Share

TCM 4

"Bu."

Aditya yang baru selesai membantu istrinya menjaga sang anak langsung duduk di sebelah ibunya yang sedang bersantai di teras rumah. Menyadari kedatangan putra kesayangannya tentu saja membuat wanita itu langsung menghentikan aktifitasnya bermain ponsel.

"Zidan kayaknya benar-benar suka sama Ana, deh!" ujar Aditya seraya menyambar kue yang ada di atas meja dan memasukannya ke mulut.

"Apa benar?" tanya ibunya yang langsung terlihat antusias, terlihat senyum merekah di wajah wanita itu.

"Iya, kemarin dia menanyakan hal-hal yang menyangkut tentang Ana, katanya dia merasa cocok dengan Ana," ungkap Aditya kepada ibunya, mengingat setelah kencan yang dilakukan Zidan, pemuda itu langsung mengungkapkan pada Aditya jika dirinya benar-benar menyukai sang adik.

Tentu saja hal itu seperti angin segar yang berembus di musim panas, mungkin ini adalah kesempatan orangtua Ana menjodohkan putrinya itu pada pria yang mapan dan tentu saja sudah jelas masa depannya.

"Jika Zidan mau melamar adikmu, Ibu nggak masalah. Malah senang karena akhirnya ada pemuda mapan yang tertarik pada Ana," ungkap ibunya secara blak-blakkan.

Mungkin ini kesempatan untuk menjodohkan Ana dengan pemuda yang sudah terlihat jelas masa depannya, tidak seperti pemuda yang menjadi pacar putrinya, miskin dan hanya mengandalkan pekerjaan dari panggilan manggung, itulah kira-kira yang ada dipikiran wanita itu.

_

_

_

Zidan Narendra, laki-laki itu sudah menjadi tulang punggung keluarganya sejak dia berumur dua puluh dua tahun, ia memiliki dua orang adik perempuan, yang satu berumur dua puluh satu tahun dan masih kuliah, sedangkan adiknya yang satu berumur tujuh belas tahun yang sekarang masih duduk di bangku SMA.

Ibu Zidan sudah meninggal sejak bertahun-tahun yang lalu saat melahirkan adiknya yang kedua. Saat itu ibunya mengalami pendarahan hebat ketika kandungannya sudah masuk trimester akhir. Awalnya ibu Zidan sudah diperingatkan oleh dokter jika janin yang ada di rahimnya itu dalam kondisi tidak baik dan akan menimbulkan masalah jika masih dipertahankan, tapi dia adalah seorang wanita yang memiliki hati selembut kapas. Meski sudah disarankan oleh dokter, ibu Zidan tetap tidak mau menggugurkan kandungannya yang saat itu masih berumur dua minggu. Wanita itu bersikukuh mempertahankan karena ia merasa jika janin itu juga punya hak untuk bisa tumbuh dan lahir agar bisa melihat dunia ini.

Hingga masalah yang ditakutkan oleh dokter pun terjadi, ibu Zidan mengalami komplikasi, pendarahan membuat nyawanya dan bayinya terancam. Dokter memberi pilihan menyelamatkan ibu atau bayinya karena hanya akan ada satu yang selamat jika dilakukan operasi. Saat itu ayah Zidan lebih memilih sang istri, akan tetapi ibu Zidan menolak, ia lebih menginginkan jika dokter menyelamatkan bayinya.

Beginilah pada akhirnya, adik Zidan selamat tapi ibunya harus pergi untuk selamanya meninggalkan dirinya dengan dua adik dan ayahnya sendirian. Ayah Zidan sendiri merasa terpukul saat itu, bagaimana ia bisa kehilangan wanita yang sudah menemaninya bertahun-tahun lamanya, bahkan sang ayah sempat enggan mengakui keberadaan adiknya mengingat jika bayi itu adalah penyebab istrinya meninggal. Namun, lambat lalun Zidan yang saat itu masih berumur empat belas tahun meyakinkan sang ayah jika semuanya sudah suratan takdir dan meminta ayahnya untuk menghargai perjuangan ibunya yang sudah melahirkan adiknya itu. Hingga akhirnya membuat pria itu luluh dan mau menerima.

Tiga tahun yang lalu, ayah Zidan mengalami kelumpuhan karena sistem syaraf yang tidak bisa beroperasi dengan baik, atau bisa dibilang jika ayahnya terkena stroke.

Mulai dari hari itu, Zidan harus bekerja keras mencari nafkah untuk bisa membiayai sekolah kedua adik perempuannya juga pengobatan dan membayar perawat yang mengurus ayahnya karena kedua adiknya tidak bisa jika harus mengurus pria itu mengingat mereka sibuk dengan pendidikan masing-masing.

Apalagi ayah Zidan sudah lumpuh bertahun-tahun lamanya dan hampir tujuh puluh persen tubuhnya tidak bisa digerakkan, bahkan untuk bicara saja sulit, karena itu Zidan butuh perawat khusus untuk menjaga ayahnya jika dirinya pergi bekerja. Ia hanya ingin menjadi anak yang berbakti dengan memberikan yang terbaik untuk sang ayah.

Menikah adalah salah satu alasan Zidan agar kesehatan sang ayah lebih terpantau, juga ada yang membantunya menjaga kedua adiknya.

_

_

_

"Lho kok tumben!" Ibunda Arga terkejut sore itu saat Ana tiba-tiba saja datang ke rumahnya. Tak biasanya Ana mampir ke suatu tempat setelah pulang kerja, biasanya ia memilih langsung menuju ke rumah.

"Ana bawain bakmi jawa kesukaan mas Arga," ucapnya sopan.

"Arga lagi keluar sebentar, tadi ibu minta dibelikan bahan kue, duduk dulu ya!" Wanita itu mempersilahkan Ana, lalu meninggalkan sejenak kekasih putranya itu. "An, kalau mau minum kayak biasanya ya, Ibu ngadon dulu."

Ana pun tersenyum sambil menganggukkan kepala saat ibu kekasihnya itu kembali ke ruang tamu untuk berbicara kepadanya. Melihat pintu kamar Arga yang sedikit terbuka, tanpa meminta izin gadis itu memberanikan diri masuk ke dalam. Ana sibuk memandangi kamar Arga. Kamar sederhana yang ia harap bisa menjadi tempat terhangat untuknya jika menikah dengan pujaan hatinya itu nanti. Gadis itu duduk lalu termenung di depan meja kerja Arga, menatap buku yang Ia tahu berisi lagu yang diciptakan laki-laki itu. Bibirnya tersenyum melihat foto mereka berdua, Arga membuatnya menjadi kolase dari tahun ke tahun.

"Kapan datang?" Tanpa aba-aba Arga memeluk Ana dari belakang. Meletakkan dagunya ke atas kepala gadis itu.

"Baru kok, aku bawain bakmi kesukaan kamu." Ana mendongak, menatap Arga yang terlihat tersenyum hangat.

"Gimana kemarin acara keluarganya?"

Pertanyaan Arga membuat Ana tergagap, ia terpaksa harus berbohong ada acara saat pergi dengan Zidan kemarin.

"Ga, aku--" Belum sempat Ana menyelesaikan kalimatnya, ibunda Arga memanggil kekasihnya.

"Ya Bu! Bentar ya!" Izin Arga sambil mencubit pipi gadis yang sangat dicintainya itu.

"Sakit!" pekik Ana yang langsung memegangi pipinya.

Terkekeh geli, Arga meminta maaf dan meminta kekasihnya itu menunggu. "Paling diminta ngangkat karung terigu."

Ana mengangguk. Gadis itu tahu hidup pacarnya begitu tangguh. Arga adalah anak tunggal, ayahnya meninggal sejak Ia berumur dua belas tahun dan semenjak itu ibunya menjadi single parent, membesarkan putranya seorang diri tanpa berniat menikah lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status