Hari di mana diadakannya lamaran pun datang. Kala itu Ana benar-benar berpikir untuk kabur, sudah satu minggu setelah tragedi di mana Aditya menghajar Arga, Ana dikurung di kamarnya dan tidak diizinkan keluar ataupun bekerja.
“Mbak, tolong rias dia secantik mungkin!” pinta ibu Ana kepada perias yang ia sewa untuk mendandani putrinya.
Ana hanya melirik dengan wajah datar, ia benar-benar merasa tertekan dengan keadaan yang sedang ia alami. Kini dirinya hanya bisa pasrah, membiarkan para perias itu mendandani dirinya, memoles dan membubuhkan aneka make up ke wajahnya.
_
_
_
Keluarga Zidan sudah tiba di rumah Ana dengan berbagai hadiah yang sudah dipersiapkan. Ayah Zidan tidak ikut mengingat kondisinya yang tidak memungkinkan untuk diajak. Hanya ada dua adiknya dan juga beberapa kerabat terdekat yang akan mengikuti dan menyaksikan prosesi lamarannya.
Mereka sudah duduk di tempat yang sudah dipersiapkan oleh keluarga Ana. Adik pertama Zidan tampak mengedarkan pandangan keseluruh ruangan rumah itu, ia mengibas-ibaskan kipas tangan yang ia bawa di depan wajahnya, seakan sedang mencemooh rumah itu yang tidak sebesar dan senyaman milik mereka.
“Gadisnya secantik apa, sih? Sampai-sampai kak Zidan mau menikahi gadis yang rumahnya saja tidak sebesar milik kita,” ucap Mikaila adik pertama Zidan dengan sedikit nada menghina, ia berbisik pada adiknya.
“Nggak tahu, Kak! Kak Zidan juga tidak pernah bercerita. Apapun pilihan kak Zidan, kita harus mendukungnya,” timpal adik kedua Zidan yang bernama Alisya.
“Cih … kamu tuh sok bijak kayak kak Zidan!” Mikaila tidak senang karena Alisya tidak mendukung apa yang ia ucapkan.
Zidan terlihat diam menanti waktu untuk prosesi lamarannya, pemuda itu memang terkenal lebih banyak diam dari pada bicara. Ia sosok yang tertutup dan tidak pernah mengutarakan keinginanya kepada siapapun.
Zidan sendiri sebenarnya ingin cepat-cepat menikah karena kondisi ayahnya yang sudah semakin tua dan buruk. Pemuda itu ingin agar ada seseorang yang bisa membantu mengawasi dan merawat ayahnya selagi ia bekerja, karena tidak selamanya ia bisa mengandalkan tenaga perawat. Zidan memilih Ana karena merasa jika gadis itu akan mudah diatur, terlebih kakaknya Ana—Aditya selalu mengatakan jika Ana adalah gadis penurut dan tidak suka membangkang, hal itu membuat Zidan semakin tertarik dan memantapkan hati untuk meminang dan menjadikan gadis itu istrinya.
Ana terlihat keluar dari kamar dengan diapit oleh ibu dan kakak iparnya, gadis itu terlihat cantik dengan polesan make up yang tidak terlalu tebal. Sejatinya wajah Ana sudah cantik alami, jadi dipoles sedikit saja sudah menambah nilai kecantikannya.
“Cantik lho, Kak.” Alisya berbisik pada kakaknya.
Mikaila tampak melipat bibirnya ke kanan dan kiri, merasa jika gadis pilihan kakaknya tidak secantik dirinya, atau sebenarnya lebih tepat jika dirinya iri karena gadis pilihan sang kakak mengalahkan kecantikannya.
Gadis itu didudukan di sofa yang terdapat di ruangan itu. Khusus disiapkan untuk Ana dan Zidan, mengingat mereka akan melakukan prosesi tukar cincin. Setelah membacakan sambutan dari kedua belah pihak, kini adalah waktunya untuk Zidan dan Ana menyematkan cincin ke jari manis satu sama lain.
Zidan sudah menyematkan cincin di jemari Ana, kini giliran gadis itu yang melakukannya. Tangan Ana terlihat gemetar, semua orang mengira jika gadis itu pasti gugup, padahal kenyataannya bukan. Hati Ana terasa berat ketika harus memakaikan cincin ke jari pemuda lain dan bukannya ke jari sang kekasih.
Ibu Ana yang berdiri di belakang gadis itu, menyadari jika Ana ragu untuk menyematkan cincin yang sudah ia pegang. Wanita itu sampai mencolek lengan Ana, mengingatkan agar gadis itu cepat memakaikan cincin ke jari Zidan.
“Arga, maaf.” Ana bergumam dalam hati, ia meminta maaf pada sang kekasih karena kini ia harus mengingkari janji yang pernah mereka buat.
Kelopak mata Ana sedikit menggenang, ia memaksakan tersenyum ketika semua orang bertepuk tangan menyambut calon pasangan baru itu. Zidan sendiri hanya mengulas senyum seraya menatap Ana, pemuda itu berpikir jika Ana sedang terharu hingga ingin menitikkan air mata.
“Jadi, kira-kira tanggal berapa pernikahannya?” tanya ibu Ana setelah prosesi tukar cincin selesai.
“Lebih cepat lebih baik, Bu!” jawab Zidan.
Keluarga Zidan yang lain sedang menikmati hidangan yang disajikan oleh keluarga Ana, sedangkan pemuda itu ditemani adik keduanya membahas masalah tanggal pernikahan.
Ibu Ana tampak berbisik kepada seorang pria yang berumur sekitar lima puluh tahunan, pria itu ternyata seorang yang biasa menghitung hari baik untuk menentukan acara-acara tertentu.
Setelah mendapat jawaban dari pria itu, ibu Ana tampak tersenyum lantas menyebutkan tanggal yang dimaksud.
“Itu tiga bulan lagi, ya?” tanya Zidan memastikan.
“Iya, kalau nak Zidan sedikit kerepotan kalau terlalu cepat, kita bisa ambil yang tujuh bulan lagi,” jawab ibu Ana menjelaskan.
“Tidak, Bu! Itu saja.”
Zidan menyetujui tanggal yang diajukan oleh keluarga Ana. Ana hanya terdiam, di dalam hatinya kini sedang menangis pilu, ia benar-benar harus dipaksa menikah dan meninggalkan kekasihnya.
_
_
_
_
“Ga! Ayo kita pergi, bawa aku pergi. Aku tidak mau menikah.”
Ana menemui Arga secara diam-diam di sebuah taman. Arga bingung, ia sudah tahu bahwa kekasihnya telah dilamar seorang pria. Kabar itu ia dengar dari para pelayan kafe milik orangtua Ana.
“Arga jangan diam! Aku tidak mau menikah dengan Zidan, aku lebih baik mati!”
“An! Kamu tidak boleh berkata seperti itu.” Arga memeluk erat tubuh Ana, gadis itu masih menangis terisak.
“Hiduplah Ana! Bertahanlah! Jika benar kamu mencintaiku, aku akan memantaskan diri dan kembali kepadamu,” bisik Arga.
Ana terlihat duduk dengan peluh yang bermanik di kening dan pelipisnya, wajahnya terlihat pucat tidak secerah biasanya. Sudah hampir dua bulan setelah pertunangan dirinya dengan Zidan, Ana tidak diperbolehkan keluar rumah, dia pun dipaksa berhenti dari pekerjaannya.Hari ini ia bisa keluar atas izin orangtuanya. Namun, ia juga memiliki peraturan dan syarat yang harus dilakukan. Ana terus ditekan untuk segera meninggalkan Arga mengingat jika pernikahannya sudah tinggal sebulan.Arga menatap Ana yang terus menunduk dengan wajah pucat, gadis itu juga terlihat terus meremas jemarinya.“An!” panggil Arga.“Arga aku ingin hubungan kita berakhir!” Ana langsung mengutarakan maksud kedatangannya pada Arga, gadis itu tidak berani menatap wajah kekasihnya.Ana diperbolehkan keluar hanya untuk memutuskan hubungannya dengan Arga, orangtuanya tidak ingin jika Ana masih menjalin hubungan dengan pemuda itu. Bahkan,
Pernikahan yang sejatinya penuh kebahagiaan dan doa terbaik untuk melangkah menuju masa depan tidak berlaku bagi Ana. Meski para tamu dan keluarga berpesta menyambut suka cita pernikahan itu, nyatanya Ana sama sekali tidak bahagia.Sehari setelah pernikahan Ana dan Zidan, gadis yang kini sudah resmi menjadi milik Zidan itu sedang sibuk berkemas. Zidan mengatakan jika ingin mengajak Ana segera pindah ke rumahnya karena dia tidak bisa meninggalkan ayahnya yang sakit terlalu lama.“Ingat An! Kamu sudah jadi istri Zidan, jangan berbuat sesuatu yang bisa mempermalukan keluarga kita, apa kamu paham?” Ibu Ana menasehati gadis itu dengan sedikit penekanan.Ana sedang berkemas, ia akan pindah ke rumah Zidan hari ini. Sebagai seorang ibu, wanita itu benar-benar seakan sedang mengorbankan kebahagiaan putrinya sendiri.Ana tidak menanggapi perkataan ibunya, ia fokus memasukan pakaiannya ke koper. Dalam hati ia merasa mungkin ke
Sudah genap seminggu Ana menikah dengan Zidan. Gadis itu tidak diperbolehkan bekerja oleh Zidan karena memang pemuda itu menginginkan agar Ana di rumah dan membantu perawat mengurus ayahnya.Ana sendiri sebenarnya ingin sekali bekerja, tapi apalah dayanya jika sudah dilarang, terlebih Zidan berjanji akan menjamin hidup Ana, mencukupi segala kebutuhan gadis yang kini jadi istrinya, melakukan kewajiban sebagai seorang suami dan meminta Ana melakukan kewajiban sebagai seorang istri-mengurus keluarganya.Sore itu setelah selesai mengurus ayah Zidan dan memastikan jika pria itu beristirahat, Ana pun pergi membersihkan diri. Ternyata merawat orang sakit lebih sulit dari bekerja, itulah yang dirasakan Ana sekarang.Gadis itu begitu terkejut ketika baru saja keluar dari kamar mandi dan mendapati Zidan ternyata sudah pulang, Ana hanya memakai bathrobe dan begitu polos di dalam, membuat gadis itu salah tingkah.Zidan yang bar
Pagi itu Ana dan pembantu rumah Zidan sedang menyiapkan sarapan untuk pria yang kini jadi suaminya juga kedua adik yang harus pergi menimba ilmu.Beberapa menu masakan sudah tersaji di meja makan, meski Ana tidak terlalu biasa dengan dapur, tapi karena kini dia sudah menikah dan memiliki tanggung jawab, membuatnya sebisa mungkin untuk belajar.“Pagi, Kak!” sapa Alisya yang langsung duduk di kursi meja makan, gadis itu sudah memakai seragam SMA.Mikaila juga langsung duduk di sebelah Alisya, tapi gadis itu masih tidak mau bicara atau sekedar berbasa-basi menyapa dengan istri kakaknya.Zidan yang baru sampai di ruang makan langsung menghampiri Ana yang sibuk menata piring dan alat makan. Tanpa Ana sadari, Zidan langsung mengecup sisi wajah Ana membuat wanita itu terkesiap dan menatap Zidan.“Pagi, sayang!” sapanya dan langsung duduk di kursi.Alisya terlihat senyum-senyum sendiri meli
Ana pergi ke dapur, ia ingin menyeduh kopi untuk Zidan agar selepas mandi, pria itu bisa menikmati kopi yang bisa membuat tubuhnya kembali segar.Ana membawa secangkir kopi yang baru ia seduh menuju kamar mereka, hingga tanpa sengaja Ana menabrak Mikaila, atau lebih tepatnya, Mikaila yang sengaja menabrak lengan Ana, membuat kopi yang berada di cangkir tumpah dan menyiram kulit Ana.“Aghh!!” Ana memekik dan tanpa sadar melepaskan cangkir yang ia pegang, membuat benda itu jatuh ke lantai serta menciptakan suara yang nyaring menggema di seluruh ruangan.“Hei! Jalan pakai mata! Memang kamu pikir ini rumahmu, asal jalan nggak lihat-lihat! Bajuku jadi terkena cipratan kopi, 'kan!” umpat Mikaila menatap benci Ana dengan tangan mengibaskan bagian bawah gaunnya yang terkena noda kopi.Ana terdiam, ia merasakan panas di kulit yang terkena kopi. Zidan dan Alisya yang mendengar suara pecah pun langsung keluar, mereka melihat A
Ana baru saja selesai menyuapi ayah mertuanya, ia membersihkan kamar itu baru kemudian pergi untuk membersihkan dirinya. Meski Ana kesal dengan sikap Zidan, tapi ia masih berusaha bersabar dengan tetap mengurus ayah mertuanya.Saat Ana baru keluar dari kamar mertuanya, Zidan juga baru saja masuk rumah. Ana tidak tersenyum atau menyapa, ia hanya mengeluarkan ekpresi datar.Zidan menghampiri Ana, ia kemudian mengecup kening istrinya. Ana masih mengeluarkan ekspresi datar, ia tidak menyambut atau sekedar berbasa-basi mengucapkan sesuatu.“Gimana kabar ayah?” tanya Zidan menatap Ana.“Baik, kenapa tidak lihat saja sendiri?” Jawab dan tanya Ana.Ana langsung berjalan meninggalkan Zidan, membuat pria itu sedikit merasa aneh. Zidan pun menyusul Ana yang ternyata masuk ke kamar. Istrinya itu langsung masuk ke kamar mandi sebelum Zidan menghampiri dirinya lagi.Selama Ana mandi, Zidan tampak
Mereka keluar dari kamar, Alisya yang melihat kakaknya begitu cemas dengan menggandeng Ana pun memberanikan diri untuk bertanya.“Kak, mau ke mana?” tanya Alisya.“Ke dokter! Kamu sarapan dan pergi ke sekolah dulu, jangan menungguku!” perintah Zidan tanpa menoleh pada Alisya.Alisya hanya mengangguk mengerti, ia cemas kenapa kakaknya terlihat panik, berpikir apakah terjadi sesuatu dengan kakak iparnya.--Mereka sudah sampai di rumah praktek seorang dokter, meski di sana tertulis jika dokter buka pukul sembilan pagi, Zidan memaksa agar dokter itu mau memeriksa keadaan Ana terutama kandungannya.“Aditya mengatakan jika Ana pernah mengalami sakit yang membuat dirinya mengalami masalah dalam rahimnya yang mengakibatkan Ana kemungkinan besar tidak bisa hamil. Tapi, sekarang apa? Dia tidak hamil, 'kan?” Zidan bertanya-tanya dalam hati.Zidan
Zidan terkejut dengan pertanyaan Ana, ia langsung berdiri begitu melihat istrinya itu.“Apa kamu mendengar semuanya?” tanya Zidan balik.Ana mendesah pelan, ia benar-benar tidak mengerti kenapa pria itu sampai melakukan semua ini. Hampir saja ia merasakan suatu perasaan spesial pada suaminya itu, akan tetapi semuanya kini menguar entah ke mana.“Tenang saja Mas! Aku juga tidak ingin punya anak dari Mas Zidan!” sarkas Ana yang sangat kecewa dengan sikap suaminya.Ana juga meninggalkan Zidan, wanita itu memilih menyusul Alisya karena tahu jika gadis itu pasti sakit hati karena dianggap sebagai penyebab kematian ibunya.Saat masuk ke kamar Alisya, Ana bisa melihat gadis itu tengkurap di atas tempat tidur. Alisya menangis karena perkataan Zidan.“Sya!” panggil Ana.Ana duduk di tepian ranjang Alisya, ia mengusap lembut surau panjang adik iparnya itu.