Mereka keluar dari kamar, Alisya yang melihat kakaknya begitu cemas dengan menggandeng Ana pun memberanikan diri untuk bertanya.
“Kak, mau ke mana?” tanya Alisya.
“Ke dokter! Kamu sarapan dan pergi ke sekolah dulu, jangan menungguku!” perintah Zidan tanpa menoleh pada Alisya.
Alisya hanya mengangguk mengerti, ia cemas kenapa kakaknya terlihat panik, berpikir apakah terjadi sesuatu dengan kakak iparnya.
-
-
Mereka sudah sampai di rumah praktek seorang dokter, meski di sana tertulis jika dokter buka pukul sembilan pagi, Zidan memaksa agar dokter itu mau memeriksa keadaan Ana terutama kandungannya.
“Aditya mengatakan jika Ana pernah mengalami sakit yang membuat dirinya mengalami masalah dalam rahimnya yang mengakibatkan Ana kemungkinan besar tidak bisa hamil. Tapi, sekarang apa? Dia tidak hamil, 'kan?” Zidan bertanya-tanya dalam hati.
Zidan memiliki masalah trauma tentang kehamilan, mengingat bagaimana dulu ibu yang sangat ia sayangi dan cintai meninggal, membuat Zidan berniat untuk tidak pernah memiliki keturunan. Zidan tidak mau Ana hamil, apalagi jika sampai Ana mengalami apa yang dialami oleh ibunya. Saat Aditya mengatakan jika Ana mengalami gangguan pada rahimnya dan kemungkinan besar tidak bisa memiliki keturunan, membuat Zidan semakin mantap untuk menjadikan Ana istrinya.
Selama ini Zidan sangat berhati-hati saat berhubungan badan dengan Ana, ia selalu menanyakan apa Ana dalam masa subur atau tidak, hanya berjaga-jaga jika saja Ana bisa hamil. Namun, pagi ini saat melihat Ana mual-mual, membuat Zidan begitu khawatir, ada kemungkinan Ana hamil meski wanita itu divonis tidak bisa hamil. Itulah kira-kira yang ada di pikiran Zidan.
Dokter wanita yang Zidan datangi baru saja selesai mengecek kondisi Ana, istri Zidan itu tampak pucat dan langsung duduk begitu selesai diperiksa.
“Bagaimana Dok?” tanya Zidan yang tidak sabaran.
“Tidak ada masalah serius, istri Anda hanya kelelahan, tekanan darahnya rendah, juga asam lambungnya sangat tinggi hingga menyebabkannya mual di pagi hari. Saya akan meresepkan obat untuk dikonsumsi, ingat untuk menjaga pola makan, istirahat yang cukup dan jangan stres.” Dokter itu menerangkan seraya menulis resep untuk Ana.
“Dia tidak hamil 'kan, Dok?” tanya Zidan yang membuat bola mata Ana membulat lebar.
Ana yang awalnya sedang memijat kepala karena masih merasa pusing pun langsung menoleh pada Zidan, ia tidak mengerti kenapa suaminya menanyakan masalah kehamilan.
Dokter itu tertawa, ia kemudian menjawab, " Anda pasti sangat menginginkan keturunan, ya? Tapi sayang, istri Anda sedang datang bulan."
Zidan langsung menoleh pada Ana ketika mendengar kata datang bulan, ada rasa senang di hatinya mengetahui jika dugaannya salah.
“Kamu sedang datang bulan?” tanya Zidan pada Ana untuk memastikan.
“Iya Mas! Baru semalam keluar, makanya kepalaku pusing. Mas saja yang terlalu cemas sampai tidak bertanya dulu dan langsung mengajakku berobat,” jawab Ana dengan suara lemah.
Entah kenapa Ana merasa sedikit senang dengan pertanyaan Zidan tentang kemungkinan Ana hamil, berpikir jika pria itu pasti sangat menginginkan anak dari rahimnya.
Zidan menghela napas lega, semua rasa cemas tentang kehamilan itu tidak terbukti. Kini perasaannya bisa kembali tenang dan menganggap jika perkataan Aditya benar adanya.
Ana berpikir Zidan ingin segera memiliki keturunan, sedangkan Zidan berpikir jika Ana benar-benar tidak bisa hamil. Keduanya memiliki jalan dan keinginan berbeda.
Meski Ana tidak, atau sebenarnya belum mencintai Zidan, tapi ketika pria itu menanyakan tentang kehamilan sudah cukup membuatnya bahagia. Merasa diinginkan adalah keinginan Ana, dengan begitu ia akan bisa tetap bertahan hidup untuk orang yang menginginkan dirinya.
Namun, harapan Ana yang baru terbangun seketika hancur berkeping-keping. Sesampainya di rumah tiba-tiba Zidan memintanya untuk memakai alat kontrasepsi agar mencegah kehamilan.
“Maksud Mas Zidan apa?” tanya Ana dengan mimik keheranan.
“A-ku belum siap memiliki keturunan, jika kamu hamil kita pasti akan semakin repot mengurus ayah, apa lagi bayi.”
“Ayah! Ayah dan ayah, dipikiran Mas Zidan hanya ada ayah, Mikaila dan Alisya. sepertinya sedetik pun tidak ada nama 'ku dipikiran Mas!” Ana tiba-tiba saja murka.
“Kalau Mas Zidan tidak menginginkan anak, kenapa Mas Zidan menikahi 'ku. Mas anggap aku apa? Selama setahun ini, aku merasa seperti pembantu, tidak sekali pun aku dianggap ratu oleh Mas!”
Alis Zidan menukik tajam, ia kaget karena Ana bisa membentak dan berbicara sekeras itu kepadanya.
“Aku lelah Mas, aku tidak mau lagi tinggal di rumah dan mengurus ayah, aku akan bekerja!” ujar Ana tegas.
-
-
Meski dirinya sudah meluapkan amarah dan juga keinginan yang ia pendam, tapi tetap saja Zidan tidak mengizinkan Ana untuk bekerja, membuat wanita itu semakin frustasi dengan kehidupan yang ia jalani.
Baru saja ia merasa bahagia karena Zidan seolah sedang menantikan benih yang tumbuh di rahimnya, tapi dalam seketika semua langsung sirna saat Zidan mengatakan padanya untuk memakai alat kontrasepsi, sungguh permintaan yang begitu menyakiti hati, terlebih karena Zidan tidak memberikan alasan yang jelas kenapa menginginkan hal itu.
Pagi itu Alisya dan Zidan sudah berada di meja makan, sedangkan Mikaila jarang ikut sarapan setelah ada Ana, terlebih gadis itu sekarang sudah lulus kuliah dan membuat alasan kalau sedang mencari pekerjaan sehingga tidak sempat berkumpul. Ana sendiri masih mengurus ayah mertuanya karena perawat yang biasa membantu datang terlambat.
“Kak, kenapa sejak kemarin kak Ana terlihat murung?” tanya Alisya penasaran karena semenjak Zidan membawa Ana periksa ke dokter pagi itu, Ana terlihat berbeda setelahnya.
Meski Ana selalu memilih diam, tapi ia selalu berusaha untuk bersikap hangat dan tersenyum jika Alisya pulang sekolah.
“Tidak ada apa-apa. Dia hanya lelah,” jawab Zidan yang fokus dengan makanannya.
“Oh, begitu,” timpal Alisya, tapi sedetik kemudian ia berkata lagi, “Jika kak Ana hamil dan punya anak, rumah ini pasti akan ramai dengan suara anak kecil,” ujar Alisya seraya membayangkan betapa lucunya keponakannya kelak.
Mendengar apa yang diucapkan Alisya, membuat Zidan terlihat emosi. Bahkan, Zidan meletakkan alat makannya dengan kasar, pria itu kemudian menatap tajam ke arah Alisya.
“Bisa nggak jika tidak usah membahas tentang anak?!” geram Zidan.
“Kenapa Kak? Apa Kakak tidak ingin? Aku yakin kalau kak Ana juga ingin,” ulas Alisya lagi.
Zidan menggebrak meja, membuat kedua pundak Alisya bergedik karena terkejut.
“Kamu tidak ingat siapa yang buat ibu meninggal? Apa kamu mau Ana juga akan mengalami hal yang sama dengan ibu, hah! Aku tidak akan dan tidak pernah ingin Ana hamil!” hardik Zidan yang sudah diliputi amarah.
Alisya terkesiap dengan ucapan Zidan, bertahun-tahun masalah itu sudah tidak pernah dibahas tapi sekarang kakaknya sendiri yang mengingatkan.
Alisya menangis, ia langsung berdiri dan meninggalkan meja makan. Ana yang baru saja selesai mengurus ayah mertuanya, mendengar percakapan Zidan dengan Alisya. Ia memang sengaja tidak langsung mendekat ketika mendengar Alisya yang membahas tentang anak. Hingga pada akhirnya Ana tahu kalau Zidan memang tidak berniat memiliki anak darinya.
Alisya berpapasan dengan Ana, gadis itu langsung melewati kakak iparnya untuk menuju kamar.
Ana menatap punggung Alisya kemudian beralih menatap Zidan yang duduk di kursi makan dengan memijat keningnya.
“Jadi ini maksud dari Mas Zidan meminta 'ku memakai alat kontrasepsi?” tanya Ana langsung.
Zidan dan Arga memakai pakaian khusus untuk bisa melihat Ana, mereka masuk bersama setelah terjadi perdebatan sengit, tidak ada yang mengalah untuk bergantian melihat kondisi Ana. Hingga akhirnya perawat mengizinkan keduanya masuk bersamaan. Kini keduanya sudah berdiri di samping kanan dan kiri, menatap wajah Ana yang penuh luka, alat bantu napas terpasang di hidung, jarum infus dan alat penunjang kehidupan lainnya terpasang di seluruh badan. Kedua pria itu sama-sama menggenggam tangan Ana, bahkan mengecup punggung tangan bersamaan, seakan melupakan perdebatan mereka saat di luar. "An, jika kamu bangun. Aku berjanji untuk membahagiakan dirimu, akan aku ikuti semua keinginanmu. Bahkan jika kamu meminta aku mundur dari dunia musik, maka akan aku lakukan," ucap Arga yang terdengar begitu pilu. "An, meski aku tidak berhak, tapi kamu tahu aku sangat mencintaimu. Aku akan merawatmu meski suamimu melarang," ucap Zidan yan
"Kenapa? Kenapa melakukan ini padaku? Kenapa kamu menjadi orang yang membocorkan hubungan gelap kita? Kenapa kamu tega, Ga? Kenapa?" Ana melihat file berisi foto yang sama dengan foto yang dikirim ke Zidan, foto yang membuat hubungan mereka terbongkar. Bahkan Ana melihat foto bukti transfer kepada seseorang, menduga kalau Arga sengaja membayar untuk mengambil foto mereka secara diam-diam kemudian mengirimkan kepada Zidan. Zidan berjalan cepat menyusuri koridor, menuju ruang operasi sesaat setelah mendapat kabar Ana mengalami kecelakaan. Begitu melihat Arga yang tertunduk dengan tangan yang berlumuran darah, membuat Zidan murka. Mantan suami Ana langsung menarik kerah Arga, melayangkan bogem mentah hingga membuat Arga limbung dan terjatuh di lantai. "Apa yang kamu lakukan padanya, hah? Kenapa dia meminta maaf padaku berulang kali? Apa yang kamu lakukan, brengsek?!" Zidan kembali melayang
Arga langsung menggendong Ana begitu sampai di rumah. Seakan enggan melepas sang istri, rasa takut dan tertekan kini benar-benar dirasakan Arga. Lanie, Samuel, dan Dio tidak berani mengganggu, mereka hanya menatap Arga yang langsung berjalan masuk ke rumah."Biarkan mereka berdua," ucap Lanie yang langsung mendapat anggukan dari Samuel dan Dio.Lanie menambah pengawal pribadi di area rumah Arga, jangan sampai mereka kecolongan lagi. Lanie juga sudah meminta beberapa hacker untuk menghapus postingan yang sudah terlanjur beredar di sosmed. - -Arga berjalan dengan menatap sendu sang istri, ingin rasanya menangis tapi takut Ana akan menjadi semakin sedih. Menurunkan Ana di atas tempat tidur, menyelimuti dan kemudian ikut berbaring di ranjang."Maaf sudah membuatmu cemas," ucap Ana yang tahu kalau Arga mencemaskan dirinya.Arga menggeleng menahan tangis, d
Arga dan yang lainnya sudah sampai di lokasi yang diberikan Alisya, mereka tidak menemukan siapa pun di sana, membuat Arga semakin frustasi."Nomor Ana masih tidak bisa dihubungi!" Lanie tampak panik. Ia baru saja memaki pengawal yang disuruh mengawasi Ana, orang bayarannya itu ternyata tidak tahu kalau Ana pergi keluar.Arga mengguyar kasar rambut karena frustasi, pikirannya tidak tenang membayangkan apa yang terjadi dengan sang istri."Kita cari ke rumah Alisya," kata Dio yang membuat Arga, Lanie, dan Samuel menatap padanya."Rumah Alisya, rumah mantan suami Ana!" Arga memastikan.Dio mengangguk, bisa saja Ana di sana mengingat kalau Alisya yang pertama kali memberi kabar soal postingan hingga keberadaan Ana. Arga terlihat berpikir, hingga kemudian mengiyakan usul Dio. Mereka kembali masuk mobil, hendak pergi menuju rumah Zidan.Arga terlihat berpikir, mesk
Ana ditarik paksa, bahkan gadis yang berjalan di belakang terlihat sesekali menarik rambut Ana dengan kasar, membuat istri Arga itu meringis menahan sakit. Mereka membawa Ana ke sebuah gang kecil yang terdapat di dekat minimarket, sepi orang berlalu lalang hingga membuat para gadis itu bebas menggila. Menyebut diri mereka Arga Angels, fans fanatik Arga yang tidak akan rela jika kekasih sedunia mereka dimiliki oleh satu wanita.Ana didorong hingga membentur tembok, lengannya terasa sakit dan kulit kepala begitu perih."Mau apa kalian?" tanya Ana menatap satu persatu para gadis yang membawa paksa dirinya. Matanya merah, entah menahan tangis atau amarah."Mau apa? Tentu saja memberimu pelajaran! Siapa yang mengizinkanmu menikahi Arga kami, hah!" bentak salah satu gadis yang sudah diliputi amarah.Gadis lainnya melempar sebutir telur tepat mengenai pelipis Ana, membuat terkejut tak percaya dengan yang te
Sudah dua hari berlalu. Sejak hari di mana ibu pindah, Ana dan Arga masih tinggal di rumah ibu karena di sana lebih leluasa melakukan sesuatu dan juga pengawal yang berjaga akan lebih leluasa mengawasi. "Ah, semuanya habis." Ana mengecek persediaan dapur. Karena dua hari tidak ke mana-mana, membuat dirinya tidak berbelanja sama sekali. Arga pergi ke studio pada pagi buta, tidak ingin kalau ada paparazi yang melihatnya keluar dari rumah itu. Kini Ana kebingungan harus bagaimana, hingga akhirnya memilih untuk keluar berbelanja. Hari masih pagi, berpikir kalau paparazi tidak mungkin akan beraksi, terlebih sampai sekarang belum ada tanda-tanda kalau foto atau video tentang pernikahan mereka tersebar di jagat maya. - - - Zidan tengah sarapan bersama Mikayla dan Alisya. Sejak Zidan menghajar Rian, Mikayla terlihat lebih baik, seakan sudah melupakan tentang tekanan batin yang pernah
Zidan terlihat mengemudikan mobil di jalanan, baru saja menghadiri rapat di luar perusahaan. Semenjak bertemu Ana tempo hari, Zidan terlihat lebih senang dan bahagia, bahkan tak jarang tiba-tiba tersenyum sendiri, seakan sedang jatuh cinta untuk kedua kalinya. Zidan melajukan mobil dengan kecepatan sedang, hingga menangkap sosok wanita yang dikenal. Zidan buru-buru menepikan mobil di sisi jalan serta memarkirkan serampangan sebelum akhirnya keluar dan berjalan dengan sedikit tergesa-gesa.Mikayla yang baru saja selesai berbelanja setelah beberapa hari istirahat, melihat Rian yang sedang berjalan dengan seorang wanita. Terlihat begitu mesra dan intim, membuat Mikayla tidak terima akan hal itu, bukan hanya karena Rian menolak bertanggung jawab, tapi juga karena Rian memecatnya.Mikayla berjalan cepat menghampiri Rian yang sedang berjalan bergandengan tangan dengan wanita berpakaian seksi itu, menarik kasar tangan Rian hingga membuat genggaman
Hari berikutnya, Lanie dan teman-teman Arga datang ke rumah ibu. Mereka panik ketika tahu hal yang menimpa ibu dan Ana akibat ulah paparazi."Bagaimana keadaan ibu?" tanya Lanie ketika Arga sudah mempersilahkan semuanya duduk."Ada di kamar, sedang bersama Ana," jawab Arga.Arga menatap satu persatu teman-temannya, kemudian menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Semua teman-teman Arga memperhatikan suami Ana, merasa kalau pria itu benar-benar sedang dalam keadaan bingung."Aku ingin mempublikasikan hubungan kami," ucap Arga yang membuat semuanya terkejut."Ar, apa kamu sudah memperkirakan konsekuensi yang akan terjadi jika melakukan hal itu?" tanya Samuel yang selalu membuka suara untuk mengemukakan pendapat."Benar, kamu tidak bisa begitu saja mengatakan pada publik tentang statusmu sekarang," timpal Lanie.Arga mengusap ka
Ana terkejut dengan pertanyaan Arga, bagaimana bisa tahu kalau dirinya bertemu Zidan? Apa itu saat di rumah sakit? Atau di kafe? Pertanyaan itu malah berputar di kepala.Arga menanti kejujuran dari sang istri, sangat berharap Ana tidak membohongi dirinya. "An!"Ana menarik napas dalam-dalam, mengulas senyum dan mempererat genggaman tangan. "Iya," jawab Ana yang membuat Arga hendak melepas tangan dari genggaman Ana. "Tapi dengar dulu penjelasanku!" Ana tidak membiarkan Arga melepas tangannya, sadar kalau sang suami pasti cemburu."Kamu ingat waktu aku bilang baru saja mengantar teman ke rumah sakit?" tanya Ana dengan tatapan yang tidak teralihkan dari wajah Arga. Arga hanya mengangguk karena masih ingat.Ana melanjutkan cerita ketika Arga sudah menjawab dengan sebuah anggukan. "Dia adalah Mikayla, adiknya mas Zidan. Dia hamil dan pria yang seharusnya bertanggung jawab malah kabur, aku menyelamat