Ana terlihat duduk dengan peluh yang bermanik di kening dan pelipisnya, wajahnya terlihat pucat tidak secerah biasanya. Sudah hampir dua bulan setelah pertunangan dirinya dengan Zidan, Ana tidak diperbolehkan keluar rumah, dia pun dipaksa berhenti dari pekerjaannya.
Hari ini ia bisa keluar atas izin orangtuanya. Namun, ia juga memiliki peraturan dan syarat yang harus dilakukan. Ana terus ditekan untuk segera meninggalkan Arga mengingat jika pernikahannya sudah tinggal sebulan.
Arga menatap Ana yang terus menunduk dengan wajah pucat, gadis itu juga terlihat terus meremas jemarinya.
“An!” panggil Arga.
“Arga aku ingin hubungan kita berakhir!” Ana langsung mengutarakan maksud kedatangannya pada Arga, gadis itu tidak berani menatap wajah kekasihnya.
Ana diperbolehkan keluar hanya untuk memutuskan hubungannya dengan Arga, orangtuanya tidak ingin jika Ana masih menjalin hubungan dengan pemuda itu. Bahkan, mereka tega mengancam pekerjaan dan keselamatan Arga jika Ana tidak menuruti kata mereka.
Arga terkesiap, senyum getir terbit di wajahnya. Pemuda itu sampai menggelengkan kepala tidak percaya jika pada akhirnya hubungan mereka harus berakhir dan kandas begitu saja. Ucapan Ana bagai sebuah belati tak kasat mata yang menghujam tepat di jantungnya.
Bukan hanya Arga, Ana pun sebenarnya merasakan hal yang sama. Gadis itu merasa sesak di dadanya, kini rongga dadanya seakan sedang tertimpa batu puluhan kilo yang membuatnya merasa tidak bisa bernapas.
“Arga maaf, meski aku sangat mencintaimu, tapi aku tidak bisa apa-apa. Kamu yang menolak permintaan untuk membawaku pergi dari sini, jika pada akhirnya seperti ini, aku pun tidak bisa apa-apa. Semua ini juga demi kamu, aku tidak bisa membiarkan mereka menghancurkan impian dan kariermu,” batin Ana dengan kepala tertunduk, ia sampai memejamkan mata rapat-rapat karena mengatakan hal itu sungguh menyiksa dan menorehkan luka juga di hatinya.
Dalam hatinya ia menangis pilu, ingin rasanya meraung sekeras-kerasnya untuk meluapkan segala sakit dan sesak yang terasa.
“Maaf Ana, meski aku sangat mencintaimu, tapi aku tidak berani berharap bisa memilikimu sekarang, mungkin memang kita belum ditakdirkan bersama. Namun, aku akan selalu mencintaimu walaupun kamu sudah menjadi milik orang lain. Aku ingin sekali membawamu pergi jauh, tapi bagaimana dengan ibuku? Aku tidak bisa meningalkannya begitu saja, maaf,” batin Arga dengan hati yang sudah retak.
Ia sebenarnya tidak rela, tapi ia juga memiliki banyak pertimbangan. Sebagai seseorang yang sudah biasa hidup susah, Arga lebih mengerti bagaimana kerasnya hidup ini. Karena itu ia tidak ingin bersikap egois dengan membawa kabur Ana tanpa mempertimbangkan resiko dan akibat yang akan terjadi pada dirinya maupun Ana.
Arga lantas berdiri, ia menghampiri Ana yang duduk di hadapannya. Pemuda itu sedikit membungkuk, mengecup kening Ana dengan kelopak mata yang sudah siap meluapkan buliran kristal bening.
Ana sudah tidak bisa menahan air matanya, pundaknya bergetar dan gadis itu akhirnya menangis di hadapan kekasihnya atau sebenarnya sudah menjadi mantan kekasih.
“Hiduplah dengan bahagia, An. Setelah ini aku berjanji untuk menghilang dari hidupmu,” ucap Arga yang membuat Ana terkesiap, gadis itu langsung mendongak menatap Arga.
“Tapi, aku berjanji untuk kembali setelah menjadi orang yang sukses. Setelah aku menjadi seseorang yang berdiri di puncak tertinggi, bersinar terang agar tidak lagi ada yang memandangku rendah!” imbuhnya.
Arga mengusap sisi wajah Ana lembut, ia kemudian meninggalkan gadis itu di sana sendirian.
Buliran kristal bening semakin luruh dari kelopak mata Ana tatkala menyaksikan Arga pergi, kini Ana seakan lupa cara untuk bernapas, dadanya benar-benar sakit dan membuatnya susah bernapas. Ia sampai mengepalkan telapak tangan kemudian memukulkannya ke dada berulang kali, mencoba untuk mengurangi rasa sakit yang terus menghimpit.
Arga melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, matanya merah menahan amarah dan rasa kehilangan. Buliran kristal bening kini luruh dari kelopak matanya, buliran itu terbang bersama angin yang menerpa wajahnya.
“Tunggu aku, An! Aku pasti kembali, aku janji!”
-
-
Hari pernikahan Ana dan Zidan pun tiba. Di dalam kamarnya, Ana menatap bayangan dirinya yang sudah dirias dan memakai kebaya berwarna putih dari pantulan cermin. Kedua tangannya tampak meremas bawahan kebaya, rasa sakit itu masih terasa di hatinya, ia belum bisa melupakan perpisahan yang ia paksakan. Rasa bersalah pada Arga masih terus menghantuinya.
“Sudah siap! Ayo!” Shima yang menuntun Ana untuk keluar kamar dan mempertemukannya pada Zidan.
Langkahnya terasa berat ketika melangkah, tatapannya terasa kosong. Bagi Ana yang bisa ia lihat hanyalah bayangan Arga.
Shima mendudukan Ana di altar pernikahan di mana Zidan sudah duduk di sana. Pemuda itu mengulas senyum ke arah Ana, membuat gadis itu memaksakan senyum.
Para tamu mulai mengucapkan selamat pada keduanya, Ana terlihat sesekali melirik ibunya, wanita itu terus memberi isyarat agar Ana tersenyum.
Hingga saat ada seorang pemuda yang sudah berdiri di hadapan Ana, membuat gadis itu menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Arga,” bisik Ana dalam hati.
Arga memaksakan untuk bisa tersenyum meski hatinya begitu sakit.
Jika bisa, Ana ingin sekali memeluk pemuda itu. Namun, ketika ia mengingat tentang ancaman kedua orangtuanya tentu saja membuat Ana tidak bisa apa-apa.
“Selamat, ya!” Arga mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Ana.
Ana mengangkat tangannya, ia terlihat gemetar. Tatapannya tidak teralihkan dari wajah Arga.
Arga langsung menggenggam tangan Ana, pemuda itu juga merasakan sakit yang menusuk hatinya, tapi ia masih bisa menutupi apa yang sedang ia rasakan.
Arga melepas tangannya dari genggaman Ana, ia kemudian memberi selamat pada Zidan dengan tetap mengulas senyum.
Arga berjalan menjauh dari altar, ia menatap tangannya yang tadi digunakan untuk menjabat tangan Ana, kemudian menggenggamnya erat.
“Aku akan kembali, aku pasti akan kembali!”
Ana menatap Arga pergi, hatinya hancur melihat pemuda yang ia cintai harus menyaksikan pernikahannya. Dalam hatinya ia menjerit, meratapi nasib percintaannya yang tragis. Ia bahkan tidak bisa membayangkan hidupnya bersama Zidan ke depan. Bayang-bayang Arga, Ana tidak akan pernah tahu sampai kapan akan menghantui hidupnya.
Ana, aku tidak akan menunggu kehidupan yang akan datang untuk bisa memiliki dirimu, aku berjanji akan membuat semua orang yang menyakiti kita menerima balasan yang setimpal.
Pernikahan yang sejatinya penuh kebahagiaan dan doa terbaik untuk melangkah menuju masa depan tidak berlaku bagi Ana. Meski para tamu dan keluarga berpesta menyambut suka cita pernikahan itu, nyatanya Ana sama sekali tidak bahagia.Sehari setelah pernikahan Ana dan Zidan, gadis yang kini sudah resmi menjadi milik Zidan itu sedang sibuk berkemas. Zidan mengatakan jika ingin mengajak Ana segera pindah ke rumahnya karena dia tidak bisa meninggalkan ayahnya yang sakit terlalu lama.“Ingat An! Kamu sudah jadi istri Zidan, jangan berbuat sesuatu yang bisa mempermalukan keluarga kita, apa kamu paham?” Ibu Ana menasehati gadis itu dengan sedikit penekanan.Ana sedang berkemas, ia akan pindah ke rumah Zidan hari ini. Sebagai seorang ibu, wanita itu benar-benar seakan sedang mengorbankan kebahagiaan putrinya sendiri.Ana tidak menanggapi perkataan ibunya, ia fokus memasukan pakaiannya ke koper. Dalam hati ia merasa mungkin ke
Sudah genap seminggu Ana menikah dengan Zidan. Gadis itu tidak diperbolehkan bekerja oleh Zidan karena memang pemuda itu menginginkan agar Ana di rumah dan membantu perawat mengurus ayahnya.Ana sendiri sebenarnya ingin sekali bekerja, tapi apalah dayanya jika sudah dilarang, terlebih Zidan berjanji akan menjamin hidup Ana, mencukupi segala kebutuhan gadis yang kini jadi istrinya, melakukan kewajiban sebagai seorang suami dan meminta Ana melakukan kewajiban sebagai seorang istri-mengurus keluarganya.Sore itu setelah selesai mengurus ayah Zidan dan memastikan jika pria itu beristirahat, Ana pun pergi membersihkan diri. Ternyata merawat orang sakit lebih sulit dari bekerja, itulah yang dirasakan Ana sekarang.Gadis itu begitu terkejut ketika baru saja keluar dari kamar mandi dan mendapati Zidan ternyata sudah pulang, Ana hanya memakai bathrobe dan begitu polos di dalam, membuat gadis itu salah tingkah.Zidan yang bar
Pagi itu Ana dan pembantu rumah Zidan sedang menyiapkan sarapan untuk pria yang kini jadi suaminya juga kedua adik yang harus pergi menimba ilmu.Beberapa menu masakan sudah tersaji di meja makan, meski Ana tidak terlalu biasa dengan dapur, tapi karena kini dia sudah menikah dan memiliki tanggung jawab, membuatnya sebisa mungkin untuk belajar.“Pagi, Kak!” sapa Alisya yang langsung duduk di kursi meja makan, gadis itu sudah memakai seragam SMA.Mikaila juga langsung duduk di sebelah Alisya, tapi gadis itu masih tidak mau bicara atau sekedar berbasa-basi menyapa dengan istri kakaknya.Zidan yang baru sampai di ruang makan langsung menghampiri Ana yang sibuk menata piring dan alat makan. Tanpa Ana sadari, Zidan langsung mengecup sisi wajah Ana membuat wanita itu terkesiap dan menatap Zidan.“Pagi, sayang!” sapanya dan langsung duduk di kursi.Alisya terlihat senyum-senyum sendiri meli
Ana pergi ke dapur, ia ingin menyeduh kopi untuk Zidan agar selepas mandi, pria itu bisa menikmati kopi yang bisa membuat tubuhnya kembali segar.Ana membawa secangkir kopi yang baru ia seduh menuju kamar mereka, hingga tanpa sengaja Ana menabrak Mikaila, atau lebih tepatnya, Mikaila yang sengaja menabrak lengan Ana, membuat kopi yang berada di cangkir tumpah dan menyiram kulit Ana.“Aghh!!” Ana memekik dan tanpa sadar melepaskan cangkir yang ia pegang, membuat benda itu jatuh ke lantai serta menciptakan suara yang nyaring menggema di seluruh ruangan.“Hei! Jalan pakai mata! Memang kamu pikir ini rumahmu, asal jalan nggak lihat-lihat! Bajuku jadi terkena cipratan kopi, 'kan!” umpat Mikaila menatap benci Ana dengan tangan mengibaskan bagian bawah gaunnya yang terkena noda kopi.Ana terdiam, ia merasakan panas di kulit yang terkena kopi. Zidan dan Alisya yang mendengar suara pecah pun langsung keluar, mereka melihat A
Ana baru saja selesai menyuapi ayah mertuanya, ia membersihkan kamar itu baru kemudian pergi untuk membersihkan dirinya. Meski Ana kesal dengan sikap Zidan, tapi ia masih berusaha bersabar dengan tetap mengurus ayah mertuanya.Saat Ana baru keluar dari kamar mertuanya, Zidan juga baru saja masuk rumah. Ana tidak tersenyum atau menyapa, ia hanya mengeluarkan ekpresi datar.Zidan menghampiri Ana, ia kemudian mengecup kening istrinya. Ana masih mengeluarkan ekspresi datar, ia tidak menyambut atau sekedar berbasa-basi mengucapkan sesuatu.“Gimana kabar ayah?” tanya Zidan menatap Ana.“Baik, kenapa tidak lihat saja sendiri?” Jawab dan tanya Ana.Ana langsung berjalan meninggalkan Zidan, membuat pria itu sedikit merasa aneh. Zidan pun menyusul Ana yang ternyata masuk ke kamar. Istrinya itu langsung masuk ke kamar mandi sebelum Zidan menghampiri dirinya lagi.Selama Ana mandi, Zidan tampak
Mereka keluar dari kamar, Alisya yang melihat kakaknya begitu cemas dengan menggandeng Ana pun memberanikan diri untuk bertanya.“Kak, mau ke mana?” tanya Alisya.“Ke dokter! Kamu sarapan dan pergi ke sekolah dulu, jangan menungguku!” perintah Zidan tanpa menoleh pada Alisya.Alisya hanya mengangguk mengerti, ia cemas kenapa kakaknya terlihat panik, berpikir apakah terjadi sesuatu dengan kakak iparnya.--Mereka sudah sampai di rumah praktek seorang dokter, meski di sana tertulis jika dokter buka pukul sembilan pagi, Zidan memaksa agar dokter itu mau memeriksa keadaan Ana terutama kandungannya.“Aditya mengatakan jika Ana pernah mengalami sakit yang membuat dirinya mengalami masalah dalam rahimnya yang mengakibatkan Ana kemungkinan besar tidak bisa hamil. Tapi, sekarang apa? Dia tidak hamil, 'kan?” Zidan bertanya-tanya dalam hati.Zidan
Zidan terkejut dengan pertanyaan Ana, ia langsung berdiri begitu melihat istrinya itu.“Apa kamu mendengar semuanya?” tanya Zidan balik.Ana mendesah pelan, ia benar-benar tidak mengerti kenapa pria itu sampai melakukan semua ini. Hampir saja ia merasakan suatu perasaan spesial pada suaminya itu, akan tetapi semuanya kini menguar entah ke mana.“Tenang saja Mas! Aku juga tidak ingin punya anak dari Mas Zidan!” sarkas Ana yang sangat kecewa dengan sikap suaminya.Ana juga meninggalkan Zidan, wanita itu memilih menyusul Alisya karena tahu jika gadis itu pasti sakit hati karena dianggap sebagai penyebab kematian ibunya.Saat masuk ke kamar Alisya, Ana bisa melihat gadis itu tengkurap di atas tempat tidur. Alisya menangis karena perkataan Zidan.“Sya!” panggil Ana.Ana duduk di tepian ranjang Alisya, ia mengusap lembut surau panjang adik iparnya itu.
Zidan kembali ke rumah saat sore hari. Tidak mendapati Ana di lantai satu, Ia menebak jika istrinya berada di kamar.“Apa Ana di kamarnya, Bi?” tanya Zidan pada pembantu rumahnya.“Iya, tapi itu Mas, tadi sepulang belanja mbak Ana kelihatan marah, dia kasih barang belanjaan terus langsung ke kamar,” jawab pembantu Zidan.“Marah?” Zidan bertanya-tanya dalam hati.“Oh, terima kasih Bi!”Zidan langsung naik menuju kamar, untuk melihat keadaan Ana apakah sesuai dengan apa yang dikatakan pembantunya.Zidan mendapati Ana berbaring dengan posisi miring, wanita itu tampak memeluk guling dan memunggungi pintu. Zidan pun berjalan mendekat, ia lantas duduk di tepian ranjang tepat di hadapan Ana.Mengetahui jika itu Zidan, Ana memutar tubuhnya, ia kini menghadap ke arah pintu.“An, ada apa? Ada masalah?” tanya Zidan dengan nada suara lemah lembut.