"Bu."
Aditya yang baru selesai membantu istrinya menjaga sang anak langsung duduk di sebelah ibunya yang sedang bersantai di teras rumah. Menyadari kedatangan putra kesayangannya tentu saja membuat wanita itu langsung menghentikan aktifitasnya bermain ponsel.
"Zidan kayaknya benar-benar suka sama Ana, deh!" ujar Aditya seraya menyambar kue yang ada di atas meja dan memasukannya ke mulut.
"Apa benar?" tanya ibunya yang langsung terlihat antusias, terlihat senyum merekah di wajah wanita itu.
"Iya, kemarin dia menanyakan hal-hal yang menyangkut tentang Ana, katanya dia merasa cocok dengan Ana," ungkap Aditya kepada ibunya, mengingat setelah kencan yang dilakukan Zidan, pemuda itu langsung mengungkapkan pada Aditya jika dirinya benar-benar menyukai sang adik.
Tentu saja hal itu seperti angin segar yang berembus di musim panas, mungkin ini adalah kesempatan orangtua Ana menjodohkan putrinya itu pada pria yang mapan dan tentu saja sudah jelas masa depannya.
"Jika Zidan mau melamar adikmu, Ibu nggak masalah. Malah senang karena akhirnya ada pemuda mapan yang tertarik pada Ana," ungkap ibunya secara blak-blakkan.
Mungkin ini kesempatan untuk menjodohkan Ana dengan pemuda yang sudah terlihat jelas masa depannya, tidak seperti pemuda yang menjadi pacar putrinya, miskin dan hanya mengandalkan pekerjaan dari panggilan manggung, itulah kira-kira yang ada dipikiran wanita itu.
_
_
_
Zidan Narendra, laki-laki itu sudah menjadi tulang punggung keluarganya sejak dia berumur dua puluh dua tahun, ia memiliki dua orang adik perempuan, yang satu berumur dua puluh satu tahun dan masih kuliah, sedangkan adiknya yang satu berumur tujuh belas tahun yang sekarang masih duduk di bangku SMA.
Ibu Zidan sudah meninggal sejak bertahun-tahun yang lalu saat melahirkan adiknya yang kedua. Saat itu ibunya mengalami pendarahan hebat ketika kandungannya sudah masuk trimester akhir. Awalnya ibu Zidan sudah diperingatkan oleh dokter jika janin yang ada di rahimnya itu dalam kondisi tidak baik dan akan menimbulkan masalah jika masih dipertahankan, tapi dia adalah seorang wanita yang memiliki hati selembut kapas. Meski sudah disarankan oleh dokter, ibu Zidan tetap tidak mau menggugurkan kandungannya yang saat itu masih berumur dua minggu. Wanita itu bersikukuh mempertahankan karena ia merasa jika janin itu juga punya hak untuk bisa tumbuh dan lahir agar bisa melihat dunia ini.
Hingga masalah yang ditakutkan oleh dokter pun terjadi, ibu Zidan mengalami komplikasi, pendarahan membuat nyawanya dan bayinya terancam. Dokter memberi pilihan menyelamatkan ibu atau bayinya karena hanya akan ada satu yang selamat jika dilakukan operasi. Saat itu ayah Zidan lebih memilih sang istri, akan tetapi ibu Zidan menolak, ia lebih menginginkan jika dokter menyelamatkan bayinya.
Beginilah pada akhirnya, adik Zidan selamat tapi ibunya harus pergi untuk selamanya meninggalkan dirinya dengan dua adik dan ayahnya sendirian. Ayah Zidan sendiri merasa terpukul saat itu, bagaimana ia bisa kehilangan wanita yang sudah menemaninya bertahun-tahun lamanya, bahkan sang ayah sempat enggan mengakui keberadaan adiknya mengingat jika bayi itu adalah penyebab istrinya meninggal. Namun, lambat lalun Zidan yang saat itu masih berumur empat belas tahun meyakinkan sang ayah jika semuanya sudah suratan takdir dan meminta ayahnya untuk menghargai perjuangan ibunya yang sudah melahirkan adiknya itu. Hingga akhirnya membuat pria itu luluh dan mau menerima.
Tiga tahun yang lalu, ayah Zidan mengalami kelumpuhan karena sistem syaraf yang tidak bisa beroperasi dengan baik, atau bisa dibilang jika ayahnya terkena stroke.
Mulai dari hari itu, Zidan harus bekerja keras mencari nafkah untuk bisa membiayai sekolah kedua adik perempuannya juga pengobatan dan membayar perawat yang mengurus ayahnya karena kedua adiknya tidak bisa jika harus mengurus pria itu mengingat mereka sibuk dengan pendidikan masing-masing.
Apalagi ayah Zidan sudah lumpuh bertahun-tahun lamanya dan hampir tujuh puluh persen tubuhnya tidak bisa digerakkan, bahkan untuk bicara saja sulit, karena itu Zidan butuh perawat khusus untuk menjaga ayahnya jika dirinya pergi bekerja. Ia hanya ingin menjadi anak yang berbakti dengan memberikan yang terbaik untuk sang ayah.
Menikah adalah salah satu alasan Zidan agar kesehatan sang ayah lebih terpantau, juga ada yang membantunya menjaga kedua adiknya.
_
_
_
"Lho kok tumben!" Ibunda Arga terkejut sore itu saat Ana tiba-tiba saja datang ke rumahnya. Tak biasanya Ana mampir ke suatu tempat setelah pulang kerja, biasanya ia memilih langsung menuju ke rumah.
"Ana bawain bakmi jawa kesukaan mas Arga," ucapnya sopan.
"Arga lagi keluar sebentar, tadi ibu minta dibelikan bahan kue, duduk dulu ya!" Wanita itu mempersilahkan Ana, lalu meninggalkan sejenak kekasih putranya itu. "An, kalau mau minum kayak biasanya ya, Ibu ngadon dulu."
Ana pun tersenyum sambil menganggukkan kepala saat ibu kekasihnya itu kembali ke ruang tamu untuk berbicara kepadanya. Melihat pintu kamar Arga yang sedikit terbuka, tanpa meminta izin gadis itu memberanikan diri masuk ke dalam. Ana sibuk memandangi kamar Arga. Kamar sederhana yang ia harap bisa menjadi tempat terhangat untuknya jika menikah dengan pujaan hatinya itu nanti. Gadis itu duduk lalu termenung di depan meja kerja Arga, menatap buku yang Ia tahu berisi lagu yang diciptakan laki-laki itu. Bibirnya tersenyum melihat foto mereka berdua, Arga membuatnya menjadi kolase dari tahun ke tahun.
"Kapan datang?" Tanpa aba-aba Arga memeluk Ana dari belakang. Meletakkan dagunya ke atas kepala gadis itu.
"Baru kok, aku bawain bakmi kesukaan kamu." Ana mendongak, menatap Arga yang terlihat tersenyum hangat.
"Gimana kemarin acara keluarganya?"
Pertanyaan Arga membuat Ana tergagap, ia terpaksa harus berbohong ada acara saat pergi dengan Zidan kemarin.
"Ga, aku--" Belum sempat Ana menyelesaikan kalimatnya, ibunda Arga memanggil kekasihnya.
"Ya Bu! Bentar ya!" Izin Arga sambil mencubit pipi gadis yang sangat dicintainya itu.
"Sakit!" pekik Ana yang langsung memegangi pipinya.
Terkekeh geli, Arga meminta maaf dan meminta kekasihnya itu menunggu. "Paling diminta ngangkat karung terigu."
Ana mengangguk. Gadis itu tahu hidup pacarnya begitu tangguh. Arga adalah anak tunggal, ayahnya meninggal sejak Ia berumur dua belas tahun dan semenjak itu ibunya menjadi single parent, membesarkan putranya seorang diri tanpa berniat menikah lagi.
Sore itu Ana terlihat bingung ketika ibunya meminta Arga untuk datang ke rumah dan ingin bicara dengan mereka. Namun, ia juga bahagia, berpikir mungkin saja jika ibunya kini berubah pikiran dan sudah bisa menerima hubungan keduanya juga berniat merestui mereka.Ana berdandan secantik dan semanis mungkin, jika memang benar kalau mereka akan mendapat restu, tentu saja Ana harus dalam keadaan yang sempurna untuk menyambutnya.Ana menyambut bahagia ketika Arga datang dan baru saja turun dari motor kesayangannya, pemuda itu tampak melepas helm yang ia kenakan kemudian mengulas senyum pada Ana yang sudah berdiri di sampingnya."Apa penampilanku sudah rapi?" tanya Arga pada kekasihnya itu.Ana mengangguk, ia sedikit menepuk dan mengangsurkan tangannya di bagian depan kemeja Arga untuk sekedar merapikan pakaian yang dikenakan kekasihnya. "Sudah rapi."Arga kembali mengulas senyum mendengar perkata
Beberapa hari setelah kedua orangtua Ana meminta agar gadis itu harus berpisah dengan Arga, mereka mulai membatasi kegiatan Ana. Bahkan gadis itu diantar dan jemput saat bekerja, dimaksudkan agar Ana tidak punya waktu untuk bertemu dengan kekasihnya.Malam itu, Ana sedang berada di kamarnya. Ia sedang berbalas pesan dengan Arga yang kala itu sedang manggung di kafe milik orangtuanya. Gadis itu meminta maaf karena tidak bisa datang, mengingat jika kedua orangtua maupun kakaknya masih mengawasi dirinya serta tidak membiarkannya pergi ke mana pun selain bekerja."An!"Ibu Ana sudah berada di kamar gadis itu, membuat Ana yang sedang berbaring dengan posisi telungkup terkejut dan langsung bangun menatap ibunya."Minggu depan, Zidan akan membawa lamaran ke sini. Jadi, kamu harus bersiap-siap untuk meyambutnya," kata ibunya menjelaskan, wanita itu sudah menerima lamaran Zidan secara lisan dan tinggal menunggu prosesi resmi
Hari di mana diadakannya lamaran pun datang. Kala itu Ana benar-benar berpikir untuk kabur, sudah satu minggu setelah tragedi di mana Aditya menghajar Arga, Ana dikurung di kamarnya dan tidak diizinkan keluar ataupun bekerja.“Mbak, tolong rias dia secantik mungkin!” pinta ibu Ana kepada perias yang ia sewa untuk mendandani putrinya.Ana hanya melirik dengan wajah datar, ia benar-benar merasa tertekan dengan keadaan yang sedang ia alami. Kini dirinya hanya bisa pasrah, membiarkan para perias itu mendandani dirinya, memoles dan membubuhkan aneka make up ke wajahnya.___Keluarga Zidan sudah tiba di rumah Ana dengan berbagai hadiah yang sudah dipersiapkan. Ayah Zidan tidak ikut mengingat kondisinya yang tidak memungkinkan untuk diajak. Hanya ada dua adiknya dan juga beberapa kerabat terdekat yang akan mengikuti dan menyaksikan prosesi lamarannya.Mereka sudah duduk di tempat y
Ana terlihat duduk dengan peluh yang bermanik di kening dan pelipisnya, wajahnya terlihat pucat tidak secerah biasanya. Sudah hampir dua bulan setelah pertunangan dirinya dengan Zidan, Ana tidak diperbolehkan keluar rumah, dia pun dipaksa berhenti dari pekerjaannya.Hari ini ia bisa keluar atas izin orangtuanya. Namun, ia juga memiliki peraturan dan syarat yang harus dilakukan. Ana terus ditekan untuk segera meninggalkan Arga mengingat jika pernikahannya sudah tinggal sebulan.Arga menatap Ana yang terus menunduk dengan wajah pucat, gadis itu juga terlihat terus meremas jemarinya.“An!” panggil Arga.“Arga aku ingin hubungan kita berakhir!” Ana langsung mengutarakan maksud kedatangannya pada Arga, gadis itu tidak berani menatap wajah kekasihnya.Ana diperbolehkan keluar hanya untuk memutuskan hubungannya dengan Arga, orangtuanya tidak ingin jika Ana masih menjalin hubungan dengan pemuda itu. Bahkan,
Pernikahan yang sejatinya penuh kebahagiaan dan doa terbaik untuk melangkah menuju masa depan tidak berlaku bagi Ana. Meski para tamu dan keluarga berpesta menyambut suka cita pernikahan itu, nyatanya Ana sama sekali tidak bahagia.Sehari setelah pernikahan Ana dan Zidan, gadis yang kini sudah resmi menjadi milik Zidan itu sedang sibuk berkemas. Zidan mengatakan jika ingin mengajak Ana segera pindah ke rumahnya karena dia tidak bisa meninggalkan ayahnya yang sakit terlalu lama.“Ingat An! Kamu sudah jadi istri Zidan, jangan berbuat sesuatu yang bisa mempermalukan keluarga kita, apa kamu paham?” Ibu Ana menasehati gadis itu dengan sedikit penekanan.Ana sedang berkemas, ia akan pindah ke rumah Zidan hari ini. Sebagai seorang ibu, wanita itu benar-benar seakan sedang mengorbankan kebahagiaan putrinya sendiri.Ana tidak menanggapi perkataan ibunya, ia fokus memasukan pakaiannya ke koper. Dalam hati ia merasa mungkin ke
Sudah genap seminggu Ana menikah dengan Zidan. Gadis itu tidak diperbolehkan bekerja oleh Zidan karena memang pemuda itu menginginkan agar Ana di rumah dan membantu perawat mengurus ayahnya.Ana sendiri sebenarnya ingin sekali bekerja, tapi apalah dayanya jika sudah dilarang, terlebih Zidan berjanji akan menjamin hidup Ana, mencukupi segala kebutuhan gadis yang kini jadi istrinya, melakukan kewajiban sebagai seorang suami dan meminta Ana melakukan kewajiban sebagai seorang istri-mengurus keluarganya.Sore itu setelah selesai mengurus ayah Zidan dan memastikan jika pria itu beristirahat, Ana pun pergi membersihkan diri. Ternyata merawat orang sakit lebih sulit dari bekerja, itulah yang dirasakan Ana sekarang.Gadis itu begitu terkejut ketika baru saja keluar dari kamar mandi dan mendapati Zidan ternyata sudah pulang, Ana hanya memakai bathrobe dan begitu polos di dalam, membuat gadis itu salah tingkah.Zidan yang bar
Pagi itu Ana dan pembantu rumah Zidan sedang menyiapkan sarapan untuk pria yang kini jadi suaminya juga kedua adik yang harus pergi menimba ilmu.Beberapa menu masakan sudah tersaji di meja makan, meski Ana tidak terlalu biasa dengan dapur, tapi karena kini dia sudah menikah dan memiliki tanggung jawab, membuatnya sebisa mungkin untuk belajar.“Pagi, Kak!” sapa Alisya yang langsung duduk di kursi meja makan, gadis itu sudah memakai seragam SMA.Mikaila juga langsung duduk di sebelah Alisya, tapi gadis itu masih tidak mau bicara atau sekedar berbasa-basi menyapa dengan istri kakaknya.Zidan yang baru sampai di ruang makan langsung menghampiri Ana yang sibuk menata piring dan alat makan. Tanpa Ana sadari, Zidan langsung mengecup sisi wajah Ana membuat wanita itu terkesiap dan menatap Zidan.“Pagi, sayang!” sapanya dan langsung duduk di kursi.Alisya terlihat senyum-senyum sendiri meli
Ana pergi ke dapur, ia ingin menyeduh kopi untuk Zidan agar selepas mandi, pria itu bisa menikmati kopi yang bisa membuat tubuhnya kembali segar.Ana membawa secangkir kopi yang baru ia seduh menuju kamar mereka, hingga tanpa sengaja Ana menabrak Mikaila, atau lebih tepatnya, Mikaila yang sengaja menabrak lengan Ana, membuat kopi yang berada di cangkir tumpah dan menyiram kulit Ana.“Aghh!!” Ana memekik dan tanpa sadar melepaskan cangkir yang ia pegang, membuat benda itu jatuh ke lantai serta menciptakan suara yang nyaring menggema di seluruh ruangan.“Hei! Jalan pakai mata! Memang kamu pikir ini rumahmu, asal jalan nggak lihat-lihat! Bajuku jadi terkena cipratan kopi, 'kan!” umpat Mikaila menatap benci Ana dengan tangan mengibaskan bagian bawah gaunnya yang terkena noda kopi.Ana terdiam, ia merasakan panas di kulit yang terkena kopi. Zidan dan Alisya yang mendengar suara pecah pun langsung keluar, mereka melihat A