LOGIN"Kamu kemana sih, dua hari ini. Mabuk kebawa bolos, Ran?" tanya Melati bingung. "Beruntung aja Pak Arga nggak masuk dua hari lalu. Jika tidak, mati kamu. Bisa ngulang di mata kuliahnya," lanjut Melati mengingatkan.
"Itu malah lebih bagus," ceplos Rania asal.
"Apa?" kaget Melati tak percaya dengan ucapan sahabatnya.
"Maksudnya baguskan, Pak Arga nggak masuk jadi aku aman dan tidak terancam nilai di mata kuliahnya," jawab Rania segera meralat kalimatnya.
Melati segera mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku pikir maksud kamu bagus mengulang mata kuliah Pak Arga, karena kan lumayan artinya bisa ketemu doi lagi di semester depan," jelas Melati.
Membuat Rania segera mendengus kasar. "Gila kamu! Seandainya Pak Arga dosen pencabut nyawa itu tidak membawakan mata kuliah wajib, aku tidak akan sudi mengambil kelasnya!" ujar Rania penuh penegasan.
"Yang benar?" tanya Melati menggoda dan mencoba bercanda. "Padahal beliau ganteng loh, kaya lagi. Seandainya dia bukan calon suami kak Salsa kakakmu, aku yakin kalian pasti cocok banget," lanjut Melati dengan ucapan yang makin menyeleneh.
Sialnya, walaupun candaan, tapi itulah kenyataan. Mereka memang bersama, dan walaupun cocok tak cocok. Arga adalah suaminya Rania.
"Kenapa kalian masih di sini, tidak ada kelas?!" tanya seseorang tiba-tiba, membuat Rania dan Melati langsung menoleh.
'Ini orang, manusia atau apa sih? Kok baru aja di omongin udah muncul aja?' batin Rania sambil kemudian gadis reflek menggaruk pelipisnya sendiri yang tak gatal.
"Ada Pak, ini kami akan ke kelasnya Pak Rey," jawab Melati cari aman.
Anehnya dosen pencabut nyawa itu tak menjawab, atau bahkan sekedar menganggukkan kepala, setelah pertanyaan dijawab. Dia bahkan langsung berlalu begitu saja dengan acuhnya.
"Aku hampir berpikir Pak Arga yang esbatu, iri bicara, hampir tidak akan mengeluarkan suara, jika bukan untuk membahas materinya atau sepentingnya itu saja, sedang tobat dan mencair. Namun sepertinya tidak. Dia cuma mau ngeprank kita aja," jawab Melati yang langsung membuat Rania mengangkat bahunya tak mau memperdulikan itu.
Namun selanjutnya hal yang terjadi adalah sebaliknya. Rania malah memikirkan ucapan Melati. Arga dosen yang dijuluki dosen pencabut nyawa itu, selain galak memang terkenal dingin. Dia hampir tak akan menyapa siapapun yang bertemu dengannya. Pernah beberapa kali mahasiswanya menyapanya yang sedang lewat, tapi Arga bukannya menjawab malah pura-pura tak melihat dan berlalu begitu saja.
Anehnya setelah dua hari berlalu, Rania baru sadar sikap dingin laki-laki itu agak berkurang sejak mereka menikah.
Arga tak dingin saat mereka berdua, tapi lebih kepada cerewet dan hobi mengomelinya. Tidak dingin atau acuh sebagaimana mestinya. Rania kepikiran, tapi ah sudahlah lebih baik dia lupakan saja.
*****
Seminggu berlalu tak ada yang terjadi, selain Arga yang kembali ke sifat asalnya dan Laura semakin gencarnya mencari perhatian Arga. Tak jarang dia curi kesempatan untuk pamer keuletannya dalam bekerja dan juga mengungkit Rania yang pemalas.
Seperti siang ini, dimana Arga pulang ke rumah setelah dari kantor untuk makan siang. Ah, ya. Selain dosen dia adalah pengusaha. CEO dari perusahaan yang diwariskan keluarganya.
"Rania belum pulang?" tanya Arga basa-basi.
"Belum Tuan, Nyonya sepertinya akan shoping lagi dengan temannya hari ini dan akan pulang terlambat," jawab Laura sengaja berkata demikian agar membuat Rania buruk di mata Arga.
Namun tentu saja Arga takkan percaya begitu saja. "Darimana kamu tahu?" tanya Arga dengan segera.
"Maaf Tuan, bukannya saya lancang, tapi saya perhatikan dua hari ini nyonya memang begitu. Sebelum Tuan pulang, nyonya memang pulang, tapi selalu bawa belanjaan yang banyak dari toko," jelas Laura yang akhirnya diangguki oleh Arga dengan percaya.
"Baiklah, tolong siapkan makan siang dengan segera!" ujar Arga memerintah, sebelum kemudian berlalu dari sana dari hadapan Laura.
'Mati kamu jala-ng! Dengan perlahan karena tak tahan, Arga pasti akan menceraikanmu. Huhh, enak aja. Aku yang susah payah berjuang, menunjukkan perselingkuhan Salsa kakakmu yang lebih jalang itu, tapi kamu yang malah enak-enakan menikmati menjadi istri Arga!' rutuk Laura membatin.
'Huhh, emangnya enak. Laura mau dilawan? Ckckck, habis ini kamu pasti diomeli Arga habis-habisan. Dasar boros!' lanjut Laura masih membatin.
*****
Sementara itu, Agra yang sudah di lantai atas tepatnya di kamarnya. Segera menghubungi Rania lewat teleponnya.
"Dimana kamu?!" tanya Arga tanpa mau repot basabasi ataupun memberi salam begitu teleponnya terhubung.
"Di Mall, Pak. Ada yang Bapak butuhkan?" tanya Rania di seberang sana.
Namun bukannya menjawab perkataan istrinya, Arga malah mengeluarkan serangkaian kata yang tegas tak bisa dibantah.
"Pulang sekarang. Aku tunggu lima belas menit, jika kamu belum di rumah dalam lima belas menit lagi maka jangan salahkan aku!" ujar Arga yang kemudian setelahnya langsung menutup telepon dengan dinginnya begitu saja.
"Cih, kakaknya tukang selingkuh, adiknya malah matre. Baru seminggu menikah, tapi dia sudah menghabiskan banyak uangku setara harga mobil!" geram Arga tak habis pikir.
Sebetulnya Arga tak keberatan akan hal itu, sejak dua hari dia memang mendapatkan tagihan kartu yang langsung diberinya pada Rania sebagai nafkah, akan tetapi setelah mendengar ucapan Laura tentang Rania yang shoping terus, itu membuatnya kesal dan juga marah.
*****
"Tan, maaf ... sepertinya aku harus pulang sekarang. Pak Arga marah," ujar Rania pda mertuanya. Siapa lagi kalau bukan wanita paruh baya yang bernama Andini itu.
Sebenarnya dia shoping ditemani mertua adalah untuk menyiapkan beberapa kebutuhan acara resepsi pernikahannya yang belum sempat dilaksanakan itu. Karena seharusnya bukan dia yang akan menikah, tapi Salsa.
Namun karena kejadiannya begini, dan walaupun masih tak mengerti. Rania tak bisa menolak ajakan mertuanya dan ketika pembayaran dia tak enak dan menggunakan kartu suaminya.
Biarlah dia menghadapi Arga di rumah nantinya, daripada ibu mertuanya Andini yang masih gedeg dan marah padanya.
Andini memang ingin yang terbaik untuk Arga dan Rania, tapi bukan berarti dia sudah memaafkan kesalahan mereka. Bahkan dia masih dengan dingin membiarkan Rania memanggilnya tante ketimbang panggilan sama seperti Arga memanggilnya, walaupun Rania adalah menantunya sekarang.
"Yasudah. Pulang sana. Kalian pasangan tukang selingkuh memang tak terpisahkan. Biarkan saja perempuan tua ini kewalahan mengurus apapun demi kesenangan kalian yang tak punya hati itu!" jawab Andini dengan tak mengenakkan.
Membuat Rania jadi dilema, antara mau pulang dan tidak. Pulang mertuanya marah, tidak pulang maka urusannya ke suami dingin sekaligus dosen pencabut nyawanya itu. Bisa mati Rania jika mengabaikan Arga, tapi bagaimana juga dengan ibu mertuanya ini.
"Tan, Rania nggak bermak--"
"Sudahlah, sana kamu. Aku tidak melarang atau mencegahmu!" ketus Ibu mertuanya Andini.
Rania akhirnya menghela nafasnya pasrah. Dia bingung dan juga pusing sekarang ini, tapi mau bagaimana lagi. Sepertinya dia memang harus menemui Arga.
"Tante, maafkan aku. Lain kali tidak akan begini dan juga kamu jangan khawatir, sopir Pak Arga akan membereskan semua belanjaannya," bujuk Rania dengan hati-hati.
Andini cuma mengangguk halus kemudian mendengus kasar, dan setelahnya walaupun masih tak mengenakkan Rania tetap memilih pulang dan menemui suaminya.
Namun tentu waktu yang dibutuhkan ke rumah lebih dari lima belas menit. Arga juga pasti marah, tapi Rania harus menghadapi kemarahan itu.
*****
Malam hari, Rania berbaring di tempat tidur. Mencoba memejamkan mata dan berusaha untuk tidur juga mengabaikan Arga yang baru selesai bersih-bersih dan menyegarkan diri sebelum tidur.Ah, ya. Rania masih mengambek. Menunjukkan ketidaksukaannya pada Arga dan bahkan sebenarnya dia mempunyai tugas kuliah pada kelas mata kuliah yang dibawakan Arga. Dia sengaja tidak mengerjakan untuk melampiaskan kemarahannya.'Sial. Kok susah bangat buat tidur, padahal udah capek banget seharian ini,' ujar Rania dengan perasaan kesalnya.Tanpa sengaja, karena tak kuat menutup mata, dia pun membuka matanya untuk mengintip apakah Arga yang diketahuinya habis mandi itu sudah selesai berganti pakaian atau tidak. Akan tetapi sepertinya keputusannya itu salah, kerenanya, Rania langsung membulatkan mata tiba-tiba, tapi dengan aneh justru kemudian menutupnya dengan telapak tangan."Aaargghhh!!" jerit Rania terkejut.Sialnya karena berteriak kaget terkejut melihat tubuh bagian belakang Arga yang tak tertutup apap
Rania mengusap pipinya yang basah, bukan karena air mata, tapi air yang diguyur Viona kepadanya. Itu memang sudah hampir mengering, tapi rasanya mengganggu saat sekarang. Mungkin karena sebelumnya terlalu marah."Bahkan dia tidak mengejarku," ujar Rania lesu dan kecewa. "Adiknya lebih penting, memangnya aku siapanya, hufttt ...."Rania mendesah kasar, rasanya cukup sesak, tapi dia memang tipikal orang sulit menangis. Padahal sekarang dia sangat menginginkan itu supaya bisa merasa lega, tapi apa boleh buat sepertinya dia harus terus merasakan sesaknya itu. Sakit tentu saja, karena tertahan dan tak bisa di lampiaskan ataupun dilepaskan."Mas Arga tega bangat sih, tapi emang gini ya kalo udah nikah, tapi suami lebih belain adiknya ketimbang istrinya ...."Rania kembali menghela nafas, sembari menatap nanar langit meratapi betapa sakitnya jadi dirinya saat ini. Puas melakukan hal itu dan merasa cukup, Rania memutuskan untuk pulang dan merogoh tasnya untuk memeriksa dompetnya."Hm, kenapa
Rania akhirnya makan bersama dengan Arga siang itu, tapi dia hanya makan sedikit, sebab memang benar adanya dia sudah makan siang itu lebih dahulu bersama Melati sebelumnya."Makan yang banyak Rania. Itu makanan kamu masih lebih banyak makanan kucing," komentar Arga menatap tajam Rania."Aku sudah makan siang Mas Arga. Berapa kali lagi aku bilang sih, dari tadi nggak percayaan mulu. Udah deh lebih baik Mas aja tuh yang menghabiskan makanannya," balas Rania dengan nada jengkelnya.Arga menghela nafas, dan memperlihatkan dengan jelas wajahnya yang tak percayaan. Memanggil pelayan lalu memesan minuman yang menurutnya cukup bernutrisi untuk mengantikan nutrisi makanan siang yang tak mau Rania makan.Melihat itu Rania cuma mendesah kasar dan begitu minumannya jadi dan tiba di meja mereka, dia dengan cepat meminum dalam tiga tegukan.Gluk-glukk!"Uhuk-uhuk!!"Perempuan itu bahkan sampai tersedak karena tak sabaran, hanya untuk memuaskan ego suaminya."Pelan-pelan Ran ....""Pokoknya kan sud
Siang itu, karena kesal dengan Arga, Rania membangkang dan tidak datang makan siang. Bahkan dengan berani dia mengirimkan pesan supaya Arga tidak menunggunya karena dia sudah pergi makan. Arga yang membaca pesannya tentu saja tak terima dan menjadi marah.Namun belum juga selesai dengan urusan Rania, tiba-tiba saja Salsa datang dan mengunjunginya. Gadis itu dengan wajah tanpa dosanya langsung duduk di sofa yang ada di ruangan Arga. Sialnya lagi ada Viona adiknya di sana."Kita makan siang barengan yuk, Ga!" seru Salsa mengajak."Iya nih, Mas. Udah lama nggak barengan," timpal Viona. "Biasanya dulu sebelum Mas menikah kita sering pergi bersama," tambah Viona dengan wajah tanpa dosanya."Maaf aku tidak bisa, kalian pergilah," jawab Arga dingin bahkan dia tak mau menatap Salsa dan hanya menatap adiknya saja. Itupun dengan tatapan dinginnya."Tidak punya waktu apanya, ini waktu makan siang," ujar Viona merengek. "Ayolah Mas, masa mau membuat Kak Salsa kecewa ...."Arga baru saja akan menj
Rania berani keluar dari mobil Arga, setelah sebelumnya memastikan tak ada mahasiswa yang dikenali olehnya sedang berkeliaran di sekitar sana. Perempuan itu mengendap-endap seperti tengah bersembunyi dari sesuatu, membuat Arga yang memperhatikannya mendesah kasar."Ngapain sih, kayak orang kurang kerjaan aja!" seru Arga menyusulnya, padahal Rania sudah dengan susah payah mempercepat langkahnya agar mereka tak berjalan sejajar, dan takkan ada yang mempertanyakan kedekatan mereka nantinya."Jauh-jauh sana!" kesal Rania langsung menghindar.Arga geleng-geleng kepala, semakin tak mengerti dengan sikap perempuan yang sudah menjadi istrinya itu."Ada-ada aja kamu!" jawab Arga tak habis pikir. "Hm, tapi baiklah. Siang nanti jangan lupa menemuiku dan makan siang bersama," lanjut Arga memperingatkan, sebelum kemudian berlalu dan pergi dari sana.Rania mendesah kasar, tapi kemudian dia mendesah lega. Karena artinya dia tak perlu menjaga sesuatu yang membuat orang lain curiga."Kamu dan Pak Arga
"Jangan melewati batas!" seru Rania dengan tegas, sambil menaruh guling di tengah tempat tidur.Sebenarnya dia bisa saja tidur di sofa, tapi setelah memasak tadi, tubuhnya jadi lumayan penat dan juga agak terasa ngilu. Akan tidak akan enak jika di sofa walaupun empuk karena di sana sempit. Sementara kalau meminta suaminya yang tidur di sana Arga pasti menolak karena pria itu pasti tidak mau."Jangan melewati batas Mas!" peringat Rania ketika melihat Arga mau melewati batas.Namun karena diperingati begitu. Arga bukannya menurut dia malah kesal dan menatap Rania tajam. "Aku tidak mau!"Brukk!!Arga dengan dingin tiba-tiba saja melemparkan bantal gulingnya secara sembarang."Kalau kamu keberatan dengan hal itu, silahkan saja, tapi aku tidak akan melakukannya. Tidak batasan diantara kita Rania dan sadarlah akan posisimu sekarang!" geram Arga yang a







