Satu setangah tahun yang lalu
Ana terlihat berlari memasuki kafe milik orangtuanya, gadis itu lupa jika hari ini tambatan hatinya ada jadwal manggung di sana, ia terengah-engah ketika membuka pintu kaca, mengatur napasnya lantas melangkahkan kaki masuk.
Ana bernapas lega ketika melihat Arga masih bernyanyi menghibur pengunjung malam itu. Ia lantas duduk di meja dekat dengan panggung mini yang terdapat di kafe milik orangtuanya. Senja Kafe nama kafe milik keluarga Ana memang selalu mengadakan live musik setiap malam Sabtu, dan band Arga adalah salah satu yang rutin mengisi live musik di sana, mereka sudah memiliki penggemar setia.
Masih menikmati alunan lagu yang dibawakan Arga, telapak tangan kanan Ana terlihat menyangga dagu dengan siku yang bertumpu pada meja, matanya tidak teralihkan dari Arga yang sesekali melirik ke arahnya.
"Hah ... suaramu memang mengagumkan, hati 'ku saja meleleh," gumam Ana sembari menghela napas pelan dengan senyum di wajahnya. Kekasihnya itu teramat tampan meskipun berasal dari keluarga sederhana.
Tujuh tahun menjalin hubungan sejak SMA, hanya Argalah yang bisa membuat Ana selalu tersenyum bahagia seperti sekarang.
Dua lagu selesai dibawakan Arga dan bandnya, mereka kini bisa beristirahat untuk menyiapkan pertunjukan selanjutnya. Langsung menghampiri Ana yang sudah melempar senyum padanya, Arga melayangkan protesnya.
"Kamu terlambat!" Pemuda itu duduk di kursi sebelah Ana, meraih tangan kekasihnya untuk ia genggam. Mengabaikan beberapa pasang mata yang menatap iri ke arah mereka.
"Maaf! Aku ketiduran," sahut Ana seraya nyengir kuda dan memasang muka tanpa dosa.
"Ish ... kebiasaan tidur sore, nggak baik tahu!" Arga mengusap kasar pucuk kepala Ana, membuat rambut gadis itu sedikit berantakan.
Ana pun tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi putihnya, ia sangat suka perlakuan Arga yang terus memanjakannya. Bagi Ana, Arga adalah segalanya, mereka berjanji akan menikah dua tahun lagi, bahkan keduanya sudah memiliki tabungan bersama. Ana bekerja sebagai karyawan kontrak di sebuah bank swasta di kotanya, sementara Arga memang hanya mengandalkan pekerjaan manggung dari satu kafe ke kafe yang lain bersama bandnya.
"Mumpung bisa pulang lebih awal," ucap Ana membela diri.
Tidak bisa dipungkiri jika selama ini Ana memang kekurangan kasih sayang dari keluarganya, orangtua Ana lebih memperhatikan kakak laki-lakinya, bagi mereka anak laki-laki lebih membawa keberuntungan dan bisa diandalkan meneruskan bisnis keluarga, baik ayah maupun ibunya selalu membedakan dan membandingkan dirinya dengan sang kakak, Aditya.
Namun, semuanya berubah ketika dirinya mulai mengenal Arga dan menjalin hubungan dengan laki-laki itu ketika mereka duduk di bangku kelas tiga SMA, hanya Arga yang memberikan begitu banyak perhatian pada Ana. Argalah yang menyayanginya sepenuh hati, mengisi hari-harinya dengan cinta dan kasih sayang, membuat hidup Ana yang sepi dan kelam menjadi indah dan penuh warna. Memberikan kehangatan di relung hatinya yang terasa dingin. Untuk Ana Arga ibarat matahari yang menghangatkan bumi.
"Arga!" panggil salah satu teman Arga seraya mengisyaratkan agar vokalis bandnya itu naik ke atas panggung untuk kembali tampil.
Arga menoleh seraya melambaikan tangan ke arah temannya, ia lantas kembali menatap Ana.
"Aku naik dulu." Pamit Arga yang disambut sebuah anggukan oleh gadis itu.
Ana masih menikmati alunan lagu yang dibawakan oleh Arga, terlihat sesekali jari telunjuknya mengetuk meja, kakinya ia hentakan pelan di lantai dan bibirnya mengikuti lirik yang dibawakan oleh sang kekasih.
_
_
_
Tersenyum bahagia saat masuk ke dalam rumah, langkah Ana harus terhenti karena panggilan dari ibunya.
"Ana, Ibu dulu sudah bilang kamu boleh pacaran tapi tidak boleh berhubungan serius dengan Arga."
Gadis itu terdiam, meremas tali tas yang melingkar di depan dadanya. Dia sadar, orangtuanya masih tidak bisa menerima hubungannya dengan Arga.
"Bu—"
"Ayah sama Ibu sudah minta kamu putusin dia berkali-kali, kenapa kamu masih bandel juga? Kamu itu dari kecil nggak pernah bikin ayah sama Ibu bangga, udah gede nurutin omongan orang tua aja kamu nggak bisa."
"Ana sayang sama Arga," ucap Ana.
"Sayang? Sayang nggak bisa bikin kamu kenyang Ana. Seharusnya dulu Ibu nikahin kamu aja pas lulus SMA, ngapain Ibu buang-buang duit buat nguliahin kamu, kalau kamu ujung-ujungnya nikah sama laki-laki kere macam Arga!"
Shima, kakak ipar Ana yang mendengar pembicaraan itu terlihat mendekat. Menepuk pundak adik suaminya itu sambil mengusap perutnya yang membuncit. "Udahlah Bu, Ana pasti sudah tahu yang baik untuk masa depannya."
"Kamu bisa bilang gitu karena suami kamu mapan Ma, orangtua kamu pasti tenang anaknya menikah dengan pria seperti Aditya. Tapi, lihat Ana! Pacaran sama vokalis band, Ibu 'kan tahu berapa bayaran dia."
Ana memilih diam dan bergegas masuk ke dalam kamarnya. Gadis itu melempar tasnya, memeluk gulingnya dan memejamkan mata.
"Nah ... Lihat 'kan kelakuannya, belum ngebalas apa-apa ke orangtua aja udah berani!"
Hati Ana semakin sakit, terlintas dalam pikirannya bahwa mungkin dia bukanlah anak kandung ayah dan ibunya. Perlakuan yang dia dapat sangat jauh berbeda dengan Aditya sang kakak.
"Kalau kamu masih berhubungan sama Arga, Ibu sama ayah akan menolak lamarannya mentah-mentah, kecuali dia membawa uang satu koper kemari."
Ana mencurukkan wajahnya ke bantal. Ia tak menyangka bahwa materi sepertinya lebih penting untuk ibunya ketimbang kebahagiaannya. Gadis itu mengingat permintaannya ke Arga beberapa saat yang lalu.
"Ga, Ayo kita pergi! Ke tempat di mana tidak ada orang yang bisa menemukan keberadaan kita."
"Hem ... kamu berbicara seperti ini karena sedang kesal, besok saat rasa kesalmu hilang aku yakin kamu akan melupakannya."
Hari itu Shima, kakak ipar Ana baru saja pulang dari rumah sakit pasca melahirkan, rumah orangtua Ana tentu saja ramai dengan kedatangan keluarga dan sanak saudara kakak iparnya itu.Sebuah mobil SUV berwarna silver berhenti di pelataran rumah orangtua Ana. Pemuda berbadan tegap juga berwajah tampan turun dari mobil dengan membawa kotak berbentuk persegi panjang agak besar yang dibungkus dengan kertas kado."Permisi! Saya mau bertemu dengan Aditya," ujar pemuda itu kepada salah satu pembantu rumah tangga orangtua Ana yang kala itu sedang berada di halaman dengan nada sopan."Oh, sebentar Mas!"Pembantu rumah tangga yang berumur empat puluhan tahun itu lantas masuk rumah dan memanggil Aditya, kakak Ana."Eh ... ayo masuk!" ajak Aditya begitu tahu siapa yanga datang mencarinya.Pemuda itu lantas masuk mengikuti Aditya dan duduk di ruang tamu.
"Bu."Aditya yang baru selesai membantu istrinya menjaga sang anak langsung duduk di sebelah ibunya yang sedang bersantai di teras rumah. Menyadari kedatangan putra kesayangannya tentu saja membuat wanita itu langsung menghentikan aktifitasnya bermain ponsel."Zidan kayaknya benar-benar suka sama Ana, deh!" ujar Aditya seraya menyambar kue yang ada di atas meja dan memasukannya ke mulut."Apa benar?" tanya ibunya yang langsung terlihat antusias, terlihat senyum merekah di wajah wanita itu."Iya, kemarin dia menanyakan hal-hal yang menyangkut tentang Ana, katanya dia merasa cocok dengan Ana," ungkap Aditya kepada ibunya, mengingat setelah kencan yang dilakukan Zidan, pemuda itu langsung mengungkapkan pada Aditya jika dirinya benar-benar menyukai sang adik.Tentu saja hal itu seperti angin segar yang berembus di musim panas, mungkin ini adalah kesempatan orangtua Ana menjodohkan putrinya itu pada pri
Sore itu Ana terlihat bingung ketika ibunya meminta Arga untuk datang ke rumah dan ingin bicara dengan mereka. Namun, ia juga bahagia, berpikir mungkin saja jika ibunya kini berubah pikiran dan sudah bisa menerima hubungan keduanya juga berniat merestui mereka.Ana berdandan secantik dan semanis mungkin, jika memang benar kalau mereka akan mendapat restu, tentu saja Ana harus dalam keadaan yang sempurna untuk menyambutnya.Ana menyambut bahagia ketika Arga datang dan baru saja turun dari motor kesayangannya, pemuda itu tampak melepas helm yang ia kenakan kemudian mengulas senyum pada Ana yang sudah berdiri di sampingnya."Apa penampilanku sudah rapi?" tanya Arga pada kekasihnya itu.Ana mengangguk, ia sedikit menepuk dan mengangsurkan tangannya di bagian depan kemeja Arga untuk sekedar merapikan pakaian yang dikenakan kekasihnya. "Sudah rapi."Arga kembali mengulas senyum mendengar perkata
Beberapa hari setelah kedua orangtua Ana meminta agar gadis itu harus berpisah dengan Arga, mereka mulai membatasi kegiatan Ana. Bahkan gadis itu diantar dan jemput saat bekerja, dimaksudkan agar Ana tidak punya waktu untuk bertemu dengan kekasihnya.Malam itu, Ana sedang berada di kamarnya. Ia sedang berbalas pesan dengan Arga yang kala itu sedang manggung di kafe milik orangtuanya. Gadis itu meminta maaf karena tidak bisa datang, mengingat jika kedua orangtua maupun kakaknya masih mengawasi dirinya serta tidak membiarkannya pergi ke mana pun selain bekerja."An!"Ibu Ana sudah berada di kamar gadis itu, membuat Ana yang sedang berbaring dengan posisi telungkup terkejut dan langsung bangun menatap ibunya."Minggu depan, Zidan akan membawa lamaran ke sini. Jadi, kamu harus bersiap-siap untuk meyambutnya," kata ibunya menjelaskan, wanita itu sudah menerima lamaran Zidan secara lisan dan tinggal menunggu prosesi resmi
Hari di mana diadakannya lamaran pun datang. Kala itu Ana benar-benar berpikir untuk kabur, sudah satu minggu setelah tragedi di mana Aditya menghajar Arga, Ana dikurung di kamarnya dan tidak diizinkan keluar ataupun bekerja.“Mbak, tolong rias dia secantik mungkin!” pinta ibu Ana kepada perias yang ia sewa untuk mendandani putrinya.Ana hanya melirik dengan wajah datar, ia benar-benar merasa tertekan dengan keadaan yang sedang ia alami. Kini dirinya hanya bisa pasrah, membiarkan para perias itu mendandani dirinya, memoles dan membubuhkan aneka make up ke wajahnya.___Keluarga Zidan sudah tiba di rumah Ana dengan berbagai hadiah yang sudah dipersiapkan. Ayah Zidan tidak ikut mengingat kondisinya yang tidak memungkinkan untuk diajak. Hanya ada dua adiknya dan juga beberapa kerabat terdekat yang akan mengikuti dan menyaksikan prosesi lamarannya.Mereka sudah duduk di tempat y
Ana terlihat duduk dengan peluh yang bermanik di kening dan pelipisnya, wajahnya terlihat pucat tidak secerah biasanya. Sudah hampir dua bulan setelah pertunangan dirinya dengan Zidan, Ana tidak diperbolehkan keluar rumah, dia pun dipaksa berhenti dari pekerjaannya.Hari ini ia bisa keluar atas izin orangtuanya. Namun, ia juga memiliki peraturan dan syarat yang harus dilakukan. Ana terus ditekan untuk segera meninggalkan Arga mengingat jika pernikahannya sudah tinggal sebulan.Arga menatap Ana yang terus menunduk dengan wajah pucat, gadis itu juga terlihat terus meremas jemarinya.“An!” panggil Arga.“Arga aku ingin hubungan kita berakhir!” Ana langsung mengutarakan maksud kedatangannya pada Arga, gadis itu tidak berani menatap wajah kekasihnya.Ana diperbolehkan keluar hanya untuk memutuskan hubungannya dengan Arga, orangtuanya tidak ingin jika Ana masih menjalin hubungan dengan pemuda itu. Bahkan,
Pernikahan yang sejatinya penuh kebahagiaan dan doa terbaik untuk melangkah menuju masa depan tidak berlaku bagi Ana. Meski para tamu dan keluarga berpesta menyambut suka cita pernikahan itu, nyatanya Ana sama sekali tidak bahagia.Sehari setelah pernikahan Ana dan Zidan, gadis yang kini sudah resmi menjadi milik Zidan itu sedang sibuk berkemas. Zidan mengatakan jika ingin mengajak Ana segera pindah ke rumahnya karena dia tidak bisa meninggalkan ayahnya yang sakit terlalu lama.“Ingat An! Kamu sudah jadi istri Zidan, jangan berbuat sesuatu yang bisa mempermalukan keluarga kita, apa kamu paham?” Ibu Ana menasehati gadis itu dengan sedikit penekanan.Ana sedang berkemas, ia akan pindah ke rumah Zidan hari ini. Sebagai seorang ibu, wanita itu benar-benar seakan sedang mengorbankan kebahagiaan putrinya sendiri.Ana tidak menanggapi perkataan ibunya, ia fokus memasukan pakaiannya ke koper. Dalam hati ia merasa mungkin ke
Sudah genap seminggu Ana menikah dengan Zidan. Gadis itu tidak diperbolehkan bekerja oleh Zidan karena memang pemuda itu menginginkan agar Ana di rumah dan membantu perawat mengurus ayahnya.Ana sendiri sebenarnya ingin sekali bekerja, tapi apalah dayanya jika sudah dilarang, terlebih Zidan berjanji akan menjamin hidup Ana, mencukupi segala kebutuhan gadis yang kini jadi istrinya, melakukan kewajiban sebagai seorang suami dan meminta Ana melakukan kewajiban sebagai seorang istri-mengurus keluarganya.Sore itu setelah selesai mengurus ayah Zidan dan memastikan jika pria itu beristirahat, Ana pun pergi membersihkan diri. Ternyata merawat orang sakit lebih sulit dari bekerja, itulah yang dirasakan Ana sekarang.Gadis itu begitu terkejut ketika baru saja keluar dari kamar mandi dan mendapati Zidan ternyata sudah pulang, Ana hanya memakai bathrobe dan begitu polos di dalam, membuat gadis itu salah tingkah.Zidan yang bar