Share

Bab 6

Author: Atdriani12
last update Last Updated: 2025-07-12 22:43:13

Jasmin menutup pintu kamarnya perlahan. Tapi napasnya masih tertinggal di luar, bersama Reyan, bersama udara malam, bersama kalimat terakhir yang masih menggema di telinganya.

“Sebelum aku lupa siapa aku.”

Apa maksudnya? Lupa sebagai kakak? Lupa sebagai pria? Atau lupa bahwa ia seharusnya tidak merasa apa-apa?

Ia bersandar pada daun pintu. Kedua tangannya mengepal ringan. Jantungnya belum kembali ke ritmenya yang normal. Dan saat itu, Jasmin sadar — Reyan tidak hanya menghuni rumah ini. Ia mulai menghuni pikirannya.

Dan itu… tidak bisa dibantah.

Di sisi lain rumah, Reyan menatap ke jendela yang sudah kembali kosong. Cahayanya padam. Tapi pikirannya menyala.

Apa yang sedang ia lakukan?

Ia, Reyan Albrecht, pria yang selalu tahu batas, selalu tahu cara menjaga jarak, kini berdiri seperti bocah tujuh belas tahun yang baru pertama kali bicara dengan gadis yang membuatnya gugup.

Sial.

Ia mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Tubuhnya tegang, bukan karena keinginan. Tapi karena… perlawanan. Ia merasa sedang melawan dirinya sendiri. Dan semakin ia menolak, semakin jelas Jasmin muncul di pikirannya — suara, wajah, bahkan aroma tubuhnya.

Ini bukan sekadar tertarik. Ini… obsesi yang perlahan menyamar jadi kebiasaan.

Pagi belum datang. Tapi malam juga tak benar-benar pergi.

Jasmin duduk di ranjangnya, membuka buku sketsanya untuk melarikan diri dari pikirannya sendiri. Tapi di balik halaman kosong, ia malah menggambar sepasang mata. Dalam. Tajam. Dingin tapi hidup. Dan ia tahu persis siapa pemilik mata itu.

Ia tutup bukunya cepat.

“Ini gila,” bisiknya. “Kita baru tinggal satu rumah.”

Tapi tidak butuh waktu lama untuk seseorang jadi bagian dari dunia kita.

Kadang hanya butuh satu kalimat.

Atau satu cara dia menatapmu.

Beberapa saat kemudian, suara ketukan lembut terdengar.

Jasmin menoleh, mengira itu Marta. Tapi yang berdiri di ambang pintu adalah seseorang yang tak ia harapkan di jam seganjil ini.

Livia.

Ibunya.

Wanita itu membawa dua cangkir teh, senyumnya tenang tapi matanya menyimpan sesuatu.

“Aku tak bisa tidur,” katanya ringan. “Kupikir… mungkin kau juga.”

Jasmin menahan napas. “Ya. Aku… kepalaku penuh.”

Mereka duduk di sofa kecil di dekat jendela, saling diam sesaat.

“Apa kau nyaman di sini?” tanya Livia akhirnya.

Jasmin mengangguk pelan. “Rumah ini terlalu tenang. Seperti menyembunyikan sesuatu.”

Livia tersenyum tipis. “Mungkin karena semua orang di sini terlalu pandai menyembunyikan luka.”

“Termasuk Reyan?”

Livia menatap putrinya. Lama.

“Reyan tumbuh dalam aturan. Dalam dunia yang menuntutnya untuk sempurna. Ia belajar menahan, bukan merasakan.”

“Dan sekarang?”

“Sekarang ia sedang belajar… bahwa ada hal-hal yang tak bisa ditahan selamanya.”

**

Setelah Livia keluar dari kamar, Jasmin tetap duduk diam. Cangkir teh di tangannya sudah dingin, tapi pikirannya justru menghangat. Kata-kata ibunya tentang Reyan… terlalu jujur. Dan terlalu dekat dengan apa yang sedang ia rasakan.

“Reyan sedang belajar… bahwa ada hal-hal yang tak bisa ditahan selamanya.”

Hal-hal itu… termasuk dirinya?

Jasmin menggeleng pelan, lalu bangkit dan menuju jendela. Dari balik kaca, ia bisa melihat taman yang masih diterangi lampu-lampu kecil. Bayangan malam menggantung lembut di rerumputan.

Tapi bukan taman yang menarik perhatiannya.

Melainkan sosok pria di ujung balkon sebelah — Reyan. Lagi-lagi.

Ia berdiri di sana seperti tadi. Kali ini tanpa rokok. Hanya memandangi gelap.

Jasmin tak sadar kapan kakinya mulai bergerak. Tapi ketika ia membuka pintu dan melangkah ke luar kamarnya, ia tahu ia tak akan memanggilnya. Ia hanya ingin tahu… apakah Reyan juga merasakan ketidaktenangan yang sama.

Langkahnya pelan di lorong yang sepi.

Ketika ia sampai di ujung balkon, Reyan menoleh tanpa kaget.

“Kau tidak tidur,” katanya datar.

“Kau juga tidak,” balas Jasmin, menyandarkan diri ke pagar batu. “Sepertinya rumah ini terlalu penuh suara… di dalam kepala.”

Reyan tertawa kecil, suara rendah yang hanya terdengar dalam jarak dekat.

“Malam kadang membuat kita mendengar hal yang siang sembunyikan.”

“Termasuk perasaan?”

“Termasuk penyesalan.”

Mereka diam sesaat.

Jasmin mengangkat kepalanya, menatap bintang-bintang yang jarang terlihat jelas dari kota.

“Kau pernah menyesal?” bisiknya.

Reyan tidak menjawab langsung. Tangannya menggenggam pagar, matanya menatap lurus.

“Ada satu hal,” katanya akhirnya. “Dulu aku membiarkan seseorang pergi karena kupikir, itu akan menjaga segalanya tetap rapi.”

“Kau mencintainya?”

Reyan menoleh. “Aku takut mencintainya.”

Dan kalimat itu, entah kenapa, menusuk ke dada Jasmin seperti milik mereka berdua.

Suasana di balkon terasa lebih padat dari udara malam itu. Jasmin ingin bicara, tapi lidahnya menolak. Ia ingin bertanya siapa wanita itu, tapi sesuatu di dalam dirinya menolak untuk mendengar jawabannya.

Mungkin karena… ia tak ingin dibandingkan.

Atau… karena ia takut jawaban itu akan mengukuhkan bahwa perasaan yang tumbuh di antara mereka… bukan hanya sepihak.

Tapi sebelum ia bisa memutuskan apakah akan bertanya atau pergi, Reyan membuka suara lagi.

“Dan sekarang aku tahu… beberapa orang tidak bisa kau lupakan hanya karena kau tidak punya hak untuk mengingat mereka.”

Matanya tidak lagi tajam. Tapi lelah. Terlalu jujur untuk pria yang biasanya penuh tembok.

Jasmin melangkah mundur satu langkah.

“Aku… aku harus tidur,” katanya pelan.

Reyan hanya mengangguk, tidak menahan.

Tapi saat Jasmin berbalik, Reyan berkata, tanpa suara keras, tapi cukup untuk menghentikan langkahnya:

“Jika suatu hari nanti aku melangkah terlalu dekat… jangan percayai wajahku. Percayai cara aku menahan diri.”

Jasmin tidak menjawab.

Tapi ia tahu—ia tidak akan tidur malam ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   BAB 122

    Keheningan itu tidak lagi terasa canggung. Bagi Jasmin, berada di sisi Reyan seperti menemukan tempat beristirahat setelah berlari terlalu lama. Bahunya yang menjadi sandaran membuat tubuhnya perlahan rileks, seolah semua beban yang menekan bisa dibagi.“Aku kadang mikir,” suara Jasmin keluar lirih, “kalau aja aku nggak pernah ketemu kamu, hidupku mungkin tetap sama. Datar, kosong, dan… dingin.”Reyan menoleh sedikit, matanya mengamati wajah Jasmin yang masih menempel di bahunya. “Kalau aku nggak ketemu kamu, mungkin hidupku juga cuma jalan terus tanpa arah. Jadi, kayaknya kita memang harus ketemu.”Jasmin menghela napas tipis, senyumnya muncul samar. “Kedengarannya cheesy.”“Memang,” Reyan mengakui sambil tersenyum tipis. “Tapi nggak semua hal harus rasional, Jas. Kadang… yang konyol justru bikin kita tetap waras.”Jasmin mengangkat kepalanya perlahan, menatapnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Kamu serius?”Reyan mengang

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   BAB 121

    Ruangan itu seolah menyimpan napasnya sendiri. Lampu redup memantulkan cahaya ke dinding, menciptakan bayangan samar di wajah Jasmin dan Reyan. Mereka masih berada di posisi yang sama seperti sebelumnya—dekat, tapi tetap menyisakan sedikit jarak yang membuat udara di antaranya terasa tegang.Jasmin mengalihkan pandangan dari jendela, mencoba memusatkan pikirannya pada sesuatu selain detak jantungnya yang terasa terlalu keras. “Kamu selalu punya jawaban, ya?” katanya, setengah menggoda, setengah serius.Reyan mengangkat alis. “Maksudnya?”“Setiap kali aku bingung atau nggak yakin, kamu selalu tahu harus ngomong apa,” Jasmin mengangkat bahu. “Kayak… kamu udah siap dengan semua kemungkinan yang bakal aku tanyain.”Reyan tersenyum tipis. “Bukan karena aku tahu semua jawaban, Jas. Tapi karena aku benar-benar dengerin kamu.”Jasmin ingin membalas, tapi bibirnya hanya bergerak tanpa suara. Ia tidak terbiasa dengan seseorang yang benar-benar memp

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   BAB 120

    Keheningan di antara mereka bukan lagi seperti dinding. Justru terasa seperti selimut tipis yang melindungi dari dinginnya dunia luar. Jasmin masih bersandar di bahu Reyan, membiarkan aroma samar cologne-nya bercampur dengan napas hangat yang berhembus pelan.“Nyaman?” suara Reyan memecah diam, nadanya lembut tapi penuh perhatian.“Lumayan,” jawab Jasmin, mencoba terdengar biasa saja. “Mungkin aku bisa terbiasa kalau begini terus.”“Bagus,” Reyan menoleh sedikit ke arahnya, tersenyum tipis. “Karena aku nggak keberatan kalau harus begini setiap hari.”Jasmin pura-pura tidak menggubris, meski hatinya berdetak lebih cepat. Ia tahu, semakin lama ia membiarkan dirinya berada sedekat ini, semakin sulit untuk menjauh. Tapi tubuhnya seolah mengkhianati logika.Reyan memiringkan kepalanya, mengamati wajah Jasmin dari jarak begitu dekat. “Kamu kelihatan lelah.”“Aku memang lelah,” jawab Jasmin singkat. “Tapi bukan cuma fisik.”Rey

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   BAB 119

    Keheningan yang tersisa di antara mereka tidak lagi terasa seperti jarak. Rasanya justru seperti ruang yang aman, di mana setiap kata bisa muncul tanpa tergesa. Jasmin masih membiarkan tangan Reyan berada di pipinya. Sentuhan itu membuat pikirannya campur aduk, tapi anehnya, ia tidak ingin melepaskannya.“Rey,” panggilnya pelan.“Hmm?” Reyan menatapnya dengan sorot lembut.“Apa kamu nggak capek?”“Capek karena apa?”“Karena harus terus meyakinkan aku,” suara Jasmin nyaris seperti gumaman. “Karena harus terus ada buat aku, bahkan saat aku mungkin nggak layak.”Reyan tersenyum tipis. “Kalau aku merasa capek, itu cuma berarti aku butuh istirahat, bukan berarti aku mau berhenti.”Jasmin mengalihkan pandangan, tapi genggaman tangannya justru semakin erat. “Aku takut kalau suatu hari kamu berhenti. Semua orang berhenti pada akhirnya.”Reyan menunduk sedikit, memastikan matanya sejajar dengan Jasmin. “Kalau aku berhent

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   BAB 118

    Ruang itu masih menyimpan sisa kehangatan percakapan sebelumnya. Jasmin belum melepaskan genggaman tangan Reyan, meski jemarinya sempat bergetar halus. Ada sesuatu yang membuatnya enggan mencabut diri dari kontak sederhana itu—entah karena takut kehilangan lagi atau karena baru sadar betapa ia merindukan sentuhan ini.Reyan duduk sedikit lebih dekat. Ia tak terburu-buru bicara, hanya membiarkan keheningan bekerja seperti obat. Sorot matanya tak pernah lepas dari wajah Jasmin, seakan sedang menghafal setiap garisnya untuk berjaga-jaga jika suatu saat harus mengingatnya tanpa bisa melihat.“Aku masih nggak tahu,” suara Jasmin akhirnya memecah hening, “apa aku benar-benar butuh kamu… atau aku cuma takut sendirian.”Reyan mengernyit pelan. “Kalau kamu cuma takut sendirian, kamu nggak akan berani marah sama aku. Kamu nggak akan nyuruh aku pergi waktu kamu merasa disakiti. Orang yang cuma takut sendirian akan menerima apa saja, bahkan yang menyakitinya, asalkan

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   BAB 117

    Suara hujan yang jatuh di luar jendela membuat ruang itu terasa seperti dunia yang terkurung dalam kaca. Jasmin duduk di ujung sofa, kedua lututnya ditekuk, memeluk bantal. Cahaya temaram dari lampu di sudut ruangan membuat bayangan wajahnya tampak lebih lembut, tapi matanya masih menyimpan sisa badai.Reyan duduk di seberang, tubuhnya sedikit condong ke depan, siku bertumpu pada lutut. Ia menatap Jasmin tanpa berkedip, seolah khawatir jika ia memalingkan wajahnya barang sedetik saja, gadis itu akan kembali menghilang.“Kamu nggak nyaman kalau aku di sini?” suara Reyan memecah keheningan.Jasmin mengangkat kepalanya, pandangan singkat itu menusuk. “Kalau aku nggak nyaman, aku sudah menyuruhmu pergi.”Reyan tersenyum tipis, meski senyum itu tak sampai ke matanya. “Kamu selalu punya cara membuatku merasa seperti orang asing dan rumah pada saat yang sama.”“Lucu sekali,” gumam Jasmin sambil memeluk bantal lebih erat. “Itu juga yang aku rasak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status