Matanya sembab, rambutnya kusut, tetapi tubuhnya tetap memesona. Damian berdiri di dekatnya, tak berkata-kata. Ia hanya menatap, tatapan pria yang sudah tahu apa yang akan terjadi, dan tidak perlu bertanya.Riri melangkah mendekat. Tanpa bicara, tanpa isyarat. Ia hanya meraih wajah Damian, menariknya ke dalam ciuman yang hangat, pelan lalu dalam dan mendesak. Lidah mereka saling mencari, saling menekan, saling menghibur luka yang tidak pernah bisa diobati kata-kata.Damian menarik tubuh Riri erat. Tubuh mereka menempel sepenuhnya.“Aku butuh ini…” desah Riri.“Dan aku akan memberikannya,” balas Damian, suaranya serak,“Aku benci semuanya,” bisik Riri, “Tapi aku butuh kamu.”Damian tak menunggu lebih lama. Ia mencium Riri dalam-dalam. Ciuman mereka kasar, lapar, penuh kemarahan yang tak bisa ditumpahkan pada siapa pun. Ciuman yang menyapu semua logika, semua ragu. Hanya mereka, dan siang yang terpantul di kaca tinggi gedung pencakar langit.Tangan Damian menyusup ke balik blouse Riri,
Keesokan harinya, perjalanan pulang ke Jakarta terasa dingin dan tegang. Di dalam jet pribadi yang mewah, suasana berubah menjadi medan perang sunyi. Kana duduk tegak, mata terpaku pada layar ponselnya yang menampilkan grafik saham yang terus merosot. Di sebelahnya, Felix sesekali berbisik, wajahnya pucat. Wajah Sabrina juga pucat, sesekali melirik Kana dengan rasa takut dan cemas yang kentara, tetapi tak berani memulai percakapan. Ia tahu, perdebatan mereka semalam belum selesai, tetapi kini ada masalah yang jauh lebih besar. Di sisi lain, Riri duduk tenang, seolah tidak terpengaruh oleh aura muram yang menyelimuti kabin. Damian dan Satria pun ikut pulang bersama. Kana mengajaknya karena tahu Damian akan pulang naik pesawat komersil. Selama di Wakatobi mereka sudah jadi akrab makanya Damian diajak serta. Hanya ia yang terlihat santai, dengan senyum tipis penuh perhitungan, menikmati pemandangan di balik jendela seolah tak ada yang salah.Setibanya di Jakarta, Kana langsung menuju ka
Di kamar hotel Sabrina, aroma jasmine dari diffuser berpadu dengan ketegangan yang menyesakkan. Sabrina duduk di tepi ranjang, bibirnya mengerucut. Ia melihat Kana hanya duduk di sofa, memainkan ponsel, tetapi pikirannya tak bisa fokus. Sabrina melihat banyak kejanggalan pada diri Kana selama berlibur di sini, seolah pria itu hadir secara fisik tapi jiwanya tertinggal entah di mana.Sabrina mendekat, lalu duduk di pangkuan Kana. Ia memeluk kepala pria itu agar menempel di dadanya, berusaha menciptakan kembali keintiman yang telah hilang. Namun, Kana bergeming, tidak menyambutnya. “Aku lelah, Sab,” ucap Kana, dengan suara pelan dan datar. Ia melepaskan pelukan Sabrina dengan lembut dan memijat pelipisnya, berusaha mengusir penat yang menumpuk.Tangan Sabrina terulur untuk membelai rambut pria itu. “Sebentar saja, sayang. Aku sudah menunggumu seharian.” Ia melanjutkan dengan nada menggoda, “Aku merindukanmu.” Sambil menyelusuri leher dan dada Kana dengan jemari dinginnya. Ia membungku
Teras kamar hotel itu masih hangat oleh sisa matahari sore. Setelah kembali dari kapal, Riri duduk sendiri di kursi rotan, menyandarkan tubuh pada bantal kecil yang mulai lembap oleh keringat punggungnya. Angin laut menyibak ujung rambutnya yang setengah terikat. Suara ombak bersahut dengan tawa anak-anak turis yang bermain pasir. Namun, baginya, suasana itu tak masuk ke dalam hatinya. Ia sedang menunggu, dengan hati yang lebih dingin dari lautan itu sendiri.Kana masih bersama Sabrina. Alasan klasik, “Sabrina butuh bantuan soal laporan investasi minggu depan.” Riri hanya mengangguk, pura-pura tak paham. Padahal, ia tahu. Ia tahu semua. Bukan hanya pengkhianatan di balik pekerjaan itu, tapi juga bisikan mesra, sentuhan terlarang, dan tatapan penuh rahasia yang ia saksikan sendiri sejak awal liburan. Tapi kini, Riri sudah terlalu muak untuk peduli pada drama mereka. Hatinya sudah mati rasa, tergantikan oleh api dendam yang membara.Langkah sepatu mendekat tanpa aba-aba.Damian muncu
“Mas, aku pikir… akan lebih seru kalau kita ajak Pak Damian dan Sabrina ikut liburan bareng,” ucap Riri sambil menyesap tehnya di teras kamar mereka.Kana menghentikan gerakan sendoknya, menoleh pelan. “Maksudmu… mengajak mereka satu perahu, satu jadwal?”Riri mengangguk dengan senyum manis yang tak bisa ditolak. “Iya. Supaya suasananya lebih hidup. Masa Cuma kita berdua? Lagipula, Sabrina sepupumu, tak enak kalau kita hanya berlibur berdua. Dia di sini untuk mengurus pekerjaanmu,” lanjut Riri dengan nada yang sedikit lebih ditegaskan saat menyebut nama Sabrina.“Lalu apa urusannya aku harus mengajak Damian?” tanya Kana, ada nada bingung yang nyata dalam suaranya.Riri menjawab dengan wajah dibuat semanis mungkin, “Dia sudah membantu kita saat kejadian orang mabuk itu. Aku tak ingin terlihat seperti orang yang tidak tahu terima kasih.”Kana mendengus pelan, lalu menyeruput kopi. “Kamu serius mau liburan bareng dengan mereka?”“Setidaknya bisa memeriahkan suasana. Felix juga ajak saja
Wakatobi menyambut mereka dengan langit senja berwarna jingga keemasan. Angin laut menerpa lembut, membelai dedaunan kelapa dan menyisipkan ketenangan semu yang seolah menutupi riak-riak konflik yang belum juga padam.Kana telah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Meski masih ada plester di pelipisnya, ia tampak jauh lebih segar. Ia kembali ke hotel bersama Riri, Sabrina, dan Felix. Keputusan Sabrina untuk tak kembali ke Jakarta sempat mengejutkan. Ia memilih bergabung dalam liburan. Dan entah kebetulan atau bukan, kamar yang dipesannya berdekatan dengan kamar Riri dan Kana.Di dalam kamar, keheningan menyambut mereka. Canggung. Riri mencoba terlihat tenang, kembali mengenakan peran yang sudah ia kuasai bertahun-tahun yaitu sebagai istri yang baik, lembut, dan penuh perhatian. Meski kini, di balik semua itu, ada bayangan Damian yang terus menghantui pikirannya.Kana bersandar santai di kasur, memperhatikan Riri yang sibuk membereskan barang-barang dan merapikan selimut hingga me