Share

TCM 7

Hari di mana diadakannya lamaran pun datang. Kala itu Ana benar-benar berpikir untuk kabur, sudah satu minggu setelah tragedi di mana Aditya menghajar Arga, Ana dikurung di kamarnya dan tidak diizinkan keluar ataupun bekerja.

“Mbak, tolong rias dia secantik mungkin!” pinta ibu Ana kepada perias yang ia sewa untuk mendandani putrinya.

Ana hanya melirik dengan wajah datar, ia benar-benar merasa tertekan dengan keadaan yang sedang ia alami. Kini dirinya hanya bisa pasrah, membiarkan para perias itu mendandani dirinya, memoles dan membubuhkan aneka make up ke wajahnya.

_

_

_

Keluarga Zidan sudah tiba di rumah Ana dengan berbagai hadiah yang sudah dipersiapkan. Ayah Zidan tidak ikut mengingat kondisinya yang tidak memungkinkan untuk diajak. Hanya ada dua adiknya dan juga beberapa kerabat terdekat yang akan mengikuti dan menyaksikan prosesi lamarannya.

Mereka sudah duduk di tempat yang sudah dipersiapkan oleh keluarga Ana. Adik pertama Zidan tampak mengedarkan pandangan keseluruh ruangan rumah itu, ia mengibas-ibaskan kipas tangan yang ia bawa di depan wajahnya, seakan sedang mencemooh rumah itu yang tidak sebesar dan senyaman milik mereka.

“Gadisnya secantik apa, sih? Sampai-sampai kak Zidan mau menikahi gadis yang rumahnya saja tidak sebesar milik kita,” ucap Mikaila adik pertama Zidan dengan sedikit nada menghina, ia berbisik pada adiknya.

“Nggak tahu, Kak! Kak Zidan juga tidak pernah bercerita. Apapun pilihan kak Zidan, kita harus mendukungnya,” timpal adik kedua Zidan yang bernama Alisya.

“Cih … kamu tuh sok bijak kayak kak Zidan!” Mikaila tidak senang karena Alisya tidak mendukung apa yang ia ucapkan.

Zidan terlihat diam menanti waktu untuk prosesi lamarannya, pemuda itu memang terkenal lebih banyak diam dari pada bicara. Ia sosok yang tertutup dan tidak pernah mengutarakan keinginanya kepada siapapun.

Zidan sendiri sebenarnya ingin cepat-cepat menikah karena kondisi ayahnya yang sudah semakin tua dan buruk. Pemuda itu ingin agar ada seseorang yang bisa membantu mengawasi dan merawat ayahnya selagi ia bekerja, karena tidak selamanya ia bisa mengandalkan tenaga perawat. Zidan memilih Ana karena merasa jika gadis itu akan mudah diatur, terlebih kakaknya Ana—Aditya selalu mengatakan jika Ana adalah gadis penurut dan tidak suka membangkang, hal itu membuat Zidan semakin tertarik dan memantapkan hati untuk meminang dan menjadikan gadis itu istrinya.

Ana terlihat keluar dari kamar dengan diapit oleh ibu dan kakak iparnya, gadis itu terlihat cantik dengan polesan make up yang tidak terlalu tebal. Sejatinya wajah Ana sudah cantik alami, jadi dipoles sedikit saja sudah menambah nilai kecantikannya.

“Cantik lho, Kak.” Alisya berbisik pada kakaknya.

Mikaila tampak melipat bibirnya ke kanan dan kiri, merasa jika gadis pilihan kakaknya tidak secantik dirinya, atau sebenarnya lebih tepat jika dirinya iri karena gadis pilihan sang kakak mengalahkan kecantikannya.

Gadis itu didudukan di sofa yang terdapat di ruangan itu. Khusus disiapkan untuk Ana dan Zidan, mengingat mereka akan melakukan prosesi tukar cincin. Setelah membacakan sambutan dari kedua belah pihak, kini adalah waktunya untuk Zidan dan Ana menyematkan cincin ke jari manis satu sama lain.

Zidan sudah menyematkan cincin di jemari Ana, kini giliran gadis itu yang melakukannya. Tangan Ana terlihat gemetar, semua orang mengira jika gadis itu pasti gugup, padahal kenyataannya bukan. Hati Ana terasa berat ketika harus memakaikan cincin ke jari pemuda lain dan bukannya ke jari sang kekasih.

Ibu Ana yang berdiri di belakang gadis itu, menyadari jika Ana ragu untuk menyematkan cincin yang sudah ia pegang. Wanita itu sampai mencolek lengan Ana, mengingatkan agar gadis itu cepat memakaikan cincin ke jari Zidan.

“Arga, maaf.” Ana bergumam dalam hati, ia meminta maaf pada sang kekasih karena kini ia harus mengingkari janji yang pernah mereka buat.

Kelopak mata Ana sedikit menggenang, ia memaksakan tersenyum ketika semua orang bertepuk tangan menyambut calon pasangan baru itu. Zidan sendiri hanya mengulas senyum seraya menatap Ana, pemuda itu berpikir jika Ana sedang terharu hingga ingin menitikkan air mata.

“Jadi, kira-kira tanggal berapa pernikahannya?” tanya ibu Ana setelah prosesi tukar cincin selesai.

“Lebih cepat lebih baik, Bu!” jawab Zidan.

Keluarga Zidan yang lain sedang menikmati hidangan yang disajikan oleh keluarga Ana, sedangkan pemuda itu ditemani adik keduanya membahas masalah tanggal pernikahan.

Ibu Ana tampak berbisik kepada seorang pria yang berumur sekitar lima puluh tahunan, pria itu ternyata seorang yang biasa menghitung hari baik untuk menentukan acara-acara tertentu.

Setelah mendapat jawaban dari pria itu, ibu Ana tampak tersenyum lantas menyebutkan tanggal yang dimaksud.

“Itu tiga bulan lagi, ya?” tanya Zidan memastikan.

“Iya, kalau nak Zidan sedikit kerepotan kalau terlalu cepat, kita bisa ambil yang tujuh bulan lagi,” jawab ibu Ana menjelaskan.

“Tidak, Bu! Itu saja.”

Zidan menyetujui tanggal yang diajukan oleh keluarga Ana. Ana hanya terdiam, di dalam hatinya kini sedang menangis pilu, ia benar-benar harus dipaksa menikah dan meninggalkan kekasihnya.

_

_

_

_

“Ga! Ayo kita pergi, bawa aku pergi. Aku tidak mau menikah.”

Ana menemui Arga secara diam-diam di sebuah taman. Arga bingung, ia sudah tahu bahwa kekasihnya telah dilamar seorang pria. Kabar itu ia dengar dari para pelayan kafe milik orangtua Ana.

“Arga jangan diam! Aku tidak mau menikah dengan Zidan, aku lebih baik mati!”

“An! Kamu tidak boleh berkata seperti itu.” Arga memeluk erat tubuh Ana, gadis itu masih menangis terisak.

“Hiduplah Ana! Bertahanlah! Jika benar kamu mencintaiku, aku akan memantaskan diri dan kembali kepadamu,” bisik Arga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status