"Akhh ... sakit," ujarnya dengan isakan pelan ketika merasakan sang suami yang akan menyatukan tubuh mereka.
Dean yang sedang mabuk dalam keadaan sadar mendengar ucapan itu, hingga dia menggerakkan tangannya dan mengusap lembut wajah istrinya. Isakan Kannaya masih terdengar membuatnya tahu kalau wanita ini masih perawan dan dia akan mendapatkan keperawanannya."Mas ... akhh!" Kannaya bergerak kesakitan kala merasakan tusukan suaminya yang tak berkurang.Tangan Kannaya mencengkram erat lengan suaminya, air matanya bercucuran tapi dia seolah tak bisa menolak sentuhan dan juga apa yang akan dilakukan suaminya.Entah kenapa, dia terhipnotis. Sekarang Kannaya hanya bisa meringis merasakan sakit sementara sang suami terus membobolnya di bawah sana."Emmh ..."Pasrah, tak ada yang bisa Kannaya lakukan sekarang ini. Harapannya semoga saat bangun nanti, suaminya tak sadar sudah melakukan ini dan takkan ada masalah lagi selanjutnya. Bagaimanapun Kannaya khawatir, Dean akan mengamuk saat sadar sudah menghabiskan malam dan bercinta dengan wanita yang tak sekelas dengannya dan bahkan tak dicintainya.***Tubuh Kannaya menggigil satu jam setelah dia jatuh tertidur di atas ranjang suaminya. Sakit sekali, Kannaya merasakan tulang-tulangnya remuk dan dia jatuh tidur karena suaminya melakukan hubungan itu dengan sangat panjang dan lama.Seluruh tubuhnya seakan mati rasa, tapi Kannaya sadar kalau dia harus bangun dan meninggalkan kamar ini sebelum Dean bangun. Pakaiannya tampak berceceran di lantai bawah bersama dengan pakaian Dean, bahkan kepalanya terasa begitu sakit saat bangkit dan melepaskan tangan Dean yang menggenggam tangannya erat."Astaga, ini sudah jam lima. Aku harus ke pasar," batinnya dengan rasa mual yang terasa diperutnya.Kannaya belum makan tadi malam ketika membukakan pintu untuk pria itu. Hingga dia mungkin masuk angin sekarang dan juga kelelahan karena apa yang dilakukan suaminya."Jangan sampai asam lambungku kumat," batinnya lagi seraya bergerak pelan meninggalkan ranjang.Walau sekujur tubuhnya terasa begitu sakit dan seluruh tulangnya hendak lepas, Kannaya tetap melangkah perlahan dan memungut pakaian miliknya dan suaminya yang berceceran. Dia harus menyembunyikan pakaian itu agar tak ada masalah juga, Kannaya bahkan berharap Dean tak sadar atas apa yang sudah terjadi.Itu adalah harapan besarnya, dia memejamkan matanya sejenak, lalu menatap wajah suaminya yang tampak begitu lelap dan ya, pria itu puas.Kannaya menghela napas, mau menyesal juga percuma. Dari awal dia tak pernah bisa menolak dan menggagalkan keinginan pria yang tak lain adalah suaminya itu. Kalau dia bisa, maka mereka takkan menikah.Kannaya akui walaupun Dean mabuk, malam tadi saat mencumbuinya, Dean melakukannya dengan lembut dan tak menyakitinya sama sekali, membuat Kannaya menghela napas pelan dan melangkah perlahan-lahan ke arah luar.Dia meninggalkan kamar pria itu, masuk ke dalam kamarnya dan meletakkan pakaian kotor mereka ke dalam keranjang. Setelahnya, dia menyalakan shower dan mulai membasuh dirinya di sana.Kannaya menarik napas panjang, melihat sabunnya yang hampir habis. Dia akan membelinya nanti diam-diam, bagaimanapun juga dia biasa mengambil sedikit uang belanja yang diberikan oleh Dean untuk membeli kebutuhannya sendiri."Ya ampun, tubuhku sudah seperti terkena penyakit kulit." Kannaya menarik napas pelan, lalu kembali mandi dan keluar dari sana.Dia memakai pakaian kuliah sekalian karena jam sepuluh nanti dia akan masuk. Dua semester lagi dia akan lulus dan dia akan berhenti menjadi istri diatas perjanjian ganti rugi. Kannaya berniat mencari pekerjaan yang lebih bagus, tinggal di sebuah kost dan terakhir dia akan menabung uang untuk melakukan jalan-jalan ke negara yang diinginkannya.Usai bersiap dan menyiapkan buku kuliah, Kannaya berjalan keluar membawa ponselnya. Dia baru meminum obat nyeri, hingga diantara pahanya sudah lebih baik. Melangkah ke dapur dan menyiapkan teh hangat, roti tawar dan mentega juga buah-buahan untuk sarapan pagi Dean.Setelahnya, dengan cepat Kannaya keluar dari unit apartemen karena takut berselisih atau bertemu dengan Dean kalau pria itu bangun. Dia khawatir yang ada adalah kemarahan, Dean sadar apa yang sudah dia lakukan dan itu hanya akan membuat Kannaya ketakutan."Eh, Mbak Kannaya sudah bangun? Cepat sekali?" sapa seorang satpam muda yang berjaga di gerbang apartemen luxury itu.Kannaya tersenyum, menaiki motor listriknya dan berhenti di dekat satpam itu."Saya mau ke pasar, Mas. Hari ini kebutuhan pokok sudah habis, jadi saya akan belanja mingguan lagi." Kannaya berkata menjelaskan, membuat Satpam yang sudah seperti sahabatnya itu mengangguk-angguk."Hati-hati, ya? Kalau terjadi apa-apa jangan sungkan untuk menghubungi aku, okay?"Kannaya tersenyum, seraya menatapnya yang sudah membuka pintu gerbang."Saya pamit dulu ya, Mas?""Okay!"Kannaya menghela napas seraya membawa motor listriknya melaju di atas jalanan pagi. Gadis berusia dua puluh dua tahun itu tampak menarik napasnya dalam-dalam, masih teringat akan apa yang sudah terjadi tadi malam. Masih ada ketakutan dalam dirinya hingga tangannya agak gemetar menarik pedal gas."Tenang, Kannaya, Mas Dean hanya mabuk dan dia takkan mengingat apapun kecuali kau yang mengingatkannya. Sekarang kau harus tahu kalau dia tidak akan sadar dan sekarang kau jangan mencari masalah sampai membuatnya sadar."Kannaya menarik napasnya beberapa kali dan mencoba untuk tenang. Dia ada dijalan raya sekarang ini dan dia harus fokus. Kalau tidak, maka dia akan menabrak. Jalan sudah semakin ramai dan jangan sampai dia melakukan kesalahan.Kannaya tak punya uang kalau harus berobat di rumah sakit, kalau Dean tahu pria itu pasti akan marah besar. Kalau dia yang terluka parah masih lebih baik, bagaimana kalau korban yang ditabraknya yang luka parah dan harus di rawat? Lalu harus ganti rugi?Kannaya menggeleng pelan membayangkannya. Wajah gadis itu tampak berusaha fokus. Dia memiliki iris mata yang tegas, tapi indah dilihat. Alis matanya lentik, bibirnya yang agak tebal tapi seksi dan hidungnya yang sedikit mancung serta rambut panjangnya yang terawat.Gadis itu memiliki tubuh yang ideal, cantik untuk gadis yang seuisia dengannya. Makanya beberapa mahasiswa mau berteman dengannya, bahkan tanpa mempedulikan status kekayaan Kannaya. Bahkan saat teman-temannya tahu dia harus jadi pembantu di apartemen Dean, dosen mereka yang cenderung galak dan killer, mereka banyak menyabarkannya."Beras merah, beras putih." Kannaya bergerak mengambil kantung beras berbeda merk, lalu mendorong troli itu seraya membuka ponselnya yang berisi catatan.Dia berbelanja, berniat lama-lama di sana agar tak bertemu dengan Dean di apartemen. Kalau bertemu di kampus masih bisa untuk tak bertemu sapa, tapi kalau di apartemen pasti ada saja yang membuat Kannaya harus di marahi atau ditegur oleh pria dingin itu.Entahlah, salah melulu semua yang Kannaya kerjakan di matanya. Membuat telinga Kannaya seolah semakin tebal semenjak menjadi pembantu di apartemen seorang Dean Richard Agnajaya.Ck!Sosok tegap tinggi yang sedang berbaring diatas ranjangnya itu mulai terusik ketika di sinar matahari menyusup ke dalam kamarnya.Dia menggerakkan tubuhnya hingga telentang, terasa seluruh tulangnya begitu lelah tapi ada rasa puas dan lepas dalam hatinya ketika bangun.Masih merasa silau dengan apa yang dilihatnya, Dean, ya pria itu adalah Dean Richard Agnajaya. Dia menyeka wajahnya dengan tangan terbentang dan dada yang telanjang, sementara selimut masih membelit tubuhnya dari pinggang ke bawah.Menatap ke arah kanan kiri, hanya ada dia di kamar itu. Membuatnya menggerakkan tubuhnya dan duduk, lalu menatap ke arah sebelahnya dan menyingkap sedikit selimut. Benar saja, ada sesuatu disana yang berwarna kemerahan.Wajah pria itu tetap datar saja seolah tak ada yang terjadi, seraya menatap ke arah pintu kamar dan menarik napas hingga jakunnya bergerak."Kannaya Frastyna ..." ucapnya pelan layaknya bisikan seraya tersenyum miring.Bangkit dari duduknya, Dean melangkah ke arah kamar mandi.
Kanayya berjalan cepat meninggalkan basement yang menjadi parkiran apartemen. Dia berjalan ke arah tangga darurat, tak mau menggunakan lift karena tiba-tiba saja dia merasa takut pada Dean yang tadi menatapnya dengan penuh intimidasi.Seolah dia sudah berbuat salah saja. Pria itu benar-benar mengerikan. Menaiki tangga, Kannaya berdesis saat merasakan kakinya sakit saat melangkah naik. Dia berhenti di undakan tangga kelima dan menarik napasnya beberapa kali."Aku lupa kalau Mas Dean sudah melakukan hal itu padaku. Bagaimana aku akan menaiki tangga untuk sampai di lantai atas?" Kannaya menghela napasnya pelan lalu melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan.Gadis itu menelan ludahnya. Dia harus cepat karena pembelajaran dikampusnya akan dilakukan jam sepuluh nanti. Kembali berjalan, dia menaiki anak tangga perlahan-lahan. Hal yang sengaja dia lakukan agar bisa menghindari Dean. Dia merasa kalau dekat dengan pria itu hanya akan membuat masalah lagi. Dia tak mau
Dean mengerutkan wajahnya mendengar ucapan itu. Dipercepat? Haha, mimpikah? Atau ... ada hal yang ingin Kanayya lakukan makanya dia menginginkan perpisahan secepatnya?"Kenapa? Kau menginginkan perceraian dengan cepat agar bisa menikah dengan satpam itu?" tanyanya datar membuat Kannaya mengerutkan dahinya tak paham."Satpam? Satpam mana, Mas?" tanyanya membuat Dean mendengus.Pria itu melipat tangannya di dada. "Pura-pura polos, ya?"Kannaya menghela napas. "Aku benar-benar tidak tahu siapa, Mas. Kamu mungkin bisa katakan siapa, agar aku bisa ingat siapa yang kamu maksud," ujarnya pelan membuat Dean menarik napas dalam-dalam.Dia menatap wajah Kannaya yang tampak benar-benar sungguhan. Seolah dia benar-benar tidak tahu siapa yang Dean maksudkan. Namun, itu malah bagus. Artinya pria itu tidak ada didalam hati gadis ini."Kembali ke pembahasan awal soal perceraian. Sepertinya aku mau mengubah surat kesepakatan," ujarnya datar membuat Kannaya menaikkan alisnya."Bagaimana, Mas?""Seperti
Kannaya mengusap air matanya setelah kepergian Dean. Dia masih terisak pelan beberapa kali lalu menatap sekitar apartemen yang kosong. Meninggalkan bekas aroma asap rokok yang dipakai oleh pria itu tadi."Dia hanya terbawa-bawa tentang kesan malam pertama tadi. Aku bisa memastikan kalau itu hanya kata-kata iseng. Mana mungkin Mas Dian mau dengan seorang gadis biasa sepertiku. Sebaiknya aku tidak usah terlalu banyak bermimpi, ini semua tidak mungkin." Kannaya memegang kepalanya yang terasa pusing lalu duduk di sofa itu.Semangatnya untuk pergi ke kampus seolah redup karena dia harus mendapatkan kenyataan itu."Aku tidak bisa jika seperti ini, aku yakin dia akan membenciku nanti. Sebaiknya aku mulai melakukan sesuatu yang bisa dibencinya. Dia sangat tidak suka ada mahasiswa yang tidak masuk ke dalam kelasnya, dengan aku yang tidak masuk maka dia tidak akan suka denganku." Merenung di sofa yang ada di ruangan itu, Kannaya menetralkan jantungnya lebih dulu baru kemudian dia melangkah ke a
Kannaya merasakan Dejavu akibat apa yang dilakukan oleh Dean saat ini. Dia merapatkan bibirnya sementara Dean sudah tahu kalau wanita ini akan menolak. Dia mengasak tubuh Kannaya hingga menghimpitnya."Buka mulutmu, Sayang ..." geramnya menahan gairahnya yang mulai naik.Kannaya menggeleng, masih merapatkan bibirnya hingga Dean melepaskan ciumannya dan menatap wajah Kannaya berkeringat dan terlihat begitu menggemaskan.Dean tampak tersenyum, mengungkungnya separuh menunduk dan menatap wajah Kannaya yang berusaha untuk menjauh sebisa mungkin walaupun tubuhnya sudah mentok di sandaran kursi pria itu.Tangan Dean terangkat dan mengusap wajahnya dengan lembut. Hal itu membuatnya Kannaya jantungan, tak menyangka kalau Dean akan melakukan ini lagi padanya."Kenapa kamu tidak masuk ke kelas dan malah ada di taman?" tanya Dean membuat Kannaya tak mau menjawab. "Kenapa tidak menjawab? Apakah karena kucium tadi sudah menghilangkan suaramu?" tanyanya lagi tapi Kannaya tak mau bicara.Dia tak mau
Kannaya tak menjawab, dia berusaha untuk memikirkan cara yang mungkin bisa berguna. Pria ini harus dikasari supaya dia tahu kalau apa yang dia mau tidak semudah itu. Tetapi ketika dia sedang berpikir, Dean malah membuka jasnya masih sambil mencium bibir Kannaya. Dia melepaskan kancing kemejanya membuat Kannaya membulatkan matanya."Mas mau apa?" tanya Kannaya susah payah diantara ciumannya yang belum usai."Apalagi?" Dean terengah pelan dan menatap mata Kannaya dengan tatapan penuh nafsu. "Aku akan memberikan hukuman karena kamu tidak masuk ke kelasku, tidak menjawab pertanyaanku dan tidak menjawab penawaranku, kamu hanya diam saja. Maka dari itu aku akan menghukummu sekarang," ujarnya lalu menekan sandaran kursinya hingga menjadi lurus untuk telentang.Setelahnya dia mendorong Kannaya, lalu menaiki tubuh gadis itu dan menatap wajahnya dengan serius sebelum memagut bibirnya lagi. Kannaya memberontak tak senang, mau sampai kapanpun dia tidak akan mau mengulang malam itu lagi."Apa yang
Kannaya terengah, mendesah di bawah kungkungan suaminya yang menghujamnya dengan penuh nafsu dan semangat. Tangan pria itu tak tinggal diam, ikut meremas buah dadanya dengan gerakan yang masih naik turun. Dia menatap wajah istrinya yang tampak terengah menahan kenikmatan hingga senyumannya terlihat diantara wajahnya yang menampilkan kepuasan."Ah ... Ah ... Mas," desah Kannaya seraya memegang sisi kanan kirinya yang merupakan pinggiran kursi yang dia tiduri.Sementara pria itu malah makin terpacu semangatnya ketika dia mendengar Kannaya memanggilnya dengan balutan desahan yang mendominasi bibir seksinya yang terbuka itu."Kamu itu nikmat, ini nikmat, Sayang. Kamu rasakan, bukan?" ujar Dean dengan suaranya yang serak.Kannaya tak bisa berpikir jernih, dia hanya menganggukkan kepalanya seolah setuju dengan apa yang dikatakan Dean. Pria itu tampak tersenyum lagi, seraya meremas buah dada Kannaya hingga tubuh gadisnya itu menggelinjang dibawah kuasanya."Ah! Emmhh ..." Kannaya melepaskan
Kannaya menarik napas panjang dan tak mau melihat Dean yang masih ada di atas tubuhnya, mereka masih menyatu hanya saja sedang menahan diri agar bisa menikmati sisa-sisa pelepasan itu.Setelah beberapa saat, Dean menatap wajah Kannaya yang sudah kelelahan dengan keringatnya yang masih mengalir deras di pelipis."Bagaimana?" tanyanya dengan suara serak dan seksi yang membuat telinga Kannaya merinding. "Aku berhasil memuaskanmu, 'kan, Sayang?" tambahnya lagi dengan jemari yang menelusuri leher Kannaya yang sudah penuh dengan ciumannya.Kannaya menarik napas, menggigit bibirnya karena merasa tidak nyaman dengan milik suaminya yang masih ada di dalam miliknya. Dia menatap wajah Dean yang juga menatapnya hingga dia bisa melihat tatapan penuh pesona dari pria mapan yang ada di atas tubuhnya saat ini."Mas juga sudah puas, 'kan? Kalau begitu kita impas," ujar Kannaya dengan suara lemahnya karena sejak tadi dia sudah berteriak dan mendesah tanpa kendali. "Anggap saja kita sudah saling memuask