Share

6. Topi Baseball Pembawa Bencana

*FLASHBACK ON 11 TAHUN LALU*

"Uh! Tubuhku..." Peony Madeline Hart, gadis berusia enam belas tahun tersebut meregangkan otot-otot yang kaku setelah bekerja paruh waktu di sebuah kedai es krim. Terik matahari musim panas menyinari wajahnya saat ia sengaja menghadap langit.

Peony menghirup udara sambil merentangkan kedua tangan. Berdiri di sisi jembatan seperti ini membuat hatinya tenang. Jembatan yang ia datangi saat ini adalah salah satu jembatan indah yang ada di negaranya. Di samping kiri dan kanan jembatan terdapat taman yang biasa dikunjungi warga lokal dan turis mancanegara saat libur musim panas seperti ini.

Ia menurunkan pandangan pada sungai yang berada tepat di bawah jembatan. Arus air sungai itu terlihat cukup deras saat ini. Biasanya, jika air sungai sedang tenang, banyak pengunjung yang berenang di sana. Peony tersenyum lebar menatap anak-anak kecil bermain di kolam air mancur yang berada di sisi-sisi taman. Anak-anak kecil itu terlihat semakin kecil dari kejauhan seperti ini. Matanya mengedar. Menyusuri keindahan alam semesta. Saat pandangannya ke samping, tak jauh dari tempatnya berdiri, terlihat seorang pemuda sedang berdiri menatap air sungai. Tubuhnya menjulang tinggi. Di tangan sang pemuda terdapat topi baseball.

Peony mengernyit. Sejak kapan pemuda itu ada di sana? Peony rasa tadi hanya ada dirinya di jembatan ini. Kebanyakan orang-orang yang berkunjung lebih memilih berada di taman. Kalaupun berada di jembatan, hanya untuk melewati saja dan berfoto.

Mata Peony melotot ngeri saat sang pemuda tiba-tiba memanjat tiang jembatan. Sang pemuda seolah ingin terjun dari jembatan.

Tubuh Peony menegak. Apa-apaan pemuda itu?!

"HEI! MAU APA KAU?" teriak Peony segera sambil berlari menghampiri sang pemuda.

Peony dapat melihat kernyitan dalam di dahi sang pemuda saat jarak mereka semakin dekat, dengan posisi pemuda itu masih memanjat jembatan. Bayangkan… memanjat??? Apakah pemuda itu sudah gila?!

"Maksudmu... aku?" Sang pemuda menunjuk dirinya. Suaranya terdengar berat dan serak. Apakah pemuda itu habis menangis? Atau memang suara aslinya seperti itu?

"Iya, kau.” Peony menghentikan langkah setelah sudah berada di dekat pemuda tersebut. Mereka kini hanya berjarak kira-kira tiga langkah kaki Peony. Peony menatap pemuda itu tajam. “Apa pun masalahmu, bunuh diri bukanlah solusi!"

"Apa maksudmu?"

"Kau ingin terjun, bukan? Itu tidak baik, kau tahu?! Itu adalah dosa besar yang tidak bisa termaafkan."

"Siapa yang ingin terjun? Aku ingin mengambil topiku agar tidak—" Sang pemuda menghentikan ucapannya saat melihat topinya akhirnya benar-benar terjun ke sungai, "—jatuh ke sungai..." lirih sang pemuda miris.

Peony mengerjap setelah memperhatikan gerak-gerik sang pemuda. Ia juga sempat melihat ada topi yang tersangkut di tiang-tiang jembatan.

Peony menelan saliva susah payah. Sepertinya ia mulai menyadari situasi. Sang pemuda bukan ingin bunuh diri, tapi ingin mengambil topinya???

Pandangan Peony beralih ke arah wajah sang pemuda yang masih terpaku menatap topinya yang sudah hanyut terbawa arus sungai.

Tubuh Peony menegang saat sang pemuda tiba-tiba menatapnya.

“T-topimu jatuh…” gugup Peony.

“Ya, dan itu karena kau! Kau tahu topi itu sangat berharga?!”

“A-apa?”

“Di topi itu ada tanda tangan pemain baseball terkenal kesayanganku!”

Peony mundur satu langkah saat sang pemuda menunjuknya murka.

“A-aku akan mengambilkannya.” Setelah mengatakan itu, Peony berbalik, lalu berlari menyusuri jembatan menuju sisi sungai. Berharap ia dapat mengejar benda berharga itu. Kalau pemuda tadi mengatakan jika ada tanda tangan asli dari salah satu pemain baseball terkenal, bukankah sangat berharga bagi seorang penggemar? Apalagi ini tim baseball??

“HEY! JANGAN GILA!”

Peony terus berlari tanpa peduli sang pemuda berteriak nyaring di belakangnya.

“GADIS BODOH, KAU MAU TERBAWA ARUS?!”

“AKU HARUS BERTANGGUNG JAWAB,” balas Peony di sela langkah kakinya. Ia terus berlari tanpa peduli tulang-tulang tubuhnya nyeri. Bagaimana tidak nyeri jika baru saja ia selesai bekerja, justru kini harus berlari mengejar topi pemuda asing yang hanyut karenanya.

“BERHENTI KAU, GADIS ANEH!”

Pipi bulat Peony yang memiliki warna merah alami, semakin memerah karena terpaan matahari dan reaksi tubuhnya yang kelelahan. Peony berhenti setelah berhasil sampai di sisi sungai. Ia menghirup udara dengan rakus. Matanya mencari sesuatu di dalam air sungai yang mengalir. Peony sampai tak sadar jika pemuda tadi sudah berada tak jauh di belakangnya. Dengan napas terengah karena mengejar Peony.

“Akhirnya kau berhen—”

“Nah! Itu dia!” Peony berseru kegirangan saat melihat topi baseball putih berjalan mengikuti aliran sungai tak jauh di depannya. Gadis itu kembali berlari.

“—HEY! KAU MAU KE MANA LAGI?!”

Peony terus berlari. Tak ia pedulikan suara berisik di belakangnya yang sejak tadi berteriak kesal.

Grep!

Peony terkejut saat merasakan tangannya ditarik, lalu tubuhnya dibalik dengan sekali hentakan.

“Kau mau mati?! Jangan-jangan kau yang berniat bunuh diri!”

Mata Peony mengerjap beberapa kali melihat wajah sang pemuda asing si pemilik topi baseball itu menatapnya tajam. Wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter saja saat ini. Peony baru menyadari pemuda asing ini memiliki wajah yang sangat tampan. Rambutnya berwana cokelat gelap dengan ekspresi yang dingin. Wajahnya terlihat semakin dingin saat rahangnya mengeras seperti saat ini. Bibir tipis merahnya semakin menipis seperti menahan kekesalan.

“Hey! Kau mau mati ya?!”

Peony tersadar dari lamunan saat kembali mendengar suara sang pemuda.

“J-jangan sembarangan menuduh!”

“Kau yang sembarangan menuduhku, sampai topiku hanyut—”

“Maka dari itu aku akan mengambilkan topimu—”

“—dan membiarkanmu mati konyol karena tenggelam?!”

Peony langsung diam saat pemuda itu kini menatapnya murka. Tak lama, Peony menunduk. Memainkan jemarinya. “Aku hanya… ingin bertanggung jawab—”

“Lupakan!”

Cekalan di lengannya terlepas. Membuat Peony kembali menaikkan pandangan ke arah pemuda itu yang kini berjalan menuju rumput-rumput yang berada di sisi sungai. Sang pemuda duduk dengan napas terengah. Matanya kembali menatap Peony tajam. Membuat Peony seketika membeku. Pemuda itu memiliki bola mata hitam legam. Tatapannya setajam elang. Wajah dinginnya membuat sang pemuda memiliki aura kuat yang menyeramkan walaupun tampan.

“Jangan berlari lagi! Aku tidak sanggup lagi mengejarmu yang memiliki tenaga seperti kuda!” Sang pemuda menunjuk Peony penuh peringatan. Napas pemuda itu masih belum normal. Sang pemuda menumpukan kedua telapak tangan pada rumput-rumput. Kepalanya menengadah. Matanya menutup. Sepertinya sang pemuda sedang menormalkan napasnya.

“Bagaimana dengan… topimu?” tanya Peony hati-hati.

Peony tersentak saat sang pemuda kembali menatapnya. Peony merasa sedang dalam bahaya karena tatapan itu.

“Kau harus menggantinya.”

“Bagaimana aku bisa menggantinya? Topi itu pasti mahal. Belum lagi bagaimana caraku mendapatkan tanda tangan dari pemain baseball kesayanganmu? Aku tidak punya uang banyak. Aku cari saja topim—”

“Berani kau berlari lagi, akan aku gigit pipimu yang bulat seperti tomat itu!”

Peony refleks memegang kedua pipinya, seakan melindungi. Ia menatap ngeri pemuda yang berada tak jauh di depannya itu. Sepertinya pemuda itu adalah orang yang kasar. Ya Tuhan… kenapa Peony bisa bertemu dengan orang seperti ini ya?! Peony menyesal telah peduli pada orang yang salah. Seharusnya tadi, pura-pura saja ia tak lihat saat pemuda itu memanjat tiang jembatan!

“A-aku tidak bisa mengganti topimu itu… Di mana aku—”

“Belikan aku minum. Aku haus karena berlari mengejarmu!” sarkas sang pemuda.

“M-minum?” Peony mengernyit. Wajah sang pemuda terlihat memerah seperti kepanasan. “Daripada butuh minum, kau sepertinya butuh es krim.”

Pemuda dingin itu mengernyit aneh. "Aku tidak suka es krim."

"Kau coba dulu saja. Es krim di kedai tempatku bekerja sangat enak. Kau akan ketagihan walaupun kau tak suka es krim."

"Aku tidak—”

"Ayo!"

"Hey! Jangan sembarangan menarikku!"

***

"Kau lagi??"

"Berikan aku es krim."

Peony mendengus sebal pada pemuda yang tiga hari lalu ditemuinya di jembatan. Sudah dua hari sang pemuda meminta ganti rugi topinya dengan cara memaksa Peony mentraktirnya sampai pemuda sialan dingin itu puas dan merasa jika hutang Peony telah lunas.

Bukankah ini pemerasan?!

"Lama-lama gajiku habis hanya untuk mentraktirmu!"

"Salah sendiri kau membuat topiku lenyap."

Peony memutar bola mata malas. Jawaban itu selalu mampu membungkamnya.

Sial sekali hidupnya hanya karena kesalahan yang tidak ia sengaja.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status