Home / Romansa / Terjebak Cinta Segitiga / Pria Bernama Tara

Share

Pria Bernama Tara

last update Last Updated: 2021-04-08 21:20:07

Papa tersenyum lembut, dia hanya berpikir malam ini butuh bantuan anaknya, ada pekerjaan yang tidak bisa dia handle sendiri.  

Lelaki tengah baya melangkah ke dalam kamar, menepuk pundak anak paling besarnya. “Papa mau bicara, boleh masuk?” 

“Boleh,” jawab Revan, “kenapa enggak?” Anak itu menggeser badan, papa merangkul bahu anaknya itu, masuk ke dalam kamar, “duduk, Pa,” Papa duduk di kursi meja kerja yang terbuat dari kayu. 

“Ya,” Mata papa terlihat berkeliling kamar dia menghela napas, lalu menatap anaknya yang duduk di tepian ranjang. “Gini, Re, bulan depan, mau kan kamu temani Papa, ada perjanjian bisnis yang harus disepakati, dan juga ada beberapa hal yang harus dipelajari dari bidang bisnis ini di sana.” 

Tentu saja, sebagai anak yang berbakti, Revan, mau-mau saja, tidak ada halangan bukan? 

“Dan juga, papa sekali lagi minta tolong, setelah pulang dari Amerika, kamu bisa pimpin perusahaan Papa, salah satu saja, kamu bisa pegang yang dibidang retail, rasanya papa enggak sanggup menangani sendirian, terlalu lelah.”

Revan mengangguk, tidak bisa lagi mengelak dari semua permintaan papa.  

“Tapi, Papa juga enggak bisa paksa kalau kamu lebih ingin mengurusi perusahaanmu sendiri.”

Re tersenyum, “tentu saja, Re akan bantu papa.” Katanya sepenuh hati. 

“Lalu, bagaimana dengan usahamu itu?” Papa mengerutkan dahi, sebenarnya dia tidak ingin memaksakan kehendak kepada anak-anaknya. 

“Re nanti akan ada yang bantu. Masalah perusahaan, Re akan meminta bantuan teman sendiri, itu saja, Pa. Re, tetap bisa membantu papa.” 

“Baiklah, kalau begitu.” Papa bangkit dari duduknya, dia melangkah ke pintu keluar. Sebelum memutar kenop, lelaki tua itu menoleh. “Re, ada baiknya jika memang kamu tidak mampu menjalankan semuanya. Toh, Papa tidak memaksakan semua kepadamu. Papa hanya minta, pimpinlah dewan direksi nanti, karena, biar bagaimana pun, di deretan share holder, Papa yang pegang kendali. Jadi, mulai besok, akan Papa buat surat pengalihan jika terjadi apa-apa pada diri Papa.”

Tentu saja, Rei kaget mendengarnya, dengan cepat, dia mendekati Papa, hingga lelaki tengah baya itu terpaku. 

“Tapi, Papa enggak apa-apa ‘kan?” Re khawatir, sungguh, jantungnya berdetak kencang saat ini. 

“Tidak, Re, Papa dalam keadaan sehat. Hanya saja, beberapa hari ini, Papa merasa, akan lebih tenang kalau ada yang membantu mengurusi perusahaan,” jawab Papa dengan tenang. “Cukup tiga puluh tahun menangani ini dan itu—terimbas badai moneter dan juga krisis yang lain. Rasanya …. Papa lelah sekarang.”  

Papa Revan kalau berbicara memang selalu begitu, mnampu menampik segala kegelisahan dan juga keraguan. Itu yang sekarang Revan rasakan ketika berbicara dengan papanya, dia memantapkan dalam hati akan membantu. 

“Tenang, Pa, Re pasti akan bantu.” 

Papa menjawab itu dengan senyuman. Lalu, dengan mantap keluar dari kamar anak sulungnya itu. 

Re harus mengatakan kepada Caca soal kepergiannya ke Amerika. Namun, dengan latar belakang yang dia karang sendiri, mana mungkin dia akan pergi ke negeri Paman Sam? 

Malam ini, lelaki itu bingung menentukan bagaimana caranya berbicara dengan pujaan hatinya. s

***

Sementara, paginya, Caca, bangun dengan malas. Bukan karena Re yang absen menelepon, tetapi karena pikirannya sibuk menebak nanti ketika di rumah bude Amir.

Apa tujuan ibu mengajaknya ke sana. Tumben-tumbenan, mana pernah, enggak ada angin atau hujan, ke rumah yang jauh itu. Sekitaran Jakarta Utara. 

Mobil yang di tumpamgi Caca dan ibu sampai di sebuah rumah besar. Depannya ada pohon mangga menambah sejuk suasana teras yang besar. 

Si tuan rumah memang mempersilakan masuk, tetapi, kesejukan yang ada di teras membuat enggan meninggalkan kursi yang terbuat dari bambu, berlapis jok dari busa yang empuk. 

“Jeng, Ratna,” sapa Bude Amir dari dalam rumah. 

Ibu Caca, berdiri. Membuka kedua tangan untuk Bude Amir yang menghampiri penuh dengan semringah. 

“Apa, kabar, Dik?” tanya Bu Ratna. 

“Lho, ya, baik, Jeng.” Matanya lantas berpindah ke Caca yang sedang berdiri menunduk. “Lho, ini pasti Caca, tho?” 

Ibu bergeser, agar Bude Amir bisa menghampiri Caca. 

“Ayu ne, iki udah besar,” tutur Bude Amir. “Masuk aja, yuk, Jeng, Ca,” ajak perempuan lima puluhan itu. Dengan menggamit lengan Caca—membuat gadis itu gugup sendiri. 

Mereka memasuki rumah lebar itu. Lalu duduk disalah sati sofa, tentu saja Caca hanya menurut dan diam. Sementara ibu dan Bude Amir saling berbicara. Tetiba saja, gadis berkerudung itu  mengeluarkan ponsel yang ada di tasnya. Mengirim beberapa pesan ke Re, selain ke atasan tempat dia bekerja. 

Di pendengaran masih terdengar betapa ramainya ibu dan Bude Amir berbicara dan juga terkadang saling tertawa dengan keras. 

“Aku lho, Jeng, udah enggak sabar menimang cucu, ya, Ca, gimana?” 

Bude Amir mencolek tangan Caca yang duduk di sampingnya. Wajah ibu juga menatap dirinya, seperti menuntut jawaban agar menerima dan setuju saja dengan Bude Amir. 

Caca masih tertegun. “Ya, semoga, Bude, cepat punya cucu nanti. Amin.” Ujarnya dia tidak peduli dengan apa pun, hanya gembira menerima pesan singkat dari Re, dan juga membuncah rasanya ketika salah satu teman lama mengajak bertemu. 

Bude Amir bangkit dari sofa, entah mau ke mana, perempuan itu. Ibu yang jelas mendekat ke arah Caca.

“Ca,Ca,” panggil ibu, membuat Caca mendalihkan pandangan. Ibu menatap sekelilingnya, lalu berbisik. “Bude Amir mau kenalin anaknya, lho, guanteng,” tuturnya sambil mengacungkan jempol. 

“Oh,” sahut Caca singkat. Dia kembali menekuri ponselnya. 

“Lho, piye, tho, apa kamu enggak tertarik?” Wajah ibu seketika berubah masam. Dia yakin sekali Caca enggan karena lelaki yang sering dia ceritakan itu. “Dari pada, kamu percaya sama orang yang enggak tahu juntrungannya, mana bisa dia disebut pacar, ketemuan aja belum pernah.”

Sindiran ibu cukup membuat dada Caca bergolak marah, dia menatap tajam ibu. “Tapi dia beneran ada, Bu—”

“Ehem, ehem,” Suara Bude Amir mengalihkan pandangan Caca dan ibunya. 

Bude Amir semringah, datang bersama seorang pria tinggi, bersih, bercelana pendek. 

“Caca,” gadis itu berdiri ketika namanya dipanggil Bude Amir. “Ini lho, anak Bude, Tara namanya,” ujar bude. 

Caca tersenyum, menangkup kedua tangan di depan dada. Pria yang bernama Tara itu pun membalas senyum ramah Caca. 

“Cantik, tho anaknya Mbayu Ratna,” tutur Bude Amir. Pria bernama Tara itu hanya tersenyum, matanya tidak berhenti menilik penampilan Caca, mungkin gadis ini cantik, tetapi, dia hanya tergila-gila dengan perempuannya, yang selama ini menemani pria tinggi itu di ranjang. Melenguh dan juga saling memuaskan. 

Caca dengan cepat duduk kembali di sofa, Ibu Caca menyenggol tangan anak tengahnya itu. gadis berkerudung itu menoleh, menatap tajam ibu.    

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Cinta Segitiga   Hidup yang Terus Berjalan

    Revan bersungut-sungut seringnya begitu sejak Venca hamil. Tetapi dalam hati, dia paham. Masa ini harus dilewati.Belikan rujak juhi, es krim malam-malam, ketoprak super pedes, es boba taro bergelas-gelas. Semuanya Venca makan, tidak ada yang dia buang. Jalan-jalan ke mal, beli ini dan itu, apalagi soal belanja barang buat bayi, Venca paling semangat habiskan uang suaminya.Sekilas dalam hati Revan bertanya sendiri, yang dikandung Venca, bener anak manusia atau apa?Meski begitu, hari-hari, Venca masih bekerja sebagai general manajer di tempat Revan. Kehamilan sepertinya bukan halangan untuk dia terus berkarya, mesti sering uring-uringan. Dan mengeluh capek kakinya pegel apalagi kandungan makin besar, punggungnya ikut pegal, pinggang kayak mau patah dan lain-lain."Biar, makanya Venca tinggal aja di rumah Ibu, kan di sini ada yang disuruh-suruh, jadi Nak Revan enggak kecapek-an. Kasian suami kamu udah capek di kantor," tutur Ibu ke Venca,

  • Terjebak Cinta Segitiga   Venca yang Ngidam

    Penuturan papa Tara memang ada benarnya, yang mendengarnya pun manggut-manggut.Rumah besar itu masih riuhbdengan tamu undangan yang rerata hanya kekuarga dekat saja. Termasuk kakak almarhumah mama Tara. Diskusi para orang tua juga masih berlanjut, kebanyakan mereka bahagia dengan kemajuan yang dicapai oleh anak-anak mereka."Lha, yang dampingi kita ini, Dik, mesti kita rangkul, sayangi juga. Jangan sampe kamu kayak saya. Tidak pernah tahu keinginan istri saya, hanya menekan dia selalu sempurna, mengikuti-kata saya, dia tertekan." Wajah mendung itu kembali muram, hujan mungkin sebentar lagi."Sudah, Mas, sudah jalan Allah seperti itu," ucap ibu Venca. Banyak mengkhawarirkan keadaan papa Tara sebenarnya, apalagi dia mendengar, kalau papa Tara kebanyakan melamun dan juga menghabiskan waktu sendirian.Papa Tara mengangguk, rasa bersalah ini memang selalu hinggap, mungkin ini akan selamanya menempel dalam hati. Sampai nanti, hingga dia mati."S

  • Terjebak Cinta Segitiga   Akad Ulang Tara dan Rani

    Rani galau, tetapi bukan terhadap Tara dan pernikahan ulangnya. Dia memikirkan papa Tara."Kamu enggak khawatir sama Papa kamu, Tar?" tanya Rani pada akhirnya, dia bertanya disela mau berangkat ke kantor, perjalanan macet yang menyebalkan. Matahari jam tujuh pagi seperti sudah tengah hari."Khawatir, tapi mau bagaimana lagi? Masa iya, aku tentang kemauan Papa? Dia sudah menentukan pilihannya, Ran. Mau tinggal di panti jompo, mungkin dia akan sedikit ceria, paling tidak bahagia, bisa bertemu orang yang seumuran dengannya," tutur Tara, sesekali dia menoleh ke arah Rani."Ya, mungkin juga," ucap Rani."Kamu mau undang siapa aja pas akad ulang nanti?" Tara bertanya.Rani tampaknya terlihat memicing, karena sinar matahari yang langsung menusuk retinanya. Dia menarik napas. "Paling Ibu, Bapak, Venca dan keluarga.""Oh iya, gimana kabar Venca?" tanya Tara.Ini hal yang sedikit membuat Rani kesal setengah mati kalau Tara

  • Terjebak Cinta Segitiga   Tara dan Papa

    "Bagaimana, Tara soal akad ulang-mu?"Papa pagi ini bertanya soal akad ulang Tara dengan Rani. Saran dari Papa memang, demi sah secara agama dan juga tercatat di pemerintahan.Pasangan yang sah secara agama itu duduk di seberang Papa. Tampak semringah ketika Papa bertanya seperti itu. Ada rasa lega, ketika Papa bisa menerima, apalagi di rumahnya. Dan meminta tinggal di sana, satu atap, dan Tara anggap, yang penting akur! Karena sulit sekali memahami Papa, begitu menurut Tara dan Rani."Insyaallah, jadi, Pa. Dua minggu lagi. Surat-suratnya sudah jadi, kita tinggal ijab saja," papar Tara. Dia saling bertatap dengan Rani yang ada di sampingnya."Baguslah," sahut Papa datar. Sejak Mama meninggal, Tara dan Rani tinggal di rumah Papa, mereka banyak bersimpatik, tetapi tidak bisa memberikan kebahagiaan yang lain selain, menemani Papa siang dan malam.Tentu saja bergantian, Tara dan Rani dari pagi harus bekerja. Keadaan Papa memprihatinkan, b

  • Terjebak Cinta Segitiga   Venca yang Cemburu

    Venca masih terdiam sepanjang perjalanan ke rumah. Mungkin Revan mengerti apa yang istrinya itu rasakan malam ini."Kamu cemburu, tadi Bunga ke kantor?" tebak Revan, dia memacu mobilnya dengan cepat, supaya cepat sampai ke rumah. Ingin cepat menyelesaikan masalah ini. Ya, coba saja kalau tidak selesai. Jatah pagi nanti tidak ada, dong? Begitu pikir Revan."Ya, lagian ngapain, si dia ke kantor tadi? Dia jelas banget dulu suka sama kamu," sungut Venca, meninggikan suara, dia sebal setengah mati tadi ketika melihat Bunga sedang menatap suaminya dan jelas sekali bukan tatapan dendam atau marah.Revan mengulum senyuman, dia senang lihat istrinya cemburu begitu. Terus terang saja. Kalau perlu Venca cemburu setiap hari boleh, Revan akan dengan senang hati melihatnya.Cemburu itu tandanya sayang, kan? Menurut Revan begitu, setelah dua bulan menikah, perlahan dia paham sikap istrinya ini. Cemburuan, Revan menolong nenek-nenek mau nyebrang saj

  • Terjebak Cinta Segitiga   Ancaman untuk Revan

    Aktivitas pagi, rasanya tidak pernah terlewat oleh Revan, jadi hobi sendiri sekarang."Gue liat sebulanan ini, lo telat mulu dateng ke kantor," sindir Gibran.Setelah meeting direksi, lelaki itu membereskan barang sendiri. Revan punya sekretaris baru sekarang. Meski dia tetap ingin Venca yang menjadi sekretarisnya."Kayak enggak tahu aja," balas Revan sambil menaikkan satu alisnya. Lelaki itu lantas mencatat sebagian hasil dari meeting hari itu."Ya, gue tahu, tapi, hampir tiap hari lo telat! Masa bos telat hampir tiap hari," sindir Gibran lagi."Iya, iya, besok gue enggak telat lagi," rutuk Revan. Dia bersungut dalam hati, tidak mungkin juga ditunjukkan ada karyawan yang masih duduk-duduk di ruangan ini, meski perlahan tapi pasti mereka keluar ruangan juga.Seorang resepsionis mencoba menghentikan seorang gadis yang mencoba masuk secara paksa, mencari Revan. Apa daya? Gadis itu terlalu kuat untuk dicegah, percuma kalau panggil s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status