공유

Rencana Ibu

last update 최신 업데이트: 2021-04-07 20:17:51

Caca, menjalani hari seperti biasa di tempat dia bekerja. Suatu perusahaan besar Ibu Kota. Walau, ayahnya pejabat, tetap saja anak-anaknya diajarkan untuk mandiri. 

Kakaknya Rani, bekerja disalah satu perusahaan juga. Sambil merintis usaha sendiri bersama teman kuliahnya. 

Walau, tidak banyak yang tahu, gadis itu menjalin hubungan yang terlalu dalam dengan seorang pria. Tentu, ibu dan ayah tidak mengetahui hal ini. Rani, perempuan dua puluh delapan itu hanya beranggapan, orang tuanya terlalu acuh. Dia memang enggak seperti Caca yang berkerudung, cantik dan juga lemah lembut. 

Sedikit serampangan, pertemuannya dengan anak sepupu ayahnya seperti berkah tersendiri untuknya. Ruadiantara Jokosuseno namanya, pria bertinggi seratus delapan puluh senti itu berhasil menggetarkan dinding pertahanan Rani, hingga sanggup memberikan semuanya untuk pria itu. 

Walau kehormatan perempuan paling penting, tetapi dalam hati Rani, dia tidak peduli. Toh, selama ini ayah dan ibunya pun tidak terlalu menganggapnya ada. Dia seperti dianaktirikan. Sejak kecil seperti itu, keberadaannya seperti diabaikan oleh orang tuanya, walau Caca sangat menyayangi kakaknya tanpa batas. 

Setelah menjalani hari sibuk seharian di kantor, gadis berjilbab itu pulang menuju rumah, dihari menjelang malam. Seperti biasa, pulang kerja, masuk ke dalam rumah, melihat Ibu sedang di sofa, biasanya wanita lima puluhan itu sedang menonton acara kesayangan, sinteron. 

“Assalamualaikum!” sapa Caca sambil terus masuk ke ruangan tempat ibu duduk. Dia salam takzim, Ibu sendiri berbinar sore ini melihat anak tengahnya. 

Rumah ini termasuk yang mewah di kawasan Jakarta Selatan, Kuningan, ayah—yang pejabat Negara—yang mampu membeli hunian ini. Walau begitu, keluarga itu hidup bersahaja, ibu sering mengikuti kegiatan bapak, banyak bersosialisasi dengan istri pejabat dan juga keinginan bapak Caca agar anak tengah itu bisa cepat-cepat menikah. Bagi orang tua Caca, anak tengah itu sangat berharga, harus dijaga.

“Kenapa, Ibu kayaknya lagi seneng banget?” tanya anak itu penasaran. Dia lantas duduk di sebelah Ibu.  

“Enggak ada.” Jawab ibu singkat, sambil tersenyum, tersembul harapan, anak tengahnya ini segera menikah. “Oh iya, Ca, besok kamu enggak ada acara, tho? Bisa temenin Ibu, ndak?”

“Ke mana, Bu?” 

“Ke rumah Bude Amir, itu lho. Kan kamu tahu sepupunya bapak. Memang kita jarang bertemu, paling, yo, pas lebaran aja,” tutur Ibu. 

Caca masih mengerutkan dahi. “Kak Rani ikut juga?” 

“Yo, ya, ndak, dia itu kan beda urusannya. Bude Amir mau kenalin keponankannya, Ca.” 

“Hah, siapa, Bu?” 

“Ada, iku lho, pokoknya ada, deh,” jawab ibu. “Oh iya, kamu udah makan?” Ibu mengalihkan pembicaraan, alih-alih Caca semakin penasaran dan juga ibu yang masih menyembunyikan semuanya dahulu. Agar anak gadis behijabnya ini mau ikut ibunya. 

Caca, tentu saja masih ragu, dia menghela napas. Enggan sebenarnya. “Ya udah, Caca ke kamar dulu, ya, Bu,” pamitnya kepada Ibu, yang dijawab dengan anggukan. 

“Ya sudah, udah malam, tho, bobo, ya, Nak,” pesan ibu selalu begitu, sebelum anaknya pergi tidur. 

Tidak lama, Rani, menyeruak masuk. 

“Lho, masih ada Caca?” tanya. 

Gadis itu langsung salam takzim juga kepada Ibu yang masih duduk di sofa, Caca, tentu saja berdiam diri sesaat, menanti kakak paling besarnya, untuk cipika-cipiki. 

“Ya, gue baru pulang juga, kok,” kata Caca. 

Rani lantas mengenyakkan badan di samping ibu. “Rani belum makan, nih, Bu,” ujar Rani polos, dia memang cepat pulang ingin makan masakan ibu. 

“Oh, sebentar, ibu minta Mba Yem siapin makan,” ujar ibunya, wanita tua itu bangkit, seraya memanggil asisten rumah tangga andalan. 

Rani mencebik. 

“Asem banget muka lu, Mbak,” sindir Caca, walau adiknya ini menyayanginya, tetap saja kadang jail, atau berbicara blak-blakan. 

“Ya, coba elo yang minta makan, pasti yang sibuk tu, ibu duluan bukannya pembantu.” Ranni sekali mendecak, memutar bola matanya. 

“Ya ampun, biarin aja, lah, ibu capek juga  kali,” ujar Caca, masih berdiri sambil mendelik. 

“Oke, gue kan selalu kalah sama anak kesayangan.” Rani tak kalah menyindir. Dia bangkit, dan melangkah tak acuh menuju meja makan, yang sudah tersaji aneka makanan. 

Caca mendecak, dia membalik badan, dan melangkah ke kamar. Di dalam kamar tentu saja, Caca belum bisa tidur, dia dan Rei masih saling berkirim pesan di ponsel. 

Mereka saling tertarik satu sama lain, entahlah, apa saja jadi obrolan. Senyuman tidak lepas dari bibir cantik Caca. 

Begitu juga dengan Revan, yang selalu tersenyum menerima kabar demi kabar dari pujaan hatinya itu. Termasuk ketika Caca merajuk sedikit jengkel atras kelakuan kakaknya, ada rasa ingin melindungi. Tentu saja, pria itu hanya berpikir akan cepat mempersunting gadis impiannya itu, segera setelah semua urusannya selesai. 

Dalam hatinya setelah perpindahan perusahaannya ke Jakarta selesai, dia akan datang ke rumah Caca dan memberitahukan semua hal tentangnya. 

[Aku agak bete, Rei. Kak Rani kadang nyebelin.]

Tulis Caca dalam pesan singkatnya. Revan terus tersenyum membaca itu. 

[Kenapa, Ca, enggak biasanya kamu bete sama kakak kamu?] balas Reva, dia tak ubahnya sepertri gadis itu, baru saja pulang dari kantornya. 

Caca menceritakan kejadian malam sebelum dia tadi masuk ke kamar. 

Tidak lama, ponsel Caca berdering, nama Revan muncul di layar telepon. 

Caca hanya berpikir, kasian Revan membuang pulsa begini. Iba, tetapi tak bisa menolak juga kebahagiaan menyeruak dari dalam hatinya. 

“Lho, Rei, kenapa telepon sekarang?” 

“Enggak apa-apa, aku—”

“Kenapa, Rei?”

“Kangen—” jawabnya lirih, sesungguhnya dia takut ketika mengatakan hal ini. “Lagi pula, kayaknya mala mini kamu perlu ditemani, bagaimana?”

“Enggak apa-apa, si, Rei. Tapi, kasian kamu, pulsanya mahal, Rei.” 

“Kamu bisa telepon balik aku, kalau kamu mau.”

“Kalau enggak mau?” tantang Caca, tentu saja dengan nada suara bercanda. Dia tidak bisa marah kepada Rei. 

“Kalau enggak mau, nanti aku lanjutin aja dijam biasa. Kamu enggak sanggup kangen sama aku, bener ‘kan?” 

Telak, Caca seperti ditembak begitu saja, enggak sangka, Rei berbicara seperti itu. pria itu seperti tahu isi hati Caca. Apa mungkin karena seringnya kebersamaan mereka? Begitu pikir Caca.  

“Rei ….” Rajuk Caca manja, membuat pria itu tersenyum.  

Sebentar lagi, Ca, sebentar lagi, begitu dalam hati Rei menggaungkan nama perempuan itu. Pandangannya beralih, Rei tersentak begitu mendengar ketukan di  daun pintunya. 

Di tempat kediaman Revan—yang lumayan jauh dari Jakarta, Bandung. Tempat dia menghabiskan masa kecilnya di rumah itu, walau papanya berhasil mengembangkan usahanya di Ibu Kota. Siapa sangka, kerja keras papa Revan berhasil hingga usahanya itu berkembang dan maju pesat. 

“Um, Ca, Rei pergi dulu, ya, kayaknya ada yang ketuk pintu kamar Rei,” katanya buru-buru. 

“Oh, iya,” balas Caca. “Malam, Rei.”

“Malam, Ca, jangan lupa mimpiin Rei, ya,” goda pria itu. 

“Gombal!” 

Pria itu masih tersenyum lebar, sambil memutus sambungan telepon. 

Malam belum bisa dikatakan larut ketika ada yang mengetuk pintu kamar Revan. Pria itu dengan cepat membuka pintu kamar. Papa yang muncul di ambang. 

“Lho, Pa, ada apa?” Revan membesarkan bola mata, tumben. 

Apakah ada urusan keluarga? Atau ada keadaan darurat. Dahi pria itu berkerut walau sepenuhnya menyambut papa. 


이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Terjebak Cinta Segitiga   Hidup yang Terus Berjalan

    Revan bersungut-sungut seringnya begitu sejak Venca hamil. Tetapi dalam hati, dia paham. Masa ini harus dilewati.Belikan rujak juhi, es krim malam-malam, ketoprak super pedes, es boba taro bergelas-gelas. Semuanya Venca makan, tidak ada yang dia buang. Jalan-jalan ke mal, beli ini dan itu, apalagi soal belanja barang buat bayi, Venca paling semangat habiskan uang suaminya.Sekilas dalam hati Revan bertanya sendiri, yang dikandung Venca, bener anak manusia atau apa?Meski begitu, hari-hari, Venca masih bekerja sebagai general manajer di tempat Revan. Kehamilan sepertinya bukan halangan untuk dia terus berkarya, mesti sering uring-uringan. Dan mengeluh capek kakinya pegel apalagi kandungan makin besar, punggungnya ikut pegal, pinggang kayak mau patah dan lain-lain."Biar, makanya Venca tinggal aja di rumah Ibu, kan di sini ada yang disuruh-suruh, jadi Nak Revan enggak kecapek-an. Kasian suami kamu udah capek di kantor," tutur Ibu ke Venca,

  • Terjebak Cinta Segitiga   Venca yang Ngidam

    Penuturan papa Tara memang ada benarnya, yang mendengarnya pun manggut-manggut.Rumah besar itu masih riuhbdengan tamu undangan yang rerata hanya kekuarga dekat saja. Termasuk kakak almarhumah mama Tara. Diskusi para orang tua juga masih berlanjut, kebanyakan mereka bahagia dengan kemajuan yang dicapai oleh anak-anak mereka."Lha, yang dampingi kita ini, Dik, mesti kita rangkul, sayangi juga. Jangan sampe kamu kayak saya. Tidak pernah tahu keinginan istri saya, hanya menekan dia selalu sempurna, mengikuti-kata saya, dia tertekan." Wajah mendung itu kembali muram, hujan mungkin sebentar lagi."Sudah, Mas, sudah jalan Allah seperti itu," ucap ibu Venca. Banyak mengkhawarirkan keadaan papa Tara sebenarnya, apalagi dia mendengar, kalau papa Tara kebanyakan melamun dan juga menghabiskan waktu sendirian.Papa Tara mengangguk, rasa bersalah ini memang selalu hinggap, mungkin ini akan selamanya menempel dalam hati. Sampai nanti, hingga dia mati."S

  • Terjebak Cinta Segitiga   Akad Ulang Tara dan Rani

    Rani galau, tetapi bukan terhadap Tara dan pernikahan ulangnya. Dia memikirkan papa Tara."Kamu enggak khawatir sama Papa kamu, Tar?" tanya Rani pada akhirnya, dia bertanya disela mau berangkat ke kantor, perjalanan macet yang menyebalkan. Matahari jam tujuh pagi seperti sudah tengah hari."Khawatir, tapi mau bagaimana lagi? Masa iya, aku tentang kemauan Papa? Dia sudah menentukan pilihannya, Ran. Mau tinggal di panti jompo, mungkin dia akan sedikit ceria, paling tidak bahagia, bisa bertemu orang yang seumuran dengannya," tutur Tara, sesekali dia menoleh ke arah Rani."Ya, mungkin juga," ucap Rani."Kamu mau undang siapa aja pas akad ulang nanti?" Tara bertanya.Rani tampaknya terlihat memicing, karena sinar matahari yang langsung menusuk retinanya. Dia menarik napas. "Paling Ibu, Bapak, Venca dan keluarga.""Oh iya, gimana kabar Venca?" tanya Tara.Ini hal yang sedikit membuat Rani kesal setengah mati kalau Tara

  • Terjebak Cinta Segitiga   Tara dan Papa

    "Bagaimana, Tara soal akad ulang-mu?"Papa pagi ini bertanya soal akad ulang Tara dengan Rani. Saran dari Papa memang, demi sah secara agama dan juga tercatat di pemerintahan.Pasangan yang sah secara agama itu duduk di seberang Papa. Tampak semringah ketika Papa bertanya seperti itu. Ada rasa lega, ketika Papa bisa menerima, apalagi di rumahnya. Dan meminta tinggal di sana, satu atap, dan Tara anggap, yang penting akur! Karena sulit sekali memahami Papa, begitu menurut Tara dan Rani."Insyaallah, jadi, Pa. Dua minggu lagi. Surat-suratnya sudah jadi, kita tinggal ijab saja," papar Tara. Dia saling bertatap dengan Rani yang ada di sampingnya."Baguslah," sahut Papa datar. Sejak Mama meninggal, Tara dan Rani tinggal di rumah Papa, mereka banyak bersimpatik, tetapi tidak bisa memberikan kebahagiaan yang lain selain, menemani Papa siang dan malam.Tentu saja bergantian, Tara dan Rani dari pagi harus bekerja. Keadaan Papa memprihatinkan, b

  • Terjebak Cinta Segitiga   Venca yang Cemburu

    Venca masih terdiam sepanjang perjalanan ke rumah. Mungkin Revan mengerti apa yang istrinya itu rasakan malam ini."Kamu cemburu, tadi Bunga ke kantor?" tebak Revan, dia memacu mobilnya dengan cepat, supaya cepat sampai ke rumah. Ingin cepat menyelesaikan masalah ini. Ya, coba saja kalau tidak selesai. Jatah pagi nanti tidak ada, dong? Begitu pikir Revan."Ya, lagian ngapain, si dia ke kantor tadi? Dia jelas banget dulu suka sama kamu," sungut Venca, meninggikan suara, dia sebal setengah mati tadi ketika melihat Bunga sedang menatap suaminya dan jelas sekali bukan tatapan dendam atau marah.Revan mengulum senyuman, dia senang lihat istrinya cemburu begitu. Terus terang saja. Kalau perlu Venca cemburu setiap hari boleh, Revan akan dengan senang hati melihatnya.Cemburu itu tandanya sayang, kan? Menurut Revan begitu, setelah dua bulan menikah, perlahan dia paham sikap istrinya ini. Cemburuan, Revan menolong nenek-nenek mau nyebrang saj

  • Terjebak Cinta Segitiga   Ancaman untuk Revan

    Aktivitas pagi, rasanya tidak pernah terlewat oleh Revan, jadi hobi sendiri sekarang."Gue liat sebulanan ini, lo telat mulu dateng ke kantor," sindir Gibran.Setelah meeting direksi, lelaki itu membereskan barang sendiri. Revan punya sekretaris baru sekarang. Meski dia tetap ingin Venca yang menjadi sekretarisnya."Kayak enggak tahu aja," balas Revan sambil menaikkan satu alisnya. Lelaki itu lantas mencatat sebagian hasil dari meeting hari itu."Ya, gue tahu, tapi, hampir tiap hari lo telat! Masa bos telat hampir tiap hari," sindir Gibran lagi."Iya, iya, besok gue enggak telat lagi," rutuk Revan. Dia bersungut dalam hati, tidak mungkin juga ditunjukkan ada karyawan yang masih duduk-duduk di ruangan ini, meski perlahan tapi pasti mereka keluar ruangan juga.Seorang resepsionis mencoba menghentikan seorang gadis yang mencoba masuk secara paksa, mencari Revan. Apa daya? Gadis itu terlalu kuat untuk dicegah, percuma kalau panggil s

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status