Share

Rencana Ibu

Caca, menjalani hari seperti biasa di tempat dia bekerja. Suatu perusahaan besar Ibu Kota. Walau, ayahnya pejabat, tetap saja anak-anaknya diajarkan untuk mandiri. 

Kakaknya Rani, bekerja disalah satu perusahaan juga. Sambil merintis usaha sendiri bersama teman kuliahnya. 

Walau, tidak banyak yang tahu, gadis itu menjalin hubungan yang terlalu dalam dengan seorang pria. Tentu, ibu dan ayah tidak mengetahui hal ini. Rani, perempuan dua puluh delapan itu hanya beranggapan, orang tuanya terlalu acuh. Dia memang enggak seperti Caca yang berkerudung, cantik dan juga lemah lembut. 

Sedikit serampangan, pertemuannya dengan anak sepupu ayahnya seperti berkah tersendiri untuknya. Ruadiantara Jokosuseno namanya, pria bertinggi seratus delapan puluh senti itu berhasil menggetarkan dinding pertahanan Rani, hingga sanggup memberikan semuanya untuk pria itu. 

Walau kehormatan perempuan paling penting, tetapi dalam hati Rani, dia tidak peduli. Toh, selama ini ayah dan ibunya pun tidak terlalu menganggapnya ada. Dia seperti dianaktirikan. Sejak kecil seperti itu, keberadaannya seperti diabaikan oleh orang tuanya, walau Caca sangat menyayangi kakaknya tanpa batas. 

Setelah menjalani hari sibuk seharian di kantor, gadis berjilbab itu pulang menuju rumah, dihari menjelang malam. Seperti biasa, pulang kerja, masuk ke dalam rumah, melihat Ibu sedang di sofa, biasanya wanita lima puluhan itu sedang menonton acara kesayangan, sinteron. 

“Assalamualaikum!” sapa Caca sambil terus masuk ke ruangan tempat ibu duduk. Dia salam takzim, Ibu sendiri berbinar sore ini melihat anak tengahnya. 

Rumah ini termasuk yang mewah di kawasan Jakarta Selatan, Kuningan, ayah—yang pejabat Negara—yang mampu membeli hunian ini. Walau begitu, keluarga itu hidup bersahaja, ibu sering mengikuti kegiatan bapak, banyak bersosialisasi dengan istri pejabat dan juga keinginan bapak Caca agar anak tengah itu bisa cepat-cepat menikah. Bagi orang tua Caca, anak tengah itu sangat berharga, harus dijaga.

“Kenapa, Ibu kayaknya lagi seneng banget?” tanya anak itu penasaran. Dia lantas duduk di sebelah Ibu.  

“Enggak ada.” Jawab ibu singkat, sambil tersenyum, tersembul harapan, anak tengahnya ini segera menikah. “Oh iya, Ca, besok kamu enggak ada acara, tho? Bisa temenin Ibu, ndak?”

“Ke mana, Bu?” 

“Ke rumah Bude Amir, itu lho. Kan kamu tahu sepupunya bapak. Memang kita jarang bertemu, paling, yo, pas lebaran aja,” tutur Ibu. 

Caca masih mengerutkan dahi. “Kak Rani ikut juga?” 

“Yo, ya, ndak, dia itu kan beda urusannya. Bude Amir mau kenalin keponankannya, Ca.” 

“Hah, siapa, Bu?” 

“Ada, iku lho, pokoknya ada, deh,” jawab ibu. “Oh iya, kamu udah makan?” Ibu mengalihkan pembicaraan, alih-alih Caca semakin penasaran dan juga ibu yang masih menyembunyikan semuanya dahulu. Agar anak gadis behijabnya ini mau ikut ibunya. 

Caca, tentu saja masih ragu, dia menghela napas. Enggan sebenarnya. “Ya udah, Caca ke kamar dulu, ya, Bu,” pamitnya kepada Ibu, yang dijawab dengan anggukan. 

“Ya sudah, udah malam, tho, bobo, ya, Nak,” pesan ibu selalu begitu, sebelum anaknya pergi tidur. 

Tidak lama, Rani, menyeruak masuk. 

“Lho, masih ada Caca?” tanya. 

Gadis itu langsung salam takzim juga kepada Ibu yang masih duduk di sofa, Caca, tentu saja berdiam diri sesaat, menanti kakak paling besarnya, untuk cipika-cipiki. 

“Ya, gue baru pulang juga, kok,” kata Caca. 

Rani lantas mengenyakkan badan di samping ibu. “Rani belum makan, nih, Bu,” ujar Rani polos, dia memang cepat pulang ingin makan masakan ibu. 

“Oh, sebentar, ibu minta Mba Yem siapin makan,” ujar ibunya, wanita tua itu bangkit, seraya memanggil asisten rumah tangga andalan. 

Rani mencebik. 

“Asem banget muka lu, Mbak,” sindir Caca, walau adiknya ini menyayanginya, tetap saja kadang jail, atau berbicara blak-blakan. 

“Ya, coba elo yang minta makan, pasti yang sibuk tu, ibu duluan bukannya pembantu.” Ranni sekali mendecak, memutar bola matanya. 

“Ya ampun, biarin aja, lah, ibu capek juga  kali,” ujar Caca, masih berdiri sambil mendelik. 

“Oke, gue kan selalu kalah sama anak kesayangan.” Rani tak kalah menyindir. Dia bangkit, dan melangkah tak acuh menuju meja makan, yang sudah tersaji aneka makanan. 

Caca mendecak, dia membalik badan, dan melangkah ke kamar. Di dalam kamar tentu saja, Caca belum bisa tidur, dia dan Rei masih saling berkirim pesan di ponsel. 

Mereka saling tertarik satu sama lain, entahlah, apa saja jadi obrolan. Senyuman tidak lepas dari bibir cantik Caca. 

Begitu juga dengan Revan, yang selalu tersenyum menerima kabar demi kabar dari pujaan hatinya itu. Termasuk ketika Caca merajuk sedikit jengkel atras kelakuan kakaknya, ada rasa ingin melindungi. Tentu saja, pria itu hanya berpikir akan cepat mempersunting gadis impiannya itu, segera setelah semua urusannya selesai. 

Dalam hatinya setelah perpindahan perusahaannya ke Jakarta selesai, dia akan datang ke rumah Caca dan memberitahukan semua hal tentangnya. 

[Aku agak bete, Rei. Kak Rani kadang nyebelin.]

Tulis Caca dalam pesan singkatnya. Revan terus tersenyum membaca itu. 

[Kenapa, Ca, enggak biasanya kamu bete sama kakak kamu?] balas Reva, dia tak ubahnya sepertri gadis itu, baru saja pulang dari kantornya. 

Caca menceritakan kejadian malam sebelum dia tadi masuk ke kamar. 

Tidak lama, ponsel Caca berdering, nama Revan muncul di layar telepon. 

Caca hanya berpikir, kasian Revan membuang pulsa begini. Iba, tetapi tak bisa menolak juga kebahagiaan menyeruak dari dalam hatinya. 

“Lho, Rei, kenapa telepon sekarang?” 

“Enggak apa-apa, aku—”

“Kenapa, Rei?”

“Kangen—” jawabnya lirih, sesungguhnya dia takut ketika mengatakan hal ini. “Lagi pula, kayaknya mala mini kamu perlu ditemani, bagaimana?”

“Enggak apa-apa, si, Rei. Tapi, kasian kamu, pulsanya mahal, Rei.” 

“Kamu bisa telepon balik aku, kalau kamu mau.”

“Kalau enggak mau?” tantang Caca, tentu saja dengan nada suara bercanda. Dia tidak bisa marah kepada Rei. 

“Kalau enggak mau, nanti aku lanjutin aja dijam biasa. Kamu enggak sanggup kangen sama aku, bener ‘kan?” 

Telak, Caca seperti ditembak begitu saja, enggak sangka, Rei berbicara seperti itu. pria itu seperti tahu isi hati Caca. Apa mungkin karena seringnya kebersamaan mereka? Begitu pikir Caca.  

“Rei ….” Rajuk Caca manja, membuat pria itu tersenyum.  

Sebentar lagi, Ca, sebentar lagi, begitu dalam hati Rei menggaungkan nama perempuan itu. Pandangannya beralih, Rei tersentak begitu mendengar ketukan di  daun pintunya. 

Di tempat kediaman Revan—yang lumayan jauh dari Jakarta, Bandung. Tempat dia menghabiskan masa kecilnya di rumah itu, walau papanya berhasil mengembangkan usahanya di Ibu Kota. Siapa sangka, kerja keras papa Revan berhasil hingga usahanya itu berkembang dan maju pesat. 

“Um, Ca, Rei pergi dulu, ya, kayaknya ada yang ketuk pintu kamar Rei,” katanya buru-buru. 

“Oh, iya,” balas Caca. “Malam, Rei.”

“Malam, Ca, jangan lupa mimpiin Rei, ya,” goda pria itu. 

“Gombal!” 

Pria itu masih tersenyum lebar, sambil memutus sambungan telepon. 

Malam belum bisa dikatakan larut ketika ada yang mengetuk pintu kamar Revan. Pria itu dengan cepat membuka pintu kamar. Papa yang muncul di ambang. 

“Lho, Pa, ada apa?” Revan membesarkan bola mata, tumben. 

Apakah ada urusan keluarga? Atau ada keadaan darurat. Dahi pria itu berkerut walau sepenuhnya menyambut papa. 


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status