"Aku harap Davin dan Vida dapat membuat cicit yang lucu dan menggemaskan untukku," ucap nenek Rumi tanpa rasa bersalah.
Di sofa ruang tamu, perempuan sepuh yang rambutnya mulai memutih tampak duduk dengan tenang. Tapi tiba-tiba ujung bibirnya terangkat, menunjukkan senyum penuh arti yang begitu sumringah. Hal tersebut mengundang pelayan yang bernama Naya juga ikut tersenyum ketika melihatnya.
Naya yang merupakan orang kepercayaan nyonya tua, tak bisa menyembunyikan pertanyaan yang hinggap di benaknya. "Nyonya besar Rumi, apakah tidak terburu-buru membawa gadis ke kamar mas Davin?"
Nenek Rumi segera menyunggingkan tawa renyah. "Tentu saja tidak, Nay. Tidak ada kesempatan yang lebih berharga, dari pada saat ini. Aku yakin, ini akan menjadi hadiah ulang tahun terindah untuk Davin. Aku harap setelah ini, Davin bisa melupakan gadis yang selalu menggantungkan cintanya."
Naya kembali tersenyum, dia bisa memaklumi kenekatan sang majikan, hingga terpaksa membuat trik yang sangat memalukan. Usianya yang senja dan sering sakit-sakitan, membuatnya tidak bisa menunda cucu semata wayangnya untuk memiliki seorang istri sebelum dia meninggal.
Davindra Wijaya, cucu dari Arumi Wijaya memang sudah memiliki kekasih, hanya saja kekasihnya selalu menolak jika diajak menikah, bahkan dia malah pergi ke Amerika untuk melebarkan sayap di dunia model, saat nenek Rumi mendesaknya agar segera menikah dengan Davin. Itu membuat nenek Rumi sangat kecewa.
Naya masih tersenyum, namun ada kekhawatiran di raut wajahnya, hingga dia kembali bertanya. "Tapi Nyonya, ini sama sekali tidak ada persekutuan dari dua belah pihak. Bagaimana jika mas Davin marah ketika melihat mbak Vida?"
Nenek Rumi tersenyum, dan menjawab. "Jangan khawatir. Marah pun tak ada gunanya, ketika gadis itu tertidur lelap di ranjangnya. Bukankah aku sudah menyuruhmu memberi obat tidur di minuman Vida?"
"Iya Nyonya, saya sudah melakukannya saat mengantar salep pendingin untuk mbak Vida."
Nenek Rumi terkekeh dan berkata. "Bagus."
"Tapi, Nyonya. Bagaimana jika mas Davin menolak? Mengingat ... mas Davin juga sudah mempunyai kekasih."
Nenek Rumi kembali tergelak ringan, kemudian berucap santai, "Selalu ada bumbu untuk memicunya, Naya. Aku sangat senang ketika melihat Davin makan malam dengan lahap malam ini. Sekarang ambilkan aku telepon, aku ingin menghubungi Danu agar dia tidak khawatir."
Naya mengangguk dan segera mematuhi titah sang majikan tua.
Nenek Rumi mulai berdusta agar Danu mengizinkan Vida menginap di rumahnya. Dia mengatakan jika ban motor Vida bocor dan hujan juga sangat lebat. Dia menyarankan Danu untuk menjemput Vida keesokan harinya saat hujan sudah reda. Begitu gigih nenek Rumi menyakinkan Danu, hingga laki-laki paruh baya tersebut tak mampu menolak, meski sedikit ragu.
***
"Saya mau menjemput putri saya, yang kemarin mengantar kue," ucap Danu sopan pada asisten yang membukakan pintu untuknya saat pagi menyingsing.
"Oh, iya silahkan masuk. Sepertinya mbak Vida belum bangun." Asisten tersebut tampak tersenyum ramah.
Danu langsung menampakan wajah kecut, hatinya pun berbisik dongkol, namun dia segera menutupi dengan senyuman dan kembali berucap. "Mbak, bisa tolong bangunkan Vida, bilang kalau ayahnya menjemput."
"Maaf, Pak Danu. Saya tidak berani membangunkan, bagaimana jika Pak Danu saja yang melakukannya? Kamarnya ada di lantai dua sebelah kanan paling ujung." Sang asisten mengarahkan jarinya tepat pada ruangan yang harus dituju.
Danu terlihat mengangguk, kemudian bergegas menaiki tangga tanpa ragu. Segera Danu memegang kenop pintu dan membukanya dengan semangat.
Jedaaar!
Bagaikan petir menyambar. Seketika binar wajah dongkol yang terbit saat mendengar putrinya belum bangun, kini terlihat semakin kentara, bahkan sekarang dibalut dengan rona kemarahan yang sangat kental. Hingga kilat mata yang tadi tampak jernih, seketika melotot tajam mendapati putrinya tidak tidur sendirian.
"Vida! Apa-apaan kamu ini?"
Hardikan tajam Danu menggelegar, mengejutkan dua insan yang masih tertidur di atas ranjang yang sama dengan posisi berpelukan. Davin dan Vida langsung tersentak dan membuka mata. Dua pasang bola mata langsung terarah pada Danu yang berdiri dengan raut wajah merah penuh emosi.
"Vida, jadi begini kelakuanmu, sampai tadi malam tidak pulang?"
Vida yang tadinya tidur dengan memeluk tubuh Davin segera melonjak dan terduduk, dia sendiri juga bingung, kenapa bisa tidur dengan seorang pria. Panik, takut, dan juga bingung malah membuat Vida tidak bisa berkata-kata, wajahnya pias dan linglung, dia benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi dengannya saat ini. Secara bergantian, dia terus menatap ayahnya dan laki-laki bertelanjang dada yang sama sekali tidak dia kenal.
Davin yang baru saja menegakkan tubuhnya untuk duduk, juga bertanya bingung. "Bapak siapa? Kenapa masuk ke kamar orang tanpa permisi?"
"Kamu mau tahu aku siapa? Aku adalah ayah dari anak gadis yang telah kamu tiduri!"
Bam!
Pukulan keras mendarat di wajah tampan Davin tanpa ampun, dan sukses membuat Vida menjerit, dilanjutkan dengan membekap mulutnya untuk beberapa saat.
Di tengah rasa paniknya Vida segera mendekati sang ayah dan mencoba untuk menenangkan. "Ayah, jangan marah dulu, mungkin ini hanya salah paham."
"Salah paham bagaimana? Lihat keadaan kalian! Dimana pakaianmu? Aku sungguh sangat kecewa padamu, Vida!"
Vida terbengong beberapa detik mendengar pertanyaan ayahnya. Dia baru menyadari jika dia belum berpakaian dan masih mengenakan bathrobe kebesaran yang tampak acak-acakan di tubuhnya. Dalam kebingungan Vida menatap laki-laki yang sedang memegangi salah satu sudut bibirnya yang sedikit robek dan berdarah.
Melihat kondisi pria yang bertelanjang dada, Vida pun mulai gemetaran, perasaan sedih, menyesal, dan juga bodoh, menuntun tangannya untuk bergerak merapatkan bathrobe longgar yang ia kenakan.
"Ada apa ini?" Suara berat yang mempunyai unsur kelembutan terdengar cukup lantang hingga membuat semua orang menoleh.
Melihat nenek Rumi tiba diikuti Naya dan beberapa pelayan di belakangnya, Danu tak bisa lagi menyembunyikan kekecewaan pada perempuan tua yang telah ia percaya sebelumnya.
"Nyonya Rumi, saya sungguh percaya bahwa keluarga Wijaya sangat terhormat, hingga saya yakin membiarkan Vida bermalam di sini. Tapi lihat apa yang terjadi, anak muda ini telah merusak anak gadis saya!"
Nenek Rumi mengela napas panjang dan juga tenang, raut wajahnya serius dan menunjukan kewibawaan, ia pun berucap sopan tanpa mengurangi rasa hormat pada Danu selaku ayah dari gadis yang ia inginkan.
"Pak Danu, saya mengerti kekecewaan Anda, tapi karena semuanya sudah terjadi, sebagai orang tua, mari kita bicarakan baik-baik."
Nenek Rumi melambaikan tangan untuk mempersilahkan Danu keluar dari dalam kamar, guna membicarakan masalah anak-anak mereka dengan bijak. Danu tidak punya pilihan lain, bagaimanapun juga putrinya lah yang akan memiliki bekas, tanpa berkata lagi ia segera keluar mengikuti nenek Rumi.
"Pak Danu, saya sungguh menyesal dengan kejadian ini. Saya minta maaf, ini sepenuhnya kesalahan saya, tapi sebagai keluarga Wijaya, kami tidak akan lari dari tanggung jawab. Apa yang dilakukan putra-putri kita adalah aib yang tidak bisa dihindari, tapi kita bisa mencegah sesuatu yang tidak diinginkan dengan mengambil keputusan cepat," tutur nenek Rumi perlahan dan juga tenang, tidak meninggalkan kesan wibawa pada paras senja yang terawat miliknya.
Danu terlihat membuang napas kasar, kejadian itu memang membuatnya syok, namun ia mencoba bersikap bijak sebagai orang tua.
"Mereka harus menikah," ucap Danu pelan.
Senyum indah segera terbit dari bibir nenek Rumi, hatinya pun bersorak karena semua berjalan sesuai dengan keinginannya.
"Benar Pak Danu, saya pun juga berpikir demikian. Maka dari itu saya ingin menebus kesalahan saya, yang tidak bisa mendidik cucu saya dengan baik. Biarkan saya mengatur semua keperluan pernikahan mereka, Pak Danu cukup memberikan restu saja." Nenek Rumi terlihat sangat bahagia.
Dari sofa terlihat Davin tengah berjalan menuruni tangga dengan wajah datar dan juga dingin, membuat nenek Rumi sedikit mengangkat dagu dan berbicara setelah Davin tiba di hadapannya.
"Davin, karena kamu sudah mengambil keuntungan dari putri pak Danu, maka kami sudah memutuskan, bahwa kalian harus menikah malam ini."
Mata Davin melebar, dia tertegun ....
"Davindra Wijaya, bersediakah kamu menjadi suami Lavida Veronika saat senang ataupun sedih, sehat ataupun sakit, kaya ataupun miskin, selama hidupmu." Sangat berat bagi Davin untuk mengeluarkan suara, tapi pada akhirnya dia menjawab, "Ya, saya bersedia." "Lavida Veronika, bersediakah kamu menjadi istri Davindra Wijaya, saat senang ataupun sedih, sehat ataupun sakit, kaya ataupun miskin, selama hidupmu." Sama halnya dengan Davin, tenggorokan Vida serasa tercekat ketika bersusah payah mengeluarkan kata, "Ya, saya bersedia." "Selamat, kalian adalah pasangan suami istri yang sah sekarang." Tepuk tangan meriah terdengar riuh dari para tamu undangan setelah Davin dan Vida mengikat janji suci pernikahan. Cincin pernikahan juga melingkar manis di jari mereka, mengundang senyum sekaligus kelegaan pada bibir nenek Rumi dan juga Danu. Dimana ada embun kebahagiaan yang berselimut keharuan di mata mereka. Tapi tidak dengan kedua mempelai yang tengah berdiri di pelaminan, mendung justru hingg
"Kekanak-kanakan." Davin bergumam lirih ketika tidak menemukan Vida di sampingnya saat terbangun di pagi hari. Bibirnya mencibir geli kala melihat bantal yang bertumpuk di tengah ranjang, dimana bantal tersebut selalu menjadi benteng pertahanan bagi Vida yang tidak ingin bersentuhan dengannya selama dua malam ini. Bukankah itu kekanak-kanakan? Suara bising pengering rambut segera menyambut ketika Davin memasuki kamar mandi, ia juga langsung mendapati Vida yang tengah berdiri di depan cermin, dimana benda itu kini memantulkan bayangan Vida dengan arah pandang yang tak dapat ditebak. Jelas istrinya sedang melamun, hingga sama sekali tak menyadari keberadaannya. Bahkan perempuan itu sempat bergumam lirih yang mengundang Davin menerbitkan senyum sengit di bibirnya. "Ah … jalani saja Vida, demi ayahmu, Ini hanya perlu waktu satu bulan. Kamu pasti bisa, yakin saja bahwa kamu tidak hamil anak pria sialan itu." Davin menegakkan wajahnya dengan angkuh, sengaja mengeluarkan suara serak deng
"Vid, motor lo kemana sih? Sekarang gak pernah bawa motor kalau ke kampus?" tanya Erick sembari membelah durian yang berukuran sebesar kepala manusia."Dijual," jawab Vida singkat tanpa menoleh pada Erick, lantas membuka mulut untuk memakan buah yang baunya sangat menyengat itu."Serius lo? Apa toko roti bokap lo, bangkrut? Hingga sampai jual motor segala." Lagi Erick bertanya, sembari mengunyah duriannya."Mau tau aja, apa mau tau banget?" Vida malah balik bertanya dengan mimik wajah yang menyebalkan, mengundang Erick untuk menipiskan bibir karena kesal."Bisa tidak, tanpa memberi gue wajah menyebalkan itu?"Vida hanya terkekeh melihat wajah jengkel Erick, begitu juga dengan Rion yang mulai ikut berkelakar."Bagaimana mau bawa motor? Orang pulang pergi dijemput pakai mobil mewah sekarang."Mata Erick melebar mengingat kebenaran yang diucapkan Rion, jiwa penasarannya meronta."Bener juga kata Rion. Siapa sih yang antar jemput lo setiap hari, Vid? Jangan-jangan lo cuma pura-pura kismin
"Kak, apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku!" pekik Vida mencoba mendorong Davin agar menjauh dari tubuhnya.Sayangnya Davin tidak mengindahkan pekikan Vida, dia malah membungkam mulut Vida dengan ciuman bertubi-tubi dan memagutnya dengan rakus, hingga hanya ada suara lenguhan tertahan yang keluar dari mulut Vida yang terbungkam.Vida berusaha keras menolak, dengan terus mendorong kuat tubuh tegap suaminya. Tapi sungguh menyedihkan ketika tenaga Vida tidak cukup kuat untuk melawan Davin, kini kedua tangan Vida malah dikunci di atas kepala hingga dia tak bisa berkutik. Bahkan tangan Davin semakin berani menjelajahi setiap jengkal tubuh Vida yang ramping.Vida benar-benar merasa sangat terhina, dia merasa sedang dilecehkan suaminya sendiri, di belakang orang lain yang jelas bisa melihat dan mendengar apa yang terjadi di jok mobil belakang.Tidak tahan lagi, Vida langsung menggigit bibir Davin, hingga Davin tersentak dan melepaskan pagutannya."B4jingan! Apa yang sedang kamu lakukan padaku
"Apa masih ada berkas yang harus ditandatangani?" tanya Davin sembari mengulurkan berkas yang sudah dia sahkan pada sekretarisnya."Tidak, Pak. Ini yang terakhir. Tapi nanti pukul 18.00 ada pertemuan dengan perwakilan dari perusahaan LT," terang Iko datar."Batalkan saja. Suasana hati istriku sedang buruk, bukankah aku harus menghiburnya sekarang?" tanya Davin yang dibumbui sedikit humor.Iko terkekeh.Memang tidak ada yang Davin tutup-tutupi dari sekretarisnya, bisa dibilang Iko adalah orang yang sangat Davin percaya. Hingga masalah percintaan pun kadang dia curhat dengan Iko, membuat sekretarisnya itu tak segan memberi saran meski tak diminta."Tapi, Pak. Apa tidak sebaiknya Anda memberi tahu Fani perihal nyonya? Takutnya dia akan salah paham jika mendengar dari orang lain."Jari Davin yang sedari tadi memutar-mutar bolpoin seketika berhenti. Hidung mbangirnya mengela napas panjang, dan mengembuskan perlahan, jelas ada beban yang sengaja dia pendam. Kemudian berucap lirih."Aku tida
Senyum seringai yang sangat menyebalkan tersungging dari bibir Davin kala meletakan sepiring nasi goreng pada meja makan."Aku tidak biasa melayani seseorang, tapi aku merendahkan tanganku yang agung untuk membuat nasi goreng, kamu tidak ingin memberi penghargaan?" ucap Davin datar meski masih terkesan sombong.Vida tidak bergeming, hatinya menolak menerima apapun pemberian Davin. Dia malah berbalik hendak meninggalkannya. Tapi langsung tersentak ketika Davin menariknya dengan cepat."Lepaskan aku!" Vida mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Davin."Jangan menguji kesabaran ku, Vida. Kemasi barangmu dan ayo kita pulang," ucap Davin dingin dengan nada menekan."Jangan memaksaku. Aku tidak akan bergerak, meski kamu mengancam ingin menghancurkan toko ayahku. Aku tahu kamu hanya menggertak. Aku ingin bercerai." Nada yang dilontarkan Vida tak kalah dingin dengan ucapan Davin.Tapi alis Vida segera mengeryit kala melihat senyum penuh arti yang terbit di sudut bibir Davin.Davin melepaska
Davin dapat melihat dengan jelas perubahan di raut wajah Vida. Namun dia tidak peduli, pada kenyataannya dia memang mencintai Fani dan berniat menikahinya. Dia tidak masalah jika Vida mengetahui itu, lagipula Vida juga sudah tahu jika dia tidak menginginkannya, mereka hanya menjalani pernikahan sampai kontrak yang ditentukan selesai.Sementara Vida sendiri masih memikirkan ucapan laki-laki di depannya. Ingin bersikap acuh, tapi ternyata status istri yang dia sandang cukup mempengaruhi emosinya, istri mana yang tidak geram ketika mengetahui ada perempuan lain di kehidupan suaminya?Vida berdecak kesal dalam hati membayangkan jika itu benar, berarti Davin sama sekali tak layak untuk dipertahankan, Vida hanya berharap semoga dia tidak hamil agar segera terbebas dari Davin.Lamunan Vida berangsur-angsur menghilang ketika mendengar laki-laki yang tadinya menyapa kembali berkelakar, bahkan ucapannya kini berpindah menyerang Vida yang sebenarnya tidak ingin terlibat dengan siapapun di tempat
"Sampai kapan kamu akan menunjukan wajah buruk mu itu kepadaku?" tanya Davin sesampainya di ruang bawah tanah hotel untuk mengambil mobil. Vida yang memang sudah uring-uringan sejak keluar dari ballroom, sama sekali tidak mau menjawab dia terus berjalan cepat menuju mobil. Tapi sesampainya di depan mobil, dia malah berbalik menghampiri Davin, dan memukul dada bidang itu secara bertubi-tubi tanpa mengucapkan apa-apa, meski air mata tiba-tiba tumpah ruah di pipinya. Sementara Davin sendiri sama sekali tidak berusaha menghindar ataupun mencegah apa yang dilakukan Vida. Dia terlihat pasrah menerima setiap pukulan dari tangan ramping istrinya, yang tengah meluapkan emosi yang sudah dia tahan sejak berada di acara lelang. Puas memukul Davin, Vida segera masuk ke dalam mobil sembari menyeka air mata, meski belum berucap apa-apa. Davin hanya dapat mengela napas panjang dan mengembuskan perlahan, mendapati amukan Vida yang masih tampak kekanak-kanakan. Dia juga mendapati Vida yang masih men