Share

Bab 7

Penulis: Atdriani12
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-12 22:48:38

Suara ketukan ringan membangunkan Jasmin.

Pagi masih kelabu. Langit di luar jendela belum sepenuhnya biru. Tapi di balik pintu, suara Marta terdengar lembut seperti biasa.

“Nona Jasmin, ada tamu di ruang duduk. Teman Tuan Reyan baru saja tiba.”

Jasmin membuka mata pelan. Matanya perih. Tidurnya semalam tidak lebih dari tiga jam, dan sepanjang waktu pikirannya terus memutar ulang kata-kata Reyan di balkon. Ia bahkan belum sempat menyentuh sarapan saat itu.

“Tamu?” gumamnya.

“Ya, Nona. Seorang wanita. Mereka sudah bicara sejak tadi pagi.”

Jasmin hanya menjawab dengan anggukan kecil dan suara serak, “Terima kasih, Marta.”

Saat pintu tertutup kembali, Jasmin bangkit. Tapi kali ini bukan karena penasaran.

Melainkan… gelisah.

Dia turun ke ruang bawah setelah membersihkan diri dan berganti pakaian seadanya—kaos lengan panjang krem tipis dan celana linen putih.

Tapi ketika ia menjejakkan kaki di ambang ruang duduk, langkahnya membeku.

Di sana, duduk di sofa abu-abu favorit Frederick, seorang wanita muda — elegan, anggun, dan mengenakan coat hitam panjang dengan rambut bergelombang terikat rapi. Senyumnya manis, dan suara tawanya meluncur lembut seperti madu.

Reyan duduk di seberangnya, satu tangan di sandaran sofa, satu lagi memegang cangkir kopi. Ia tersenyum. Santai. Terbuka. Senyum yang belum pernah ia tunjukkan pada Jasmin.

Dada Jasmin mengencang. Ia tidak tahu kenapa. Tapi tubuhnya menolak untuk bergerak masuk.

“Kau tidak bilang dia tinggal di sini,” suara wanita itu terdengar jelas.

“Dia anak Livia. Sudah resmi jadi bagian dari rumah ini,” balas Reyan.

“Kau tidak pernah cerita soal adik tiri,” ucapnya sambil tersenyum penuh arti.

Reyan menoleh. Dan saat matanya bertemu dengan mata Jasmin yang berdiri di ambang pintu, senyumnya menghilang. Sekilas. Tapi cukup untuk dirasakan.

“Jasmin,” panggilnya. “Ini Elena.”

Jasmin melangkah masuk, perlahan. Kepalanya menunduk sedikit, menyembunyikan wajah yang tiba-tiba terasa terlalu jujur.

“Elena… teman kuliahku,” lanjut Reyan. “Sekarang dia pegang proyek interior buat salah satu klien kami di Berlin.”

“Senang bertemu denganmu,” ucap Elena ramah, berdiri dan mengulurkan tangan.

Jasmin membalas salam itu. Tersenyum. Tapi ada sesuatu yang mengeras di balik matanya.

“Kau juga,” katanya pelan. “Teman kuliah ya? Sepertinya kalian akrab.”

Elena tertawa pelan. “Kami pernah lebih dari akrab.”

Seketika ruangan menjadi sempit. Udara terasa tipis.

Tapi Reyan tidak mengoreksi. Tidak menyangkal. Tidak juga membenarkan.

Dan itu… cukup sebagai konfirmasi.

Beberapa menit kemudian, Jasmin berpura-pura sibuk di dapur, meski tak ada satu pun yang ia lakukan selain menatap meja kosong dan mendengarkan suara tawa dari ruang duduk.

Marta datang membawakan teh. “Anda tidak ingin bergabung dengan mereka, Nona?”

Jasmin tersenyum samar. “Tidak. Aku lebih suka di sini.”

Ia tidak ingin melihat cara Reyan duduk terlalu nyaman, atau cara wanita itu menyentuh lengan bajunya sambil tertawa, atau cara Reyan tidak menjauh sedikit pun.

Semalam, Reyan mengatakan hal yang nyaris menyentuh hatinya. Tapi pagi ini, pria itu seperti tak pernah berkata apa pun.

Beberapa saat kemudian, langkah kaki terdengar di belakangnya.

“Aku tak tahu kau sudah bangun.”

Jasmin tak menoleh. “Kau tak perlu menjelaskan, Reyan.”

“Aku tidak sedang menjelaskan.”

“Tapi kau di sini.”

“Karena aku tahu kau salah paham.”

Jasmin menoleh, matanya tajam. “Lucu, karena aku tidak mendengar kau mengoreksi apa pun saat dia bilang kalian pernah lebih dari akrab.”

Reyan menghela napas. Ia berdiri di ambang pintu dapur, tangan menyentuh kusen.

“Elena bagian dari masa lalu. Itu tidak relevan.”

“Tapi wajahmu barusan bilang sebaliknya.”

“Jasmin…” Nada suaranya melembut. Tapi Jasmin menepisnya dengan mata.

“Aku tidak butuh penjelasan, Reyan. Kita ini siapa? Kakak-adik tiri. Kau bisa bawa siapa pun ke rumah ini, dan aku tak punya hak merasa apa pun.”

Reyan melangkah satu langkah lebih dekat. Tapi kali ini, Jasmin yang mundur.

“Justru karena kita bukan siapa-siapa, kau tidak boleh memperlakukan aku seolah kau milikku.”

“Mungkin karena aku ingin kau jadi milikku.”

Ucapan itu jatuh seperti badai di antara mereka.

Mata Jasmin membulat. Bibirnya bergetar.

“Tapi kau… tidak akan mengakuinya, kan?”

Reyan menatap dalam. “Karena kita tinggal di rumah yang salah… pada waktu yang salah.”

**

Kata-kata itu lebih menyakitkan dari pengakuan. Karena jika waktu adalah masalahnya, maka tidak ada yang bisa mereka ubah. Dan Jasmin… tidak yakin bisa menunggu hidupnya berubah arah hanya agar Reyan bisa berani mencintainya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   Bab 16

    Suara kota menyambut mereka begitu pintu apartemen terbuka.Bising, ramai, dan tak peduli.Jasmin mengenakan hoodie besar milik Adele dan celana jeans longgar, wajahnya polos tanpa riasan, seperti mencoba menghapus identitas gadis yang kemarin masih berdiri di taman Von Thalheim bersama Reyan.“Aku bahkan lupa cara jadi orang biasa,” gumamnya sambil menyilangkan tangan di dada.Adele menatapnya sambil menahan tawa. “Selamat datang di kehidupan. Tidak ada piano klasik, tidak ada kristal, dan tidak ada… Reyan.”Nama itu membuat dada Jasmin terhenti sejenak. Tapi ia tidak menunduk. Tidak lagi.“Jangan ucapkan namanya kalau kau tak siap menangkapku saat aku jatuh,” ucapnya setengah bercanda.Adele mengangkat tangannya seolah bersumpah. “Aku akan selalu di bawah kalau kau jatuh.”Jasmin tertawa lirih. “Itu terdengar salah.”“Memang, tapi jujur.”Mereka berjalan menyusuri jalan kecil menuju kedai kop

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   Bab 15

    “Apa menurutmu… aku lemah?” bisik Jasmin.Adele, yang baru saja meletakkan sisa teh ke meja kecil di samping ranjang, menoleh pelan.“Tidak. Justru karena kau kuat… makanya kau berani pergi.”Jasmin menarik lututnya ke dada. Matanya masih kosong, tapi tubuhnya terlihat lebih tenang. Seolah setelah menangis cukup lama, hatinya pasrah pada luka itu.“Aku mencintainya,” katanya sekali lagi. “Tapi aku tidak ingin dia mencintaiku sambil membenci hidupnya sendiri.”Adele tak menjawab. Ia tahu, tidak ada kalimat apa pun yang bisa menyembuhkan luka sebesar itu dalam satu malam.Mereka terdiam. Dan di dalam keheningan itu, suara ponsel Jasmin bergetar di meja.Nama Reyan muncul di layar.Jasmin menatapnya lama. Jemarinya bergerak perlahan, nyaris menyentuh tombol terima, tapi…Ia membiarkannya berdering sampai mati.Adele menatapnya. “Kau yakin?”“Kalau aku dengar suaranya sekarang…” suara Jasm

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   Bab 14

    Reyan tak menjawab.Ia hanya berdiri di sana, mematung, bahkan saat tangan Jasmin perlahan-lahan melepas sentuhannya.“Aku harus pergi,” bisik Jasmin sekali lagi.Ia menunggu sejenak. Tapi Reyan tetap diam. Entah karena marah, kecewa, atau terlalu hancur untuk berkata apa-apa.Maka Jasmin melangkah mundur. Dua langkah. Tiga.Baru setelah punggungnya menjauh sejauh lima langkah, suara itu terdengar.“Jasmin…”Ia berhenti.“Kalau kau berubah pikiran…” Reyan menelan ludah, menahan suara yang nyaris pecah. “Kau tahu di mana harus menemukan aku.”Jasmin tak menoleh.Karena kalau ia menoleh, ia tahu tak akan sanggup pergi.Di luar villa, langit mulai meredup. Tapi tidak ada matahari tenggelam, tidak ada senja yang indah. Hanya langit kelabu yang terasa hampa. Sama seperti dadanya.Jasmin menuruni tangga villa dengan langkah yang tak lagi bisa dipertahankan. Ia hampir berlari me

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   Bab 13

    “Kalau begitu, aku harus pergi,” ucap Adele sambil menepuk lututnya pelan. Jasmin menoleh cepat. “Pergi ke mana?” “Masuk. Aku tidak akan datang sejauh ini hanya untuk duduk di luar.” Jasmin menatapnya penuh tanya. “Adele, kau tahu ini bukan tempatmu.” “Dan sejak kapan itu menghentikanku?” Ia tersenyum tajam. “Aku hanya ingin melihat bagaimana ekspresi wanita-wanita kaya itu kalau tahu siapa sebenarnya yang sedang mereka jaga-jaga.” Sebelum Jasmin bisa menariknya, Adele sudah melangkah lebih dulu menuju pintu masuk villa. Jasmin berdiri, hendak menyusul, tapi langkahnya tertahan oleh suara yang terlalu familiar. “Dia temanmu?” Jasmin membeku. Livia. Wanita itu berdiri hanya beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Gaunnya masih sempurna, sikapnya tetap elegan. Tapi nada suaranya… dingin. “Dia terlihat seperti seseorang yang tidak suka basa-basi,” lanjut Livia, pelan. “Atau… mungkin hanya seseorang yang tidak tahu batas.” Jasmin menegakkan tubuh. “Adele hanya peduli padaku. T

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   Bab 12

    Suara tumit menghentak pelan dari kejauhan. Keduanya refleks melepaskan tangan. Elena muncul dari balik lorong taman. Senyumnya manis, tapi matanya tajam. “Lucu sekali melihat kalian di sini,” ucapnya ringan. “Seperti adegan drama klasik… dua orang yang tidak bisa bersama, tapi tak bisa saling meninggalkan.” “Apakah kau mengikuti kami?” tanya Reyan, datar. “Tidak,” jawab Elena sambil mengangkat alis. “Aku hanya sedang berjalan. Tapi mata bisa melihat lebih banyak daripada yang seharusnya.” Ia berhenti tepat di depan mereka. “Jadi… apakah sekarang aku harus diam? Atau kalian ingin aku menyebarkannya saja sekalian ke meja makan?” Jasmin menegang. Tapi Reyan melangkah setengah ke depan, berdiri di antara Elena dan Jasmin. “Kau bisa lakukan apa pun yang kau mau,” katanya datar. “Tapi kali ini, aku tak akan tunduk pada permainanmu.” Elena terkekeh kecil. “Permainan? Aku tidak bermain, Reyan. Aku hanya menonton.” “Dan kalau kau menghancurkan seseorang hanya karena kau tidak mendapa

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   Bab 11

    “Aku harus kembali sebelum Marta bangun.” Suara Jasmin pecah di pelukan Reyan, masih dalam dekapan yang terlalu hangat untuk ditinggalkan. Reyan tak langsung melepasnya. Tangannya justru mengerat, seolah waktu bisa ia genggam. “Kalau kau keluar sekarang… dan seseorang melihatmu…” “Aku tahu.” Jasmin mengangguk pelan. “Tapi lebih buruk kalau kita pura-pura tak pernah ada.” Ia melepaskan diri. Berdiri. Membenarkan bajunya tanpa menatap Reyan lagi. Langkahnya pelan saat membuka pintu kamar Reyan. Tapi tepat saat ia melangkah keluar—mata mereka bertemu dengan seseorang. Livia. Diam. Datar. Tak ada ekspresi di wajahnya. Tapi tatapan itu—tajam. Seolah ia sudah melihat cukup banyak, tapi memilih tidak mengatakan apa-apa. “Selamat pagi,” ucap Livia dengan tenang, cangkir teh masih di tangannya. Jasmin membeku. “Pagi, Mama…” Livia hanya mengangguk, lalu berjalan melewati tanpa menoleh lagi. Tidak ada amarah. Dan itulah yang paling menakutkan. Di meja makan, suasana canggung tidak b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status