Share

Pria Bernama Tara

Papa tersenyum lembut, dia hanya berpikir malam ini butuh bantuan anaknya, ada pekerjaan yang tidak bisa dia handle sendiri.  

Lelaki tengah baya melangkah ke dalam kamar, menepuk pundak anak paling besarnya. “Papa mau bicara, boleh masuk?” 

“Boleh,” jawab Revan, “kenapa enggak?” Anak itu menggeser badan, papa merangkul bahu anaknya itu, masuk ke dalam kamar, “duduk, Pa,” Papa duduk di kursi meja kerja yang terbuat dari kayu. 

“Ya,” Mata papa terlihat berkeliling kamar dia menghela napas, lalu menatap anaknya yang duduk di tepian ranjang. “Gini, Re, bulan depan, mau kan kamu temani Papa, ada perjanjian bisnis yang harus disepakati, dan juga ada beberapa hal yang harus dipelajari dari bidang bisnis ini di sana.” 

Tentu saja, sebagai anak yang berbakti, Revan, mau-mau saja, tidak ada halangan bukan? 

“Dan juga, papa sekali lagi minta tolong, setelah pulang dari Amerika, kamu bisa pimpin perusahaan Papa, salah satu saja, kamu bisa pegang yang dibidang retail, rasanya papa enggak sanggup menangani sendirian, terlalu lelah.”

Revan mengangguk, tidak bisa lagi mengelak dari semua permintaan papa.  

“Tapi, Papa juga enggak bisa paksa kalau kamu lebih ingin mengurusi perusahaanmu sendiri.”

Re tersenyum, “tentu saja, Re akan bantu papa.” Katanya sepenuh hati. 

“Lalu, bagaimana dengan usahamu itu?” Papa mengerutkan dahi, sebenarnya dia tidak ingin memaksakan kehendak kepada anak-anaknya. 

“Re nanti akan ada yang bantu. Masalah perusahaan, Re akan meminta bantuan teman sendiri, itu saja, Pa. Re, tetap bisa membantu papa.” 

“Baiklah, kalau begitu.” Papa bangkit dari duduknya, dia melangkah ke pintu keluar. Sebelum memutar kenop, lelaki tua itu menoleh. “Re, ada baiknya jika memang kamu tidak mampu menjalankan semuanya. Toh, Papa tidak memaksakan semua kepadamu. Papa hanya minta, pimpinlah dewan direksi nanti, karena, biar bagaimana pun, di deretan share holder, Papa yang pegang kendali. Jadi, mulai besok, akan Papa buat surat pengalihan jika terjadi apa-apa pada diri Papa.”

Tentu saja, Rei kaget mendengarnya, dengan cepat, dia mendekati Papa, hingga lelaki tengah baya itu terpaku. 

“Tapi, Papa enggak apa-apa ‘kan?” Re khawatir, sungguh, jantungnya berdetak kencang saat ini. 

“Tidak, Re, Papa dalam keadaan sehat. Hanya saja, beberapa hari ini, Papa merasa, akan lebih tenang kalau ada yang membantu mengurusi perusahaan,” jawab Papa dengan tenang. “Cukup tiga puluh tahun menangani ini dan itu—terimbas badai moneter dan juga krisis yang lain. Rasanya …. Papa lelah sekarang.”  

Papa Revan kalau berbicara memang selalu begitu, mnampu menampik segala kegelisahan dan juga keraguan. Itu yang sekarang Revan rasakan ketika berbicara dengan papanya, dia memantapkan dalam hati akan membantu. 

“Tenang, Pa, Re pasti akan bantu.” 

Papa menjawab itu dengan senyuman. Lalu, dengan mantap keluar dari kamar anak sulungnya itu. 

Re harus mengatakan kepada Caca soal kepergiannya ke Amerika. Namun, dengan latar belakang yang dia karang sendiri, mana mungkin dia akan pergi ke negeri Paman Sam? 

Malam ini, lelaki itu bingung menentukan bagaimana caranya berbicara dengan pujaan hatinya. s

***

Sementara, paginya, Caca, bangun dengan malas. Bukan karena Re yang absen menelepon, tetapi karena pikirannya sibuk menebak nanti ketika di rumah bude Amir.

Apa tujuan ibu mengajaknya ke sana. Tumben-tumbenan, mana pernah, enggak ada angin atau hujan, ke rumah yang jauh itu. Sekitaran Jakarta Utara. 

Mobil yang di tumpamgi Caca dan ibu sampai di sebuah rumah besar. Depannya ada pohon mangga menambah sejuk suasana teras yang besar. 

Si tuan rumah memang mempersilakan masuk, tetapi, kesejukan yang ada di teras membuat enggan meninggalkan kursi yang terbuat dari bambu, berlapis jok dari busa yang empuk. 

“Jeng, Ratna,” sapa Bude Amir dari dalam rumah. 

Ibu Caca, berdiri. Membuka kedua tangan untuk Bude Amir yang menghampiri penuh dengan semringah. 

“Apa, kabar, Dik?” tanya Bu Ratna. 

“Lho, ya, baik, Jeng.” Matanya lantas berpindah ke Caca yang sedang berdiri menunduk. “Lho, ini pasti Caca, tho?” 

Ibu bergeser, agar Bude Amir bisa menghampiri Caca. 

“Ayu ne, iki udah besar,” tutur Bude Amir. “Masuk aja, yuk, Jeng, Ca,” ajak perempuan lima puluhan itu. Dengan menggamit lengan Caca—membuat gadis itu gugup sendiri. 

Mereka memasuki rumah lebar itu. Lalu duduk disalah sati sofa, tentu saja Caca hanya menurut dan diam. Sementara ibu dan Bude Amir saling berbicara. Tetiba saja, gadis berkerudung itu  mengeluarkan ponsel yang ada di tasnya. Mengirim beberapa pesan ke Re, selain ke atasan tempat dia bekerja. 

Di pendengaran masih terdengar betapa ramainya ibu dan Bude Amir berbicara dan juga terkadang saling tertawa dengan keras. 

“Aku lho, Jeng, udah enggak sabar menimang cucu, ya, Ca, gimana?” 

Bude Amir mencolek tangan Caca yang duduk di sampingnya. Wajah ibu juga menatap dirinya, seperti menuntut jawaban agar menerima dan setuju saja dengan Bude Amir. 

Caca masih tertegun. “Ya, semoga, Bude, cepat punya cucu nanti. Amin.” Ujarnya dia tidak peduli dengan apa pun, hanya gembira menerima pesan singkat dari Re, dan juga membuncah rasanya ketika salah satu teman lama mengajak bertemu. 

Bude Amir bangkit dari sofa, entah mau ke mana, perempuan itu. Ibu yang jelas mendekat ke arah Caca.

“Ca,Ca,” panggil ibu, membuat Caca mendalihkan pandangan. Ibu menatap sekelilingnya, lalu berbisik. “Bude Amir mau kenalin anaknya, lho, guanteng,” tuturnya sambil mengacungkan jempol. 

“Oh,” sahut Caca singkat. Dia kembali menekuri ponselnya. 

“Lho, piye, tho, apa kamu enggak tertarik?” Wajah ibu seketika berubah masam. Dia yakin sekali Caca enggan karena lelaki yang sering dia ceritakan itu. “Dari pada, kamu percaya sama orang yang enggak tahu juntrungannya, mana bisa dia disebut pacar, ketemuan aja belum pernah.”

Sindiran ibu cukup membuat dada Caca bergolak marah, dia menatap tajam ibu. “Tapi dia beneran ada, Bu—”

“Ehem, ehem,” Suara Bude Amir mengalihkan pandangan Caca dan ibunya. 

Bude Amir semringah, datang bersama seorang pria tinggi, bersih, bercelana pendek. 

“Caca,” gadis itu berdiri ketika namanya dipanggil Bude Amir. “Ini lho, anak Bude, Tara namanya,” ujar bude. 

Caca tersenyum, menangkup kedua tangan di depan dada. Pria yang bernama Tara itu pun membalas senyum ramah Caca. 

“Cantik, tho anaknya Mbayu Ratna,” tutur Bude Amir. Pria bernama Tara itu hanya tersenyum, matanya tidak berhenti menilik penampilan Caca, mungkin gadis ini cantik, tetapi, dia hanya tergila-gila dengan perempuannya, yang selama ini menemani pria tinggi itu di ranjang. Melenguh dan juga saling memuaskan. 

Caca dengan cepat duduk kembali di sofa, Ibu Caca menyenggol tangan anak tengahnya itu. gadis berkerudung itu menoleh, menatap tajam ibu.    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status