Meja kokoh berbentuk U terlihat jelas di mata Davin yang duduk dengan tenang pada kursi kebesaran kala memimpin rapat, namun kilat matanya tampak kosong dengan jari telunjuk mengetuk-ngetuk pelan meja yang berlapis kaca hitam di depannya, jelas pikiran Davin sedang tidak fokus terhadap kepala divisi keuangan yang tengah melaporkan hasil kinerjanya. Kesibukan membuat Davin tak lagi bisa mengantar jemput Vida beberapa hari ini, hingga rasa rindu itu hadir mengusik ketenangan. Kepala divisi keuangan sudah menyelesaikan laporannya, dan kini berdiri dengan sedikit gemetar menunggu tanggapan dari Davin selaku pimpinannya, menunggu pria itu memberinya tatapan dingin ketika mengoreksi kesalahan yang harus dia perbaiki. Tapi menunggu cukup lama Davin tak kunjung bergerak menyentuh berkas yang sudah dia serahkan tepat di depan Davin, hingga alisnya mulai mengernyit bingung melihat sikap pimpinannya. Kepala divisi lain juga tampak celingukan melihat sikap diam Davin, detik berlalu begitu saja
Senyum Davin mengembang saat dia menutup panggilan. Perlahan dia menurunkan ponsel yang menempel di sisi telinga. Entah mengapa tiba-tiba hatinya berdebar dan bergemuruh dengan berisik, seakan puluhan kembang api tengah meletus di dalam sana. Tapi senyumnya luruh seketika, kala dia menyadari sesuatu tak lazim tengah terjadi padanya. 'Cih ... Sangat menjengkelkan! Bahkan dia juga merusak jantungku.' Davin menyimpan ponselnya ke dalam saku, dan berbalik mendapati Iko yang berdiri tegak dengan ekspresi datar, kemudian sedikit membungkuk penuh hormat kepadanya. "Kamu ingin melaporkan sesuatu?" Davin membuka pertanyaan. "Benar, Pak. Tapi sepertinya Anda sudah mengetahuinya." Davin memutar bola mata. Mendengar nada bicara Iko, Davin yakin sekretarisnya sudah cukup lama menunggu. Meski ruangan Davin cukup luas, namun ruangan itu terasa sunyi dan senyap. Dalam keadaan tenang, mustahil Iko tidak mendengar suara Vida dari ujung telepon. Davin menaikan kedua alis, kemudian bertanya. "Dia ad
Kesibukan kantor masih terlihat ketika jari-jari kokoh menari dengan lihai di atas keyboard berwarna hitam. Mata tajam yang dibingkai dengan kacamata anti radiasi masih tampak fokus menatap perangkat lunak di depannya dengan teliti, ketika laki-laki yang mengenakan setelan jas rapi menyambanginya."Pak, ini dokumen yang harus Anda sahkan."Perlahan Davin menegakkan wajah menatap Iko sekilas, kemudian meraih dokumen yang baru saja diserahkan padanya.Sembari membubuhkan tanda tangan, Davin bertanya. "Bagaimana kabarnya?"Mata Iko melebar mendengar pertanyaan atasannya, kemudian mengerjap beberapa kali. Ini sudah terjeda beberapa jam, apakah Davin masih memikirkan istrinya?Lama Iko tidak menjawab, membuat Davin kembali menegakkan wajah, tatapan davin dingin seperti menuntut jawaban darinya."Nyonya masih menunggu, Pak. Satu antrian lagi adalah giliran perusahaan FN," terang Iko sedikit menarik napas, karena tatapan Davin terlihat begitu tajam.Begitu mendengar jawaban Iko wajah Davin t
Ucapan Davin seakan memecahkan masalah Fino, senyum lebar hinggap di bibirnya, kemudian menatap Vida. "Vida, aku harap kamu tidak mengecewakan pak Davin," ucapnya mantap, sangat percaya diri dan malah membuat Vida terbengong untuk beberapa detik. "Tapi, Pak ...." Vida ingin menunjukan keberatannya, tapi segera disangkal oleh Fino. "Tidak ada tapi-tapian, Vida. Kamu adalah harapan perusahaan FN saat ini, jangan kecewakan aku." Fino sama sekali tidak ingin menerima bantahan, dan segera pamit undur diri untuk menyelesaikan urusan pribadinya yang mendesak. Davin tersenyum tenang, tapi detik berikutnya wajahnya terlihat dingin dan tegas ketika menatap Vida. "Jelaskan padaku kenapa aku harus melirik desain dari perusahaanmu? Bukankah tema sudah ditentukan, dan bukan aku yang menilai setiap desain yang mengikuti kompetisi. Kamu ingin meraup keuntungan dariku, dengan statusmu sebagai istriku?" Davin tidak ingin berbasa-basi, pengalamannya di dunia bisnis tentu saja bisa membaca setiap per
"Hah?" Vida terkesiap dan mendongak menatap suaminya yang jauh lebih tinggi darinya, membeku cukup lama menilik wajah tampan yang hanya berjarak beberapa mili darinya.Terkejut? Tentu saja, 'jadi semua kemarahan kak Davin hanya perkara makan siang? Sejak kapan dia memperhatikanku dengan begitu detail?'"Apa kamu kurang kerjaan? Hingga harus menguntitku sepanjang waktu? Sungguh sangat menjengkelkan mempunyai suami yang mengidap gangguan narsistik sepertimu. Asal kamu tahu aku tidak, emmh ...." Omelan Vida tercekat karena terbungkam oleh ciuman Davin.Menolak? Sudah pasti diusahakan, tapi tetap saja tangan kokoh Davin lebih mendominasi, ketika menekan kepala bagian belakang Vida dengan kuat. Ciuman itu begitu dalam, hingga Vida terengah-engah ketika Davin melepaskannya.Beberapa detik Vida terdiam, untuk menstabilkan pernapasan, setelah bisa bernapas dengan baik kekesalan kembali hadir, hingga tak bisa menahan diri untuk memukul dada bidang suaminya dengan jengkel."Berhenti memaksakan k
Mata pekat itu sudah menjelaskan sebab musabab kemarahan Vida. Tidak ingin menjeda lebih lama Davin segera berdiri dan menghampiri Vida yang mengemasi barang-barangnya dengan grusa-grusu. Paras cantik yang tadinya seperti anak kucing yang menggemaskan kini berubah menjadi suram diliputi kemarahan, membuat Davin tak bisa menahan diri untuk menarik tangan Vida guna mencegahnya pergi."Vida, jangan berlagak seperti istri yang cemburu, ingat perjanjian kita, bahwa kamu tidak akan mempermasalahkan hubunganku dengan Fani selama kita menjalani perjanjian kontrak pernikahan." Davin menarik pergelangan tangan Vida, sungguh tak rela jika istrinya pergi."Karena itu, jangan berlagak seperti suami yang perhatian kepadaku. Kamu sudah melihat desain arsitektur perusahan kami, aku anggap urusan kita sudah selesai hari ini, aku harus kembali ke kantor." Vida menebarkan tatapan dingin dan menusuk seakan hanya ada kebencian, kebencian, dan kebencian di manik hitamnya yang berkilat indah.Tidak ingin ban
Semburat kuning keemasan baru saja masuk ke peraduan saat Vida hendak pulang dari kantor tempat dia magang."Vid, lo gak dijemput kan? Biar gue anter lo pulang ya?" Erick yang juga magang di perusahaan FN, benar-benar berharap bisa mengantar Vida pulang kali ini.Namun segera ditolak oleh Vida. Dia benar-benar tidak ingin Erick terlibat dengan masalahnya bersama Davin. "Gak perlu, Rick. Gue naik taksi aja. Lo pulang sana.""Yaelah, Vid. Napa sih lo nolak terus sekarang? Lo alergi naik motor? Mentang-mentang sekarang sering dijemput pakai mobil mewah?" cibir Erick berharap pertahanan Vida mengendur dan mau diboncengin."Ya enggaklah, masa pembalap alergi naik motor. Gue tu lagi nahan diri, paling nggak sampai seminggu lagi. Ah, gak sabar menunggu hari itu tiba." Mata indah Vida berkilat seakan sedang membayangkan sesuatu."Emang seminggu lagi ada apa, Vid?" Erick terlihat penasaran."Ada deh ... Pokoknya setelah FN menang dalam kompetisi desain di Bali, gue juga berharap hidup gue bisa
Vida membekap mulutnya sembari berlari menuju ke toilet, membuat Davin terkejut dan menghentikan aktivitas makannya. Hatinya bergemuruh hebat, khawatir apa yang dia takutkan benar-benar terjadi. Terlebih ketika dia melihat tawa renyah nenek Rumi yang terdengar sangat bahagia."Bagus, Davin. Kamu sudah menjalankan dengan baik. Sebentar lagi nenek tidak akan memerlukan tongkat untuk berjalan, karena generasi ke-empat keluarga Wijaya akan segera hadir untuk menuntun nenek berjalan."Davin tertegun, sendok yang dia pegang pun terjatuh dengan lemas di atas piring, hingga menimbulkan suara peling menebar keputusasaan.***"Kenapa tidak bilang jika kamu sedang hamil?"Pertanyaan Davin menyentak Vida yang duduk dengan lemas sembari bersandar di headboard. Dia memang tidak kembali ke meja makan setelah mengeluarkan seluruih isi perutnya. Tapi begitu mendengar kata 'hamil' kelopak matanya pun mengerjap beberapa kali, napasnya tertahan beberapa detik karena terkejut."Aku, aku ... tiadak hamil, a