Share

TCM 8

Ana terlihat duduk dengan peluh yang bermanik di kening dan pelipisnya, wajahnya terlihat pucat tidak secerah biasanya. Sudah hampir dua bulan setelah pertunangan dirinya dengan Zidan, Ana tidak diperbolehkan keluar rumah, dia pun dipaksa berhenti dari pekerjaannya.

Hari ini ia bisa keluar atas izin orangtuanya. Namun, ia juga memiliki peraturan dan syarat yang harus dilakukan. Ana terus ditekan untuk segera meninggalkan Arga mengingat jika pernikahannya sudah tinggal sebulan.

Arga menatap Ana yang terus menunduk dengan wajah pucat, gadis itu juga terlihat terus meremas jemarinya.

“An!” panggil Arga.

“Arga aku ingin hubungan kita berakhir!” Ana langsung mengutarakan maksud kedatangannya pada Arga, gadis itu tidak berani menatap wajah kekasihnya.

Ana diperbolehkan keluar hanya untuk memutuskan hubungannya dengan Arga, orangtuanya tidak ingin jika Ana masih menjalin hubungan dengan pemuda itu. Bahkan, mereka tega mengancam pekerjaan dan keselamatan Arga jika Ana tidak menuruti kata mereka.

Arga terkesiap, senyum getir terbit di wajahnya. Pemuda itu sampai menggelengkan kepala tidak percaya jika pada akhirnya hubungan mereka harus berakhir dan kandas begitu saja. Ucapan Ana bagai sebuah belati tak kasat mata yang menghujam tepat di jantungnya.

Bukan hanya Arga, Ana pun sebenarnya merasakan hal yang sama. Gadis itu merasa sesak di dadanya, kini rongga dadanya seakan sedang tertimpa batu puluhan kilo yang membuatnya merasa tidak bisa bernapas.

“Arga maaf, meski aku sangat mencintaimu, tapi aku tidak bisa apa-apa. Kamu yang menolak permintaan untuk membawaku pergi dari sini, jika pada akhirnya seperti ini, aku pun tidak bisa apa-apa. Semua ini juga demi kamu, aku tidak bisa membiarkan mereka menghancurkan impian dan kariermu,” batin Ana dengan kepala tertunduk, ia sampai memejamkan mata rapat-rapat karena mengatakan hal itu sungguh menyiksa dan menorehkan luka juga di hatinya.

Dalam hatinya ia menangis pilu, ingin rasanya meraung sekeras-kerasnya untuk meluapkan segala sakit dan sesak yang terasa.

“Maaf Ana, meski aku sangat mencintaimu, tapi aku tidak berani berharap bisa memilikimu sekarang, mungkin memang kita belum ditakdirkan bersama. Namun, aku akan selalu mencintaimu walaupun kamu sudah menjadi milik orang lain. Aku ingin sekali membawamu pergi jauh, tapi bagaimana dengan ibuku? Aku tidak bisa meningalkannya begitu saja, maaf,” batin Arga dengan hati yang sudah retak.

Ia sebenarnya tidak rela, tapi ia juga memiliki banyak pertimbangan. Sebagai seseorang yang sudah biasa hidup susah, Arga lebih mengerti bagaimana kerasnya hidup ini. Karena itu ia tidak ingin bersikap egois dengan membawa kabur Ana tanpa mempertimbangkan resiko dan akibat yang akan terjadi pada dirinya maupun Ana.

Arga lantas berdiri, ia menghampiri Ana yang duduk di hadapannya. Pemuda itu sedikit membungkuk, mengecup kening Ana dengan kelopak mata yang sudah siap meluapkan buliran kristal bening.

Ana sudah tidak bisa menahan air matanya, pundaknya bergetar dan gadis itu akhirnya menangis di hadapan kekasihnya atau sebenarnya sudah menjadi mantan kekasih.

“Hiduplah dengan bahagia, An. Setelah ini aku berjanji untuk menghilang dari hidupmu,” ucap Arga yang membuat Ana terkesiap, gadis itu langsung mendongak menatap Arga.

“Tapi, aku berjanji untuk kembali setelah menjadi orang yang sukses. Setelah aku menjadi seseorang yang berdiri di puncak tertinggi, bersinar terang agar tidak lagi ada yang memandangku rendah!” imbuhnya.

Arga mengusap sisi wajah Ana lembut, ia kemudian meninggalkan gadis itu di sana sendirian.

Buliran kristal bening semakin luruh dari kelopak mata Ana tatkala menyaksikan Arga pergi, kini Ana seakan lupa cara untuk bernapas, dadanya benar-benar sakit dan membuatnya susah bernapas. Ia sampai mengepalkan telapak tangan kemudian memukulkannya ke dada berulang kali, mencoba untuk mengurangi rasa sakit yang terus menghimpit.

Arga melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, matanya merah menahan amarah dan rasa kehilangan. Buliran kristal bening kini luruh dari kelopak matanya, buliran itu terbang bersama angin yang menerpa wajahnya.

“Tunggu aku, An! Aku pasti kembali, aku janji!”

-

-

Hari pernikahan Ana dan Zidan pun tiba. Di dalam kamarnya, Ana menatap bayangan dirinya yang sudah dirias dan memakai kebaya berwarna putih dari pantulan cermin. Kedua tangannya tampak meremas bawahan kebaya, rasa sakit itu masih terasa di hatinya, ia belum bisa melupakan perpisahan yang ia paksakan. Rasa bersalah pada Arga masih terus menghantuinya.

“Sudah siap! Ayo!” Shima yang menuntun Ana untuk keluar kamar dan mempertemukannya pada Zidan.

Langkahnya terasa berat ketika melangkah, tatapannya terasa kosong. Bagi Ana yang bisa ia lihat hanyalah bayangan Arga.

Shima mendudukan Ana di altar pernikahan di mana Zidan sudah duduk di sana. Pemuda itu mengulas senyum ke arah Ana, membuat gadis itu memaksakan senyum.

Para tamu mulai mengucapkan selamat pada keduanya, Ana terlihat sesekali melirik ibunya, wanita itu terus memberi isyarat agar Ana tersenyum.

Hingga saat ada seorang pemuda yang sudah berdiri di hadapan Ana, membuat gadis itu menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca.

“Arga,” bisik Ana dalam hati.

Arga memaksakan untuk bisa tersenyum meski hatinya begitu sakit.

Jika bisa, Ana ingin sekali memeluk pemuda itu. Namun, ketika ia mengingat tentang ancaman kedua orangtuanya tentu saja membuat Ana tidak bisa apa-apa.

“Selamat, ya!” Arga mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Ana.

Ana mengangkat tangannya, ia terlihat gemetar. Tatapannya tidak teralihkan dari wajah Arga.

Arga langsung menggenggam tangan Ana, pemuda itu juga merasakan sakit yang menusuk hatinya, tapi ia masih bisa menutupi apa yang sedang ia rasakan.

Arga melepas tangannya dari genggaman Ana, ia kemudian memberi selamat pada Zidan dengan tetap mengulas senyum.

Arga berjalan menjauh dari altar, ia menatap tangannya yang tadi digunakan untuk menjabat tangan Ana, kemudian menggenggamnya erat.

“Aku akan kembali, aku pasti akan kembali!”

Ana menatap Arga pergi, hatinya hancur melihat pemuda yang ia cintai harus menyaksikan pernikahannya. Dalam hatinya ia menjerit, meratapi nasib percintaannya yang tragis. Ia bahkan tidak bisa membayangkan hidupnya bersama Zidan ke depan. Bayang-bayang Arga, Ana tidak akan pernah tahu sampai kapan akan menghantui hidupnya.

Ana, aku tidak akan menunggu kehidupan yang akan datang untuk bisa memiliki dirimu, aku berjanji akan membuat semua orang yang menyakiti kita menerima balasan yang setimpal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status