"Besok jangan datang kalau kau mau es krim gratis.”
Pemuda yang sampai saat ini belum Peony ketahui namanya tersebut menghentikan gerakan tangannya yang akan menyendok es krim. Sudah satu minggu pemuda itu tidak bosan ‘memeras’ Peony karena kesalahannya. Pemuda itu selalu menjadi pengunjung pertama saat kedai baru buka. Tanpa tahu malu langsung meminta es krim pada Peony.
Bukankah di awal pertemuan mereka sang pemuda mengatakan tidak menyukai es krim? Kenapa sekarang seperti kecanduan?
Apa mungkin es krim di kedai ini memiliki sihir yang bisa memerangkap lidah orang agar selalu ingin menikmati?
“Kenapa?” tanya sang pemuda dengan nada datar. Dan oh… jangan lupakan jika ekspresi wajahnya pun tak kalah datar. Membuat Peony ingin mencoret-coret wajah itu dengan spidol permanen. Sepertinya melukis senyuman di wajah sang pemuda boleh juga.
“Aku libur.”
Dahi sang pemuda mengernyit. “Ke mana?”“Apanya yang ke mana?” tanya Peony tak paham maksud sang pemuda.“Ke mana kau saat libur?”
Sebelah alis Peony naik. “Apa urusannya denganmu?”
“Kau ingin kabur dariku?”“Kabur?”“Kau tidak ingin bertanggung jawab lagi, bukan?”“Ya Tuhan! Otakmu itu terlalu picik! Aku benar-benar libur besok, karena aku harus pergi ke gereja. Setelah itu, aku harus pergi ke desa tempat asal ayahku untuk mengunjungi nenekku! Kalau kau mau es krim lagi, datanglah lagi di hari senin!” kesal Peony yang tanpa sadar menceritakan agendanya setiap hari minggu.
Sang pemuda menatap Peony masih dengan ekspresi yang sama, datar cenderung mengesalkan. Tak lama, anggukan singkat menjadi jawaban atas ucapan Peony. Pemuda itu kembali pada kegiatan awalnya, menyendok es krim di depannya, lalu memakannya perlahan. Tanpa peduli Peony masih berdiri di sampingnya. Bahkan sepertinya pemuda tersebut tak menganggap Peony ada.
Peony mendengus sebal.
“Dasar pemuda dingin! Sepertinya aku salah pernah menawarinya es krim. Aku curiga sikapnya akan semakin dingin karena kebanyakan mengkonsumsi es krim!” gerutu Peony di sela langkah kakinya meninggalkan sang pemuda.
“Kami butuh es krim!”
Peony terkesiap saat segerombolan orang masuk ke dalam kedai. Ini bukan kali pertama kedainya diserbu orang yang memesan. Sudah satu minggu kedai ini sepertinya mendapat rezeki melimpah.
Hal itu membuat pemilik kedai dan para karyawan bingung termasuk Peony. Pasalnya, keramaiannya jauh di atas rata-rata. Tidak seperti biasa yang kalaupun ramai, tidak sampai antri ke luar pintu masuk. Sedangkan satu minggu ini, pengunjung kedai sampai meluber-luber.
Namun demikian, hal itu juga tentu membuat sang pemilik kedai senang. Peony dan para karyawan pun tentu saja merasakan hal yang sama, karena mereka selalu dapat bonus dari hasil penjualan.
Peony memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya. Apalagi ia hanya bekerja saat libur musim panas seperti ini yang akan berakhir beberapa minggu lagi.
***
"K-kau???" Peony mengerjap tak percaya saat melihat seorang pemuda baru saja tiba dan duduk di samping kanannya. Kalian pasti sudah bisa menebak, bukan, siapa pemuda tersebut? Ya, pemuda itu adalah pemuda ‘pemeras’ mengesalkan yang menerornya terus menerus gara-gara tragedi topi baseball sialan itu.
Kenapa pemuda itu bisa muncul di gereja yang sama dengannya???
Apakah pemuda itu mengikuti Peony? Takut Peony kabur?
"Kau mengenalnya, Sayang?" Pandangan Peony beralih pada sang ibu yang duduk di samping kirinya.
"Em... d-dia temanku, Bu."
"Teman?"
Peony kembali menoleh ke tempat sang pemuda berada saat mendengar nada aneh yang dikeluarkan sang pemuda. Seakan pemuda tersebut tak rela jika Peony mengaku-ngaku sebagai temannya.
Apa pemuda itu pikir Peony juga mau mengaku-ngaku seperti itu?! Peony juga terpaksa mengatakannya karena bingung menjawab pertanyaan sang ibu.
"Kalau kau tidak mau menganggapku teman, tidak masalah kok! Aku—
"Apakah sesama teman boleh marah-marah seperti ini?"
Peony langsung menggigit lidah guna menahan ocehannya ketika sang pemuda justru menjawabnya seperti itu. Dia jadi serba salah dan tak paham apa yang pemuda itu inginkan.
Mengesalkan!
“Kau—"
“Doa akan segera dimulai, Sayang…” ucap sang ibu memperingatkan sambil menepuk lembut punggung tangan Peony. Membuat Peony tak bisa melanjutkan kekesalannya pada sang pemuda. Dapat Peony lihat sang ibu memberi senyum pada pemuda itu, yang dibalas sang pemuda anggukan sopan, tentu saja tanpa senyum.
Sombong sekali! Apakah tersenyum sedikit saja akan membuat sang pemuda sakit gigi?!
Semua prosesi ibadah berjalan dengan khidmat. Sampai tiba saat Pastor akan Homili ( berkhotbah ). Semua jemaat duduk dengan tenang.
Peony melirik pemuda di sampingnya yang menatap lurus ke depan sejak tadi.
Beberapa saat mengamati, lidahnya sepertinya tidak tahan lagi ingin bertanya lebih lanjut mengapa pemuda itu bisa muncul di sini.
Peony berbisik pada sang pemuda. “Sedang apa kau di sini?”
“Apakah di tempat ini bisa digunakan untuk bermain bola selain beribadah?” Sang pemuda membalas dengan enteng. Matanya masih lurus ke depan.
Peony membelalak terkejut karena jawaban sang pemuda seakan menyindir ia bodoh?
“T-tinggal jawab saja apa susahnya?! Tidak perlu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan!” gerutu Peony untuk menutupi rasa malu.
“Pertanyaanmu aneh seperti dirimu. Bukankah kau melihat aku sedang beribadah, Gadis Aneh?”Peony mendelik tak terima. “Ya aku tahu kalau kau sedang beribadah, t-tapi kenapa kau bisa beribadah di gereja ini?”Peony terkesiap ketika sang pemuda menoleh ke arahnya. Tatapan tajam itu mampu memaku Peony.
“Apa ada larangan untukku masuk ke dalam sini?”
“Bukan begitu—”
“Homili akan segera dimulai. Bisa diam? Aku ingin mendengarkan Pastor tanpa gangguan.” Ucapan sang pemuda, langsung dapat membungkam Peony.Peony mendengus kencang. Namun, ia tak punya pilihan lain selain diam. Matanya melirik kesal sang pemuda sebelum ia benar-benar mendengarkan Khotbah Pastor di depannya.
***
Srreeet! Tak! Peony tersentak saat ada yang menarik kursi di sebelahnya. Tas ransel berwarna hitam pun sudah berada di atas meja di samping meja gadis ini. Pandangan Peony berjalan dari tas, menuju pada seseorang yang baru saja duduk di sampingnya. Siapa orang yang ingin duduk di dekatnya? Selama ini tidak ada teman yang mau duduk di samping gadis miskin sepertinya. Tentu saja Peony terkejut sekaligus penasaran. Peony membelalak. “K-kau???” pekik Peony. Peony menyensor tubuh seseorang itu dari atas sampai bawah, lalu kembali menyensornya dari bawah sampai atas, sampai berhenti tepat pada wajah seseorang tersebut. Peony mengerjap beberapa kali, lalu mengusap-usap matanya. Apakah dia tidak salah lihat??? Seseorang itu… bukankah dia adalah si ‘pemeras’??? Mengapa bisa pemuda es krim itu ada di sekolahnya? Seingat Peony, ia tidak pernah melihat pemuda itu sebelumnya di sekolah ini. Apakah sang pemuda adalah anak baru? Kenapa bisa?? Bolehkah Peony berteriak kesal? Pasalnya, baru s
Peony memantul-mantulkan bola basket ke lantai dengan mata sesekali mengawasi Kheil yang berdiri tak jauh darinya. Pemuda itu pun melakukan hal yang sama dengannya. Murid-murid lainnya juga membawa bola basket masing-masing di tangan untuk melakukan pemanasan sebelum pelajaran dimulai. Saat ini mereka sedang berada di dalam lapangan indoor sekolah untuk mengikuti pelajaran jasmani. Peony kembali mengawasi Kheil. Bukan tanpa alasan Peony melakukan hal itu. Pasalnya, Peony merasa Kheil selalu ada di mana pun Peony berada. Setiap mata pelajaran yang Peony ikuti, Kheil juga selalu ada di sana. Bahkan sudah dua minggu ini Peony harus rela berbagi bekal dengan Kheil. Peony pikir, setelah selesai ‘diperas’ di kedai es krim, ‘hutang’nya sudah lunas. Awalnya Peony tidak masalah berbagi dengan Kheil jika pemuda itu berasal dari keluarga sederhana sepertinya. Apalagi Peony sadar pernah menghilangkan benda kesayangan yang kemungkinan kecil akan kembali didapat Kheil. Namun setelah mengetahui
“APA ADA ORANG YANG MENDENGARKU?!” Peony memukul-mukul pintu kamar mandi yang terkunci. Mungkin sudah setengah jam ia terkunci di sini, di dalam kamar mandi yang berada di ujung lantai dua sekolahnya. Kamar mandi ini termasuk kamar mandi yang jarang digunakan. Mengalami kejadian seperti ini bukan kali pertama bagi Peony. Teman-teman seangkatannya tak pernah bosan membullynya. Apakah bagi mereka menjadi miskin adalah kesalahan? “Huft…” Peony menyandarkan punggung pada pintu saat merasa tangannya lelah. Ia menatap langit ruangan yang memiliki bilik-bilik kecil tersebut, lalu menatap wajahnya dari pantulan cermin di atas wastafel. Rambutnya terlihat basah dan lengket karena minuman soda yang tadi sengaja disiramkan Angel dan para dayang-dayangnya. “Summer!” Deg! Peony menegakkan tubuh. Suara itu… dan panggilan itu… Suara itu milik Kheil! Ya, Kheil Abraham Leight. Si anak murid yang baru masuk dua bulan di sekolahnya itu bisa dikatakan adalah teman satu-satunya yang Peony punya di
“Kau tidak apa-apa, Kheil?” tanya Peony cemas. Kheil membalas dengan gumaman. Kepalanya ia kubur di atas kedua tangan yang terlipat di atas meja. Saat akan pulang, Kheil mengeluh sakit perut. Pemuda itu meminta Peony menemaninya sejenak di dalam kelas. Murid-murid lain sudah pulang lebih dulu. Ketika Peony menyarankan Kheil ke klinik sekolah, pemuda itu menolak. Kheil mengatakan hanya butuh waktu sebentar untuk beristirahat. Peony yang tak tega melihat Kheil seperti itu, berinisiatif memegang perut sang pemuda. “Apakah perutmu kram—” “A-apa yang kau lakukan???” Peony mengerjap saat Kheil tiba-tiba bangkit dari duduknya sambil menatap ngeri tangan Peony yang menggantung. “Aku… hanya ingin membantumu.” “B-bantu apa maksudmu?” tanya Kheil kesal setengah… gugup? Kenapa Kheil gugup? Peony juga tak paham kenapa Kheil terlihat kesal. “Apakah kau merasakan perutmu kram? Jika iya, aku hanya ingin membantu mengusap-usapnya di bagian yang kram. Saat sedang dalam masa period, aku sering m
“Maksudmu cinta antara pasangan? Seperti cinta ibu pada ayahku?” Kheil hanya balas dengan gumaman malas. Peony terkekeh. “Aku ingin setuju ucapanmu, tapi aku tidak bisa. Aku bukan ibuku atau orang yang pernah menjalin tali kasih. Aku juga tidak akan menyalahkan ibu atas cintanya yang begitu besar pada ayah. Aku tidak cemburu. Ibu jauh lebih lama mengenal Ayah daripada diriku. Seperti yang aku katakan tadi, tidak pernah satu kali pun aku melihat mereka bertengkar. Ayah selalu bersikap mesra pada ibu. Mungkin hal itu juga yang membuat Ibu merasa kehilangan sampai saat ini. Jadi aku tidak ingin mengejek orang yang jatuh cinta. Apalagi mengatai mereka bodoh atau sejenisnya.” Kheil tidak menjawab. “Kheil, apakah… em… a-apakah kau benci ‘cinta’ karena perpisahan orang tuamu?” tanya Peony hati-hati. Takut jika Kheil akan kembali tersinggung seperti tadi. “Hm. Apa yang mereka perlihatkan padaku cukup membuatku percaya jika rasa cinta tidak ada yang abadi. Aku tidak menyinggung cinta kedua
“Woaa! Lucu sekali!” Mata Peony berbinar dengan sebelah tangan menempel pada kaca toko pakaian wanita. Sementara sebelah tangan lagi terdapat paper bag yang sudah ia bawa sejak dari rumah. Peony menatap sebuah maneken yang menggunakan topi rajut cokelat dengan telinga beruang. Manekin itu juga menggunakan syal dan sarung tangan warna senada. Sepertinya syal, topi serta sarung tangan tersebut dijual satu paket. “Pasti mahal sekali harganya,” desah Peony sambil memperhatikan nama brand terkenal yang tertera di toko tersebut. Asap keluar dari mulut Peony saat ia mengatakan hal itu. Salju hari ini turun tidak begitu lebat, tapi tetap mampu membuat sekujur tubuh dingin. Tak terasa hari natal dua hari lagi akan tiba. “Summer.” Peony membalikkan tubuh, dan mendapati Kheil sudah berada beberapa langkah di depannya. “Hai!” Peony melambai ceria. “Sudah selesai?” tanya Peony pada Kheil yang tadi menyingkir sebentar untuk menerima telepon entah dari siapa. “Hm. Sedang apa kau di sana?” “Buka
"Kheil, kembalikan!" Peony mendelik kesal saat Kheil merebut novel romantis yang sedang ia baca. "Berhentilah membaca dongeng cinta seperti ini. Otakmu akan rusak karena khayalan manis." "Apa urusannya denganmu?!" "Urusanku? Urusanku mengingatkanmu untuk menjaga kewarasan." "Aku tidak gila!" "Kau iya. Buktinya kau selalu membaca karangan tentang kisah cinta sejati." "Itu bukan gila, tapi karena aku yakin kisah cinta sejati itu benar adanya. Kembalikan bukuku!" "Tidak akan. Realistis lah. Tidak ada yang namanya cinta sejati di dunia ini. Harus berapa kali aku katakan, rasa cinta akan menghilang seiring berjalannya waktu." "Seperti kedua orang tuamu? Jangan hanya karena kedua orang tuamu tidak saling mencintai dan berpisah, lalu kau memukul rata semuanya!" Setelah mengatakan itu, suasana hening seketika. Peony dan Kheil kompak membeku. Tak lama, Peony langsung menutup mulut dengan kedua tangan setelah menyadari sesuatu. "K-Kheil... bukan maksudku—" "Bukumu." Peony membeku saa
Musim panas kembali menyapa. Tak terasa pertemuan Peony dengan pemuda bernama Kheil satu tahun yang lalu bisa membuat Peony untuk pertama kali memiliki seorang sahabat di sekolah. Ada satu rahasia yang Peony sembunyikan. Sebenarnya, bukannya Peony tak bisa memiliki teman. Saat pertama kali masuk sekolah dulu, Peony pernah memiliki beberapa teman. Namun Peony harus memutuskan tali pertemanan mereka karena Angel. Angel mengancam akan ikut membully teman-teman Peony jika Peony masih dekat dengan mereka. Dengan berat hati Peony mengikuti Angel karena tidak ingin orang lain merasakan apa yang dia rasakan. Peony tidak tahu mengapa Angel sangat membencinya sejak pertama kali bertemu. Padahal Angel jauh lebih segalanya dari Peony, kecuali mungkin otaknya. Peony selalu unggul dalam pelajaran apapun dari Angel. Mungkinkah karena hal itu? Namun kini, setelah keberadaan Kheil di sekolah, Peony merasa tidak ada lagi yang berani mengganggunya. Mereka sepertinya takut pada Kheil yang selalu berada