Share

Revan

Andrevan Manantara.

[Assalamualaikum, Rei. Caca udah ada di kantor.]

Pria bertinggi seratus delapan puluh itu tersenyum. Membaca pesan singkat yang dikirim. Panggilan Caca sepertinya sudah sangat familier di telinga. Apa lagi suaranya yang merdu itu. Waktu rasanya ingin dia berhentikan, hanya ingin mendengarkan tawa renyahnya, atau keluh kesah manja gadis itu.

[Iya, Ca, nanti malam kita teleponan lagi, ya.] 

Untuk Andrevan, dekat dengan seorang gadis rasanya pantang. Melihat wajah sekretarisnya saja dia enggan, bahkan tidak tahu bagaimana rupanya. Padahal, hari-hari harus berurusan dengan perempuan itu.

Balasan dari Caca sekali lagi membuat senyuman di bibirnya tiada sirna. [Iya, Re.] 

Pria itu menuruni tangga panjang menuju meja makan tempat keluarganya sarapan. Dia melihat sudah ada ambu duduk di salah satu kursi. 

“Repan, kamu sarapan dulu, anak ambu ….”

Itu ibu Andrevan, anak itu memang dipanggil Repan oleh ibu tercinta. Sulit baginya mengganti P dengan V atau F. 

“Revan, Ambu ….” Protesnya, sambil menarik kursi meja makan. 

Beda lagi, adiknya Safia, yang baru saja bangun, masih menguap tetapi sudah mengenyakkan badan di kursi meja makan.

“Haduh, bau jigong!” pekik abangnya. 

“Enak aja,” protes Safia. “Lagian gue enggak bisa tidur gara-gara lo, ni. Ambu, malam-malam si abang tu cekakak cekikik enggak jelas, ganggu, tahu!”

“Dih, enggak kenceng juga!” protes Revan lagi. 

Mata ambu masih bergerak bergantian memandang anak-anaknya yang tengah berdebat. 

“Kedengeran, tahu, enggak?”

“Kalo lo denger, berarti lo rempong, emang pengen nguping,” kilah kakak satu-satunya itu.

“Enak aja, gue nguping! Emang suara lo kedengeran kok, dari balkon. Lagian itu siapa, si?”

Ambu masih diam sambil mengunyah nasi goreng, melihat kedua anak ini berdebat, mengisi pendengaran pagi ini. 

“Ada, deh …” sanggah pria berusia dua delapan itu. 

“Bu, tahu enggak, semalam aku dengar, dia mau melamar, enggak mungkin dong, yang dilamar itu lelaki.”

“Ih, Safia ember.” Wajah Revan menyeringai, tangannya mencubit tangan adik satu-satunya. 

“Lho, emang iya, salah sendiri lagian ngobrol di balkon kamar, kedengeran kan sampe kamar gue.”

Ambu mulai penasaran. “Siapa, Pan?”

“Enggak ada. Kok, Mbu.” 

“Serius ya, kalo dia bukan siapa-siapa, gue sumpahin, lo…”

Omongannya keburu terputus, Revan bangkit dari duduknya, membekap mulut adiknya itu. 

“Enggak, Mbu, Revan berangkat dulu.” Dengan cepat, pria bertubuh atletis itu menyambar tangan ambu, mencium punggung tangannya. 

Kemudian, seperti melesat keluar. Melajukan mobil mewahnya menuju kantor pribadinya. Sekitar satu jam perjalanan dari rumahnya. 

Andrevan mungkin salah satu pengusaha muda sukses yang bertarung dibelantara Ibu Kota, Bandung. Tepat, empat tahun lalu ayahnya memberi kepercayaan untuk memulai usaha sendiri. Dibidang arsitektur. Kini, usahanya maju, aneka macam klien berdatangan, lokal dari Bandung maupun dari kota lain. 

Puas? Tidak, dia ingin merambah kota besar Jakarta untuk pembukaan kantor cabang di sana. Dan, menunjuk dirinya sendiri sebagai direktur untuk memimpin sendiri perusahaan kecil-kecilannya. Satu targetnya: menaklukan Jakarta! 

Dan juga, ingin bertemu dengan pujaan hatinya, si bintang fajar, Venca. Foto gadis itu dia cetak beberapa ketika saling bertukar, lalu dipajang di mobil, di nakas dekat tempat tidur, lalu di meja kerjanya. 

Hatinya memang penuh akan rasa untuk gadis itu. Tidak ada alasan untuk tidak menemui gadis itu sebenarnya, dia hanya menunggu, sekalian nanti pindah ke Jakarta. Dalam hitungannya, pindahan, lalu datang ke rumah gadis itu lalu menikah secepatnya. 

Ah, rasanya membuat pria yang selalu berpakaian santai itu tidak sabar ingin segera bertemu pujaan hatinya.

“Venca Hadipranoto,” gumamnya dalam hati. Gegara gadis itu juga dia semakin bersemangat beribadah. 

Bukan selalu lalai, tetapi, kadar waktu untuk beribadah makin bertambah. 

“Pak, ayahnya sudah datang, ini buat meeting jam sembilan.” Sekretarisnya itu memasuki ruangan, mengingatkan rapat final untuk ekspansi ke Jakarta.

Tanpa mengalihkan pandangan dari komputernya, dia berkata, “Masa? Ini baru jam delapan,” sambil melirik pergelangan tangan. 

“Iya, Pak, katanya ada yang penting yang mesti disampaikan dulu,” Sekretarisnya itu berkata lagi. “Sama ini, Pak, tagihan ke klien yang perlu bapak tanda tangan.” Perempuan muda itu menyodorkan map dengan sopan ke depan wajah pria berwajah tegas itu. 

“Ya, ini harus sekarang? Saya mau bertemu ayah dulu.” Matanya menatap map yang disodorkan oleh sekretarisnya itu.

“Nanti aja, bisa, Pak, supaya bisa kasih ke bagian keuangan. Jadi bisa ditagih.”

“Oke.” Revan yang bertubuh tinggi  itu bangkit, dengan cepat keluar dari ruangannya. Melewati beberapa meja kubikal hingga ke ruangan rapat kecil. Karyawannya memang tak banyak. Namun, semuanya bisa dia jalankan dengan baik.

Ayahnya sudah duduk di salah satu kursi. Sambil mengelus pelan dagu. 

“Pagi, Yah,” sapa anak itu, lalu mengenyakkan badan di kursi sebelah lelaki lima puluhan itu. 

“Re, ayah baru baca laporan keuangan ini.”

“Ada masalah, Yah?”

“Ayah pikir enggak ada.”

Anaknya itu menghela napas, lega. 

“Re, rencana kamu ekspansi ke Jakarta, apakah sudah dipikirkan baik-baik?”

“Sudah, Yah. Ada sebagian klien juga di sana. Ada beberapa disain yang sudah final akan masuk di beberapa perusahaan.” Jelas Revan.

“Bagus kalau begitu.”

“Alhamdulillah.” Balas anak lelaki satu-satunya itu.

 “Lalu, bagaimana karyawan kamu di sini, Rei? apakah kantor di sini akan tutup? Jangan kamu lupakan mereka walau hanya segelinti orang.”

“Bagaimana bisa Revan melupakan mereka, di sini akan Rei pantau langsung dengan bantuan karyawan yang sudah senior di sini, dia wakil Rei, saya pikir, dia sudah sangat mengetahui seluk beluk perusahaan ini.”

“Ayah pikir, ini semua sudah bisa kamu atasi, Rei. Bagaimana soal jodoh, hm?”

Tubuh Re menegak. “Ada angin apa ayah bertanya begitu?”

“Tidak, barangkali kamu berminat dengan anaknya teman ayah.”

Re menggeleng dengan sopan.

“Baik, ayah mengerti. Pastinya, kamu sudah mempunyai tambatan hati. Jangan terlalu lama menyendiri, Revan. Jangan sampai terlalu tua untuk berkeluarga.”

“Insyaallah, enggak, Yah.”

“Dan, satu lagi, Re. Ayah masih berharap, perusahaan ayah bisa kamu pegang juga, rasanya sudah tua sekali tubuh dan pikiran ini. Walau sekarang ayah sudah serahkan ke dewan direksi, tetap saja, harapan ayah itu, kamu. Kalau Safia, perempuan. Mungkin nanti bisa kalau dia menikah, suaminya membantu mengurus perusahaan.” Ayah menarik napas sejenak. “Tentu saja, ayah tidak memaksa.”

“Baik, Yah. Akan Revan coba.”

“Ya, kamu harus segera memantaunya, biar bagaimana juga, perusahaan ayah itu rintisan, sedari kita tidak punya apa-apa, hingga besar seperti sekarang.”

“Iya, Yah. Revan akan pikirkan baik-baik.”

“Tolong ayah, Revan.” 

“Iya, ayah, sebisa mungkin Revan akan berusaha dengan sungguh.”

Wajah tua penuh dengan kerutan itu tersenyum. Biar bagaimana pun ini beban yang harus Revan tanggung, demi masa depan perusahaan ayah. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status