Share

TCM 13

Ana baru saja selesai menyuapi ayah mertuanya, ia membersihkan kamar itu baru kemudian pergi untuk membersihkan dirinya. Meski Ana kesal dengan sikap Zidan, tapi ia masih berusaha bersabar dengan tetap mengurus ayah mertuanya.

Saat Ana baru keluar dari kamar mertuanya, Zidan juga baru saja masuk rumah. Ana tidak tersenyum atau menyapa, ia hanya mengeluarkan ekpresi datar.

Zidan menghampiri Ana, ia kemudian mengecup kening istrinya. Ana masih mengeluarkan ekspresi datar, ia tidak menyambut atau sekedar berbasa-basi mengucapkan sesuatu.

“Gimana kabar ayah?” tanya Zidan menatap Ana.

“Baik, kenapa tidak lihat saja sendiri?” Jawab dan tanya Ana.

Ana langsung berjalan meninggalkan Zidan, membuat pria itu sedikit merasa aneh. Zidan pun menyusul Ana yang ternyata masuk ke kamar. Istrinya itu langsung masuk ke kamar mandi sebelum Zidan menghampiri dirinya lagi.

Selama Ana mandi, Zidan tampak duduk di tepian ranjang. Ia menunggu Ana selesai untuk bisa berbincang dengannya. Meski Ana jarang bicara, tapi sikapnya hari ini membuat Zidan merasa berbeda.

Setengah jam berlalu, Ana keluar dengan rambut setengah basah. Ia tak menghampiri Zidan, Ana memilih langsung duduk di depan meja riasnya untuk mengeringkan rambut.

“Apa ada masalah? Apa Mikaila membuat masalah lagi?” tanya Zidan menebak.

Pria itu berdiri di samping dan menatap Ana yang terlihat cuek kepadanya.

“Mas, boleh aku minta sesuatu?” tanya Ana tanpa menjawab pertanyaan Zidan sebelumnya.

Ana sedikit mendongak agar bisa melihat wajah Zidan.

“Minta apa?”

“Aku ingin bekerja, aku bosan di rumah seperti ini setiap hari,” pintanya.

Zidan terkejut dengan permintaan Ana, ia memutar kursi Ana agar menghadap padanya, lantas Zidan berjongkok di hadapan istrinya itu, menatap seraya memegang kedua telapak tangan Ana.

“Kenapa? Kamu nggak usah kerja, An! Biar aku saja yang kerja,” jawab Zidan.

Ana kecewa mendengar jawaban suaminya, ia semakin merasa benar-benar hanya dimanfaatkan dengan sikap Zidan yang melarangnya bekerja. Ana melepas tangannya dari genggaman Zidan, ia kemudian berdiri membuat Zidan terkejut dan langsung ikut berdiri.

“Kenapa nggak boleh kerja? Biar kamu bisa terus memintaku mengurus ayah dan kedua adikmu? Aku juga punya dunia sendiri, aku tidak mau jika terus-menerus hanya mengurus mereka seperti pembantu!”

Ana terlihat benar-benar emosi sekarang, ini adalah pertama kalinya Ana meluapkan amarah yang biasanya terus ia tahan.

“Bukan gitu juga, An! kamu salah paham. Bekerja itu kewajiban seorang suami, jadi kamu juga harus melaksanakan kewajibanmu dengan cara tetap mengurus keluarga tanpa bekerja,” jelas Zidan yang tidak peka dengan kondisi yang dialami Ana.

Ana mendesau kasar, ia mengguyar rambutnya. Kini ia benar-benar frustrasi menghadapi sikap Zidan yang tidak mengerti dirinya.

“Kewajiban? Mas bilang kewajiban? Lalu bagaimana dengan hakku? Apa Mas Zidan pernah memikirkan itu?” Ana berteriak dengan keras saat melontarkan pertanyaan itu membuat Zidan terkesiap karena tidak menyangka jika Ana bisa semarah itu.

“Ah, sudahlah! Aku ingin sendiri!” Ana keluar dari kamar dan membanting pintu, meninggalkan Zidan yang termangu tidak bisa menjawab pertanyaannya.

-

Di sisi lain, Arga dan teman-temannya masih terus berjuang mempertahankan pekerjaan mereka. Namun, kini Arga dan band-nya tidak hanya mengisi acara di kafe-kafe, mereka beberapa kali mengisi acara di luar kota. Seperti hari ini, mereka baru saja mengisi acara di sebuah kafe, penampilan mereka begitu memukau dan mampu menghipnotis para pendengar yang menikmati live musik, mereka pun mengundang perhatian seorang produser sebuah perusahaan musik di kota itu.

Produser wanita itu sebenarnya baru saja menemui seseorang di sebuah kafe di mana Arga dan band-nya melakukan live musik. Wanita itu tampak menikmati pertunjukan Arga hingga merasa jika band pemuda itu layak masuk dapur rekaman.

Wanita itu berjalan menghampiri meja Arga dan teman-temannya beristirahat.

“Hai! Pertunjukan kalian sangat bagus dan menarik,” ucap wanita itu langsung.

Arga dan teman-temannya langsung menoleh pada wanita tadi, mereka lantas mengulas senyum merasa senang karena ada penikmat musik yang memuji penampilan mereka.

“Terima kasih,” ucap Arga sebagai pentolan band.

“Oh ya, perkenalkan! Saya Lanie, produser di sebuah label musik.” Wanita itu memperkenalkan diri, ia mengulurkan tangan ke arah Arga.

Arga dan teman-temannya terkejut tidak percaya jika mereka bisa bertemu dengan seorang produser. Mereka saling tatap dengan wajah penuh kebahagiaan, sedangkan Arga langsung menjabat tangan wanita benama Lanie itu dan memperkenalkan dirinya.

“Saya Arga,” balas Arga.

Pemuda itu lantas memperkenalkan teman-temannya satu persatu, hingga akhirnya Arga dan yang lainnya berbincang dengan Lanie sebelum mereka melakukan live musik lagi.

_

_

_

_

Satu tahun kemudian

Tak terasa Ana sudah menyandang status istri Zidan selama satu tahun lamanya. Meski begitu, Ana masih merasa hidupnya hampa, ruang kosong di hatinya belum juga terisi. Meski begitu, Ana masih melakukan kewajibannya sebagai seorang istri, mengurus ayah mertua, adik juga rumah.

Selama satu tahun ini, Ana juga selalu bersabar menghadapi Mikaila, gadis itu semakin semena-mena karena Ana terus diam dan enggan membalas.

Pagi itu wajah Ana terlihat pucat, begitu bangun dari tempat tidur Ana langsung berlari ke kamar mandi. Istri Zidan itu merasa mual dan muntah, suaranya terdengar sampai ke telinga Zidan yang masih terlelap.

Zidan langsung bangun dari tempat tidur, ia terkejut karena Ana terus muntah-muntah, hingga akhirnya pria itu menyusul ke kamar mandi dan mendapati Ana yang sedang memuntahkan isi perutnya.

“Kamu kenapa, An?” tanya Zidan seraya menekan tengkuk Ana, memijatnya perlahan agar Ana bisa cepat menumpahkan semua isi perutnya.

“Nggak tahu, kepalaku pusing,” jawab Ana, ia mengusap permukaan bibir dengan punggung tangan.

Ana membasuh wajahnya, ia kemudian terlihat memijat kepala karena merasa matanya berkunang dengan pandangan yang kabur.

“Ayo keluar!”

Zidan menuntun Ana karena wanita itu terlihat begitu lemas dengan wajah yang semakin pucat.

Begitu Ana duduk di tepian ranjang, Zidan mengusapkan minyak kayu putih ke leher Ana agar istrinya merasa sedikit hangat.

“Bagaimana perasaanmu?” tanya Zidan menatap Ana yang menundukkan kepala dengan tangan memegangi kepala.

“Rasanya pusing, Mas! Semalam tidak apa-apa, tapi pas bangun tadi langsung merasa mual dan pengen muntah terus,” jawab Ana dengan suara lemah.

Zidan sedikit terkejut, terlihat jelas air muka penuh kecemasan di wajah pria itu, seakan ada sesuatu yang membuatnya takut.

“Kita ke dokter, An!” ajak Zidan.

Pria itu langsung mengambil jaketnya dan milik Ana yang tergantung di kamar ganti, Zidan memakaikan jaket Ana dan langsung mengajaknya berdiri.

“Ke-kenapa, Mas?” tanya Ana tergagap karena bingung.

“Kita periksa ke dokter dulu untuk mengetahui kondisi tubuhmu,” jawab Zidan langsung menuntun paksa Ana.

Ana kebingungan, kenapa Zidan terlihat begitu cemas. Ana hanya merasa kalau dirinya tidak enak badan saja tapi kenapa Zidan bisa sepanik itu?

“Apa mas Zidan mencemaskan 'ku?” tanya Ana dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status