Share

BAB 3 - Sebuah Rencana

Gadis itu tidak tahu mengapa hidupnya benar-benar tidak adil. Mengapa dia tidak pernah bahagia? Kini bahkan dia tidak bisa sekadar menjalani hidup dengan tenang.

Alana duduk termenung di depan jendela kamar yang terbuka lebar. Dia tidak peduli pada embusan angin malam yang mulai membuatnya menggigil.

Dia tahu harus melakukan sesuatu, tetapi apa? Apa yang harus dia lakukan? Dia tidak bisa lagi tinggal di rumah ini, tetapi dia harus ke mana?

Alana tidak dekat dengan papanya. Dia bahkan hanya tiga kali bertemu dengan lelaki itu setelah perceraian orang tuanya. Dengan berbagai alasan, Mama selalu melarang Alana untuk bertemu dengan papanya.

Dia bahkan mendengar kalau Papa sudah menikah lagi. Hal itu hanya membuat hubungan mereka semakin renggang. Komunikasi di antara mereka pun tidak berjalan dengan baik.

Hanya sesekali papanya menghubungi untuk sekadar menanyakan kabar. Sedangkan Alana tidak pernah mencoba untuk menghubungi sang papa sama sekali.

Alana tidak memiliki siapa pun selain mamanya. Kakek dan neneknya semua sudah meninggal, dan satu-satunya kerabat Mama berada jauh di daerah lain. Alana bahkan nyaris tidak mengenal mereka.

Sungguh malang nasib Alana karena menjadi anak tunggal dari pernikahan orang tuanya.

Gadis itu tidak mempunyai teman dekat, sebab sang mama selalu membatasi pergaulannya. Tidak ada main-main ke rumah teman sepulang sekolah. Ditambah lagi dengan kepribadian Alana yang pendiam sukses membuat gadis itu tidak memiliki teman dekat sama sekali.

Satu hal yang pasti, Alana harus segera pergi dari rumah ini. Dia tidak bisa tetap tinggal di sini, tidak dengan adanya Samuel yang jelalatan dan selalu memandangi dirinya dengan tatapan tidak senonoh.

Hal itu benar-benar membuat Alana ketakutan. Dia tidak ingin memikirkan apa yang mungkin terjadi jika tetap tinggal di rumahnya setelah Mama menikah dengan Samuel.

Dengan cekatan Alana mengambil cutter dan celengan beruangnya. Dia memastikan pintu kamar sudah terkunci, sebelum duduk bersimpuh di lantai kamar dan merobek bagian bawah celengan.

Dengan cutter yang tajam, celengan berbahan plastik tersebut bisa terbuka dengan mudah. Alana menumpahkan semua isi di dalamnya.

Dia tahu tabungannya tidak banyak. Mama  selalu memenuhi semua kebutuhannya, sehingga jarang memberi uang tunai. Alana juga tidak memiliki rekening, sebab uang kiriman dari papanya ditransfer melalui sang mama.

Setelah mengumpulkan dan menghitung semua isi celengan, ternyata jumlahnya bahkan jauh lebih sedikit dari perkiraan Alana. Setelah itu dia mencoba membongkar dompet, lemari, dan saku-saku bajunya.

Begitu semua uang yang ada terkumpul pun, jumlahnya masih jauh dari cukup untuk sekadar mencari tempat kos dan biaya hidup selama setidaknya satu bulan ke depan. Namun uang itu cukup jika hanya untuk membeli sebuah tiket pesawat menuju tempat papanya tinggal.

Alana benar-benar menghadapi dilema. Haruskah dia menghubungi dan meminta bantuan papanya saat ini?

Jika tetap tinggal di kota ini, dia tidak yakin bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak dan tetap menjalani kuliahnya. Alasan lain, Mama dan Samuel pasti akan dengan mudah bisa menemukannya. Jika hal itu terjadi, pasti mamanya akan menyeret Alana kembali pulang ke rumah.

Alana terpaksa menelan ego dan harga diri. Dengan tangan gemetar dia menekan nomor papanya di handphone. Alana berdeham untuk membuat suaranya jernih sebelum berbicara.

Setelah deringan keempat dan merasa yakin papanya tidak akan mengangkat panggilan, akhirnya terdengar suara dari seberang sana.

“Halo, Lana ... ”

“Halo, Pa ... ”

***

Alana berjingkat-jingkat keluar sambil menenteng sebuah koper kecil berwarna merah dengan kedua tangan. Koper itu ternyata lumayan berat meski barang yang dia bawa tidak seberapa banyak.

Meski begitu, Alana tidak berani menyeret koper tersebut karena roda-rodanya akan berderak dengan berisik. Gadis itu berjalan sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara. Malam sudah sangat larut dan Alana yakin kini mamanya sudah tidur.

Mama Alana harus tidur cepat karena esok hari harus bangun pagi-pagi sekali untuk dirias. Ruang depan dan tengah sudah didekorasi dengan indah menggunakan ratusan tangkai bunga-bunga segar.

Suasana begitu hening, hanya terdengar bunyi detak jarum jam yang berada di dinding tidak jauh dari tempatnya berdiri. Alana memperhatikan irama jantungnya yang kini mulai berdegup lebih cepat.

Tidak perlu gugup. Semua akan baik-baik saja, batinnya.

Aroma wangi dari berbagai macam bunga memenuhi ruangan hingga menusuk indra penciumannya. Alana memandangi sekeliling ruangan yang penuh bunga dan dekorasi pernikahan sejenak, karena dia tidak akan berada di tempat ini ketika acara berlangsung nanti.

Dengan sangat perlahan Alana memutar kunci pintu depan, sehingga akhirnya terdengar bunyi klik. Baru saja dia hendak menarik pintu terbuka, terdengar suara teguran di belakangnya.

“Lana, mau ke mana kamu?”

Darah di tubuh Alana seakan membeku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status