang keluarga yang sekarang sunyi, terlalu sunyi untuk menenangkan pikirannya. Ia melangkah pelan, menyentuh bagian sofa tempat ia dan Reyan dulu sering duduk berdampingan—menyaksikan film yang tak pernah selesai ditonton, karena waktu selalu disita oleh ciuman-curian dan tatapan-tatapan diam yang terlalu dalam.Kini segalanya terasa asing. Tapi juga familiar. Seperti rumah lama yang direnovasi, masih punya bau kenangan namun dengan wajah baru yang belum sepenuhnya dikenali.Langkahnya berhenti di dekat meja. Pandangannya tertumbuk pada bingk