Pagi itu, langit cerah setelah semalaman diguyur hujan. Rumah sakit tampak lebih hidup dari biasanya. Pasien dan keluarga berlalu-lalang, perawat mondar-mandir membawa catatan medis, dan di antara hiruk-pikuk itu, Cantika datang dengan langkah pelan dan senyum samar di wajahnya.
Hari ini jadwalnya hanya konsultasi ringan, tapi entah kenapa, jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Bukan karena takut. Tapi karena ia tahu akan bertemu lagi dengan dr. Pangeran. Pangeran sedang berdiri membelakangi pintu ketika Cantika mengetuk dan masuk. Ia mengenakan jas dokter yang membuat sosoknya terlihat semakin berwibawa. Suaranya tenang saat berkata, “Masuk.” Begitu melihat Cantika, ia sedikit terdiam. Hari ini gadis itu terlihat berbeda. Lebih cerah. Wajahnya bersih tanpa banyak riasan, tapi justru itu yang membuatnya sulit dialihkan. “Bagaimana kondisi kamu hari ini?” tanyanya, memecah keheningan. “Jauh lebih baik dari kemarin, Dok,” jawab Cantika dengan senyum kecil. “Mungkin karena mimpi indah.” Pangeran mengangkat alis. “Mimpi tentang apa?” Cantika tersenyum, lalu pura-pura sibuk melihat sekeliling. “Rahasia pasien.” Pangeran terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. Itu mungkin senyum pertamanya di depan Cantika. Dan senyum itu—walau sekilas—menghangatkan hati gadis itu. “Saya ingin periksa tekanan darah dan detak jantungmu,” kata Pangeran sambil bangkit dari kursinya. Ia mengambil stetoskop dan berdiri di samping tempat tidur kecil di ruangannya. “Silakan duduk di sini.” Cantika menaiki tempat tidur dengan pelan. Saat tangan Pangeran menyentuh lengannya untuk mengecek denyut nadi, ia merasa seluruh tubuhnya menegang. “Santai. Jantung kamu bisa berdetak dua kali lipat kalau tegang begini,” ujar Pangeran sambil tersenyum setengah, masih dengan suara rendah yang menenangkan. “Mungkin memang berdetak dua kali lipat. Karena Dokter yang periksa,” jawab Cantika, pelan tapi jujur. Pangeran menatap matanya sejenak, lalu berpaling cepat. Tapi dalam diamnya, hatinya bergetar. Cantika terlalu jujur. Dan itu membuatnya semakin sulit menjaga jarak. --- Setelah sesi pemeriksaan selesai, Pangeran mengajak Cantika keluar ke taman kecil di samping rumah sakit. Tempat itu biasanya digunakan pasien untuk terapi relaksasi, tapi kali ini terasa seperti tempat rahasia hanya milik mereka berdua. Mereka duduk di bangku batu, di bawah pohon kamboja yang bunganya berjatuhan. “Kenapa kamu jadi dokter, Dok?” tanya Cantika tiba-tiba. Pangeran menatap langit sebentar sebelum menjawab, “Karena aku pernah kehilangan seseorang yang tidak bisa diselamatkan. Sejak saat itu, aku berjanji… aku harus bisa menyelamatkan orang lain.” Cantika terdiam. Lalu pelan-pelan berkata, “Aku juga kehilangan Ayahku waktu kecil. Di depan mataku. Tapi aku lari… aku nggak cukup kuat buat menyelamatkan siapa-siapa.” Pangeran menoleh, menatap wajah Cantika yang terlihat sendu. “Tapi kamu masih di sini. Kamu tetap bertahan. Itu juga kekuatan, Cantika.” Perlahan, Cantika menoleh ke arahnya. Untuk pertama kalinya, Pangeran menyebut namanya begitu lembut. Seolah nama itu adalah sesuatu yang harus dijaga. “Kenapa kamu baik ke aku, Dok?” tanya Cantika, hampir seperti bisikan. Pangeran menatap matanya dalam-dalam. Lama. Lalu menjawab lirih, “Karena kamu mengingatkanku… bahwa aku masih punya hati.” Cantika menahan napas. Di balik semua luka dan kesunyian Pangeran, ternyata ia juga rapuh. Dan Cantika, tanpa sadar, telah menjadi celah yang membuat Pangeran bisa bernapas kembali. Mereka terdiam cukup lama. Angin berhembus pelan, membawa harum bunga kamboja yang jatuh perlahan ke pangkuan mereka. Dan di tengah sunyi itu, tak perlu pelukan, tak perlu sentuhan… hanya tatapan yang cukup untuk mengatakan bahwa hati mereka mulai saling bicara. --- Dari kejauhan, dua mata mengintai mereka dari balik pohon. Zolanda menggigit bibirnya. Tangannya mengepal di balik jas putihnya. Hatinya terbakar. “Main api dengan pasien?” gumamnya penuh amarah. “Baik, Cantika… kalau kau pikir kau bisa merebutnya begitu saja, kau salah besar.” --- Hari-hari setelah pertemuan mereka di taman rumah sakit terasa berbeda bagi Cantika. Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri—setiap kali mendengar langkah kaki khas di lorong rumah sakit, ia akan menoleh, berharap itu suara langkah Pangeran. Setiap melihat jas dokter putih yang berkibar, hatinya ikut berdebar. Padahal ia tahu, hubungan mereka tak pernah dijanjikan lebih dari sekadar dokter dan pasien. Namun takdir selalu punya cara sendiri untuk mempertemukan dua hati yang sedang rapuh. --- Siang itu hujan turun pelan, gerimis yang menyapu kaca-kaca jendela ruang perawatan. Cantika sedang duduk di tepi ranjangnya, menulis sesuatu di buku kecil. Sesekali ia menatap keluar, memandangi pohon-pohon yang basah oleh hujan. Pintu diketuk pelan, lalu terbuka. Pangeran masuk dengan payung basah masih menetes di tangannya. Rambutnya sedikit berantakan, namun justru itu membuatnya terlihat semakin manusiawi—bukan dokter sempurna yang selalu tenang dan tertata, tapi pria biasa yang datang karena ingin berada di dekat seseorang. "Sendirian?" tanyanya, meletakkan map di meja samping. Cantika mengangguk. "Yup. Nenek tidur, suster juga belum balik. Aku bosan banget." Pangeran tersenyum kecil. "Kalau gitu... kamu mau temenin aku? Bentar aja." Cantika mengernyit. “Temenin ke mana?” Pangeran hanya mengangkat alis. “Ikut aja dulu.” --- Beberapa menit kemudian, Cantika dibantu mengenakan jaket tebal. Pangeran membawanya ke lantai paling atas gedung rumah sakit—atap yang biasa tak banyak dikunjungi orang. Di sana ada meja kecil dan dua kursi kayu. Di atas meja sudah ada termos kecil dan dua gelas kertas. Uap teh jahe menguar harum di udara dingin. Cantika mengedip cepat, terkejut. “Kamu nyiapin ini semua?” Pangeran duduk sambil menuangkan teh. “Kamu pernah bilang suka suasana hujan, tapi nggak suka dingin. Jadi kupikir... teh jahe bisa membantu.” Cantika duduk pelan, menatap uap teh itu dengan senyum haru. “Kamu ingat, ya.” “Aku ingat semua hal tentang kamu yang kamu sendiri mungkin udah lupa,” jawab Pangeran lirih. Mereka minum teh dalam diam. Tak ada obrolan muluk. Hanya tawa kecil, saling tatap, dan hening yang justru nyaman. Hujan deras di luar seakan jadi musik latar. Lalu Cantika memecah keheningan. “Kalau aku sembuh, aku harus pulang. Harus kembali ke dunia nyata, Dok.” Pangeran memutar gelas di tangannya. “Lalu… kamu nggak mau kembali ke rumah sakit ini lagi?” “Mau,” jawab Cantika cepat. “Tapi bukan sebagai pasien.” Pangeran tersenyum. “Sebagai apa, kalau boleh tahu?” Cantika menatap matanya. Lama. Dalam. Lalu menjawab pelan, “Sebagai alasan kenapa kamu tetap tersenyum setiap hari.” Pangeran menunduk, tersenyum tanpa bisa ditahan. Lalu, dengan pelan, ia mengangkat tangan Cantika dan menggenggamnya lembut di atas meja. “Kamu udah jadi alasan itu… bahkan sebelum kamu tahu.” Deg. Jantung Cantika berdetak keras. Untuk pertama kalinya, Pangeran menyentuhnya bukan sebagai dokter—tapi sebagai pria. Dan itu lebih menggetarkan dari apa pun yang pernah ia rasakan. Di balik hujan dan diam, mereka jatuh cinta tanpa suara. --- Dari jendela koridor, suster yang baru lewat menahan napas melihat pemandangan itu. Ia buru-buru berbalik, lalu berpapasan dengan Zolanda yang baru saja naik ke lantai atas. “Dok… ada pasien di atap bersama dokter Pangeran…” katanya gugup. Zolanda tak berkata sepatah kata pun. Tapi matanya berbicara. Badai akan datang. Dan badai itu bernama Zolanda. ---Hujan turun deras malam itu, mengetuk-ngetuk jeruji besi penjara di mana Zolanda ditahan. Cahaya lampu redup tak berdaya menembus kegelapan wajahnya yang bersandar pada dinding lembab. Tapi, matanya masih tajam. Lengkap rencana.Tiba-tiba, ponsel kecil tersembunyi di balik dinding toilet rusak bergetar perlahan."Zolanda."Suara di seberang terdengar tenang. Tapi jelas. mengandung bahaya."Tiga orangku gagal. Mereka ditangkap Pangeran dan Reno."Zolanda tak menjawab. Dia hanya menarik napas dalam-dalam. Lalu, senyumnya muncul pelan-pelan."Jadi… akhirnya mereka menemukan bagian atas dari gunung es."Misteri suaranya kembali berkata. Sekarang lebih lambat, lebih bisu."Tapi mereka belum tahu siapa aku. Aku masih di dalam sistem. Tak ada yang curiga."Zolanda tersenyum lembut. "Kau adalah kartu truf-ku… Si Bayangan."Dia melihat ke selembar kertas di tangannya, peta struktur rumah sakit dan jadwal keamanan terbaru."Kita perubahan permainan. Jika mereka memulai menyerang, kita membuat m
Pagi yang tampak biasa… tapi ada yang berbeda di koridor lantai dua rumah sakit. Seorang perempuan berambut dikuncir rendah berjalan cepat, mengenakan seragam perawat baru dengan ID card bernama “Nadia”. Tak ada yang curiga, bahkan kepala perawat menyambutnya dengan senyum ramah.Padahal, "Nadia" adalah Caca — kembaran Cantika — yang kini menjalankan peran barunya sebagai mata Marsel di dalam.Dengan langkah tenang, Caca menyapu ruangan demi ruangan. Ia mencatat semua hal kecil: siapa yang mondar-mandir di luar shift, siapa yang terlalu sering mendekati ruang Putri dan Putra, siapa yang membawa alat-alat tanpa ijin.Sementara itu, lewat earpiece kecil tersembunyi di balik rambutnya, Marsel terus memberi instruksi.“Fokus ke ruang penyimpanan data. CCTV rumah sakit pernah mati selama 17 menit. Kita yakin itu bukan kebetulan.”Caca merespons cepat. “Akan kuperiksa jalur kabelnya.”**Di ruang CCTV, Caca berpura-pura membantu staf yang kelelahan. Diam-diam, ia mengakses rekaman cadangan
Matahari pagi menyinari perlahan jendela kamar rawat itu. Di dalamnya, Putra mulai bisa duduk sendiri, walau masih dibantu sandaran. Wajahnya belum sepenuhnya pulih, tapi semangat hidupnya… sudah kembali. Putri duduk di samping tempat tidur, memegang buku cerita yang dulu sering mereka baca berdua. “Kau masih ingat ini?” tanya Putri pelan. Putra mengangguk kecil. “Kita dulu suka tiru suara tokohnya…” Putri tersenyum, lalu mencoba menirukan suara tokoh si kucing pintar. “‘Aku tahu jalannya! Ikuti aku, miaw!’” Putra tertawa kecil. Tawa yang sudah lama tak terdengar. Namun di balik kehangatan itu, ada ketegangan yang tak mereka pahami sepenuhnya. Mereka merasa diawasi. Setiap kali suster baru masuk, Putri akan menatapnya lama. Dan Putra—meski belum berkata banyak—bisa merasakan perubahan itu. “Mereka semua… takut,” bisik Putra. Putri menoleh. “Siapa?” Putra menatap langit-langit. “Orang-orang besar… Ayah, Pangeran, Om Marsel… mereka sembunyikan sesuatu.” Putri menund
Langit sore itu mendung, seolah menyimpan sesuatu yang akan pecah dalam waktu dekat. Rumah sakit tampak tenang di permukaan, tapi di dalamnya, ketegangan merayap seperti kabut — tak terlihat, tapi terasa. Marsel sedang duduk di kursi ruang tunggu, menatap layar ponselnya yang kosong. Ia hanya berniat menjaga suasana, menemani Pangeran dan Reno yang masih rapat dengan tim keamanan. Tapi nalurinya sebagai mantan intel tak pernah tidur. Saat itulah, matanya menangkap gerakan kecil yang tidak biasa di ujung lorong. Seorang pria dengan jaket hitam, wajah tertutup masker dan topi, tampak berdiri agak lama di depan ruang perawatan Putri. Ia tidak masuk, hanya memandang ke dalam dari balik kaca. Tapi ada sesuatu dari caranya berdiri… seperti sedang menghitung… atau mencatat. Marsel menyipitkan mata. "Siapa lo..." bisiknya pelan. Ia bangkit dari kursinya, berjalan pelan namun mantap ke arah pria itu. Tapi saat ia makin dekat, pria tersebut langsung berbalik dan berjalan cepat menjauh. “
Pagi itu langit mendung, seolah mencerminkan suasana hati Reno yang dipenuhi amarah dan kegelisahan. Mobil hitamnya berhenti tepat di depan pintu penjara — tempat Zolanda dikurung, namun tetap bisa mengendalikan ancaman dari balik jeruji.Reno berjalan pelan memasuki ruang kunjungan. Tatapannya tajam, rahangnya mengeras menahan emosi. Di balik kaca pemisah, Zolanda duduk santai dengan senyum tipis yang seolah mengejek.“Lama tak jumpa, Reno,” ucap Zolanda, nada suaranya dingin tapi santai. “Bagaimana kabar Cantika... dan Putri?”Reno menahan diri agar tidak meledak di tempat. Tangannya mengepal di atas meja.“Jangan main-main, Zolanda,” suaranya berat, penuh tekanan. “Orangmu nyaris mencelakai Cantika di parkiran. Apa tujuannya? Mau bikin kami takut?”Zolanda mengangkat alis, pura-pura polos.“Cantika wanita cerdas, dia pasti tahu hidup di dunia ini tidak pernah aman, Ren. Lagipula... aku hanya tahanan, apa mungkin aku bisa atur semua itu?”Ia terkekeh pelan, seolah tak merasa bersala
Hari-hari di rumah sakit berjalan lambat, tapi penuh kehangatan. Setelah melewati masa kritis, Putra mulai bisa duduk di ranjangnya, meski tubuhnya masih lemah dan langkah kakinya belum sanggup menopang. Sedangkan Putri, walau memar di tubuhnya perlahan memudar, masih tetap setia berada di sisi sahabat kecilnya itu.Setiap pagi, suster datang membawa sarapan ringan, dan setiap kali Putra kesulitan menggenggam sendok, Putri yang tanpa banyak bicara akan mengambil alih, menyuapinya dengan hati-hati.“Pelan-pelan ya, biar nggak tersedak,” ucap Putri sambil tersenyum, meski dirinya sendiri kadang menahan nyeri di lengan yang belum pulih sempurna.Putra menatap Putri dalam diam, ada rasa haru yang sulit ia ungkapkan.“Kenapa kamu nggak istirahat aja, Putri?” bisiknya pelan.Putri menggeleng, tatapannya penuh keyakinan.“Karena kamu butuh aku. Sahabat nggak ninggalin sahabat, kan?”Ucapan sederhana itu selalu jadi obat paling mujarab bagi Putra. Bukan infus, bukan obat-obatan dari dokter —
Malam mulai turun perlahan, menyelimuti rumah sakit dengan bayangan kelabu yang sunyi. Di ruang perawatan anak, Putri terbangun dari tidurnya dengan nafas berat. Memar di lengan dan kakinya masih jelas terlihat, dan dadanya terasa sesak setiap kali mencoba bangun.Tapi ada satu suara dalam hatinya yang memanggil…“Putra…”Dengan susah payah, Putri turun dari tempat tidurnya. Kakinya masih gemetar, namun mata kecilnya bersinar penuh tekad. Dia tahu Putra sedang kesakitan. Dia tahu, sahabat kecilnya itu butuh dirinya.Tangannya meraba dinding untuk bertahan agar tidak jatuh. Suster jaga malam itu tertidur di meja, membuat jalan menuju ruang ICU sepi… terlalu sepi.Setiap langkah terasa seperti membawa beban seribu kilo. Rasa sakitnya belum sembuh. Tapi hatinya terlalu kuat untuk berhenti.“Sabar ya, Putra… Putri datang…”**Sementara itu, di ruang keluarga rumah sakit, Cantika bersandar di bahu Pangeran. Reno dan Marsel tengah berdiskusi di meja seberang, membicarakan rencana pelacakan
Reno berdiri di balkon lantai dua rumahnya, tatapannya kosong menatap langit subuh yang mulai membiru. Angin dingin menusuk hingga ke tulang, namun pikirannya jauh lebih dingin—membeku dalam kecemasan yang tak kunjung mereda.Sudah empat hari Putri menghilang. Sudah empat malam pula Reno tak tidur. Semua CCTV, saksi mata, hingga jaringan bawah tanah yang ia miliki telah dikerahkan, namun nihil. Seolah Putri benar-benar menghilang dari muka bumi.“Kamu harus makan, Ren…” suara Pangeran yang berdiri di ambang pintu, berusaha terdengar tenang.Reno menggeleng, tatapannya tetap kosong. “Aku CEO, aku bisa lacak orang sejauh benua… tapi untuk menemukan anakku sendiri, aku gagal…”Pangeran menepuk bahu Reno. “Kamu ayah, bukan Tuhan. Kita akan temukan dia. Bersama.”Di ruang tengah, Cantika duduk memeluk Putra yang mulai membaik, namun tetap murung tanpa kehadiran Putri. Sementara Caca dan Marsel bolak-balik membawa makanan, minuman, dan laporan pencarian yang tak pernah ada kabar cerahnya.R
Hari itu mentari bersinar lembut. Putra dan Putri berlarian di halaman rumah, mengenakan seragam SD mereka yang baru. Usia mereka genap 6 tahun. Tawa ceria menghiasi udara, tak ada yang menyangka… badai akan segera datang.Di dalam rumah, Cantika dan Pangeran sedang membereskan bekal anak-anak, sementara Reno membaca koran di teras belakang. Caca dan Marsel sibuk bercanda soal siapa nanti yang akan antar jemput sekolah.Tiba-tiba… sebuah amplop cokelat tergelincir lewat celah pintu pagar.Marsel yang melihatnya pertama kali, segera memanggil, “Pangeran! Ini... kayaknya bukan surat biasa!”Pangeran buru-buru mengambil dan membukanya. Di dalamnya hanya ada satu foto—foto Putra dan Putri sedang tertidur di kamar.Cantika langsung pucat.“Astaga… ini foto semalam…”---Di balik foto itu, tertera tulisan tangan miring yang dikenali semua orang:> “Kalian pikir aku tak akan kembali? Tunggu saja… aku akan menghancurkan ketenangan kalian seperti kalian menghancurkan hidupku. – Z”Pangeran men