INICIAR SESIÓNPevita kembali ke dapur, segera mengambil telur dari kulkas. Tangannya bergerak otomatis untuk menyiapkan pesanan Aurelia. Gerakannya efisien dan cepat, bertujuan untuk segera menyelesaikan tugasnya dan kembali ke kamar untuk merenungkan situasi. Setelah menyiapkan telur orak-arik yang sempurna dengan taburan keju, Pevita membawanya keluar. "Ini, Nona Aurelia," kata Pevita, meletakkan piring itu dengan hati-hati di depan Aurelia. "Wah, terima kasih, Pevita," kata Aurelia, senyumnya tulus. "Baunya enak sekali. Kamu memang koki yang hebat." Aldrich, yang berdiri di samping sofa, menatap Pevita. Pandangannya adalah kombinasi dari kelegaan, kebanggaan, dan peringatan. "Aku akan mandi sekarang," kata Aldrich, mengakhiri pembicaraan. Dia menatap Aurelia. "Jangan pindah dari sofa. Jangan masuk ke kamar mana pun. Dan jangan mengganggu Pevita." "Siap, Kakak," jawab Aurelia, mengangkat tangan dalam pose hormat. Dia menunggu sampai Aldrich menghilang ke dalam kamar utama, baru kemudian dia
Aldrich berjalan menuju pintu, membukakannya. Riri dan Aurelia tersenyum lebar dan masuk ke dalam. "Ya Tuhan, Al, kamu baru bangun, Nak? Kenapa masih pakai jubah?" Riri tersenyum lembut, menyentuh lengan Aldrich. "Mama kira kamu sudah di kantor. Rapatnya kan pagi?" "Aku ubah sedikit jadwalnya, Ma. Ada urusan mendesak yang harus kuselesaikan di sini dulu," jawab Aldrich, berusaha terdengar tenang. Riri melihat ke dalam. Matanya mencari Pevita. "Sayang, kenapa kamu yang membukakan pintu? Pevita mana? Dia biasanya sangat rajin, selalu siap di pagi hari. Apa dia sakit?" Riri benar-benar menghargai Pevita karena kinerjanya di mansion dulu. Kekosongan Pevita di lobi pagi ini benar-benar anomali. "Dia sedang sibuk, Ma. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan di belakang," elak Aldrich, sambil berusaha menjauhkan Ibunya dari lorong kamar tidur. Aurelia, yang selama ini diam, melirik Aldrich. Matanya yang cerdas langsung tertuju pada kamar tidur utama yang pintunya sedikit terbuka, d
Setelah badai hasrat mereda, yang tersisa hanyalah kehangatan yang mendalam dan kelelahan yang memuaskan. Pevita tidak bergerak, hanya menikmati sensasi tubuh Aldrich yang memeluknya erat. Dia masih terengah-engah, merasakan detak jantung Aldrich yang berirama dan berat di dekat telinganya. Pevita menyadari ia masih mengenakan set sutra biru langit itu. Kain halus itu kini terasa lengket karena keringat. Ia bergumam pelan. "Tuan, maafkan saya... saya kotor." Aldrich menggeser tubuhnya sedikit, matanya yang gelap menatap lembut pada wajah Pevita. Tidak ada dominasi di sana, hanya perhatian murni. "Diam. Tidak ada yang kotor." Dia bangkit perlahan. Pevita merasakan dingin yang cepat menerpa kulitnya karena kehilangan kontak. Aldrich meraih tisu basah dari nakas, kemudian kembali ke ranjang. Dia tidak terburu-buru. Dengan kelembutan yang mencerminkan rasa hormat tertinggi, ia membersihkan keringat di dahi Pevita, kemudian turun ke leher. "Aku akan membantumu melepasnya," kata Aldrich
Pevita berdiri di depan cermin besar di kamar Aldrich, menatap pantulan dirinya dengan gugup. Set sutra biru langit yang dipilih Aldrich pas sempurna di tubuhnya, bra berkawat minimalis mengangkat payudaranya dengan anggun, sementara celana dalam high-cut memanjangkan lekuk pinggulnya. Dia tidak pernah merasa begitu cantik. Begitu berharga. Pintu kamar terbuka. Aldrich masuk, rambut masih basah dari mandi, mengenakan celana tidur hitam dan kemeja putih yang terbuka beberapa kancing. Matanya langsung tertuju pada Pevita yang berdiri di depan cermin. Dia berhenti. Tidak bergerak. Hanya menatap. Pevita menahan napas, tangannya gugup di samping tubuh. "Apakah... apakah ini sudah sesuai, Tuan?" Aldrich tidak menjawab. Dia berjalan perlahan mengelilingi Pevita, seperti kolektor yang mengagumi karya seni berharga. Matanya menelusuri setiap lekukan tubuh yang dibungkus sutra biru muda, cara bra itu memeluk lembut, cara celana dalam itu duduk sempurna di pinggul, cara kulit Pevita yang pu
Pevita terbangun lebih dulu keesokan paginya. Aldrich masih lelap, tidur telentang di ranjang besar itu, tangannya yang kuat terlempar ke samping. Pevita mengamati wajahnya, yang kini tampak damai tanpa beban bisnis dan kegelapan Rayzen. Pevita tersenyum. Semalam, percakapan mereka telah mengubah segalanya. Panggilan 'Tuan' kini terasa hangat, bukan karena kepatuhan, tetapi karena ikatan personal yang mereka ciptakan. Ia merasa dipilih, bukan dimiliki. Ia bangkit perlahan, mengenakan kemeja Aldrich yang longgar. Pagi ini, tidak ada lagi rasa malu. Hanya keakraban. Ia mulai menyiapkan sarapan di dapur, bergerak dengan hati-hati agar tidak membuat suara. Ketika kopi hitam tanpa gula dan roti panggang mentega sudah siap, Pevita kembali ke kamar untuk membangunkan Aldrich. "Tuan," bisik Pevita, mengguncang bahunya dengan lembut. Aldrich menggeliat, membuka matanya perlahan. Senyum kecil muncul di bibirnya saat melihat Pevita. "Pagi," sapanya, suaranya serak. "Pagi, Tuan. Sarapan su
Pevita masih bisa merasakan sisa kehangatan di dada Aldrich saat ia bersandar. Tidak ada lagi ketegangan seperti malam-malam sebelumnya. Kini yang tersisa hanyalah keheningan yang lembut seperti badai yang memilih berhenti karena menemukan tempatnya pulang. Aldrich mengusap rambut Pevita pelan. "Kamu terlalu banyak berpikir," ujarnya, suaranya berat tapi tenang. Pevita tersenyum tipis. "Saya hanya… belum terbiasa diperlakukan seperti ini." "Seperti apa?" "Dihargai." Aldrich terdiam beberapa detik. "Mungkin kamu lupa," katanya akhirnya, "aku tidak pernah menganggapmu pelayan. Kamu di sini karena aku ingin kamu di sini." Pevita menatapnya, mencari-cari kebohongan di balik kata-kata itu, tapi tidak menemukannya. Ia hanya menemukan ketulusan yang dingin tapi nyata khas seorang pria yang hidupnya sudah lama kehilangan ruang untuk kepura-puraan. "Tapi kenapa tetap harus memakai perjanjian?" tanyanya pelan, setengah bergurau, setengah sungguh-sungguh. "Itu untuk melindungimu. Sudah k







