Share

Revan

last update Last Updated: 2021-04-04 02:12:53

Andrevan Manantara.

[Assalamualaikum, Rei. Caca udah ada di kantor.]

Pria bertinggi seratus delapan puluh itu tersenyum. Membaca pesan singkat yang dikirim. Panggilan Caca sepertinya sudah sangat familier di telinga. Apa lagi suaranya yang merdu itu. Waktu rasanya ingin dia berhentikan, hanya ingin mendengarkan tawa renyahnya, atau keluh kesah manja gadis itu.

[Iya, Ca, nanti malam kita teleponan lagi, ya.] 

Untuk Andrevan, dekat dengan seorang gadis rasanya pantang. Melihat wajah sekretarisnya saja dia enggan, bahkan tidak tahu bagaimana rupanya. Padahal, hari-hari harus berurusan dengan perempuan itu.

Balasan dari Caca sekali lagi membuat senyuman di bibirnya tiada sirna. [Iya, Re.] 

Pria itu menuruni tangga panjang menuju meja makan tempat keluarganya sarapan. Dia melihat sudah ada ambu duduk di salah satu kursi. 

“Repan, kamu sarapan dulu, anak ambu ….”

Itu ibu Andrevan, anak itu memang dipanggil Repan oleh ibu tercinta. Sulit baginya mengganti P dengan V atau F. 

“Revan, Ambu ….” Protesnya, sambil menarik kursi meja makan. 

Beda lagi, adiknya Safia, yang baru saja bangun, masih menguap tetapi sudah mengenyakkan badan di kursi meja makan.

“Haduh, bau jigong!” pekik abangnya. 

“Enak aja,” protes Safia. “Lagian gue enggak bisa tidur gara-gara lo, ni. Ambu, malam-malam si abang tu cekakak cekikik enggak jelas, ganggu, tahu!”

“Dih, enggak kenceng juga!” protes Revan lagi. 

Mata ambu masih bergerak bergantian memandang anak-anaknya yang tengah berdebat. 

“Kedengeran, tahu, enggak?”

“Kalo lo denger, berarti lo rempong, emang pengen nguping,” kilah kakak satu-satunya itu.

“Enak aja, gue nguping! Emang suara lo kedengeran kok, dari balkon. Lagian itu siapa, si?”

Ambu masih diam sambil mengunyah nasi goreng, melihat kedua anak ini berdebat, mengisi pendengaran pagi ini. 

“Ada, deh …” sanggah pria berusia dua delapan itu. 

“Bu, tahu enggak, semalam aku dengar, dia mau melamar, enggak mungkin dong, yang dilamar itu lelaki.”

“Ih, Safia ember.” Wajah Revan menyeringai, tangannya mencubit tangan adik satu-satunya. 

“Lho, emang iya, salah sendiri lagian ngobrol di balkon kamar, kedengeran kan sampe kamar gue.”

Ambu mulai penasaran. “Siapa, Pan?”

“Enggak ada. Kok, Mbu.” 

“Serius ya, kalo dia bukan siapa-siapa, gue sumpahin, lo…”

Omongannya keburu terputus, Revan bangkit dari duduknya, membekap mulut adiknya itu. 

“Enggak, Mbu, Revan berangkat dulu.” Dengan cepat, pria bertubuh atletis itu menyambar tangan ambu, mencium punggung tangannya. 

Kemudian, seperti melesat keluar. Melajukan mobil mewahnya menuju kantor pribadinya. Sekitar satu jam perjalanan dari rumahnya. 

Andrevan mungkin salah satu pengusaha muda sukses yang bertarung dibelantara Ibu Kota, Bandung. Tepat, empat tahun lalu ayahnya memberi kepercayaan untuk memulai usaha sendiri. Dibidang arsitektur. Kini, usahanya maju, aneka macam klien berdatangan, lokal dari Bandung maupun dari kota lain. 

Puas? Tidak, dia ingin merambah kota besar Jakarta untuk pembukaan kantor cabang di sana. Dan, menunjuk dirinya sendiri sebagai direktur untuk memimpin sendiri perusahaan kecil-kecilannya. Satu targetnya: menaklukan Jakarta! 

Dan juga, ingin bertemu dengan pujaan hatinya, si bintang fajar, Venca. Foto gadis itu dia cetak beberapa ketika saling bertukar, lalu dipajang di mobil, di nakas dekat tempat tidur, lalu di meja kerjanya. 

Hatinya memang penuh akan rasa untuk gadis itu. Tidak ada alasan untuk tidak menemui gadis itu sebenarnya, dia hanya menunggu, sekalian nanti pindah ke Jakarta. Dalam hitungannya, pindahan, lalu datang ke rumah gadis itu lalu menikah secepatnya. 

Ah, rasanya membuat pria yang selalu berpakaian santai itu tidak sabar ingin segera bertemu pujaan hatinya.

“Venca Hadipranoto,” gumamnya dalam hati. Gegara gadis itu juga dia semakin bersemangat beribadah. 

Bukan selalu lalai, tetapi, kadar waktu untuk beribadah makin bertambah. 

“Pak, ayahnya sudah datang, ini buat meeting jam sembilan.” Sekretarisnya itu memasuki ruangan, mengingatkan rapat final untuk ekspansi ke Jakarta.

Tanpa mengalihkan pandangan dari komputernya, dia berkata, “Masa? Ini baru jam delapan,” sambil melirik pergelangan tangan. 

“Iya, Pak, katanya ada yang penting yang mesti disampaikan dulu,” Sekretarisnya itu berkata lagi. “Sama ini, Pak, tagihan ke klien yang perlu bapak tanda tangan.” Perempuan muda itu menyodorkan map dengan sopan ke depan wajah pria berwajah tegas itu. 

“Ya, ini harus sekarang? Saya mau bertemu ayah dulu.” Matanya menatap map yang disodorkan oleh sekretarisnya itu.

“Nanti aja, bisa, Pak, supaya bisa kasih ke bagian keuangan. Jadi bisa ditagih.”

“Oke.” Revan yang bertubuh tinggi  itu bangkit, dengan cepat keluar dari ruangannya. Melewati beberapa meja kubikal hingga ke ruangan rapat kecil. Karyawannya memang tak banyak. Namun, semuanya bisa dia jalankan dengan baik.

Ayahnya sudah duduk di salah satu kursi. Sambil mengelus pelan dagu. 

“Pagi, Yah,” sapa anak itu, lalu mengenyakkan badan di kursi sebelah lelaki lima puluhan itu. 

“Re, ayah baru baca laporan keuangan ini.”

“Ada masalah, Yah?”

“Ayah pikir enggak ada.”

Anaknya itu menghela napas, lega. 

“Re, rencana kamu ekspansi ke Jakarta, apakah sudah dipikirkan baik-baik?”

“Sudah, Yah. Ada sebagian klien juga di sana. Ada beberapa disain yang sudah final akan masuk di beberapa perusahaan.” Jelas Revan.

“Bagus kalau begitu.”

“Alhamdulillah.” Balas anak lelaki satu-satunya itu.

 “Lalu, bagaimana karyawan kamu di sini, Rei? apakah kantor di sini akan tutup? Jangan kamu lupakan mereka walau hanya segelinti orang.”

“Bagaimana bisa Revan melupakan mereka, di sini akan Rei pantau langsung dengan bantuan karyawan yang sudah senior di sini, dia wakil Rei, saya pikir, dia sudah sangat mengetahui seluk beluk perusahaan ini.”

“Ayah pikir, ini semua sudah bisa kamu atasi, Rei. Bagaimana soal jodoh, hm?”

Tubuh Re menegak. “Ada angin apa ayah bertanya begitu?”

“Tidak, barangkali kamu berminat dengan anaknya teman ayah.”

Re menggeleng dengan sopan.

“Baik, ayah mengerti. Pastinya, kamu sudah mempunyai tambatan hati. Jangan terlalu lama menyendiri, Revan. Jangan sampai terlalu tua untuk berkeluarga.”

“Insyaallah, enggak, Yah.”

“Dan, satu lagi, Re. Ayah masih berharap, perusahaan ayah bisa kamu pegang juga, rasanya sudah tua sekali tubuh dan pikiran ini. Walau sekarang ayah sudah serahkan ke dewan direksi, tetap saja, harapan ayah itu, kamu. Kalau Safia, perempuan. Mungkin nanti bisa kalau dia menikah, suaminya membantu mengurus perusahaan.” Ayah menarik napas sejenak. “Tentu saja, ayah tidak memaksa.”

“Baik, Yah. Akan Revan coba.”

“Ya, kamu harus segera memantaunya, biar bagaimana juga, perusahaan ayah itu rintisan, sedari kita tidak punya apa-apa, hingga besar seperti sekarang.”

“Iya, Yah. Revan akan pikirkan baik-baik.”

“Tolong ayah, Revan.” 

“Iya, ayah, sebisa mungkin Revan akan berusaha dengan sungguh.”

Wajah tua penuh dengan kerutan itu tersenyum. Biar bagaimana pun ini beban yang harus Revan tanggung, demi masa depan perusahaan ayah. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Cinta Segitiga   Hidup yang Terus Berjalan

    Revan bersungut-sungut seringnya begitu sejak Venca hamil. Tetapi dalam hati, dia paham. Masa ini harus dilewati.Belikan rujak juhi, es krim malam-malam, ketoprak super pedes, es boba taro bergelas-gelas. Semuanya Venca makan, tidak ada yang dia buang. Jalan-jalan ke mal, beli ini dan itu, apalagi soal belanja barang buat bayi, Venca paling semangat habiskan uang suaminya.Sekilas dalam hati Revan bertanya sendiri, yang dikandung Venca, bener anak manusia atau apa?Meski begitu, hari-hari, Venca masih bekerja sebagai general manajer di tempat Revan. Kehamilan sepertinya bukan halangan untuk dia terus berkarya, mesti sering uring-uringan. Dan mengeluh capek kakinya pegel apalagi kandungan makin besar, punggungnya ikut pegal, pinggang kayak mau patah dan lain-lain."Biar, makanya Venca tinggal aja di rumah Ibu, kan di sini ada yang disuruh-suruh, jadi Nak Revan enggak kecapek-an. Kasian suami kamu udah capek di kantor," tutur Ibu ke Venca,

  • Terjebak Cinta Segitiga   Venca yang Ngidam

    Penuturan papa Tara memang ada benarnya, yang mendengarnya pun manggut-manggut.Rumah besar itu masih riuhbdengan tamu undangan yang rerata hanya kekuarga dekat saja. Termasuk kakak almarhumah mama Tara. Diskusi para orang tua juga masih berlanjut, kebanyakan mereka bahagia dengan kemajuan yang dicapai oleh anak-anak mereka."Lha, yang dampingi kita ini, Dik, mesti kita rangkul, sayangi juga. Jangan sampe kamu kayak saya. Tidak pernah tahu keinginan istri saya, hanya menekan dia selalu sempurna, mengikuti-kata saya, dia tertekan." Wajah mendung itu kembali muram, hujan mungkin sebentar lagi."Sudah, Mas, sudah jalan Allah seperti itu," ucap ibu Venca. Banyak mengkhawarirkan keadaan papa Tara sebenarnya, apalagi dia mendengar, kalau papa Tara kebanyakan melamun dan juga menghabiskan waktu sendirian.Papa Tara mengangguk, rasa bersalah ini memang selalu hinggap, mungkin ini akan selamanya menempel dalam hati. Sampai nanti, hingga dia mati."S

  • Terjebak Cinta Segitiga   Akad Ulang Tara dan Rani

    Rani galau, tetapi bukan terhadap Tara dan pernikahan ulangnya. Dia memikirkan papa Tara."Kamu enggak khawatir sama Papa kamu, Tar?" tanya Rani pada akhirnya, dia bertanya disela mau berangkat ke kantor, perjalanan macet yang menyebalkan. Matahari jam tujuh pagi seperti sudah tengah hari."Khawatir, tapi mau bagaimana lagi? Masa iya, aku tentang kemauan Papa? Dia sudah menentukan pilihannya, Ran. Mau tinggal di panti jompo, mungkin dia akan sedikit ceria, paling tidak bahagia, bisa bertemu orang yang seumuran dengannya," tutur Tara, sesekali dia menoleh ke arah Rani."Ya, mungkin juga," ucap Rani."Kamu mau undang siapa aja pas akad ulang nanti?" Tara bertanya.Rani tampaknya terlihat memicing, karena sinar matahari yang langsung menusuk retinanya. Dia menarik napas. "Paling Ibu, Bapak, Venca dan keluarga.""Oh iya, gimana kabar Venca?" tanya Tara.Ini hal yang sedikit membuat Rani kesal setengah mati kalau Tara

  • Terjebak Cinta Segitiga   Tara dan Papa

    "Bagaimana, Tara soal akad ulang-mu?"Papa pagi ini bertanya soal akad ulang Tara dengan Rani. Saran dari Papa memang, demi sah secara agama dan juga tercatat di pemerintahan.Pasangan yang sah secara agama itu duduk di seberang Papa. Tampak semringah ketika Papa bertanya seperti itu. Ada rasa lega, ketika Papa bisa menerima, apalagi di rumahnya. Dan meminta tinggal di sana, satu atap, dan Tara anggap, yang penting akur! Karena sulit sekali memahami Papa, begitu menurut Tara dan Rani."Insyaallah, jadi, Pa. Dua minggu lagi. Surat-suratnya sudah jadi, kita tinggal ijab saja," papar Tara. Dia saling bertatap dengan Rani yang ada di sampingnya."Baguslah," sahut Papa datar. Sejak Mama meninggal, Tara dan Rani tinggal di rumah Papa, mereka banyak bersimpatik, tetapi tidak bisa memberikan kebahagiaan yang lain selain, menemani Papa siang dan malam.Tentu saja bergantian, Tara dan Rani dari pagi harus bekerja. Keadaan Papa memprihatinkan, b

  • Terjebak Cinta Segitiga   Venca yang Cemburu

    Venca masih terdiam sepanjang perjalanan ke rumah. Mungkin Revan mengerti apa yang istrinya itu rasakan malam ini."Kamu cemburu, tadi Bunga ke kantor?" tebak Revan, dia memacu mobilnya dengan cepat, supaya cepat sampai ke rumah. Ingin cepat menyelesaikan masalah ini. Ya, coba saja kalau tidak selesai. Jatah pagi nanti tidak ada, dong? Begitu pikir Revan."Ya, lagian ngapain, si dia ke kantor tadi? Dia jelas banget dulu suka sama kamu," sungut Venca, meninggikan suara, dia sebal setengah mati tadi ketika melihat Bunga sedang menatap suaminya dan jelas sekali bukan tatapan dendam atau marah.Revan mengulum senyuman, dia senang lihat istrinya cemburu begitu. Terus terang saja. Kalau perlu Venca cemburu setiap hari boleh, Revan akan dengan senang hati melihatnya.Cemburu itu tandanya sayang, kan? Menurut Revan begitu, setelah dua bulan menikah, perlahan dia paham sikap istrinya ini. Cemburuan, Revan menolong nenek-nenek mau nyebrang saj

  • Terjebak Cinta Segitiga   Ancaman untuk Revan

    Aktivitas pagi, rasanya tidak pernah terlewat oleh Revan, jadi hobi sendiri sekarang."Gue liat sebulanan ini, lo telat mulu dateng ke kantor," sindir Gibran.Setelah meeting direksi, lelaki itu membereskan barang sendiri. Revan punya sekretaris baru sekarang. Meski dia tetap ingin Venca yang menjadi sekretarisnya."Kayak enggak tahu aja," balas Revan sambil menaikkan satu alisnya. Lelaki itu lantas mencatat sebagian hasil dari meeting hari itu."Ya, gue tahu, tapi, hampir tiap hari lo telat! Masa bos telat hampir tiap hari," sindir Gibran lagi."Iya, iya, besok gue enggak telat lagi," rutuk Revan. Dia bersungut dalam hati, tidak mungkin juga ditunjukkan ada karyawan yang masih duduk-duduk di ruangan ini, meski perlahan tapi pasti mereka keluar ruangan juga.Seorang resepsionis mencoba menghentikan seorang gadis yang mencoba masuk secara paksa, mencari Revan. Apa daya? Gadis itu terlalu kuat untuk dicegah, percuma kalau panggil s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status