Sejak Aara memaafkan Zayden dan melupakan semua perbuatan yang telah Zayden lakukan padanya, kehidupan mereka berubah. Tidak ada lagi kesedihan, tidak ada lagi perasaan tertekan. Mereka seperti mendapatkan kehidupan baru dan memulai semuanya dari awal.Zayden semakin memperhatikan Aara, begitu pun dengan Alya dan Zion. Mereka juga sangat menyayangi Aara layaknya putri mereka sendiri, saat ini mereka semua sangat menantikan lahirnya penerus keluarga Tan yang tak lain adalah Zevan Rionard Tan dan Zayna Audrey Tan, yang tak lama lagi akan segera hadir ke dunia ini.Waktu terus berjalan, kebahagiaan demi kebahagiaan terus Aara dan keluarga Tan rasakan. Seperti semuanya berjalan dengan lancarnya tanpa hambatan apa pun. Sepertinya saat ini Tuhan sedang berbaik hati kepada mereka, setelah banyak cobaan dan ujian yang diberikannya, akhirnya semua itu bisa mereka lewati dan mereka bisa menikmati yang namanya kebahagiaan. Hingga 1 bulan pun berlalu, kandungan Aara sudah menginjak 9 bulan se
Ketika sampai di rumah sakit, Zayden langsung bergegas keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah sakit. Dia berlari dengan tergesa-gesa menuju ruang persalinan. Hingga sampai di ruang persalinan itu, mereka melihat Alya dan juga Zion yang sudah berada di sana dengan raut gelisah yang terlihat jelas di wajah mereka. “Mama, Papa,” panggilnya.Sontak, Alya dan juga Zion langsung melihat ke asal suara. “Zay,” jawab Alya.Tampak Zayden terus berlari menghampiri Alya dengan keringat yang sudah bercucuran di keningnya. “Bagaimana hah hah keadaannya, Ma? Apa hah bayinya sudah lahir?” tanyanya dengan nafasnya yang terengah-engah.“Belum sayang, dari tadi Aara terus memanggil-manggil kamu. Tapi kamu masih belum datang. Masuklah, dia membutuhkanmu,” ujar Alya.Zayden pun mengangguk, dia berjalan ke arah pintu ruang persalinan. Glek! Zayden menelan salivanya, tidak bisa dia ungkiri saat ini dia merasa gugup dan juga takut. Menemani istrinya melahirkan adalah suatu impiannya. Tapi, saat hari
Aara sudah berada di ruang perawatan VVIP sekarang. Di sana juga sudah ada Zayden, Alya dan Zion yang menemaninya. Setelah 3 jam tertidur, akhirnya Aara membuka matanya. Dan sekarang dia tengah memakan makanan yang disiapkan rumah sakit untuknya.Tampak Zayden dengan telatennya menyuapi makanan itu pada Aara. Walaupun Aara terus menolaknya, namun Zayden tetap memaksanya untuk memakan makanan itu.Aara terus menolak karena makanan rumah sakit itu tidak enak menurutnya. Rasanya hambar dan membuatnya mual.“Sayang sudah cukup, aku tidak mau makan lagi,” ucap Aara.“Sedikit lagi, lihat. Sebentar lagi makanannya habis. Ayo paksakan sedikit lagi ya,” jawab Zayden.Dengan bibir cemberutnya, Aara pun membuka mulutnya dan memakan yang terus Zayden sodorkan ke bibirnya itu.“Kamu memang anak yang baik,” puji Zayden.“Besok kita sudah bisa pulang, kan?“ tanya Aara.“Iya sayang, sekarang kau perlu dirawat dulu karena kelelahan.”“Apa putra dan putri kita baik-baik saja? Aku belum melihat
Debaran di dada Aara terasa begitu keras, saat kedua telinganya mendengar suara langkah kaki yang datang semakin dekat menuju ke arah kamarnya. Ketika pintu terbuka, senyum tipis pun mulai terukir di bibir mungilnya, dia lalu memeluk erat kedua lututnya kala menyadari sosok pria yang sudah ditunggunya itu kini sudah berada satu ruangan dengannya. Perasaan tak karuan mulai menguasainya. Karena mengingat ini adalah malam pertamanya setelah upacara pernikahan dilakukan. Meskipun begitu, Aara yang diselimuti rasa malu tetap memberanikan diri untuk melirik pada sosok pria tinggi yang berjalan mendekatinya itu. Pria itu menggulung lengan kemeja hitamnya, menunjukkan otot kekarnya yang membuat wanita mana pun tergoda. Kepala Aara semakin menengadah, hingga membuat kedua netranya bisa melihat sosok pria yang saat ini sudah menjadi suaminya itu. Pria tampan, dengan rambut sehitam langit malam, wajahnya bersinar bagaikan bintang, alis yang tebal, mata yang sedikit sipit dengan manik matany
Aara berjalan lunglai melewati lorong sepi mansion milik Zayden. Air matanya berderai deras, hatinya terasa begitu hancur. Dia tidak menyangka, jika mimpi buruk ini akan benar-benar terjadi dalam hidupnya. Dia tidak tahu apa kesalahannya, kenapa Tuhan terus menghukumnya dengan begitu berat. Satu tangannya tampak menempel pada dinding yang dia lewati, karena semua ini. Rasanya dia tidak sanggup lagi untuk berdiri. Kakinya begitu lemas, tangannya begitu kaku. Air matanya bagaikan air sungai yang terus mengalir tanpa mau berhenti. Aara berjongkok, dengan kedua tangannya dia menutupi wajahnya yang sudah begitu basah. Seketika, suara tangisnya pun terdengar. Dia tidak tahu lagi, apa yang harus dia lakukan. Pernikahan yang mulanya dia pikir akan merubah hidupnya ke arah yang lebih baik, justru tidak terjadi. Hidupnya malah lebih hancur dari sebelumnya. Sekarang, dia merasa seperti berada di neraka lain dalam hidupnya, neraka yang akan membakar seluruh hati dan tubuhnya hingga tak ber
Mata tertutup Zayden tampak bergerak-gerak. Wajah tidurnya itu menunjukkan kernyitan kesal. Tampak satu tangannya terangkat, dan menutupi wajahnya yang terasa silau karena terkena sinar matahari yang masuk melalui sela-sela jendela kamarnya. “Sialan! Siapa yang berani membuka jendelanya!” kesalnya. Saking teriknya matahari, bahkan tangannya pun tidak bisa melindungi silaunya. Zayden membuka tangannya itu, dia lalu terduduk di atas ranjang dengan pandangannya yang melihat pada jendela kamarnya. “Siapa yang berani membukanya, apa mereka mau dipecat!” Terlanjur bangun, Zayden pun akhirnya turun dari atas ranjang. Dia melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 7.30 pagi. “Ternyata sudah jam segini, aku harus cepat bersiap-siap,” gumamnya lalu masuk ke dalam kamar mandi. Di sana, Zayden kembali mengernyit. Ketika melihat bak mandinya yang sudah terisi oleh air hangat. Dia kembali merasa bingung, siapa sebenarnya yang melakukannya. Karena seingatnya, di mansion ini tidak ada s
Zayden melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, ekspresi marahnya itu sama sekali tidak hilang sejak dari rumah tadi. Bahkan terlihat semakin jelas, dan terus menguasainya. “Sial, apa-apaan itu tadi. Apa dia mau sok berperan menjadi istri yang baik? Hah, benar-benar menjijikkan. Apa dia sedang memainkan trik kotor saat ini, berpura-pura polos untuk mendapatkan perhatianku. Apa trik ini juga yang dia gunakan pada papa, sehingga papa tergoda olehnya, dan mengkhianati mama.” Bruk! Mengingat itu, membuat kemarahan Zayden semakin meninggi bahkan sampai memukul setir mobilnya sendiri untuk melampiaskannya. “Cih, tapi aku berbeda dengan papa. Aku tidak akan semudah itu masuk ke dalam perangkapmu. Karena aku sudah tahu, siapa kau sebenarnya.” Sementara di mansion, Aara melihat dengan sedih pecahan-pecahan piring yang berserakan di lantai. Dia mendekat pada pelayan-pelayan di sana yang tengah membersihkannya. Aara tidak bisa menyembunyikan rasa sedihnya. Kala dia mengingat bagaimana d
Zayden memberhentikan mobilnya itu tepat di depan pintu utama rumahnya. Namun, bukannya turun dari sana. Zayden justru tetap di dalam beberapa saat. Dia bahkan menempelkan keningnya itu pada setir mobilnya, terlihat jelas suasana hatinya yang memburuk paska menemui mamanya. Dia sebenarnya tidak tega meninggalkan mamanya sendirian. Tapi, demi melancarkan rencananya dia harus tinggal sendiri. Karena dia tidak mau jika mamanya tahu kalau dia menikahi Aara yang notabenenya adalah selingkuhan dari suaminya. Terlebih, Zayden juga tidak ingin melihat wajah papanya. Sudah cukup dia menahan emosi saat berada di kantor. Dan dia tidak ingin membuat mamanya semakin sedih jika mendengar pertengkarannya dengan papanya. Zayden mengangkat kembali wajahnya, dia menghela nafasnya dalam seraya bersandar pada kursi mobilnya. Dia pun kemudian turun, setelah perasaannya ini sedikit membaik. Suasana mansion sudah tampak sedikit sepi, mengingat saat ini hari memang sudah cukup larut. Zayden yang tidak