Share

TCM 14

Mereka keluar dari kamar, Alisya yang melihat kakaknya begitu cemas dengan menggandeng Ana pun memberanikan diri untuk bertanya.

“Kak, mau ke mana?” tanya Alisya.

“Ke dokter! Kamu sarapan dan pergi ke sekolah dulu, jangan menungguku!” perintah Zidan tanpa menoleh pada Alisya.

Alisya hanya mengangguk mengerti, ia cemas kenapa kakaknya terlihat panik, berpikir apakah terjadi sesuatu dengan kakak iparnya.

-

-

Mereka sudah sampai di rumah praktek seorang dokter, meski di sana tertulis jika dokter buka pukul sembilan pagi, Zidan memaksa agar dokter itu mau memeriksa keadaan Ana terutama kandungannya.

“Aditya mengatakan jika Ana pernah mengalami sakit yang membuat dirinya mengalami masalah dalam rahimnya yang mengakibatkan Ana kemungkinan besar tidak bisa hamil. Tapi, sekarang apa? Dia tidak hamil, 'kan?” Zidan bertanya-tanya dalam hati.

Zidan memiliki masalah trauma tentang kehamilan, mengingat bagaimana dulu ibu yang sangat ia sayangi dan cintai meninggal, membuat Zidan berniat untuk tidak pernah memiliki keturunan. Zidan tidak mau Ana hamil, apalagi jika sampai Ana mengalami apa yang dialami oleh ibunya. Saat Aditya mengatakan jika Ana mengalami gangguan pada rahimnya dan kemungkinan besar tidak bisa memiliki keturunan, membuat Zidan semakin mantap untuk menjadikan Ana istrinya.

Selama ini Zidan sangat berhati-hati saat berhubungan badan dengan Ana, ia selalu menanyakan apa Ana dalam masa subur atau tidak, hanya berjaga-jaga jika saja Ana bisa hamil. Namun, pagi ini saat melihat Ana mual-mual, membuat Zidan begitu khawatir, ada kemungkinan Ana hamil meski wanita itu divonis tidak bisa hamil. Itulah kira-kira yang ada di pikiran Zidan.

Dokter wanita yang Zidan datangi baru saja selesai mengecek kondisi Ana, istri Zidan itu tampak pucat dan langsung duduk begitu selesai diperiksa.

“Bagaimana Dok?” tanya Zidan yang tidak sabaran.

“Tidak ada masalah serius, istri Anda hanya kelelahan, tekanan darahnya rendah, juga asam lambungnya sangat tinggi hingga menyebabkannya mual di pagi hari. Saya akan meresepkan obat untuk dikonsumsi, ingat untuk menjaga pola makan, istirahat yang cukup dan jangan stres.” Dokter itu menerangkan seraya menulis resep untuk Ana.

“Dia tidak hamil 'kan, Dok?” tanya Zidan yang membuat bola mata Ana membulat lebar.

Ana yang awalnya sedang memijat kepala karena masih merasa pusing pun langsung menoleh pada Zidan, ia tidak mengerti kenapa suaminya menanyakan masalah kehamilan.

Dokter itu tertawa, ia kemudian menjawab, " Anda pasti sangat menginginkan keturunan, ya? Tapi sayang, istri Anda sedang datang bulan."

Zidan langsung menoleh pada Ana ketika mendengar kata datang bulan, ada rasa senang di hatinya mengetahui jika dugaannya salah.

“Kamu sedang datang bulan?” tanya Zidan pada Ana untuk memastikan.

“Iya Mas! Baru semalam keluar, makanya kepalaku pusing. Mas saja yang terlalu cemas sampai tidak bertanya dulu dan langsung mengajakku berobat,” jawab Ana dengan suara lemah.

Entah kenapa Ana merasa sedikit senang dengan pertanyaan Zidan tentang kemungkinan Ana hamil, berpikir jika pria itu pasti sangat menginginkan anak dari rahimnya.

Zidan menghela napas lega, semua rasa cemas tentang kehamilan itu tidak terbukti. Kini perasaannya bisa kembali tenang dan menganggap jika perkataan Aditya benar adanya.

Ana berpikir Zidan ingin segera memiliki keturunan, sedangkan Zidan berpikir jika Ana benar-benar tidak bisa hamil. Keduanya memiliki jalan dan keinginan berbeda.

Meski Ana tidak, atau sebenarnya belum mencintai Zidan, tapi ketika pria itu menanyakan tentang kehamilan sudah cukup membuatnya bahagia. Merasa diinginkan adalah keinginan Ana, dengan begitu ia akan bisa tetap bertahan hidup untuk orang yang menginginkan dirinya.

Namun, harapan Ana yang baru terbangun seketika hancur berkeping-keping. Sesampainya di rumah tiba-tiba Zidan memintanya untuk memakai alat kontrasepsi agar mencegah kehamilan.

“Maksud Mas Zidan apa?” tanya Ana dengan mimik keheranan.

“A-ku belum siap memiliki keturunan, jika kamu hamil kita pasti akan semakin repot mengurus ayah, apa lagi bayi.”

“Ayah! Ayah dan ayah, dipikiran Mas Zidan hanya ada ayah, Mikaila dan Alisya. sepertinya sedetik pun tidak ada nama 'ku dipikiran Mas!” Ana tiba-tiba saja murka.

“Kalau Mas Zidan tidak menginginkan anak, kenapa Mas Zidan menikahi 'ku. Mas anggap aku apa? Selama setahun ini, aku merasa seperti pembantu, tidak sekali pun aku dianggap ratu oleh Mas!”

Alis Zidan menukik tajam, ia kaget karena Ana bisa membentak dan berbicara sekeras itu kepadanya.

“Aku lelah Mas, aku tidak mau lagi tinggal di rumah dan mengurus ayah, aku akan bekerja!” ujar Ana tegas.

-

-

Meski dirinya sudah meluapkan amarah dan juga keinginan yang ia pendam, tapi tetap saja Zidan tidak mengizinkan Ana untuk bekerja, membuat wanita itu semakin frustasi dengan kehidupan yang ia jalani.

Baru saja ia merasa bahagia karena Zidan seolah sedang menantikan benih yang tumbuh di rahimnya, tapi dalam seketika semua langsung sirna saat Zidan mengatakan padanya untuk memakai alat kontrasepsi, sungguh permintaan yang begitu menyakiti hati, terlebih karena Zidan tidak memberikan alasan yang jelas kenapa menginginkan hal itu.

Pagi itu Alisya dan Zidan sudah berada di meja makan, sedangkan Mikaila jarang ikut sarapan setelah ada Ana, terlebih gadis itu sekarang sudah lulus kuliah dan membuat alasan kalau sedang mencari pekerjaan sehingga tidak sempat berkumpul. Ana sendiri masih mengurus ayah mertuanya karena perawat yang biasa membantu datang terlambat.

“Kak, kenapa sejak kemarin kak Ana terlihat murung?” tanya Alisya penasaran karena semenjak Zidan membawa Ana periksa ke dokter pagi itu, Ana terlihat berbeda setelahnya.

Meski Ana selalu memilih diam, tapi ia selalu berusaha untuk bersikap hangat dan tersenyum jika Alisya pulang sekolah.

“Tidak ada apa-apa. Dia hanya lelah,” jawab Zidan yang fokus dengan makanannya.

“Oh, begitu,” timpal Alisya, tapi sedetik kemudian ia berkata lagi, “Jika kak Ana hamil dan punya anak, rumah ini pasti akan ramai dengan suara anak kecil,” ujar Alisya seraya membayangkan betapa lucunya keponakannya kelak.

Mendengar apa yang diucapkan Alisya, membuat Zidan terlihat emosi. Bahkan, Zidan meletakkan alat makannya dengan kasar, pria itu kemudian menatap tajam ke arah Alisya.

“Bisa nggak jika tidak usah membahas tentang anak?!” geram Zidan.

“Kenapa Kak? Apa Kakak tidak ingin? Aku yakin kalau kak Ana juga ingin,” ulas Alisya lagi.

Zidan menggebrak meja, membuat kedua pundak Alisya bergedik karena terkejut.

“Kamu tidak ingat siapa yang buat ibu meninggal? Apa kamu mau Ana juga akan mengalami hal yang sama dengan ibu, hah! Aku tidak akan dan tidak pernah ingin Ana hamil!” hardik Zidan yang sudah diliputi amarah.

Alisya terkesiap dengan ucapan Zidan, bertahun-tahun masalah itu sudah tidak pernah dibahas tapi sekarang kakaknya sendiri yang mengingatkan.

Alisya menangis, ia langsung berdiri dan meninggalkan meja makan. Ana yang baru saja selesai mengurus ayah mertuanya, mendengar percakapan Zidan dengan Alisya. Ia memang sengaja tidak langsung mendekat ketika mendengar Alisya yang membahas tentang anak. Hingga pada akhirnya Ana tahu kalau Zidan memang tidak berniat memiliki anak darinya.

Alisya berpapasan dengan Ana, gadis itu langsung melewati kakak iparnya untuk menuju kamar.

Ana menatap punggung Alisya kemudian beralih menatap Zidan yang duduk di kursi makan dengan memijat keningnya.

“Jadi ini maksud dari Mas Zidan meminta 'ku memakai alat kontrasepsi?” tanya Ana langsung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status