Jasmin menutup pintu kamarnya perlahan. Tapi napasnya masih tertinggal di luar, bersama Reyan, bersama udara malam, bersama kalimat terakhir yang masih menggema di telinganya.
“Sebelum aku lupa siapa aku.” Apa maksudnya? Lupa sebagai kakak? Lupa sebagai pria? Atau lupa bahwa ia seharusnya tidak merasa apa-apa? Ia bersandar pada daun pintu. Kedua tangannya mengepal ringan. Jantungnya belum kembali ke ritmenya yang normal. Dan saat itu, Jasmin sadar — Reyan tidak hanya menghuni rumah ini. Ia mulai menghuni pikirannya. Dan itu… tidak bisa dibantah. Di sisi lain rumah, Reyan menatap ke jendela yang sudah kembali kosong. Cahayanya padam. Tapi pikirannya menyala. Apa yang sedang ia lakukan? Ia, Reyan Albrecht, pria yang selalu tahu batas, selalu tahu cara menjaga jarak, kini berdiri seperti bocah tujuh belas tahun yang baru pertama kali bicara dengan gadis yang membuatnya gugup. Sial. Ia mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Tubuhnya tegang, bukan karena keinginan. Tapi karena… perlawanan. Ia merasa sedang melawan dirinya sendiri. Dan semakin ia menolak, semakin jelas Jasmin muncul di pikirannya — suara, wajah, bahkan aroma tubuhnya. Ini bukan sekadar tertarik. Ini… obsesi yang perlahan menyamar jadi kebiasaan. Pagi belum datang. Tapi malam juga tak benar-benar pergi. Jasmin duduk di ranjangnya, membuka buku sketsanya untuk melarikan diri dari pikirannya sendiri. Tapi di balik halaman kosong, ia malah menggambar sepasang mata. Dalam. Tajam. Dingin tapi hidup. Dan ia tahu persis siapa pemilik mata itu. Ia tutup bukunya cepat. “Ini gila,” bisiknya. “Kita baru tinggal satu rumah.” Tapi tidak butuh waktu lama untuk seseorang jadi bagian dari dunia kita. Kadang hanya butuh satu kalimat. Atau satu cara dia menatapmu. Beberapa saat kemudian, suara ketukan lembut terdengar. Jasmin menoleh, mengira itu Marta. Tapi yang berdiri di ambang pintu adalah seseorang yang tak ia harapkan di jam seganjil ini. Livia. Ibunya. Wanita itu membawa dua cangkir teh, senyumnya tenang tapi matanya menyimpan sesuatu. “Aku tak bisa tidur,” katanya ringan. “Kupikir… mungkin kau juga.” Jasmin menahan napas. “Ya. Aku… kepalaku penuh.” Mereka duduk di sofa kecil di dekat jendela, saling diam sesaat. “Apa kau nyaman di sini?” tanya Livia akhirnya. Jasmin mengangguk pelan. “Rumah ini terlalu tenang. Seperti menyembunyikan sesuatu.” Livia tersenyum tipis. “Mungkin karena semua orang di sini terlalu pandai menyembunyikan luka.” “Termasuk Reyan?” Livia menatap putrinya. Lama. “Reyan tumbuh dalam aturan. Dalam dunia yang menuntutnya untuk sempurna. Ia belajar menahan, bukan merasakan.” “Dan sekarang?” “Sekarang ia sedang belajar… bahwa ada hal-hal yang tak bisa ditahan selamanya.” ** Setelah Livia keluar dari kamar, Jasmin tetap duduk diam. Cangkir teh di tangannya sudah dingin, tapi pikirannya justru menghangat. Kata-kata ibunya tentang Reyan… terlalu jujur. Dan terlalu dekat dengan apa yang sedang ia rasakan. “Reyan sedang belajar… bahwa ada hal-hal yang tak bisa ditahan selamanya.” Hal-hal itu… termasuk dirinya? Jasmin menggeleng pelan, lalu bangkit dan menuju jendela. Dari balik kaca, ia bisa melihat taman yang masih diterangi lampu-lampu kecil. Bayangan malam menggantung lembut di rerumputan. Tapi bukan taman yang menarik perhatiannya. Melainkan sosok pria di ujung balkon sebelah — Reyan. Lagi-lagi. Ia berdiri di sana seperti tadi. Kali ini tanpa rokok. Hanya memandangi gelap. Jasmin tak sadar kapan kakinya mulai bergerak. Tapi ketika ia membuka pintu dan melangkah ke luar kamarnya, ia tahu ia tak akan memanggilnya. Ia hanya ingin tahu… apakah Reyan juga merasakan ketidaktenangan yang sama. Langkahnya pelan di lorong yang sepi. Ketika ia sampai di ujung balkon, Reyan menoleh tanpa kaget. “Kau tidak tidur,” katanya datar. “Kau juga tidak,” balas Jasmin, menyandarkan diri ke pagar batu. “Sepertinya rumah ini terlalu penuh suara… di dalam kepala.” Reyan tertawa kecil, suara rendah yang hanya terdengar dalam jarak dekat. “Malam kadang membuat kita mendengar hal yang siang sembunyikan.” “Termasuk perasaan?” “Termasuk penyesalan.” Mereka diam sesaat. Jasmin mengangkat kepalanya, menatap bintang-bintang yang jarang terlihat jelas dari kota. “Kau pernah menyesal?” bisiknya. Reyan tidak menjawab langsung. Tangannya menggenggam pagar, matanya menatap lurus. “Ada satu hal,” katanya akhirnya. “Dulu aku membiarkan seseorang pergi karena kupikir, itu akan menjaga segalanya tetap rapi.” “Kau mencintainya?” Reyan menoleh. “Aku takut mencintainya.” Dan kalimat itu, entah kenapa, menusuk ke dada Jasmin seperti milik mereka berdua. Suasana di balkon terasa lebih padat dari udara malam itu. Jasmin ingin bicara, tapi lidahnya menolak. Ia ingin bertanya siapa wanita itu, tapi sesuatu di dalam dirinya menolak untuk mendengar jawabannya. Mungkin karena… ia tak ingin dibandingkan. Atau… karena ia takut jawaban itu akan mengukuhkan bahwa perasaan yang tumbuh di antara mereka… bukan hanya sepihak. Tapi sebelum ia bisa memutuskan apakah akan bertanya atau pergi, Reyan membuka suara lagi. “Dan sekarang aku tahu… beberapa orang tidak bisa kau lupakan hanya karena kau tidak punya hak untuk mengingat mereka.” Matanya tidak lagi tajam. Tapi lelah. Terlalu jujur untuk pria yang biasanya penuh tembok. Jasmin melangkah mundur satu langkah. “Aku… aku harus tidur,” katanya pelan. Reyan hanya mengangguk, tidak menahan. Tapi saat Jasmin berbalik, Reyan berkata, tanpa suara keras, tapi cukup untuk menghentikan langkahnya: “Jika suatu hari nanti aku melangkah terlalu dekat… jangan percayai wajahku. Percayai cara aku menahan diri.” Jasmin tidak menjawab. Tapi ia tahu—ia tidak akan tidur malam ini.Hening yang menelan ruangan kembali terasa setelah suara langkah Frederick benar-benar hilang dari lorong. Jasmin masih duduk di ujung ranjang, jemarinya saling bertaut canggung, seolah tubuhnya belum bisa pulih dari ketegangan tadi.Reyan tidak langsung bicara. Ia berjalan ke jendela, membuka tirai sedikit, memastikan tak ada siapa pun yang berkeliaran di luar. Baru setelah itu ia menoleh, menatap Jasmin yang tampak rapuh tapi berusaha keras menutupi ketakutannya.“Kamu gemetar,” ucap Reyan akhirnya.Jasmin buru-buru menepis, meski jelas tangannya masih bergetar. “Nggak. Aku cuma… kaget.”Reyan mendekat, berlutut di depannya, sehingga pandangan mereka sejajar. Ia meraih jemari Jasmin yang dingin lalu menggenggam erat, menyalurkan kehangatan dari telapak tangannya. “Kalau kamu terus pura-pura, aku yang bakal gila. Kamu boleh takut, Jas. Kamu boleh gemetar. Itu nggak bikin kamu lemah.”Mata Jasmin bergetar. Ada sesuatu dalam nada Reyan yan
Baik, aku akan tulis Bab 131 dengan panjang ±2.000 kata, tidak kurang, tetap fokus pada satu suasana, emosi yang intim, dan transisi yang halus tanpa penanda waktu eksplisit.⸻Bab 131Ketukan pelan di pintu membuat Jasmin dan Reyan sama-sama terdiam. Suara itu tidak keras, tapi cukup untuk menggeser udara di ruangan yang semula hangat menjadi tegang.Mata Jasmin melebar, tubuhnya refleks menegang di pelukan Reyan. Ia segera menarik diri sedikit, menatap ke arah pintu seolah bisa menembus kayu tebal itu.“Siapa?” suaranya nyaris berbisik, penuh panik yang ia coba tekan.Reyan menempelkan jarinya ke bibirnya, memberi isyarat agar Jasmin diam. Tatapannya tenang, berbeda jauh dari jantung Jasmin yang berdetak tidak karuan. Pria itu lalu beranjak, berjalan pelan ke arah pintu.“Reyan?” suara dari balik pintu terdengar. Frederick.Jasmin langsung merasa seluruh darahnya membeku. Napasnya tercekat, matanya mencari-car
Jasmin terbangun lebih dulu. Cahaya lembut yang menyusup lewat jendela membuat matanya sedikit menyipit. Tubuhnya masih berada dalam dekapan Reyan, hangat dan kokoh, seolah pria itu sengaja tidak memberi celah agar ia bisa pergi.Ia menatap wajah Reyan yang masih terlelap. Wajah itu begitu tenang, berbeda jauh dari ekspresi tegas yang selalu ia tampilkan di depan orang lain. Ada garis lembut di bibirnya, alisnya tidak mengernyit, dan dadanya naik turun teratur.Tanpa sadar, Jasmin mengulurkan jemari, menyusuri garis rahang Reyan perlahan. Sentuhan itu membuat pria itu bergumam kecil, tapi tidak membuka mata. Jasmin tersenyum samar, merasa aneh sekaligus damai.“Kalau kamu tahu betapa menakutkannya aku kehilanganmu, mungkin kamu nggak akan tidur segampang ini,” bisiknya lirih.Ia mendekat, menempelkan bibirnya di dahi Reyan, sebuah ciuman yang nyaris tidak terdengar. Baru saja ia hendak menarik diri, tangan Reyan bergerak cepat, menahan pinggangnya
Reyan masih memeluk Jasmin erat, seolah tubuhnya adalah satu-satunya benteng yang bisa melindunginya dari segala hal. Kehangatan itu menempel di kulit mereka, bercampur dengan sisa napas yang belum sepenuhnya teratur. Jasmin menggeliat kecil, mencari posisi lebih nyaman, lalu menyelipkan wajahnya di lekuk leher Reyan.“Kalau aku bisa, aku mau tetap di sini,” gumam Jasmin pelan. “Nggak keluar, nggak ketemu siapa-siapa. Hanya kamu.”Reyan mengusap rambutnya, merasakan setiap helai yang jatuh lembut di jemarinya. “Aku juga maunya gitu. Tapi kita nggak bisa terus sembunyi.”Jasmin mendongak sedikit, menatapnya dengan mata yang masih basah. “Aku nggak peduli sama mereka. Yang aku peduli cuma kamu.”Reyan menghela napas, senyumnya tipis tapi tegas. “Aku juga. Tapi dunia nggak akan pernah diam. Mereka akan terus cari cara untuk nunjukin kalau kita salah. Dan kalau itu terjadi, aku nggak mau kamu yang paling terluka.”“Kenapa harus aku yang selal
Jasmin terbaring di dada Reyan, telinganya menempel tepat di atas detak jantungnya. Irama itu konstan, menenangkan, seakan jadi pengingat bahwa ia benar-benar hidup, bukan mimpi yang bisa lenyap sewaktu-waktu.“Kalau aku bisa berhenti di momen ini, aku nggak mau ke mana-mana lagi,” bisik Jasmin, hampir tak terdengar.Reyan menyusuri rambutnya dengan jemari pelan, setiap gerakan penuh kesabaran. “Kalau aku bisa, aku juga akan kunci momen ini. Biar cuma ada kita berdua, nggak ada dunia luar yang ikut campur.”Jasmin menengadah, menatap wajah Reyan dari jarak yang terlalu dekat. Bayangan bulu matanya jatuh di pipi, senyum tipisnya terlihat rapuh tapi indah. “Kamu sadar nggak, kita kayak orang gila? Kita tahu hubungan ini rumit, salah menurut mereka, tapi kita tetap jalan terus.”Reyan mengangkat alis, menatapnya dalam. “Kalau itu gila, berarti aku rela jadi orang paling gila di dunia. Karena aku nggak bisa berhenti.”Jasmin terdiam, lalu ter
Jasmin terbaring di atas ranjang dengan hela napas yang belum sepenuhnya stabil. Rambutnya berantakan, menempel di kening yang basah oleh keringat. Reyan masih berada di sampingnya, tubuhnya menunduk, jemarinya menyusuri garis wajah Jasmin dengan perlahan, seolah setiap inci kulitnya adalah peta yang tak pernah bosan ia baca.“Kamu sadar nggak,” suara Reyan terdengar rendah, serak karena habis berulang kali menyebut namanya, “setiap kali aku lihat kamu kayak gini, aku selalu ngerasa… ketakutan.”Jasmin membuka mata, menatapnya dengan bingung. “Takut?”Reyan mengangguk. “Takut kehilanganmu. Takut kalau semua ini cuma mimpi yang bisa runtuh kapan aja.”Jasmin tersenyum samar. Tubuhnya masih lemah, tapi ia mengangkat tangan, menyentuh rahang Reyan. “Kamu nggak mimpi. Aku nyata.”Reyan menunduk lebih dekat, mencium bibirnya pelan, bukan seperti ciuman yang barusan mereka bagi dengan penuh gairah, melainkan sentuhan lembut yang lebih menyerupai doa. Jasmin merespons dengan menutup mata, me