Hujan telah reda. Tapi badai yang sesungguhnya baru saja dimulai.
Zolanda melangkah cepat di lorong rumah sakit. Heels-nya mengetuk lantai dengan suara yang memantul tajam, membuat beberapa perawat dan mahasiswa magang menunduk takut-takut saat ia lewat. Wajah cantiknya dibalut riasan sempurna, tapi matanya menyimpan bara yang siap meledak. Dia tidak butuh penjelasan. Melihat Pangeran dan Cantika berdua saja sudah cukup membuatnya merasa dikhianati. Dan Zolanda bukan tipe wanita yang rela dicampakkan tanpa perlawanan. --- Sementara itu, Pangeran sedang duduk sendirian di ruang kerjanya. Jari-jarinya mengetuk meja, memikirkan percakapannya dengan Cantika tadi di rooftop. Gadis itu benar-benar membuat hatinya hidup kembali. Sebelumnya, dunia Pangeran hanya diisi oleh jadwal operasi, pasien, dan tekanan keluarga. Tapi sejak Cantika hadir, ia mulai belajar tersenyum tanpa alasan, mulai menanti pagi dengan semangat, dan mulai percaya bahwa… cinta bisa datang tanpa diduga. Tok. Tok. Pintu diketuk, dan sebelum Pangeran sempat menjawab, Zolanda sudah masuk. "Zol—" “Kita perlu bicara,” potong Zolanda tanpa senyum. Pangeran mengangguk pelan. “Silakan duduk.” Zolanda tidak langsung duduk. Ia berdiri dengan tangan menyilang di dada, menatap tajam ke arah pria yang selama ini ia kejar. “Kamu berubah,” katanya datar. Pangeran diam. “Kamu bukan Pangeran yang dulu. Kamu mulai melupakan tujuan, mulai melupakan komitmen yang kita punya.” “Zol, kita nggak pernah punya komitmen. Itu semua sepihak dari Ayah dan kamu,” sahut Pangeran dengan nada lelah. Zolanda menegang. “Tapi aku mencintaimu! Aku sudah berusaha jadi wanita terbaik, aku sabar, aku menunggu, aku menjaga citra di depan keluargamu! Apa itu semua nggak cukup?” “Zolanda…” Pangeran berdiri, menatap Zolanda dengan tenang. “Aku nggak bisa mencintai seseorang hanya karena dia sempurna di atas kertas. Aku butuh seseorang yang membuat aku merasa hidup. Dan… itu bukan kamu.” Deg. Ucapan itu menghantam Zolanda lebih keras dari yang ia kira. Wajahnya memucat, matanya berkaca-kaca. “Jadi benar. Perempuan itu, Cantika. Dia yang kamu pilih?” Pangeran terdiam. Tapi diamnya sudah cukup sebagai jawaban. --- Hari berikutnya, Cantika kembali menjalani terapi fisik di rumah sakit. Tubuhnya memang mulai pulih, tapi pikirannya terus melayang pada Pangeran. Senyum, perhatian, cara dia menatap… semuanya terasa terlalu indah untuk nyata. Namun, pagi itu suasana terasa berbeda. Beberapa suster yang biasanya ramah kini bersikap canggung. Ada bisik-bisik yang tidak biasa. Tatapan kasihan. Cantika mencoba mengabaikannya, hingga akhirnya ia dipanggil ke ruangan Kepala Rumah Sakit. Dan di sana—ia menemukan Zolanda sudah duduk dengan angkuh, bersama Ayah Pangeran yang menatapnya tajam. “Silakan duduk,” kata Zolanda dengan senyum tipis. “Kita perlu bicara, Nona Cantika.” Cantika duduk pelan. Ia merasakan hawa tekanan begitu kuat. “Ada apa, ya?” Ayah Pangeran berbicara langsung, suaranya dingin. “Kami menerima laporan bahwa kamu menjalin kedekatan tidak pantas dengan salah satu dokter kami.” Cantika membeku. “Maaf? Saya…” “Jangan menyangkal,” potong Zolanda. “Kami punya bukti—foto, laporan dari suster, dan saksi mata. Rumah sakit ini punya reputasi. Dan hubungan kamu dengan dr. Pangeran sangat mencorengnya.” “Aku nggak pernah berniat mencemarkan nama siapa pun,” jawab Cantika dengan suara tercekat. “Aku hanya pasien yang sedang berobat.” Zolanda mencondongkan tubuh, menatap tajam. “Kalau kamu tahu diri, kamu akan segera keluar dari sini. Pindah rumah sakit. Atau lebih baik, keluar dari hidup Pangeran.” Cantika menahan napas. Rasa sesak mulai menyelimuti dadanya, tapi ia berusaha tegar. “Aku nggak pernah ganggu siapa pun. Aku cuma... sayang sama dia,” ucap Cantika jujur, walau suaranya gemetar. Ayah Pangeran berdiri. “Cinta bukan alasan untuk menghancurkan masa depan seseorang. Anakku sudah dijodohkan dengan Zolanda. Dia tidak bisa memilih seenaknya.” Cantika bangkit dari kursi. Air matanya mulai jatuh. “Kalau cinta itu kesalahan… maka saya memang salah. Tapi saya nggak akan meminta maaf untuk mencintai seseorang yang baik, yang menyelamatkan saya… bukan cuma secara fisik, tapi juga hati saya.” Dengan langkah cepat, Cantika keluar dari ruangan. Matanya sembab. Hatinya hancur. Tapi ia tidak ingin terlihat lemah. --- Sore harinya, Pangeran mendengar semuanya dari salah satu perawat. Tanpa pikir panjang, ia langsung menyusul Cantika ke kamarnya. Begitu membuka pintu, ia mendapati Cantika sedang menata barang-barangnya. Ia hendak pergi. “Cantika! Kamu mau ke mana?” Cantika tidak menjawab. Ia terus menunduk, membereskan bukunya, pakaiannya, semua yang bisa ia jangkau dengan tangan yang gemetar. “Cantika, please, lihat aku.” Cantika akhirnya menoleh, dan Pangeran bisa melihat bekas air mata yang masih membekas di wajah gadis itu. “Aku harus pergi, Dok. Rumah sakit ini terlalu mewah buat orang seperti aku. Dan… aku tahu batasku.” Pangeran maju, menggenggam lengannya. “Jangan bicara kayak gitu. Kamu bukan orang asing di sini. Kamu penting.” “Enggak,” potong Cantika. “Aku bukan siapa-siapa. Aku bukan tunanganmu, bukan pilihan keluargamu… aku cuma pasien. Orang luar.” Pangeran menghela napas panjang, lalu memeluk Cantika erat. “Kamu bukan cuma pasien. Kamu… alasan kenapa aku mulai mencintai hidupku sendiri.” Cantika menangis di pelukannya. “Tapi cinta nggak cukup, Pangeran… dunia kamu dan dunia aku terlalu jauh. Kita nggak akan bisa terus begini.” Pangeran melepaskan pelukannya perlahan, menatap mata Cantika yang berkaca-kaca. “Kalau dunia kita terlalu jauh… maka aku yang akan datang ke dunia kamu. Asal kamu jangan pergi.” Cantika menatapnya lama. Namun hatinya sudah terlalu terluka untuk percaya. “Aku lelah…,” bisiknya lirih. Pangeran hanya bisa menggenggam tangan Cantika, memohon dengan mata, berharap gadis itu tidak benar-benar pergi. Tapi ketika malam datang dan ruangan itu kosong… Pangeran sadar, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar takut kehilangan. --- Di balik layar, Zolanda berdiri bersama Ayah Pangeran, menyaksikan semuanya dari CCTV ruang pasien. Senyum tipisnya mengembang. “Ini baru awal, Cantika. Dan kamu belum tahu seberapa jauh aku bisa menyerang.” --- Sore itu, langit Jakarta terlihat muram. Seolah ikut menyimpan rahasia gelap yang akan segera menyeruak ke permukaan. Di sebuah ruangan pribadi dalam rumah sakit—ruang yang hanya diakses oleh staf tingkat tinggi—Zolanda duduk menyilangkan kaki, mengenakan blazer mahal warna krem dan lipstik merah darah. Di hadapannya, seorang pria bertubuh kurus dengan mata cekung dan wajah tak ramah—namanya Darto, mantan perawat yang dipecat karena kelakuan buruk, dan kini bekerja serabutan sebagai informan gelap Zolanda. “Semua sudah sesuai permintaanmu,” ujar Darto sambil menyodorkan satu map berisi dokumen dan beberapa lembar foto. Zolanda mengambilnya perlahan, matanya menyipit saat melihat gambar-gambar itu. Cantika dan Pangeran, duduk berdua di taman, bersandar di koridor rumah sakit, bahkan momen mereka di rooftop—semuanya tertangkap kamera. “Bagus,” ucap Zolanda datar. “Dengan gambar-gambar ini, kamu bisa dengan mudah menjatuhkan dia,” kata Darto dengan suara pelan. Zolanda mengangguk. “Tapi aku belum puas.” Ia bangkit dari duduknya, berjalan ke arah jendela besar yang menghadap halaman belakang rumah sakit. Angin meniup pelan ujung rambutnya. “Cantika terlalu lembut untuk tahu dunia ini kejam,” lanjutnya dingin. “Aku akan ajarkan dia arti kalah. Dan kali ini, bukan cuma hatinya yang hancur… tapi juga hidupnya.” Darto menelan ludah. “Maksudnya?” Zolanda berbalik, senyum licik tergurat di bibirnya. “Aku ingin kamu sebarkan gosip. Katakan Cantika bukan pasien biasa. Katakan dia perempuan simpanan. Katakan dia masuk rumah sakit karena kasus pelecehan, atau apalah yang menjatuhkan martabatnya. Buat semua staf membenci kehadirannya.” Darto tampak ragu. “Itu kejam, Dokter…” “Kejam?” Zolanda mendekat, menatapnya tajam. “Apa kamu lupa siapa yang menyelamatkanmu dari kasus pencurian obat dulu? Tanpa aku, kamu sudah masuk penjara.” Darto mengangguk cepat, terpojok. “Baik, baik… saya akan urus.” “Dan satu lagi,” ucap Zolanda sebelum ia pergi. “Temukan informasi tentang keluarganya. Aku ingin tahu, siapa Cantika sebenarnya. Apa dia punya kelemahan. Apa yang bisa aku jadikan senjata.” --- Di tempat lain, Ayah Pangeran duduk di ruang kerja besar dengan dinding penuh buku tebal. Zolanda datang membawa map yang sama. “Ini buktinya, Pak,” kata Zolanda sambil meletakkan foto-foto itu di meja. “Anak Bapak sudah terlalu dalam. Kita harus hentikan sekarang.” Ayah Pangeran memandangi foto-foto itu dengan wajah mengeras. “Gadis ini… Cantika. Dia datang dari mana?” “Dari gang kecil di pinggiran kota. Tinggal dengan neneknya. Tak punya keluarga jelas. Tak punya masa depan,” sahut Zolanda penuh strategi. “Dan anak Bapak, Pangeran… akan menghancurkan semua yang telah Bapak bangun jika terus bersama dia.” Ayah Pangeran mengangguk pelan. “Aku akan bicara langsung pada Cantika. Jika dia benar-benar peduli pada Pangeran, dia akan mundur.” Zolanda tersenyum puas. Perlahan, benih-benih kehancuran sudah ia tanam. --- Hari berikutnya… Cantika baru saja selesai terapi ketika seorang suster menghampirinya dengan wajah tegang. “Cantika, kamu dipanggil ke ruang rapat utama… sekarang.” Dengan hati cemas, Cantika berjalan ke ruang itu. Di dalamnya, Ayah Pangeran sudah duduk dengan aura yang mengintimidasi. “Silakan duduk,” ucapnya tegas. Cantika duduk. Tangannya gemetar. “Aku tahu kamu mencintai anakku,” kata pria itu langsung. “Tapi cinta tidak cukup, Nona Cantika. Anakku calon direktur rumah sakit ini. Ia calon suami dari Zolanda—wanita yang kami pilih karena kemampuannya, pendidikannya, dan kehormatannya.” Cantika menunduk. “Saya tidak pernah berniat menghancurkan apa pun.” “Tapi kau sudah melakukannya,” potong sang ayah. “Dan mulai hari ini… kau harus meninggalkan rumah sakit ini. Kami tak ingin skandal merusak nama baik keluarga kami.” Cantika memejamkan mata. Air matanya kembali menetes diam-diam. “Apakah Pangeran tahu tentang ini?” “Tidak,” jawab Ayahnya tegas. “Dan dia tak akan pernah tahu.” Tanpa diberi kesempatan berbicara lebih jauh, Cantika diminta keluar. Dunia seperti runtuh menimpa pundaknya. --- Di tempat lain, Pangeran mulai curiga saat tak menemukan Cantika di ruang rawatnya. Ia bertanya ke suster, namun mereka terlihat canggung dan saling pandang. Akhirnya, salah satu dari mereka berkata, “Cantika… sudah keluar dari rumah sakit. Tadi pagi.” Pangeran terkejut. “Keluar? Tanpa pamit?” “Dia… bilang dia tidak ingin menyusahkan siapa-siapa.” Tanpa pikir panjang, Pangeran berlari ke ruang arsip, mencari data pribadi Cantika. Tapi datanya… telah dihapus. Bersih. Seolah ia tak pernah menjadi pasien di sana. “Zolanda…” gumamnya penuh amarah. --- Malam harinya, di apartemen mewahnya, Zolanda duduk di sofa dengan segelas wine di tangan. Ia menyalakan ponsel dan membuka galeri—melihat foto-foto Cantika dan Pangeran yang kini telah ia jadikan alat untuk menghancurkan cinta yang bukan miliknya. Ia tersenyum puas. Tapi di hatinya yang paling dalam, ia sadar: meskipun ia bisa menghapus Cantika dari rumah sakit, menghapus nama dan data gadis itu dari sistem… ia belum bisa menghapus perasaan Pangeran. Dan itu… adalah musuh yang paling sulit ia kalahkan. ---Hujan turun deras malam itu, mengetuk-ngetuk jeruji besi penjara di mana Zolanda ditahan. Cahaya lampu redup tak berdaya menembus kegelapan wajahnya yang bersandar pada dinding lembab. Tapi, matanya masih tajam. Lengkap rencana.Tiba-tiba, ponsel kecil tersembunyi di balik dinding toilet rusak bergetar perlahan."Zolanda."Suara di seberang terdengar tenang. Tapi jelas. mengandung bahaya."Tiga orangku gagal. Mereka ditangkap Pangeran dan Reno."Zolanda tak menjawab. Dia hanya menarik napas dalam-dalam. Lalu, senyumnya muncul pelan-pelan."Jadi… akhirnya mereka menemukan bagian atas dari gunung es."Misteri suaranya kembali berkata. Sekarang lebih lambat, lebih bisu."Tapi mereka belum tahu siapa aku. Aku masih di dalam sistem. Tak ada yang curiga."Zolanda tersenyum lembut. "Kau adalah kartu truf-ku… Si Bayangan."Dia melihat ke selembar kertas di tangannya, peta struktur rumah sakit dan jadwal keamanan terbaru."Kita perubahan permainan. Jika mereka memulai menyerang, kita membuat m
Pagi yang tampak biasa… tapi ada yang berbeda di koridor lantai dua rumah sakit. Seorang perempuan berambut dikuncir rendah berjalan cepat, mengenakan seragam perawat baru dengan ID card bernama “Nadia”. Tak ada yang curiga, bahkan kepala perawat menyambutnya dengan senyum ramah.Padahal, "Nadia" adalah Caca — kembaran Cantika — yang kini menjalankan peran barunya sebagai mata Marsel di dalam.Dengan langkah tenang, Caca menyapu ruangan demi ruangan. Ia mencatat semua hal kecil: siapa yang mondar-mandir di luar shift, siapa yang terlalu sering mendekati ruang Putri dan Putra, siapa yang membawa alat-alat tanpa ijin.Sementara itu, lewat earpiece kecil tersembunyi di balik rambutnya, Marsel terus memberi instruksi.“Fokus ke ruang penyimpanan data. CCTV rumah sakit pernah mati selama 17 menit. Kita yakin itu bukan kebetulan.”Caca merespons cepat. “Akan kuperiksa jalur kabelnya.”**Di ruang CCTV, Caca berpura-pura membantu staf yang kelelahan. Diam-diam, ia mengakses rekaman cadangan
Matahari pagi menyinari perlahan jendela kamar rawat itu. Di dalamnya, Putra mulai bisa duduk sendiri, walau masih dibantu sandaran. Wajahnya belum sepenuhnya pulih, tapi semangat hidupnya… sudah kembali. Putri duduk di samping tempat tidur, memegang buku cerita yang dulu sering mereka baca berdua. “Kau masih ingat ini?” tanya Putri pelan. Putra mengangguk kecil. “Kita dulu suka tiru suara tokohnya…” Putri tersenyum, lalu mencoba menirukan suara tokoh si kucing pintar. “‘Aku tahu jalannya! Ikuti aku, miaw!’” Putra tertawa kecil. Tawa yang sudah lama tak terdengar. Namun di balik kehangatan itu, ada ketegangan yang tak mereka pahami sepenuhnya. Mereka merasa diawasi. Setiap kali suster baru masuk, Putri akan menatapnya lama. Dan Putra—meski belum berkata banyak—bisa merasakan perubahan itu. “Mereka semua… takut,” bisik Putra. Putri menoleh. “Siapa?” Putra menatap langit-langit. “Orang-orang besar… Ayah, Pangeran, Om Marsel… mereka sembunyikan sesuatu.” Putri menund
Langit sore itu mendung, seolah menyimpan sesuatu yang akan pecah dalam waktu dekat. Rumah sakit tampak tenang di permukaan, tapi di dalamnya, ketegangan merayap seperti kabut — tak terlihat, tapi terasa. Marsel sedang duduk di kursi ruang tunggu, menatap layar ponselnya yang kosong. Ia hanya berniat menjaga suasana, menemani Pangeran dan Reno yang masih rapat dengan tim keamanan. Tapi nalurinya sebagai mantan intel tak pernah tidur. Saat itulah, matanya menangkap gerakan kecil yang tidak biasa di ujung lorong. Seorang pria dengan jaket hitam, wajah tertutup masker dan topi, tampak berdiri agak lama di depan ruang perawatan Putri. Ia tidak masuk, hanya memandang ke dalam dari balik kaca. Tapi ada sesuatu dari caranya berdiri… seperti sedang menghitung… atau mencatat. Marsel menyipitkan mata. "Siapa lo..." bisiknya pelan. Ia bangkit dari kursinya, berjalan pelan namun mantap ke arah pria itu. Tapi saat ia makin dekat, pria tersebut langsung berbalik dan berjalan cepat menjauh. “
Pagi itu langit mendung, seolah mencerminkan suasana hati Reno yang dipenuhi amarah dan kegelisahan. Mobil hitamnya berhenti tepat di depan pintu penjara — tempat Zolanda dikurung, namun tetap bisa mengendalikan ancaman dari balik jeruji.Reno berjalan pelan memasuki ruang kunjungan. Tatapannya tajam, rahangnya mengeras menahan emosi. Di balik kaca pemisah, Zolanda duduk santai dengan senyum tipis yang seolah mengejek.“Lama tak jumpa, Reno,” ucap Zolanda, nada suaranya dingin tapi santai. “Bagaimana kabar Cantika... dan Putri?”Reno menahan diri agar tidak meledak di tempat. Tangannya mengepal di atas meja.“Jangan main-main, Zolanda,” suaranya berat, penuh tekanan. “Orangmu nyaris mencelakai Cantika di parkiran. Apa tujuannya? Mau bikin kami takut?”Zolanda mengangkat alis, pura-pura polos.“Cantika wanita cerdas, dia pasti tahu hidup di dunia ini tidak pernah aman, Ren. Lagipula... aku hanya tahanan, apa mungkin aku bisa atur semua itu?”Ia terkekeh pelan, seolah tak merasa bersala
Hari-hari di rumah sakit berjalan lambat, tapi penuh kehangatan. Setelah melewati masa kritis, Putra mulai bisa duduk di ranjangnya, meski tubuhnya masih lemah dan langkah kakinya belum sanggup menopang. Sedangkan Putri, walau memar di tubuhnya perlahan memudar, masih tetap setia berada di sisi sahabat kecilnya itu.Setiap pagi, suster datang membawa sarapan ringan, dan setiap kali Putra kesulitan menggenggam sendok, Putri yang tanpa banyak bicara akan mengambil alih, menyuapinya dengan hati-hati.“Pelan-pelan ya, biar nggak tersedak,” ucap Putri sambil tersenyum, meski dirinya sendiri kadang menahan nyeri di lengan yang belum pulih sempurna.Putra menatap Putri dalam diam, ada rasa haru yang sulit ia ungkapkan.“Kenapa kamu nggak istirahat aja, Putri?” bisiknya pelan.Putri menggeleng, tatapannya penuh keyakinan.“Karena kamu butuh aku. Sahabat nggak ninggalin sahabat, kan?”Ucapan sederhana itu selalu jadi obat paling mujarab bagi Putra. Bukan infus, bukan obat-obatan dari dokter —
Malam mulai turun perlahan, menyelimuti rumah sakit dengan bayangan kelabu yang sunyi. Di ruang perawatan anak, Putri terbangun dari tidurnya dengan nafas berat. Memar di lengan dan kakinya masih jelas terlihat, dan dadanya terasa sesak setiap kali mencoba bangun.Tapi ada satu suara dalam hatinya yang memanggil…“Putra…”Dengan susah payah, Putri turun dari tempat tidurnya. Kakinya masih gemetar, namun mata kecilnya bersinar penuh tekad. Dia tahu Putra sedang kesakitan. Dia tahu, sahabat kecilnya itu butuh dirinya.Tangannya meraba dinding untuk bertahan agar tidak jatuh. Suster jaga malam itu tertidur di meja, membuat jalan menuju ruang ICU sepi… terlalu sepi.Setiap langkah terasa seperti membawa beban seribu kilo. Rasa sakitnya belum sembuh. Tapi hatinya terlalu kuat untuk berhenti.“Sabar ya, Putra… Putri datang…”**Sementara itu, di ruang keluarga rumah sakit, Cantika bersandar di bahu Pangeran. Reno dan Marsel tengah berdiskusi di meja seberang, membicarakan rencana pelacakan
Reno berdiri di balkon lantai dua rumahnya, tatapannya kosong menatap langit subuh yang mulai membiru. Angin dingin menusuk hingga ke tulang, namun pikirannya jauh lebih dingin—membeku dalam kecemasan yang tak kunjung mereda.Sudah empat hari Putri menghilang. Sudah empat malam pula Reno tak tidur. Semua CCTV, saksi mata, hingga jaringan bawah tanah yang ia miliki telah dikerahkan, namun nihil. Seolah Putri benar-benar menghilang dari muka bumi.“Kamu harus makan, Ren…” suara Pangeran yang berdiri di ambang pintu, berusaha terdengar tenang.Reno menggeleng, tatapannya tetap kosong. “Aku CEO, aku bisa lacak orang sejauh benua… tapi untuk menemukan anakku sendiri, aku gagal…”Pangeran menepuk bahu Reno. “Kamu ayah, bukan Tuhan. Kita akan temukan dia. Bersama.”Di ruang tengah, Cantika duduk memeluk Putra yang mulai membaik, namun tetap murung tanpa kehadiran Putri. Sementara Caca dan Marsel bolak-balik membawa makanan, minuman, dan laporan pencarian yang tak pernah ada kabar cerahnya.R
Hari itu mentari bersinar lembut. Putra dan Putri berlarian di halaman rumah, mengenakan seragam SD mereka yang baru. Usia mereka genap 6 tahun. Tawa ceria menghiasi udara, tak ada yang menyangka… badai akan segera datang.Di dalam rumah, Cantika dan Pangeran sedang membereskan bekal anak-anak, sementara Reno membaca koran di teras belakang. Caca dan Marsel sibuk bercanda soal siapa nanti yang akan antar jemput sekolah.Tiba-tiba… sebuah amplop cokelat tergelincir lewat celah pintu pagar.Marsel yang melihatnya pertama kali, segera memanggil, “Pangeran! Ini... kayaknya bukan surat biasa!”Pangeran buru-buru mengambil dan membukanya. Di dalamnya hanya ada satu foto—foto Putra dan Putri sedang tertidur di kamar.Cantika langsung pucat.“Astaga… ini foto semalam…”---Di balik foto itu, tertera tulisan tangan miring yang dikenali semua orang:> “Kalian pikir aku tak akan kembali? Tunggu saja… aku akan menghancurkan ketenangan kalian seperti kalian menghancurkan hidupku. – Z”Pangeran men