Beberapa hari setelah kedua orangtua Ana meminta agar gadis itu harus berpisah dengan Arga, mereka mulai membatasi kegiatan Ana. Bahkan gadis itu diantar dan jemput saat bekerja, dimaksudkan agar Ana tidak punya waktu untuk bertemu dengan kekasihnya.
Malam itu, Ana sedang berada di kamarnya. Ia sedang berbalas pesan dengan Arga yang kala itu sedang manggung di kafe milik orangtuanya. Gadis itu meminta maaf karena tidak bisa datang, mengingat jika kedua orangtua maupun kakaknya masih mengawasi dirinya serta tidak membiarkannya pergi ke mana pun selain bekerja.
"An!"
Ibu Ana sudah berada di kamar gadis itu, membuat Ana yang sedang berbaring dengan posisi telungkup terkejut dan langsung bangun menatap ibunya.
"Minggu depan, Zidan akan membawa lamaran ke sini. Jadi, kamu harus bersiap-siap untuk meyambutnya," kata ibunya menjelaskan, wanita itu sudah menerima lamaran Zidan secara lisan dan tinggal menunggu prosesi resminya.
"Apa?!!"
Ana terkejut, ia langsung turun dari tempat tidur dan berdiri berhadapan dengan ibunya. Ia lantas melayangkan protes pada wanita yang sudah melahirkannya itu.
"Kok gitu, Bu?! Aku nggak mau!" tolak Ana.
"Kamu nggak berhak bilang nggak mau! Intinya, ibu dan ayah mau kamu menikah dengan Zidan, titik!!" hardik ibunya.
"Bu! Yang mau nikah aku, yang akan menjalani kehidupan ini aku, kenapa kalian yang mengatur? Pokoknya aku nggak mau!!" kekeh Ana menolak keinginan kedua orangtuanya.
Tanpa Ana sadari, Aditya mendengar jika gadis itu menolak menerima lamaran yang sudah dirancang oleh orangtuanya, pria itu tampak murka dan langsung pergi menuju kafe milik orangtuanya.
"Pokoknya kamu nggak berhak nolak! Pilih terima lamaran Zidan atau melihat pemuda tak berguna itu kehilangan pekerjaan di kafe manapun!!"
Ibu Ana meninggalkan kamar gadis itu seraya membanting pintu dengan keras, membuat Ana sampai mengedikkan bahu karena terkejut.
"Tidak bisa! Aku harus bertemu Arga!"
Ana menyeka buliran kristal bening yang sempat luruh dari kelopak matanya dengan jari lentiknya. Bagaimanapun caranya, ia harus bertemu dengan kekasihnya itu dan mengatakan tentang rencana orangtuanya secara langsung, agar bisa memikirkan solusi demi keberlangsungan hubungan mereka kedepannya.
_
_
_
Aditya turun dari mobil dengan wajah menggelap karena murka, ia yang selalu mendukung segala keputusan orangtuanya, merasa tidak terima ketika tahu jika adiknya membangkang pada keputusan orangtua mereka hanya karena seorang pemuda yang tidak ada seujung kuku temannya—Zidan.
Kala itu, kafe baru saja tutup karena waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam. Arga yang memang baru saja ingin pulang setelah selesai mengisi acara, terkejut ketika Aditya langsung menariknya yang hendak naik ke motor.
Kakak Ana langsung melayangkan bogem mentah ke wajah Arga yang sedang mencoba mencerna dengan apa yang terjadi, membuat pemuda itu jatuh tersungkur ke tanah.
Tak sampai di situ, Aditya langsung berjongkok, menarik jaket Arga lantas melayangkan pukulan untuk yang kedua kalinya.
"Kak! Ada apa ini?" tanya Arga dengan nada tinggi dan ekspresi terkejut karena dirinya terkena pukulan tanpa sebab.
"Jangan banyak omong!!"
Aditya kembali memukul Arga, membuat pemuda itu lagi-lagi tersungkur di tanah. Pria itu tidak bicara, ia sedang meluapkan amarahnya. Aditya kini berada di atas tubuh Arga yang tersungkur, melayangkan bogem mentah berkali-kali dan tidak membiarkan Arga membalasnya.
Entah sudah berapa kali Aditya melayangkan pukulan, kini wajah Arga benar-benar babak belur, lebam dan berdarah.
Puas memukuli kekasih adiknya itu, Aditya bangkit lantas menatap tajam pada Arga yang sampai terbatuk-batuk karena terus terkena pukulan.
"Ingat! Jangan pernah berhubungan lagi dengan Ana! Atau jangan salahkan aku jika kau akan mendapatkan lebih dari ini!!" Ancam Aditya seraya menunjuk pada Arga yang masih tersungkur.
"ARGA!!!!"
Ana berteriak kencang ketika mendapati kekasihnya sudah babak belur, bahkan kini lebam sudah menutupi seluruh wajah tampannya.
Ana langsung berjongkok dan memeluk tubuh Arga, ia menangis histeris melihat sang kekasih yang hampir tak berdaya.
"An," lirih Arga dalam pelukan gadis itu.
"Kakak ini apa-apaan? Kenapa melakukan ini pada Arga?!!"
Ana bertanya dengan suara isak tangis yang menyayat hati. Beberapa karyawan yang menyaksikan tampak diam karena takut jika terkena masalah kalau melerai.
"Kamu! Sini, nggak!!" Aditya menarik paksa tangan Ana.
Pria itu semakin kesal karena adiknya memeluk pemuda yang baru saja ia hajar.
"Nggak!!" tolak Ana masih mempertahankan dirinya memeluk sang kekasih.
Aditya semakin geram melihat adiknya terus saja membangkang, ia menarik tangan Ana semakin kencang hingga tangan gadis itu terlepas dari tubuh Arga.
Arga ingin sekali meraih tangan Ana, tapi tubuhnya terasa lemas, sakit, dan ngilu akibat hantaman kepalan tangan Aditya yang bertubi-tubi.
"Arga!!" seru Ana meronta dari genggaman kakaknya.
"Diam kamu! Jika kamu memberontak, aku pastikan dia tidak bisa melihat Matahari besok!!" ancam Aditya menatap Ana dengan jari menunjuk pada Arga.
Ana semakin meraung tak terkendali, air matanya terus luruh meratapi nasib kekasih dan hubungannya. Sekuat apapun dia memberontak, tetap saja kalah tenaga dengan kakaknya.
Aditya menendang kaki Arga, lantas menyeret Ana ke arah mobil, memasukkannya secara paksa lalu membawa gadis itu pergi dari sana.
Arga mengepalkan tangannya, matanya memerah menahan rasa sakit dan amarah. Beberapa karyawan yang masih di sana langsung menghampiri Arga, membantu pemuda itu untuk bangun.
"Ya Ampun, sampai begini," ucap salah satu karyawan yang merasa simpatik.
"Obatin dulu ya," timpal yang lain.
Akhirnya Arga dibawa masuk kembali ke dalam kafe, karyawan kafe keluarga Ana membantu Arga membersihkan wajahnya dari darah dan mengobati luka lebamnya.
"Kakak jahat! Aku benci kakak." Ana memukuli Aditya, Ia terus menangis karena khawatir dengan keadaan kekasihnya.
Hari di mana diadakannya lamaran pun datang. Kala itu Ana benar-benar berpikir untuk kabur, sudah satu minggu setelah tragedi di mana Aditya menghajar Arga, Ana dikurung di kamarnya dan tidak diizinkan keluar ataupun bekerja.“Mbak, tolong rias dia secantik mungkin!” pinta ibu Ana kepada perias yang ia sewa untuk mendandani putrinya.Ana hanya melirik dengan wajah datar, ia benar-benar merasa tertekan dengan keadaan yang sedang ia alami. Kini dirinya hanya bisa pasrah, membiarkan para perias itu mendandani dirinya, memoles dan membubuhkan aneka make up ke wajahnya.___Keluarga Zidan sudah tiba di rumah Ana dengan berbagai hadiah yang sudah dipersiapkan. Ayah Zidan tidak ikut mengingat kondisinya yang tidak memungkinkan untuk diajak. Hanya ada dua adiknya dan juga beberapa kerabat terdekat yang akan mengikuti dan menyaksikan prosesi lamarannya.Mereka sudah duduk di tempat y
Ana terlihat duduk dengan peluh yang bermanik di kening dan pelipisnya, wajahnya terlihat pucat tidak secerah biasanya. Sudah hampir dua bulan setelah pertunangan dirinya dengan Zidan, Ana tidak diperbolehkan keluar rumah, dia pun dipaksa berhenti dari pekerjaannya.Hari ini ia bisa keluar atas izin orangtuanya. Namun, ia juga memiliki peraturan dan syarat yang harus dilakukan. Ana terus ditekan untuk segera meninggalkan Arga mengingat jika pernikahannya sudah tinggal sebulan.Arga menatap Ana yang terus menunduk dengan wajah pucat, gadis itu juga terlihat terus meremas jemarinya.“An!” panggil Arga.“Arga aku ingin hubungan kita berakhir!” Ana langsung mengutarakan maksud kedatangannya pada Arga, gadis itu tidak berani menatap wajah kekasihnya.Ana diperbolehkan keluar hanya untuk memutuskan hubungannya dengan Arga, orangtuanya tidak ingin jika Ana masih menjalin hubungan dengan pemuda itu. Bahkan,
Pernikahan yang sejatinya penuh kebahagiaan dan doa terbaik untuk melangkah menuju masa depan tidak berlaku bagi Ana. Meski para tamu dan keluarga berpesta menyambut suka cita pernikahan itu, nyatanya Ana sama sekali tidak bahagia.Sehari setelah pernikahan Ana dan Zidan, gadis yang kini sudah resmi menjadi milik Zidan itu sedang sibuk berkemas. Zidan mengatakan jika ingin mengajak Ana segera pindah ke rumahnya karena dia tidak bisa meninggalkan ayahnya yang sakit terlalu lama.“Ingat An! Kamu sudah jadi istri Zidan, jangan berbuat sesuatu yang bisa mempermalukan keluarga kita, apa kamu paham?” Ibu Ana menasehati gadis itu dengan sedikit penekanan.Ana sedang berkemas, ia akan pindah ke rumah Zidan hari ini. Sebagai seorang ibu, wanita itu benar-benar seakan sedang mengorbankan kebahagiaan putrinya sendiri.Ana tidak menanggapi perkataan ibunya, ia fokus memasukan pakaiannya ke koper. Dalam hati ia merasa mungkin ke
Sudah genap seminggu Ana menikah dengan Zidan. Gadis itu tidak diperbolehkan bekerja oleh Zidan karena memang pemuda itu menginginkan agar Ana di rumah dan membantu perawat mengurus ayahnya.Ana sendiri sebenarnya ingin sekali bekerja, tapi apalah dayanya jika sudah dilarang, terlebih Zidan berjanji akan menjamin hidup Ana, mencukupi segala kebutuhan gadis yang kini jadi istrinya, melakukan kewajiban sebagai seorang suami dan meminta Ana melakukan kewajiban sebagai seorang istri-mengurus keluarganya.Sore itu setelah selesai mengurus ayah Zidan dan memastikan jika pria itu beristirahat, Ana pun pergi membersihkan diri. Ternyata merawat orang sakit lebih sulit dari bekerja, itulah yang dirasakan Ana sekarang.Gadis itu begitu terkejut ketika baru saja keluar dari kamar mandi dan mendapati Zidan ternyata sudah pulang, Ana hanya memakai bathrobe dan begitu polos di dalam, membuat gadis itu salah tingkah.Zidan yang bar
Pagi itu Ana dan pembantu rumah Zidan sedang menyiapkan sarapan untuk pria yang kini jadi suaminya juga kedua adik yang harus pergi menimba ilmu.Beberapa menu masakan sudah tersaji di meja makan, meski Ana tidak terlalu biasa dengan dapur, tapi karena kini dia sudah menikah dan memiliki tanggung jawab, membuatnya sebisa mungkin untuk belajar.“Pagi, Kak!” sapa Alisya yang langsung duduk di kursi meja makan, gadis itu sudah memakai seragam SMA.Mikaila juga langsung duduk di sebelah Alisya, tapi gadis itu masih tidak mau bicara atau sekedar berbasa-basi menyapa dengan istri kakaknya.Zidan yang baru sampai di ruang makan langsung menghampiri Ana yang sibuk menata piring dan alat makan. Tanpa Ana sadari, Zidan langsung mengecup sisi wajah Ana membuat wanita itu terkesiap dan menatap Zidan.“Pagi, sayang!” sapanya dan langsung duduk di kursi.Alisya terlihat senyum-senyum sendiri meli
Ana pergi ke dapur, ia ingin menyeduh kopi untuk Zidan agar selepas mandi, pria itu bisa menikmati kopi yang bisa membuat tubuhnya kembali segar.Ana membawa secangkir kopi yang baru ia seduh menuju kamar mereka, hingga tanpa sengaja Ana menabrak Mikaila, atau lebih tepatnya, Mikaila yang sengaja menabrak lengan Ana, membuat kopi yang berada di cangkir tumpah dan menyiram kulit Ana.“Aghh!!” Ana memekik dan tanpa sadar melepaskan cangkir yang ia pegang, membuat benda itu jatuh ke lantai serta menciptakan suara yang nyaring menggema di seluruh ruangan.“Hei! Jalan pakai mata! Memang kamu pikir ini rumahmu, asal jalan nggak lihat-lihat! Bajuku jadi terkena cipratan kopi, 'kan!” umpat Mikaila menatap benci Ana dengan tangan mengibaskan bagian bawah gaunnya yang terkena noda kopi.Ana terdiam, ia merasakan panas di kulit yang terkena kopi. Zidan dan Alisya yang mendengar suara pecah pun langsung keluar, mereka melihat A
Ana baru saja selesai menyuapi ayah mertuanya, ia membersihkan kamar itu baru kemudian pergi untuk membersihkan dirinya. Meski Ana kesal dengan sikap Zidan, tapi ia masih berusaha bersabar dengan tetap mengurus ayah mertuanya.Saat Ana baru keluar dari kamar mertuanya, Zidan juga baru saja masuk rumah. Ana tidak tersenyum atau menyapa, ia hanya mengeluarkan ekpresi datar.Zidan menghampiri Ana, ia kemudian mengecup kening istrinya. Ana masih mengeluarkan ekspresi datar, ia tidak menyambut atau sekedar berbasa-basi mengucapkan sesuatu.“Gimana kabar ayah?” tanya Zidan menatap Ana.“Baik, kenapa tidak lihat saja sendiri?” Jawab dan tanya Ana.Ana langsung berjalan meninggalkan Zidan, membuat pria itu sedikit merasa aneh. Zidan pun menyusul Ana yang ternyata masuk ke kamar. Istrinya itu langsung masuk ke kamar mandi sebelum Zidan menghampiri dirinya lagi.Selama Ana mandi, Zidan tampak
Mereka keluar dari kamar, Alisya yang melihat kakaknya begitu cemas dengan menggandeng Ana pun memberanikan diri untuk bertanya.“Kak, mau ke mana?” tanya Alisya.“Ke dokter! Kamu sarapan dan pergi ke sekolah dulu, jangan menungguku!” perintah Zidan tanpa menoleh pada Alisya.Alisya hanya mengangguk mengerti, ia cemas kenapa kakaknya terlihat panik, berpikir apakah terjadi sesuatu dengan kakak iparnya.--Mereka sudah sampai di rumah praktek seorang dokter, meski di sana tertulis jika dokter buka pukul sembilan pagi, Zidan memaksa agar dokter itu mau memeriksa keadaan Ana terutama kandungannya.“Aditya mengatakan jika Ana pernah mengalami sakit yang membuat dirinya mengalami masalah dalam rahimnya yang mengakibatkan Ana kemungkinan besar tidak bisa hamil. Tapi, sekarang apa? Dia tidak hamil, 'kan?” Zidan bertanya-tanya dalam hati.Zidan