Mata Alana terbelalak. Gerakannya terhenti karena terkejut.
Berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri adalah Samuel, yang tanpa gadis itu ketahui ternyata menginap di rumah mereka. Bagaimana mungkin lelaki sialan itu menginap di rumah calon mempelainya di malam pernikahan mereka? Alana benar-benar tidak habis pikir.
“Mengapa kamu membawa koper malam-malam begini? Kamu mau kabur?” tanya Samuel menyelidik.
Setelah kesadarannya kembali, Alana bergegas keluar dari rumah. Namun baru sampai teras depan, Samuel sudah berhasil meraih sikunya. Dengan paksa lelaki itu menarik Alana kembali masuk ke dalam rumah.
“Lepaskan ... Lepas ...” Alana meronta-ronta berusaha melepaskan cengkraman tangan Samuel, tetapi percuma saja. Koper yang tadi dia pegang bahkan kini sudah tidak ada di tangannya.
“Ku bilang lepaskan ...”
“Diam kamu!” Bentak Samuel.
Alana takut mamanya terbangun karena keributan itu sehingga kemungkinan dia bisa kabur akan semakin mustahil. Dia berusaha menginjak kaki Samuel atau menyikutnya untuk melepaskan diri namun tidak berhasil.
“Claudia ... ! Claudia, bangun!” Samuel berteriak memanggil-manggil mama Alana. “Claudia ...”
Mama Alana yang mendengar keributan itu bergegas keluar kamar. Wanita itu terlihat lelah dan mengantuk, tetapi matanya langsung terbuka lebar saat mengetahui calon suami dan anaknyalah yang membuat keributan.
“Lihat ini, anak kamu berusaha kabur.”
Samuel mengempaskan Alana hingga gadis itu nyaris tersungkur ke lantai. Untuk mendukung ucapannya, Samuel mengambil koper yang tadi dijatuhkan Alana di ruang depan dan meletakkan benda itu di hadapan Claudia.
“Kabur? Kamu mau kabur? Mau kabur ke mana kamu, hah? Jawab, Lana! Berani-beraninya kamu mau kabur dari Mama!”
Claudia menjambak rambut panjang Alana yang saat itu hanya bisa menangis.
“Sam, ambil tas dan kopernya!”
“Jangan, Ma. Lana mohon, jangan ... ” Alana berusaha menarik tas selempang yang kini berusaha direnggut darinya. Dengan tidak berdaya Alana melihat Claudia menumpahkan isi tasnya tersebut ke atas meja.
Ingin rasanya Alana melawan, tetapi tidak bisa karena kini Samuel kembali memegangi kedua lengannya dengan erat. Di tas itu Alana hanya menyimpan beberapa barang terpenting.
Dompet yang berisi sedikit uang dan kartu tanda pengenal, handphone, dan tentunya benda paling penting yang saat ini tengah dipegangi oleh Claudia.
Ya, di antara barang-barangnya tersebut Claudia berhasil menemukan tiket pesawat yang telah dibeli Alana tempo hari secara diam-diam.
Claudia memastikan lokasi tujuan Alana sebelum akhirnya amarahnya benar-benar meledak. Selama bertahun-tahun dia telah berhasil menjauhkan putrinya dari mantan suaminya, tetapi sekarang gadis itu malah hendak berlari ke sana.
“Apa-apaan ini, Lana? Kamu mau kabur dan pergi menemui papa kamu?”
Alana hanya terdiam sambil menangis sesenggukan.
“Kamu tahu kan, dia sudah menikah lagi? Dan kamu dengan tidak tahu malunya mau menemui mereka? Di mana harga diri kamu? Mama tidak membesarkan kamu untuk mempermalukan Mama!” ujar Claudia murka.
“Aaahh!” Alana memegangi rambutnya yang kembali dijambak oleh Claudia. “Ampun, Ma. Sakit ... ”
“Papa kamu itu udah membuang kamu. Dan kalau kamu menemui dia sekarang, dia dan istri barunya akan kembali membuang kamu. Tempat kamu itu di sini, sama Mama. Ngerti kamu?” Claudia sudah seperti orang kesetanan dan tidak mempedulikan putrinya yang memohon ampun.
“Claudia, sudah cukup. Aku rasa Alana sudah menyesal.” Samuel berusaha menenangkan calon istrinya dan melepaskan cengkraman Claudia pada rambut Alana yang semakin berteriak kesakitan.
Akhirnya Claudia melepaskan Alana dan mendorong tubuh gadis itu hingga jatuh terduduk di lantai.
“Jangan pernah berani-berani kamu kabur lagi. Karena Mama tidak akan segan buat hukum kamu!” Ancam Claudia.
Alana tersentak melihat Claudia yang berniat merobek tiketnya.
“Jangan, Ma ... Lana mohon jangan dirobek,”
Alana berusaha bangkit dan menggapai tangan Claudia, tetapi terlambat. Kini kertas tersebut sudah berubah menjadi serpihan-serpihan kecil.
Seolah ingin lebih menyakiti Alana, Claudia melemparkan potongan-potongan kertas tersebut tepat ke muka sang putri. Alana tidak bisa merasakan kakinya, dia merasa seakan tubuhnya melayang. Kini harapannya hancur.
“Sekarang, kamu tidak akan bisa kabur lagi. Sekali lagi kamu kabur, Mama akan potong kaki kamu!” Claudia menyeret Alana kembali ke kamar dan mengunci pintunya dari luar.
Kali ini Alana bahkan tidak berusaha melawan lagi karena tahu itu percuma. Koper dan tasnya diambil oleh Claudia dan entah akan disembunyikan di mana.
Alana berdiri di kamarnya yang gelap. Hatinya begitu sakit hingga mati rasa. Dia merasa teraniaya di rumahnya sendiri. Diperlakukan kasar dan semena-mena, bahkan kini dia diperlakukan layaknya seorang tahanan.
Haknya untuk bertemu dengan sang ayah pun telah direnggut darinya. Lagi-lagi Alana hanya bisa menangis, karena hanya hal itu yang bisa dilakukannya saat ini.
Sungguh makhluk lemah tidak berguna. Bodoh ... Air matamu tidak bisa menolongmu, Alana, maki Alana dalam hati.
Semua orang terlihat bahagia, kecuali Alana. Semua tamu terlihat rapi, bahkan Claudia terlihat cantik dengan kebaya berwarna putih gading.Alana melihat Claudia sangat bahagia. Ini akan menjadi hari yang sempurna seandainya pria yang bersanding dengan mamanya itu bukanlah Samuel, pria yang kini sangat Alana benci.Sepasang mata Alana terus memerhatikan, sembari berdiri di samping pintu masuk untuk menyambut para tamu yang datang. Dia harus tersenyum bahagia, tidak peduli sepedih apa hatinya.Semua tamu memuji betapa cantik dan anggunnya Alana dengan kebaya berwarna gold yang kini dia kenakan. Padahal baju itu hanya semakin membuatnya sesak napas.Seharusnya pada saat ini Alana sedang berada di pesawat yang sebentar lagi akan mendarat, bukannya berdiri di tempat ini dan terus tersenyum seperti orang bodoh.Pagi-pagi sekali hari itu, Claudia membuka pintu kamar Alana dan membangunkannya. Dia menyuruh Alana mandi untuk kemudian dirias. Alana hanya bisa berjalan patuh seperti sebuah raga
Sudah satu jam dan Alana masih berjalan tidak tahu arah. Sudah lewat tengah hari ketika dia pergi meninggalkan rumah, dengan tidak membawa apa pun kecuali sepasang baju yang melekat di badan.Alana pergi begitu saja dari rumah tanpa rencana apa pun. Apa yang dilakukan Samuel membuatnya sangat ketakutan, hingga tanpa sadar Alana melukai pria tua bajingan itu sehingga terluka cukup parah.Dia hanya berniat membela diri. Di saat dia ketakutan, insting bertahan dirinyalah yang mengambil alih. Pada satu sisi dia sangat berharap Samuel mati, tetapi pada satu sisi lainnya dia tidak ingin menjadi seorang pembunuh.“Sekarang, apa yang harus aku lakukan?” Alana berbisik lirih pada dirinya sendiri, sambil menggigil ketakutan. Sekarang pasti Claudia sudah tahu apa yang dia lakukan pada suami bejatnya.Maka dari itu Alana sengaja menghindari jalanan besar untuk bersembunyi dari Claudia yang kemungkinan sedang mencarinya. Atau bahkan lebih buruk lagi, melapor pada polisi.Claudia tidak akan percaya
“Kereta kelas ekonomi paling cepat jadwalnya besok pagi, jam enam. Kalau yang sekarang adanya hanya untuk kelas bisnis dan eksekutif.” Seorang petugas loket menginformasikan pada Alana.“Kalau begitu, saya ambil jadwal yang paling cepat,” jawab Alana setelah mengambil keputusan.Alana terpaksa naik kereta kelas eksekutif karena itu adalah kereta dengan jadwal keberangkatan paling cepat yang bisa dia dapat pada saat itu.Padahal tadinya Alana berencana untuk mengambil tiket yang paling murah demi menghemat uang, juga sebagai antisipasi jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Namun jika menunggu terlalu lama di stasiun, Alana khawatir seseorang akan berhasil menemukannya. Maka makin cepat dia pergi, itu akan semakin baik.Alana duduk di bangku peron paling sudut, jauh dari pintu masuk. Dia mengamati setiap orang yang berlalu-lalang dengan perasaan was-was.Semoga tidak ada yang menemukanku, batin Alana.Hari mulai malam dan badannya sedikit menggigil karena saat itu hanya menge
“Ini neng, silakan diminum tehnya. Tolong maafkan bapak ya, neng. Bapak benar-benar menyesal. Bapak benar-benar tidak tahu tadi”“Iya pak, tidak apa-apa”, jawab Alana yang sebenarnya masih kesal.Alana sadar kalau satpam tersebut yang ternyata bernama Pak Anwar, hanya melakukan tugasnya. Sebenarnya dia bukan orang yang jahat.Siapa pun pasti akan mengiranya penipu dalam situasi seperti itu. Terlebih seorang satpam memang sealu dituntut untuk selalu awas dan waspada.Perlu waktu bagi Alana untuk meyakinkan bahwa dia bukan penipu. Perlu beberapa waktu untuk menjelaskan situasinya pada saat itu, hingga kedatangannya di waktu dan dalam keadaan yang tidak seharusnya.Pria itu mencoba mengetesnya dengan beberapa pertanyaan mengenai Alana dan juga papanya yang dengan mudah dicocokkan dengan berbagai fakta yang satpam itu ketahui.Setelah yakin bahwa Alana bukanlah penipu, pria itu berubah menjadi sangat ramah. Terlalu ramah malah.Sepertinya dia merasa bersalah dengan sikapnya sebelumnya. At
Alana menyeka kedua tangannya yang kini mulai berkeringat. Dia bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk, apa pun itu.Mereka masuk ke dalam rumah yang terasa sejuk. Gadis itu menatap sekeliling ruangan yang terlihat bersih dan berkilau. Tidak ada setitik pun debu di sana.Dia memandangi patulan dirinya di sebuah lemari pajang berisi hiasan kristal. Bayangan dirinya terlihat sangat lusuh dan berantakan. Tiba-tiba dia merasa sangat kotor berada dalam ruangan yang begitu bersih itu.“Sherly ... Kami sudah pulang,” Steve berteriak memanggil istrinya.Alana semakin gugup. Menantikan wanita asing yang adalah istri ayahnya, ibu tirinya. Seperti apakah dia? Akankah wanita itu membencinya?“Kalian sudah pulang?”Alana menoleh dan menatap wanita itu dari seberang ruangan.“Lana ... ” Alana mendapati seorang wanita cantik berdiri di hadapannya. Dia menghambur dan memeluk Alana dengan erat.“Senang sekali akhirnya bisa bertemu kamu,” wanita itu menagkup wajah Alana dan mengecup kedua pipinya
Sebuah motor sport berwarna hitam memasuki pekarangan rumah. Pemuda yang mengendarainya memarkirkan motor di luar pintu garasi, kemudian melepas helm setelah mematikan mesin motor. Braden baru saja pulang setelah keluar bersama teman-temannya sejak semalam. Dia jarang menghabiskan waktunya di rumah, dia hanya pulang sesekali untuk sekedar berganti baju atau mandi. Dengan masih duduk di atas motor dia menyugar rambutnya yang berantakan. Baru setelah memastikan penampilannya rapi dari kaca spion, pemuda itu masuk ke dalam rumah. Dari arah dapur dia mendengar gumaman percakapan para wanita yang sedang menyiapkan makan malam. Dua asisten rumah tangga di rumah itu memang suka bekerja sambil bergosip. Sambil berjalan dilepasnya jaket hitam yang dikenakannya dan dia langsung menuju lantai atas, ke kamarnya. Saat sampai di puncak tangga, langkahnya terhenti. Tatapannya terpaku pada sosok di depan jendela besar yang berada seberang ruangan. Dia terpana. Seorang gadis cantik bergaun putih
Alana tahu Braden dan ibunya sedang membicarakan dirinya di kamar sebelah. Karena tidak ingin mendengar percakapan mereka, maka Alana masuk ke kamarnya sendiri. Dia tidak ingin tahu apa saja yang mereka katakan tentang dirinya.Sebelumnya dia sedang mengamati cuaca di luar yang begitu cerah. Hingga akhirnya dia setengah melamun dan pikirannya kembali ke saat-saat yang menyedihkan ketika dia harus meninggalkan rumah.Dia tidak tahu bahwa Braden datang. Pemuda itu berjalan tanpa suara dan tahu-tahu ada di sana. Dia hanya berharap pemuda itu tidak melihatnya menangis, karena bagi Alana hal itu sungguh memalukan.Dia bisa melihat betapa pemuda itu membencinya. Langsung terlihat dari sorot matanya begitu mereka diperkenalkan sebagai saudara tiri.Suara pintu dibuka dan ditutup terdengar dari kamar sebelah. Dan sesaat kemudian terdengar suara pintu dibuka dan ditutup lagi, kali ini dengan lebih keras. Braden pasti sedang kesal sampai harus membanting pintu.Hal itu hanya makin menambah ra
Semua perabot di ruangan itu bernuansa coklat gelap. Di satu sisi ruangan terdapat sebuah rak buku besar yang memenuhi dinding, dan di sisi seberangnya terdapat sebuah sofa kulit panjang berwarna hitam. Sedangkan bagian tengahnya didominasi oleh sebuah meja kerja besar dengan sebuah kursi di belakangnya.Steve duduk di ujung sofa dan mengisyaratkan pada putrinya yang masih berdiri untuk duduk di sebelahnya. Mereka sudah cukup lama tidak pernah duduk dan mengobrol bersama. Sehingga Alana merasa aneh berasa dalam situasi tersebut.Alana mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, dan pandangan matanya tertumbuk pada sebuah benda di atas meja. Sebuah foto berbingkai kayu yang menampilkan Steve muda dan Alana kecil.Alana merasa terharu, tidak menyangka Steve akan menyimpan foto itu. Foto di mana mereka berdua terlihat begitu bahagia dan saling mencintai, bukannya canggung layaknya orang asing seperti sekarang.“Apa rencana kamu sekarang, Lana?” Steve memulai pembicaraan. “Tadi kita tida