Hari itu Shima, kakak ipar Ana baru saja pulang dari rumah sakit pasca melahirkan, rumah orangtua Ana tentu saja ramai dengan kedatangan keluarga dan sanak saudara kakak iparnya itu.
Sebuah mobil SUV berwarna silver berhenti di pelataran rumah orangtua Ana. Pemuda berbadan tegap juga berwajah tampan turun dari mobil dengan membawa kotak berbentuk persegi panjang agak besar yang dibungkus dengan kertas kado.
"Permisi! Saya mau bertemu dengan Aditya," ujar pemuda itu kepada salah satu pembantu rumah tangga orangtua Ana yang kala itu sedang berada di halaman dengan nada sopan.
"Oh, sebentar Mas!"
Pembantu rumah tangga yang berumur empat puluhan tahun itu lantas masuk rumah dan memanggil Aditya, kakak Ana.
"Eh ... ayo masuk!" ajak Aditya begitu tahu siapa yanga datang mencarinya.
Pemuda itu lantas masuk mengikuti Aditya dan duduk di ruang tamu.
"Ini buat bayi kamu," kata pemuda itu.
"Makasih. Wah, jadi ngrepotin," ucap Aditya dengan senyum kecil. "Bentar ya! Aku suruh orang di dapur bikin minum," pamit Aditya berdiri lantas menuju dapur.
Ibunya tampak memperhatikan pemuda yang jadi tamu Aditya, ia lantas menghampiri putranya yang baru saja memasukan pemberian pemuda itu di kamar.
"Dit! Siapa pemuda itu?" tanya Ibunya kepada sang putra.
"Oh, itu Zidan, rekan kerja Bu," jawab Aditya.
"Udah nikah belum?" tanya ibunya lagi.
Aditya mengernyitkan dahi, tidak mengerti kenapa ibunya menanyakan status rekannya itu.
"Belum," jawab Aditya singkat.
"Kerja di mana? Kok kayaknya dia dari keluarga terpandang." Ibunya semakin menyelidik-Penasaran.
"Dia itu direktur di perusahaan properti."
Ibunya tampak mengangguk-angguk, membuat Aditya bingung kenapa wanita itu sangat antusias menanyakan perihal temannya.
Karena banyaknya keluarga Shima yang datang untuk melihat bayinya, semua penghuni rumah tampak sibuk begitu juga dengan Ana. Gadis itu membantu menyajikan minuman atau camilan untuk tamu kakak iparnya.
Ana terlihat berjalan dengan membawa nampan berisi secangkir teh dan piring berisi kue, ia lantas mendekat ke meja di mana Zidan duduk. Gadis itu langsung menyajikan teh dan kue itu di meja tanpa menyapa teman kakaknya itu.
Zidan menatap Ana yang terlihat cuek, kedua sudut bibirnya tertarik menciptakan lengkungan kecil di bibirnya. Hingga Ana berbalik meninggalkan ruang tamu, Zidan masih menatap punggung gadis itu berlalu.
"Makasih, An." Aditya menepuk pundak adiknya saat berpapasan.
"Iya." Gadis itu langsung berlalu begitu saja.
Aditya lantas kembali menemui temannya yang sudah menunggu.
"Dit! Gadis itu siapa?" tanya Zidan langsung.
"Gadis mana?"
"Itu, yang kamu ajak bicara barusan," jawab Zidan.
"Oh, Ana. Dia adikku, kenapa?" tanya Aditya menyelidik.
Zidan mengulas senyum, tampaknya pemuda itu tertarik dengan Ana. Pertama kali melihat gadis itu, Zidan merasa jantungnya berdegup kencang, seolah-olah merasa jika Ana memiliki medan magnet yang bisa menariknya.
_
_
_
Setelah hari itu, Zidan tampak sering mengunjungi rumah keluarga Ana, dari alasan mencari Aditya atau yang lainnya. Hingga akhirnya orangtua Ana tahu jika pemuda itu menyukai putri mereka.
Tidak berpikir panjang, mengetahui jika Zidan adalah pemuda mapan yang memiliki masa depan cerah, orangtua Ana pun mengizinkan pemuda itu jika ingin mendekati putrinya.
"Bu, kenapa aku harus pergi, sih!"
Ana melayangkan protes ketika ibunya meminta dirinya pergi kencan dengan Zidan yang ternyata sudah meminta izin pada kedua orangtuanya jauh-jauh hari.
"Kamu ini! Tinggal nurut saja kenapa sih? Ini juga demi kebaikan kamu."
Wanita itu membantah protes yang dilayangkan putrinya, ia sibuk mendandani putrinya agar mau ikut pergi dengan Zidan yang ternyata sudah menunggu di ruang tamu.
Ana mencebik kesal, ia tidak tahu apa yang diinginkan oleh orangtuanya sehingga meminta dirinya pergi kencan dengan pemuda yang tidak ia kenal. Apa ini kencan buta? Batin Ana.
Ana keluar dengan wajah tertekuk, tidak ada manis-manisnya sama sekali, cemberut seraya mengerucutkan bibir.
"Maaf nak Zidan, lama ya?" Ibunya Ana tampak bicara berbasa-basi.
"Nggak apa-apa kok, Bu."
Zidan langsung berdiri seraya mengulas senyum ketika Ana sudah berdiri di hadapannya bersama ibunya.
"Dia benar-benar cantik," batin Zidan yang tidak menghilangkaan senyum dari bibirnya.
"Silahkan kalau kalian mau pergi sekarang!" Wanita itu mendorong putrinya ke arah Zidan.
Ana yang merasa sudah dipaksa pun menoleh pada ibunya dengan sedikit mencebikan bibir, ingin menggerutu tapi tidak bisa.
"Mari," ucap Zidan mempersilahkan Ana melangkah lebih dulu.
Pemuda itu lalu berpamitan kepada orangtua Ana dan mengajak gadis itu pergi.
Sepanjang perjalanan, Ana hanya diam menatap jalanan. Tidak ingin tahu ke mana pemuda itu akan mengajaknya.
"Kalau keluar seperti ini, kamu suka pergi ke mana?" tanya Zidan memecah keheningan di kabin mobil.
"Nggak suka ke mana-mana," jawab Ana lirih.
Zidan mengangguk-angguk pelan, bingung juga mau mengajak gadis itu ke mana karena ia belum tahu apa yang disukai dan tidak oleh gadis yang sudah membuatnya tertarik. Sementara Ana sibuk dengan ponselnya, Ia merasa bersalah pergi berduaan dengan laki-laki lain, saat Arga menanyakan keberadaannya gadis itu hanya menjawab sedang diajak sang ibu ke tempat pamannya.
Duduk di sebuah taman, Ana berharap Zidan akan menanyakan apakah dia sudah memiliki seseorang kekasih, dengan begitu akan lebih mudah baginya menghindar dari pria itu. Namun, nyatanya laki-laki itu tidak menanyakan pertanyaan yang ia harapkan.
Akhirnya Ana pun memberanikan diri, menceritakan yang sebenarnya bahwa dia sudah memiliki sosok laki-laki yang dicintai, tapi lagi-lagi Ana dibuat heran dengan respon Zidan.
"Sebelum janur melengkung aku masih memiliki kesempatan bukan?"
Ana seketika terdiam, Ia tidak tahu bahwa ibunya telah berkata kepada Zidan sebelumnya. "Ana pasti akan berpura-pura memiliki seorang pacar, anak itu kurang pergaulan dan malu menjalani hubungan dengan pria, maka dari itu dia suka berbohong sudah memiliki kekasih agar pria yang ingin mendekatinya berubah pikiran."
"Ana, aku menyukaimu. Umurku sudah terlalu dewasa untuk sekedar berpacaran, jadi aku ingin menjalani hubungan yang serius. An, maukah kamu menikah dengan 'ku?"
Gadis itu terdiam, pikirannya melayang memikirkan Arga, Arga dan Arga. Spontan Ana menggelengkan kepalanya. Menolak permintaan Zidan yang tiba-tiba.
"Bu."Aditya yang baru selesai membantu istrinya menjaga sang anak langsung duduk di sebelah ibunya yang sedang bersantai di teras rumah. Menyadari kedatangan putra kesayangannya tentu saja membuat wanita itu langsung menghentikan aktifitasnya bermain ponsel."Zidan kayaknya benar-benar suka sama Ana, deh!" ujar Aditya seraya menyambar kue yang ada di atas meja dan memasukannya ke mulut."Apa benar?" tanya ibunya yang langsung terlihat antusias, terlihat senyum merekah di wajah wanita itu."Iya, kemarin dia menanyakan hal-hal yang menyangkut tentang Ana, katanya dia merasa cocok dengan Ana," ungkap Aditya kepada ibunya, mengingat setelah kencan yang dilakukan Zidan, pemuda itu langsung mengungkapkan pada Aditya jika dirinya benar-benar menyukai sang adik.Tentu saja hal itu seperti angin segar yang berembus di musim panas, mungkin ini adalah kesempatan orangtua Ana menjodohkan putrinya itu pada pri
Sore itu Ana terlihat bingung ketika ibunya meminta Arga untuk datang ke rumah dan ingin bicara dengan mereka. Namun, ia juga bahagia, berpikir mungkin saja jika ibunya kini berubah pikiran dan sudah bisa menerima hubungan keduanya juga berniat merestui mereka.Ana berdandan secantik dan semanis mungkin, jika memang benar kalau mereka akan mendapat restu, tentu saja Ana harus dalam keadaan yang sempurna untuk menyambutnya.Ana menyambut bahagia ketika Arga datang dan baru saja turun dari motor kesayangannya, pemuda itu tampak melepas helm yang ia kenakan kemudian mengulas senyum pada Ana yang sudah berdiri di sampingnya."Apa penampilanku sudah rapi?" tanya Arga pada kekasihnya itu.Ana mengangguk, ia sedikit menepuk dan mengangsurkan tangannya di bagian depan kemeja Arga untuk sekedar merapikan pakaian yang dikenakan kekasihnya. "Sudah rapi."Arga kembali mengulas senyum mendengar perkata
Beberapa hari setelah kedua orangtua Ana meminta agar gadis itu harus berpisah dengan Arga, mereka mulai membatasi kegiatan Ana. Bahkan gadis itu diantar dan jemput saat bekerja, dimaksudkan agar Ana tidak punya waktu untuk bertemu dengan kekasihnya.Malam itu, Ana sedang berada di kamarnya. Ia sedang berbalas pesan dengan Arga yang kala itu sedang manggung di kafe milik orangtuanya. Gadis itu meminta maaf karena tidak bisa datang, mengingat jika kedua orangtua maupun kakaknya masih mengawasi dirinya serta tidak membiarkannya pergi ke mana pun selain bekerja."An!"Ibu Ana sudah berada di kamar gadis itu, membuat Ana yang sedang berbaring dengan posisi telungkup terkejut dan langsung bangun menatap ibunya."Minggu depan, Zidan akan membawa lamaran ke sini. Jadi, kamu harus bersiap-siap untuk meyambutnya," kata ibunya menjelaskan, wanita itu sudah menerima lamaran Zidan secara lisan dan tinggal menunggu prosesi resmi
Hari di mana diadakannya lamaran pun datang. Kala itu Ana benar-benar berpikir untuk kabur, sudah satu minggu setelah tragedi di mana Aditya menghajar Arga, Ana dikurung di kamarnya dan tidak diizinkan keluar ataupun bekerja.“Mbak, tolong rias dia secantik mungkin!” pinta ibu Ana kepada perias yang ia sewa untuk mendandani putrinya.Ana hanya melirik dengan wajah datar, ia benar-benar merasa tertekan dengan keadaan yang sedang ia alami. Kini dirinya hanya bisa pasrah, membiarkan para perias itu mendandani dirinya, memoles dan membubuhkan aneka make up ke wajahnya.___Keluarga Zidan sudah tiba di rumah Ana dengan berbagai hadiah yang sudah dipersiapkan. Ayah Zidan tidak ikut mengingat kondisinya yang tidak memungkinkan untuk diajak. Hanya ada dua adiknya dan juga beberapa kerabat terdekat yang akan mengikuti dan menyaksikan prosesi lamarannya.Mereka sudah duduk di tempat y
Ana terlihat duduk dengan peluh yang bermanik di kening dan pelipisnya, wajahnya terlihat pucat tidak secerah biasanya. Sudah hampir dua bulan setelah pertunangan dirinya dengan Zidan, Ana tidak diperbolehkan keluar rumah, dia pun dipaksa berhenti dari pekerjaannya.Hari ini ia bisa keluar atas izin orangtuanya. Namun, ia juga memiliki peraturan dan syarat yang harus dilakukan. Ana terus ditekan untuk segera meninggalkan Arga mengingat jika pernikahannya sudah tinggal sebulan.Arga menatap Ana yang terus menunduk dengan wajah pucat, gadis itu juga terlihat terus meremas jemarinya.“An!” panggil Arga.“Arga aku ingin hubungan kita berakhir!” Ana langsung mengutarakan maksud kedatangannya pada Arga, gadis itu tidak berani menatap wajah kekasihnya.Ana diperbolehkan keluar hanya untuk memutuskan hubungannya dengan Arga, orangtuanya tidak ingin jika Ana masih menjalin hubungan dengan pemuda itu. Bahkan,
Pernikahan yang sejatinya penuh kebahagiaan dan doa terbaik untuk melangkah menuju masa depan tidak berlaku bagi Ana. Meski para tamu dan keluarga berpesta menyambut suka cita pernikahan itu, nyatanya Ana sama sekali tidak bahagia.Sehari setelah pernikahan Ana dan Zidan, gadis yang kini sudah resmi menjadi milik Zidan itu sedang sibuk berkemas. Zidan mengatakan jika ingin mengajak Ana segera pindah ke rumahnya karena dia tidak bisa meninggalkan ayahnya yang sakit terlalu lama.“Ingat An! Kamu sudah jadi istri Zidan, jangan berbuat sesuatu yang bisa mempermalukan keluarga kita, apa kamu paham?” Ibu Ana menasehati gadis itu dengan sedikit penekanan.Ana sedang berkemas, ia akan pindah ke rumah Zidan hari ini. Sebagai seorang ibu, wanita itu benar-benar seakan sedang mengorbankan kebahagiaan putrinya sendiri.Ana tidak menanggapi perkataan ibunya, ia fokus memasukan pakaiannya ke koper. Dalam hati ia merasa mungkin ke
Sudah genap seminggu Ana menikah dengan Zidan. Gadis itu tidak diperbolehkan bekerja oleh Zidan karena memang pemuda itu menginginkan agar Ana di rumah dan membantu perawat mengurus ayahnya.Ana sendiri sebenarnya ingin sekali bekerja, tapi apalah dayanya jika sudah dilarang, terlebih Zidan berjanji akan menjamin hidup Ana, mencukupi segala kebutuhan gadis yang kini jadi istrinya, melakukan kewajiban sebagai seorang suami dan meminta Ana melakukan kewajiban sebagai seorang istri-mengurus keluarganya.Sore itu setelah selesai mengurus ayah Zidan dan memastikan jika pria itu beristirahat, Ana pun pergi membersihkan diri. Ternyata merawat orang sakit lebih sulit dari bekerja, itulah yang dirasakan Ana sekarang.Gadis itu begitu terkejut ketika baru saja keluar dari kamar mandi dan mendapati Zidan ternyata sudah pulang, Ana hanya memakai bathrobe dan begitu polos di dalam, membuat gadis itu salah tingkah.Zidan yang bar
Pagi itu Ana dan pembantu rumah Zidan sedang menyiapkan sarapan untuk pria yang kini jadi suaminya juga kedua adik yang harus pergi menimba ilmu.Beberapa menu masakan sudah tersaji di meja makan, meski Ana tidak terlalu biasa dengan dapur, tapi karena kini dia sudah menikah dan memiliki tanggung jawab, membuatnya sebisa mungkin untuk belajar.“Pagi, Kak!” sapa Alisya yang langsung duduk di kursi meja makan, gadis itu sudah memakai seragam SMA.Mikaila juga langsung duduk di sebelah Alisya, tapi gadis itu masih tidak mau bicara atau sekedar berbasa-basi menyapa dengan istri kakaknya.Zidan yang baru sampai di ruang makan langsung menghampiri Ana yang sibuk menata piring dan alat makan. Tanpa Ana sadari, Zidan langsung mengecup sisi wajah Ana membuat wanita itu terkesiap dan menatap Zidan.“Pagi, sayang!” sapanya dan langsung duduk di kursi.Alisya terlihat senyum-senyum sendiri meli