Suara ketukan ringan membangunkan Jasmin.
Pagi masih kelabu. Langit di luar jendela belum sepenuhnya biru. Tapi di balik pintu, suara Marta terdengar lembut seperti biasa. “Nona Jasmin, ada tamu di ruang duduk. Teman Tuan Reyan baru saja tiba.” Jasmin membuka mata pelan. Matanya perih. Tidurnya semalam tidak lebih dari tiga jam, dan sepanjang waktu pikirannya terus memutar ulang kata-kata Reyan di balkon. Ia bahkan belum sempat menyentuh sarapan saat itu. “Tamu?” gumamnya. “Ya, Nona. Seorang wanita. Mereka sudah bicara sejak tadi pagi.” Jasmin hanya menjawab dengan anggukan kecil dan suara serak, “Terima kasih, Marta.” Saat pintu tertutup kembali, Jasmin bangkit. Tapi kali ini bukan karena penasaran. Melainkan… gelisah. Dia turun ke ruang bawah setelah membersihkan diri dan berganti pakaian seadanya—kaos lengan panjang krem tipis dan celana linen putih. Tapi ketika ia menjejakkan kaki di ambang ruang duduk, langkahnya membeku. Di sana, duduk di sofa abu-abu favorit Frederick, seorang wanita muda — elegan, anggun, dan mengenakan coat hitam panjang dengan rambut bergelombang terikat rapi. Senyumnya manis, dan suara tawanya meluncur lembut seperti madu. Reyan duduk di seberangnya, satu tangan di sandaran sofa, satu lagi memegang cangkir kopi. Ia tersenyum. Santai. Terbuka. Senyum yang belum pernah ia tunjukkan pada Jasmin. Dada Jasmin mengencang. Ia tidak tahu kenapa. Tapi tubuhnya menolak untuk bergerak masuk. “Kau tidak bilang dia tinggal di sini,” suara wanita itu terdengar jelas. “Dia anak Livia. Sudah resmi jadi bagian dari rumah ini,” balas Reyan. “Kau tidak pernah cerita soal adik tiri,” ucapnya sambil tersenyum penuh arti. Reyan menoleh. Dan saat matanya bertemu dengan mata Jasmin yang berdiri di ambang pintu, senyumnya menghilang. Sekilas. Tapi cukup untuk dirasakan. “Jasmin,” panggilnya. “Ini Elena.” Jasmin melangkah masuk, perlahan. Kepalanya menunduk sedikit, menyembunyikan wajah yang tiba-tiba terasa terlalu jujur. “Elena… teman kuliahku,” lanjut Reyan. “Sekarang dia pegang proyek interior buat salah satu klien kami di Berlin.” “Senang bertemu denganmu,” ucap Elena ramah, berdiri dan mengulurkan tangan. Jasmin membalas salam itu. Tersenyum. Tapi ada sesuatu yang mengeras di balik matanya. “Kau juga,” katanya pelan. “Teman kuliah ya? Sepertinya kalian akrab.” Elena tertawa pelan. “Kami pernah lebih dari akrab.” Seketika ruangan menjadi sempit. Udara terasa tipis. Tapi Reyan tidak mengoreksi. Tidak menyangkal. Tidak juga membenarkan. Dan itu… cukup sebagai konfirmasi. Beberapa menit kemudian, Jasmin berpura-pura sibuk di dapur, meski tak ada satu pun yang ia lakukan selain menatap meja kosong dan mendengarkan suara tawa dari ruang duduk. Marta datang membawakan teh. “Anda tidak ingin bergabung dengan mereka, Nona?” Jasmin tersenyum samar. “Tidak. Aku lebih suka di sini.” Ia tidak ingin melihat cara Reyan duduk terlalu nyaman, atau cara wanita itu menyentuh lengan bajunya sambil tertawa, atau cara Reyan tidak menjauh sedikit pun. Semalam, Reyan mengatakan hal yang nyaris menyentuh hatinya. Tapi pagi ini, pria itu seperti tak pernah berkata apa pun. Beberapa saat kemudian, langkah kaki terdengar di belakangnya. “Aku tak tahu kau sudah bangun.” Jasmin tak menoleh. “Kau tak perlu menjelaskan, Reyan.” “Aku tidak sedang menjelaskan.” “Tapi kau di sini.” “Karena aku tahu kau salah paham.” Jasmin menoleh, matanya tajam. “Lucu, karena aku tidak mendengar kau mengoreksi apa pun saat dia bilang kalian pernah lebih dari akrab.” Reyan menghela napas. Ia berdiri di ambang pintu dapur, tangan menyentuh kusen. “Elena bagian dari masa lalu. Itu tidak relevan.” “Tapi wajahmu barusan bilang sebaliknya.” “Jasmin…” Nada suaranya melembut. Tapi Jasmin menepisnya dengan mata. “Aku tidak butuh penjelasan, Reyan. Kita ini siapa? Kakak-adik tiri. Kau bisa bawa siapa pun ke rumah ini, dan aku tak punya hak merasa apa pun.” Reyan melangkah satu langkah lebih dekat. Tapi kali ini, Jasmin yang mundur. “Justru karena kita bukan siapa-siapa, kau tidak boleh memperlakukan aku seolah kau milikku.” “Mungkin karena aku ingin kau jadi milikku.” Ucapan itu jatuh seperti badai di antara mereka. Mata Jasmin membulat. Bibirnya bergetar. “Tapi kau… tidak akan mengakuinya, kan?” Reyan menatap dalam. “Karena kita tinggal di rumah yang salah… pada waktu yang salah.” ** Kata-kata itu lebih menyakitkan dari pengakuan. Karena jika waktu adalah masalahnya, maka tidak ada yang bisa mereka ubah. Dan Jasmin… tidak yakin bisa menunggu hidupnya berubah arah hanya agar Reyan bisa berani mencintainya.Hening yang menelan ruangan kembali terasa setelah suara langkah Frederick benar-benar hilang dari lorong. Jasmin masih duduk di ujung ranjang, jemarinya saling bertaut canggung, seolah tubuhnya belum bisa pulih dari ketegangan tadi.Reyan tidak langsung bicara. Ia berjalan ke jendela, membuka tirai sedikit, memastikan tak ada siapa pun yang berkeliaran di luar. Baru setelah itu ia menoleh, menatap Jasmin yang tampak rapuh tapi berusaha keras menutupi ketakutannya.“Kamu gemetar,” ucap Reyan akhirnya.Jasmin buru-buru menepis, meski jelas tangannya masih bergetar. “Nggak. Aku cuma… kaget.”Reyan mendekat, berlutut di depannya, sehingga pandangan mereka sejajar. Ia meraih jemari Jasmin yang dingin lalu menggenggam erat, menyalurkan kehangatan dari telapak tangannya. “Kalau kamu terus pura-pura, aku yang bakal gila. Kamu boleh takut, Jas. Kamu boleh gemetar. Itu nggak bikin kamu lemah.”Mata Jasmin bergetar. Ada sesuatu dalam nada Reyan yan
Baik, aku akan tulis Bab 131 dengan panjang ±2.000 kata, tidak kurang, tetap fokus pada satu suasana, emosi yang intim, dan transisi yang halus tanpa penanda waktu eksplisit.⸻Bab 131Ketukan pelan di pintu membuat Jasmin dan Reyan sama-sama terdiam. Suara itu tidak keras, tapi cukup untuk menggeser udara di ruangan yang semula hangat menjadi tegang.Mata Jasmin melebar, tubuhnya refleks menegang di pelukan Reyan. Ia segera menarik diri sedikit, menatap ke arah pintu seolah bisa menembus kayu tebal itu.“Siapa?” suaranya nyaris berbisik, penuh panik yang ia coba tekan.Reyan menempelkan jarinya ke bibirnya, memberi isyarat agar Jasmin diam. Tatapannya tenang, berbeda jauh dari jantung Jasmin yang berdetak tidak karuan. Pria itu lalu beranjak, berjalan pelan ke arah pintu.“Reyan?” suara dari balik pintu terdengar. Frederick.Jasmin langsung merasa seluruh darahnya membeku. Napasnya tercekat, matanya mencari-car
Jasmin terbangun lebih dulu. Cahaya lembut yang menyusup lewat jendela membuat matanya sedikit menyipit. Tubuhnya masih berada dalam dekapan Reyan, hangat dan kokoh, seolah pria itu sengaja tidak memberi celah agar ia bisa pergi.Ia menatap wajah Reyan yang masih terlelap. Wajah itu begitu tenang, berbeda jauh dari ekspresi tegas yang selalu ia tampilkan di depan orang lain. Ada garis lembut di bibirnya, alisnya tidak mengernyit, dan dadanya naik turun teratur.Tanpa sadar, Jasmin mengulurkan jemari, menyusuri garis rahang Reyan perlahan. Sentuhan itu membuat pria itu bergumam kecil, tapi tidak membuka mata. Jasmin tersenyum samar, merasa aneh sekaligus damai.“Kalau kamu tahu betapa menakutkannya aku kehilanganmu, mungkin kamu nggak akan tidur segampang ini,” bisiknya lirih.Ia mendekat, menempelkan bibirnya di dahi Reyan, sebuah ciuman yang nyaris tidak terdengar. Baru saja ia hendak menarik diri, tangan Reyan bergerak cepat, menahan pinggangnya
Reyan masih memeluk Jasmin erat, seolah tubuhnya adalah satu-satunya benteng yang bisa melindunginya dari segala hal. Kehangatan itu menempel di kulit mereka, bercampur dengan sisa napas yang belum sepenuhnya teratur. Jasmin menggeliat kecil, mencari posisi lebih nyaman, lalu menyelipkan wajahnya di lekuk leher Reyan.“Kalau aku bisa, aku mau tetap di sini,” gumam Jasmin pelan. “Nggak keluar, nggak ketemu siapa-siapa. Hanya kamu.”Reyan mengusap rambutnya, merasakan setiap helai yang jatuh lembut di jemarinya. “Aku juga maunya gitu. Tapi kita nggak bisa terus sembunyi.”Jasmin mendongak sedikit, menatapnya dengan mata yang masih basah. “Aku nggak peduli sama mereka. Yang aku peduli cuma kamu.”Reyan menghela napas, senyumnya tipis tapi tegas. “Aku juga. Tapi dunia nggak akan pernah diam. Mereka akan terus cari cara untuk nunjukin kalau kita salah. Dan kalau itu terjadi, aku nggak mau kamu yang paling terluka.”“Kenapa harus aku yang selal
Jasmin terbaring di dada Reyan, telinganya menempel tepat di atas detak jantungnya. Irama itu konstan, menenangkan, seakan jadi pengingat bahwa ia benar-benar hidup, bukan mimpi yang bisa lenyap sewaktu-waktu.“Kalau aku bisa berhenti di momen ini, aku nggak mau ke mana-mana lagi,” bisik Jasmin, hampir tak terdengar.Reyan menyusuri rambutnya dengan jemari pelan, setiap gerakan penuh kesabaran. “Kalau aku bisa, aku juga akan kunci momen ini. Biar cuma ada kita berdua, nggak ada dunia luar yang ikut campur.”Jasmin menengadah, menatap wajah Reyan dari jarak yang terlalu dekat. Bayangan bulu matanya jatuh di pipi, senyum tipisnya terlihat rapuh tapi indah. “Kamu sadar nggak, kita kayak orang gila? Kita tahu hubungan ini rumit, salah menurut mereka, tapi kita tetap jalan terus.”Reyan mengangkat alis, menatapnya dalam. “Kalau itu gila, berarti aku rela jadi orang paling gila di dunia. Karena aku nggak bisa berhenti.”Jasmin terdiam, lalu ter
Jasmin terbaring di atas ranjang dengan hela napas yang belum sepenuhnya stabil. Rambutnya berantakan, menempel di kening yang basah oleh keringat. Reyan masih berada di sampingnya, tubuhnya menunduk, jemarinya menyusuri garis wajah Jasmin dengan perlahan, seolah setiap inci kulitnya adalah peta yang tak pernah bosan ia baca.“Kamu sadar nggak,” suara Reyan terdengar rendah, serak karena habis berulang kali menyebut namanya, “setiap kali aku lihat kamu kayak gini, aku selalu ngerasa… ketakutan.”Jasmin membuka mata, menatapnya dengan bingung. “Takut?”Reyan mengangguk. “Takut kehilanganmu. Takut kalau semua ini cuma mimpi yang bisa runtuh kapan aja.”Jasmin tersenyum samar. Tubuhnya masih lemah, tapi ia mengangkat tangan, menyentuh rahang Reyan. “Kamu nggak mimpi. Aku nyata.”Reyan menunduk lebih dekat, mencium bibirnya pelan, bukan seperti ciuman yang barusan mereka bagi dengan penuh gairah, melainkan sentuhan lembut yang lebih menyerupai doa. Jasmin merespons dengan menutup mata, me