Share

TCM 3


Hari itu Shima, kakak ipar Ana baru saja pulang dari rumah sakit pasca melahirkan, rumah orangtua Ana tentu saja ramai dengan kedatangan keluarga dan sanak saudara kakak iparnya itu.

Sebuah mobil SUV berwarna silver berhenti di pelataran rumah orangtua Ana. Pemuda berbadan tegap juga berwajah tampan turun dari mobil dengan membawa kotak berbentuk persegi panjang agak besar yang dibungkus dengan kertas kado.

"Permisi! Saya mau bertemu dengan Aditya," ujar pemuda itu kepada salah satu pembantu rumah tangga orangtua Ana yang kala itu sedang berada di halaman dengan nada sopan.

"Oh, sebentar Mas!"

Pembantu rumah tangga yang berumur empat puluhan tahun itu lantas masuk rumah dan memanggil Aditya, kakak Ana.

"Eh ... ayo masuk!" ajak Aditya begitu tahu siapa yanga datang mencarinya.

Pemuda itu lantas masuk mengikuti Aditya dan duduk di ruang tamu.

"Ini buat bayi kamu," kata pemuda itu.

"Makasih. Wah, jadi ngrepotin," ucap Aditya dengan senyum kecil. "Bentar ya! Aku suruh orang di dapur bikin minum," pamit Aditya berdiri lantas menuju dapur.

Ibunya tampak memperhatikan pemuda yang jadi tamu Aditya, ia lantas menghampiri putranya yang baru saja memasukan pemberian pemuda itu di kamar.

"Dit! Siapa pemuda itu?" tanya Ibunya kepada sang putra.

"Oh, itu Zidan, rekan kerja Bu," jawab Aditya.

"Udah nikah belum?" tanya ibunya lagi.

Aditya mengernyitkan dahi, tidak mengerti kenapa ibunya menanyakan status rekannya itu.

"Belum," jawab Aditya singkat.

"Kerja di mana? Kok kayaknya dia dari keluarga terpandang." Ibunya semakin menyelidik-Penasaran.

"Dia itu direktur di perusahaan properti."

Ibunya tampak mengangguk-angguk, membuat Aditya bingung kenapa wanita itu sangat antusias menanyakan perihal temannya.

Karena banyaknya keluarga Shima yang datang untuk melihat bayinya, semua penghuni rumah tampak sibuk begitu juga dengan Ana. Gadis itu membantu menyajikan minuman atau camilan untuk tamu kakak iparnya.

Ana terlihat berjalan dengan membawa nampan berisi secangkir teh dan piring berisi kue, ia lantas mendekat ke meja di mana Zidan duduk. Gadis itu langsung menyajikan teh dan kue itu di meja tanpa menyapa teman kakaknya itu.

Zidan menatap Ana yang terlihat cuek, kedua sudut bibirnya tertarik menciptakan lengkungan kecil di bibirnya. Hingga Ana berbalik meninggalkan ruang tamu, Zidan masih menatap punggung gadis itu berlalu.

"Makasih, An." Aditya menepuk pundak adiknya saat berpapasan.

"Iya." Gadis itu langsung berlalu begitu saja.

Aditya lantas kembali menemui temannya yang sudah menunggu.

"Dit! Gadis itu siapa?" tanya Zidan langsung.

"Gadis mana?"

"Itu, yang kamu ajak bicara barusan," jawab Zidan.

"Oh, Ana. Dia adikku, kenapa?" tanya Aditya menyelidik.

Zidan mengulas senyum, tampaknya pemuda itu tertarik dengan Ana. Pertama kali melihat gadis itu, Zidan merasa jantungnya berdegup kencang, seolah-olah merasa jika Ana memiliki medan magnet yang bisa menariknya.

_

_

_

Setelah hari itu, Zidan tampak sering mengunjungi rumah keluarga Ana, dari alasan mencari Aditya atau yang lainnya. Hingga akhirnya orangtua Ana tahu jika pemuda itu menyukai putri mereka.

Tidak berpikir panjang, mengetahui jika Zidan adalah pemuda mapan yang memiliki masa depan cerah, orangtua Ana pun mengizinkan pemuda itu jika ingin mendekati putrinya.

"Bu, kenapa aku harus pergi, sih!"

Ana melayangkan protes ketika ibunya meminta dirinya pergi kencan dengan Zidan yang ternyata sudah meminta izin pada kedua orangtuanya jauh-jauh hari.

"Kamu ini! Tinggal nurut saja kenapa sih? Ini juga demi kebaikan kamu."

Wanita itu membantah protes yang dilayangkan putrinya, ia sibuk mendandani putrinya agar mau ikut pergi dengan Zidan yang ternyata sudah menunggu di ruang tamu.

Ana mencebik kesal, ia tidak tahu apa yang diinginkan oleh orangtuanya sehingga meminta dirinya pergi kencan dengan pemuda yang tidak ia kenal. Apa ini kencan buta? Batin Ana.

Ana keluar dengan wajah tertekuk, tidak ada manis-manisnya sama sekali, cemberut seraya mengerucutkan bibir.

"Maaf nak Zidan, lama ya?" Ibunya Ana tampak bicara berbasa-basi.

"Nggak apa-apa kok, Bu."

Zidan langsung berdiri seraya mengulas senyum ketika Ana sudah berdiri di hadapannya bersama ibunya.

"Dia benar-benar cantik," batin Zidan yang tidak menghilangkaan senyum dari bibirnya.

"Silahkan kalau kalian mau pergi sekarang!" Wanita itu mendorong putrinya ke arah Zidan.

Ana yang merasa sudah dipaksa pun menoleh pada ibunya dengan sedikit mencebikan bibir, ingin menggerutu tapi tidak bisa.

"Mari," ucap Zidan mempersilahkan Ana melangkah lebih dulu.

Pemuda itu lalu berpamitan kepada orangtua Ana dan mengajak gadis itu pergi.

Sepanjang perjalanan, Ana hanya diam menatap jalanan. Tidak ingin tahu ke mana pemuda itu akan mengajaknya.

"Kalau keluar seperti ini, kamu suka pergi ke mana?" tanya Zidan memecah keheningan di kabin mobil.

"Nggak suka ke mana-mana," jawab Ana lirih.

Zidan mengangguk-angguk pelan, bingung juga mau mengajak gadis itu ke mana karena ia belum tahu apa yang disukai dan tidak oleh gadis yang sudah membuatnya tertarik. Sementara Ana sibuk dengan ponselnya, Ia merasa bersalah pergi berduaan dengan laki-laki lain, saat Arga menanyakan keberadaannya gadis itu hanya menjawab sedang diajak sang ibu ke tempat pamannya.

Duduk di sebuah taman, Ana berharap Zidan akan menanyakan apakah dia sudah memiliki seseorang kekasih, dengan begitu akan lebih mudah baginya menghindar dari pria itu. Namun, nyatanya laki-laki itu tidak menanyakan pertanyaan yang ia harapkan.

Akhirnya Ana pun memberanikan diri, menceritakan yang sebenarnya bahwa dia sudah memiliki sosok laki-laki yang dicintai, tapi lagi-lagi Ana dibuat heran dengan respon Zidan.

"Sebelum janur melengkung aku masih memiliki kesempatan bukan?"

Ana seketika terdiam, Ia tidak tahu bahwa ibunya telah berkata kepada Zidan sebelumnya. "Ana pasti akan berpura-pura memiliki seorang pacar, anak itu kurang pergaulan dan malu menjalani hubungan dengan pria, maka dari itu dia suka berbohong sudah memiliki kekasih agar pria yang ingin mendekatinya berubah pikiran."

"Ana, aku menyukaimu. Umurku sudah terlalu dewasa untuk sekedar berpacaran, jadi aku ingin menjalani hubungan yang serius. An, maukah kamu menikah dengan 'ku?"

Gadis itu terdiam, pikirannya melayang memikirkan Arga, Arga dan Arga. Spontan Ana menggelengkan kepalanya. Menolak permintaan Zidan yang tiba-tiba.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yunia Afida
semangat terus...............
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status