Pernikahan yang sejatinya penuh kebahagiaan dan doa terbaik untuk melangkah menuju masa depan tidak berlaku bagi Ana. Meski para tamu dan keluarga berpesta menyambut suka cita pernikahan itu, nyatanya Ana sama sekali tidak bahagia.
Sehari setelah pernikahan Ana dan Zidan, gadis yang kini sudah resmi menjadi milik Zidan itu sedang sibuk berkemas. Zidan mengatakan jika ingin mengajak Ana segera pindah ke rumahnya karena dia tidak bisa meninggalkan ayahnya yang sakit terlalu lama.
“Ingat An! Kamu sudah jadi istri Zidan, jangan berbuat sesuatu yang bisa mempermalukan keluarga kita, apa kamu paham?” Ibu Ana menasehati gadis itu dengan sedikit penekanan.
Ana sedang berkemas, ia akan pindah ke rumah Zidan hari ini. Sebagai seorang ibu, wanita itu benar-benar seakan sedang mengorbankan kebahagiaan putrinya sendiri.
Ana tidak menanggapi perkataan ibunya, ia fokus memasukan pakaiannya ke koper. Dalam hati ia merasa mungkin keluar dari rumah itu adalah jalan terbaik meski dia harus masuk rumah lain, setidaknya ia akan lepas dari belenggu kedua orangtua yang terus menekan kehidupannya.
-
-
Akhirnya Ana hari itu pindah ke rumah Zidan, ia bisa melihat rumah pemuda yang kini menjadi suaminya memang besar, lebih besar dari rumah orangtuanya.
Begitu masuk ke rumah, Ana langsung disambut oleh Alisya-Adik kedua Zidan.
“Wah, Kak Ana sudah datang,” ucapnya dengan senyum merekah.
Ana hanya membalas dengan mengulas senyum di bibirnya, ia merasa belum terbiasa dengan keluarga Zidan.
“Kakak capek, ya? Aku bantu bawa kopernya!” Alisya langsung mengambil koper yang dibawa Ana.
Alisya terlihat senang karena mendapat satu anggota baru, sedangkan Mikaila tampak biasa saja. Adik pertama Zidan itu duduk di ruang tamu sedang merapikan kuku jemarinya, Mikaila terlihat cuek ketika Ana datang, ia tidak menyambut sama sekali istri kakaknya.
“An, ayo masuk!” ajak Zidan dengan nada suara lembut kepada istrinya.
Ana yang sempat tertegun pun berusaha tersenyum, ia lantas mengikuti langkah Zidan menuju kamar mereka.
Alisya sudah sampai di kamar milik kakaknya terlebih dahulu, adik Zidan itu benar-benar bahagia karena kakaknya menikah dengan wanita yang cantik, anggun, dan lemah lembut, itulah kira-kira yang ada di pikiran Alisya.
-
-
Setelah membereskan barang-barangnya, Ana diajak Zidan menemui ayahnya. Mereka tampak masuk ke kamar yang berada di lantai bawah, Ana bisa melihat seorang pria tua terbaring di ranjang yang terdapat di sana, itu adalah ayah Zidan.
“An, ini ayah. Ayah mengalami stroke, sebagian tubuh ayah sudah tidak berfungsi karena itu ayah hanya bisa berbaring. Terkadang perawat ayah membawanya keluar menggunakan kursi roda,” ujar Zidan menjelaskan keadaan ayahnya.
Ana tidak berkata apa-apa, ia hanya menatap pria tua itu.
“Kalau aku kerja, tolong jaga ayah, ya!” pinta Zidan kemudian.
Ana langsung menoleh pada Zidan begitu mendengar apa yang diminta oleh pria itu. Namun, lagi-lagi Ana tidak bisa berkata apa-apa dan hanya mengangguk, menuruti keinginan suaminya itu.
Ana terlihat sibuk di dapur setelah Zidan mengajaknya berkeliling rumah, gadis itu membantu pekerjaan pembantu rumah tangga Zidan menyiapkan makan malam.
“Mas Zidan sangat beruntung bisa dapat Mbak Ana. Selain cantik, Mbak Ana juga baik dan ramah,” puji pembantu Zidan.
Ana menoleh, ia membalas pujian wanita itu hanya dengan seutas senyum.
“Mbak Ana pendiam, ya?” Pembantu Zidan menebak karena sejak datang hingga sekarang Ana hanya diam dan tersenyum.
“Nggak juga kok, Bi!” Ana akhirnya bicara.
Pembantu Zidan tampak tersenyum senang, wanita itu ikut bersyukur karena majikannya mendapat pendamping hidup yang baik.
-
-
Ana terlihat sedang duduk di depan meja rias, menatap bayangannya dari pantulan cermin seraya menyisir surai panjangnya. Pikirannya masih berkelana, ia memikirkan keadaan Arga dan bertanya-tanya di mana pemuda itu sekarang.
Zidan masuk ke kamar, pemuda itu langsung naik ke tempat tidur dengan ponsel yang masih berada di tangan, ia sibuk dengan benda pipih itu dan Ana sibuk dengan sisirnya.
Sejak menikah tiga hari yang lalu, mereka belum melakukan hubungan layaknya suami istri. Zidan tahu jika Ana masih belum siap dan ia tidak ingin jika memaksakan keinginannya kepada gadis itu.
“Kenapa tidak tidur?” tanya Zidan dengan nada lembut, ia menatap Ana yang terlihat terus menatap cermin.
“Hah!” Ana menoleh pada Zidan, ia terkejut dengan pertanyaan pemuda yang kini sudah menjadi suaminya itu.
“Sebentar lagi,” jawabnya.
Zidan meletakkan ponselnya di atas nakas, ia membaringkan tubuhnya dengan posisi terlentang menatap langit-langit kamarnya.
Ana yang melihat suaminya berbaring pun akhirnya ikut naik ke atas tempat tidur, ia merasa sedikit takut jika Zidan meminta apa yang menjadi hak pemuda itu, kewajiban Ana sebagai seorang istri.
Ana membaringkan tubuhnya dan menarik selimut setinggi dada, ia sedikit melirik Zidan yang terlihat sudah memejamkan mata. Ana mencoba mengistirahatkan raganya, tapi pikirannya masih belum bisa tenang, ia terus menatap langit-langit kamar hingga buaian desiran angin yang beradu dengan daun dan ranting membuat kelopak matanya tertutup, kini Ana sudah mulai jatuh ke dalam alam mimpi.
-
-
Sulur surya mulai merambat masuk melalui celah ventilasi, menyapa dan menggoda setiap insan yang masih terbuai dalam mimpi.
Ana menggerakkan kelopak matanya, merasa ada yang menindih tubuhnya. Ia terkejut ketika melihat tangan Zidan melingkar di atas perutnya, wajah pemuda itu meringsek di ceruk leher Ana membuat gadis itu bisa merasakan embusan napas hangat dari hidung suaminya.
Ana terdiam, ia tidak berani bergerak atau sekedar mengalihkan tangan pemuda itu dari atas perutnya. Entah kenapa ia juga merasa bersalah, Zidan terlalu baik karena tidak memaksakan kehendak pada Ana yang jelas-jelas sudah menjadi miliknya.
Merasa canggung, Ana akhirnya memberanikan diri untuk membangunkan suaminya. “Mas Zidan, sudah pagi. Mas harus berangkat kerja, 'kan?” Ana menepuk pelan pinggang Zidan.
“Biarkan aku tidur sebentar lagi.” Zidan yang masih memejamkan mata terlihat tersenyum. Ia malah semakin memeluk erat pinggang Ana.
Sudah genap seminggu Ana menikah dengan Zidan. Gadis itu tidak diperbolehkan bekerja oleh Zidan karena memang pemuda itu menginginkan agar Ana di rumah dan membantu perawat mengurus ayahnya.Ana sendiri sebenarnya ingin sekali bekerja, tapi apalah dayanya jika sudah dilarang, terlebih Zidan berjanji akan menjamin hidup Ana, mencukupi segala kebutuhan gadis yang kini jadi istrinya, melakukan kewajiban sebagai seorang suami dan meminta Ana melakukan kewajiban sebagai seorang istri-mengurus keluarganya.Sore itu setelah selesai mengurus ayah Zidan dan memastikan jika pria itu beristirahat, Ana pun pergi membersihkan diri. Ternyata merawat orang sakit lebih sulit dari bekerja, itulah yang dirasakan Ana sekarang.Gadis itu begitu terkejut ketika baru saja keluar dari kamar mandi dan mendapati Zidan ternyata sudah pulang, Ana hanya memakai bathrobe dan begitu polos di dalam, membuat gadis itu salah tingkah.Zidan yang bar
Pagi itu Ana dan pembantu rumah Zidan sedang menyiapkan sarapan untuk pria yang kini jadi suaminya juga kedua adik yang harus pergi menimba ilmu.Beberapa menu masakan sudah tersaji di meja makan, meski Ana tidak terlalu biasa dengan dapur, tapi karena kini dia sudah menikah dan memiliki tanggung jawab, membuatnya sebisa mungkin untuk belajar.“Pagi, Kak!” sapa Alisya yang langsung duduk di kursi meja makan, gadis itu sudah memakai seragam SMA.Mikaila juga langsung duduk di sebelah Alisya, tapi gadis itu masih tidak mau bicara atau sekedar berbasa-basi menyapa dengan istri kakaknya.Zidan yang baru sampai di ruang makan langsung menghampiri Ana yang sibuk menata piring dan alat makan. Tanpa Ana sadari, Zidan langsung mengecup sisi wajah Ana membuat wanita itu terkesiap dan menatap Zidan.“Pagi, sayang!” sapanya dan langsung duduk di kursi.Alisya terlihat senyum-senyum sendiri meli
Ana pergi ke dapur, ia ingin menyeduh kopi untuk Zidan agar selepas mandi, pria itu bisa menikmati kopi yang bisa membuat tubuhnya kembali segar.Ana membawa secangkir kopi yang baru ia seduh menuju kamar mereka, hingga tanpa sengaja Ana menabrak Mikaila, atau lebih tepatnya, Mikaila yang sengaja menabrak lengan Ana, membuat kopi yang berada di cangkir tumpah dan menyiram kulit Ana.“Aghh!!” Ana memekik dan tanpa sadar melepaskan cangkir yang ia pegang, membuat benda itu jatuh ke lantai serta menciptakan suara yang nyaring menggema di seluruh ruangan.“Hei! Jalan pakai mata! Memang kamu pikir ini rumahmu, asal jalan nggak lihat-lihat! Bajuku jadi terkena cipratan kopi, 'kan!” umpat Mikaila menatap benci Ana dengan tangan mengibaskan bagian bawah gaunnya yang terkena noda kopi.Ana terdiam, ia merasakan panas di kulit yang terkena kopi. Zidan dan Alisya yang mendengar suara pecah pun langsung keluar, mereka melihat A
Ana baru saja selesai menyuapi ayah mertuanya, ia membersihkan kamar itu baru kemudian pergi untuk membersihkan dirinya. Meski Ana kesal dengan sikap Zidan, tapi ia masih berusaha bersabar dengan tetap mengurus ayah mertuanya.Saat Ana baru keluar dari kamar mertuanya, Zidan juga baru saja masuk rumah. Ana tidak tersenyum atau menyapa, ia hanya mengeluarkan ekpresi datar.Zidan menghampiri Ana, ia kemudian mengecup kening istrinya. Ana masih mengeluarkan ekspresi datar, ia tidak menyambut atau sekedar berbasa-basi mengucapkan sesuatu.“Gimana kabar ayah?” tanya Zidan menatap Ana.“Baik, kenapa tidak lihat saja sendiri?” Jawab dan tanya Ana.Ana langsung berjalan meninggalkan Zidan, membuat pria itu sedikit merasa aneh. Zidan pun menyusul Ana yang ternyata masuk ke kamar. Istrinya itu langsung masuk ke kamar mandi sebelum Zidan menghampiri dirinya lagi.Selama Ana mandi, Zidan tampak
Mereka keluar dari kamar, Alisya yang melihat kakaknya begitu cemas dengan menggandeng Ana pun memberanikan diri untuk bertanya.“Kak, mau ke mana?” tanya Alisya.“Ke dokter! Kamu sarapan dan pergi ke sekolah dulu, jangan menungguku!” perintah Zidan tanpa menoleh pada Alisya.Alisya hanya mengangguk mengerti, ia cemas kenapa kakaknya terlihat panik, berpikir apakah terjadi sesuatu dengan kakak iparnya.--Mereka sudah sampai di rumah praktek seorang dokter, meski di sana tertulis jika dokter buka pukul sembilan pagi, Zidan memaksa agar dokter itu mau memeriksa keadaan Ana terutama kandungannya.“Aditya mengatakan jika Ana pernah mengalami sakit yang membuat dirinya mengalami masalah dalam rahimnya yang mengakibatkan Ana kemungkinan besar tidak bisa hamil. Tapi, sekarang apa? Dia tidak hamil, 'kan?” Zidan bertanya-tanya dalam hati.Zidan
Zidan terkejut dengan pertanyaan Ana, ia langsung berdiri begitu melihat istrinya itu.“Apa kamu mendengar semuanya?” tanya Zidan balik.Ana mendesah pelan, ia benar-benar tidak mengerti kenapa pria itu sampai melakukan semua ini. Hampir saja ia merasakan suatu perasaan spesial pada suaminya itu, akan tetapi semuanya kini menguar entah ke mana.“Tenang saja Mas! Aku juga tidak ingin punya anak dari Mas Zidan!” sarkas Ana yang sangat kecewa dengan sikap suaminya.Ana juga meninggalkan Zidan, wanita itu memilih menyusul Alisya karena tahu jika gadis itu pasti sakit hati karena dianggap sebagai penyebab kematian ibunya.Saat masuk ke kamar Alisya, Ana bisa melihat gadis itu tengkurap di atas tempat tidur. Alisya menangis karena perkataan Zidan.“Sya!” panggil Ana.Ana duduk di tepian ranjang Alisya, ia mengusap lembut surau panjang adik iparnya itu.
Zidan kembali ke rumah saat sore hari. Tidak mendapati Ana di lantai satu, Ia menebak jika istrinya berada di kamar.“Apa Ana di kamarnya, Bi?” tanya Zidan pada pembantu rumahnya.“Iya, tapi itu Mas, tadi sepulang belanja mbak Ana kelihatan marah, dia kasih barang belanjaan terus langsung ke kamar,” jawab pembantu Zidan.“Marah?” Zidan bertanya-tanya dalam hati.“Oh, terima kasih Bi!”Zidan langsung naik menuju kamar, untuk melihat keadaan Ana apakah sesuai dengan apa yang dikatakan pembantunya.Zidan mendapati Ana berbaring dengan posisi miring, wanita itu tampak memeluk guling dan memunggungi pintu. Zidan pun berjalan mendekat, ia lantas duduk di tepian ranjang tepat di hadapan Ana.Mengetahui jika itu Zidan, Ana memutar tubuhnya, ia kini menghadap ke arah pintu.“An, ada apa? Ada masalah?” tanya Zidan dengan nada suara lemah lembut.
“Bagus sekali!”Suara pujian dan tepuk tangan dari tim yang mengurus rekaman Band Arga terdengar menggema di ruangan khusus itu, mereka merasa senang karena rekaman band Arga sangat lancar serta tidak memakan banyak waktu karena Arga dan band-nya sangat profesional. Album pertama mereka sudah dirilis dan terjual hampir jutaan copy dalam sebulan.Arga dan teman-temannya merasa bahagia karena mereka akhirnya bisa melangkah sejauh ini, perjuangan mereka selama bertahun-tahun tidaklah terbuang sia-sia.“Ayo kita rayakan!” ajak Lanie.“Mungkin aku akan istirahat dulu,” tolak Arga halus.“Iya, kami sedikit lelah. Kita rayakan esok saja!” timpal salah satu teman Arga yang sudah terlihat menguap.Salah satu dari mereka juga terlihat mengusap tengkuk dan lengan mereka.Lanie menghela napas pelan, kemudian ia mengulas senyum dan mencoba mengerti kondisi band yang bernaung pad