Share

BAB 5 – Pesta Pernikahan

Semua orang terlihat bahagia, kecuali Alana. Semua tamu terlihat rapi, bahkan Claudia terlihat cantik dengan kebaya berwarna putih gading.

Alana melihat Claudia sangat bahagia. Ini akan menjadi hari yang sempurna seandainya pria yang bersanding dengan mamanya itu bukanlah Samuel, pria yang kini sangat Alana benci.

Sepasang mata Alana terus memerhatikan, sembari berdiri di samping pintu masuk untuk menyambut para tamu yang datang. Dia harus tersenyum bahagia, tidak peduli sepedih apa hatinya.

Semua tamu memuji betapa cantik dan anggunnya Alana dengan kebaya berwarna gold yang kini dia kenakan. Padahal baju itu hanya semakin membuatnya sesak napas.

Seharusnya pada saat ini Alana sedang berada di pesawat yang sebentar lagi akan mendarat, bukannya berdiri di tempat ini dan terus tersenyum seperti orang bodoh.

Pagi-pagi sekali hari itu, Claudia membuka pintu kamar Alana dan membangunkannya. Dia menyuruh Alana mandi untuk kemudian dirias. Alana hanya bisa berjalan patuh seperti sebuah raga tanpa jiwa.

Claudia juga tidak mengizinkan Alana mendapat handphone dan barang-barangnya kembali. Pasti nanti Papa akan menunggu dengan cemas di bandara, pikir Alana. Namun kini Alana bahkan tidak bisa menghubungi lelaki itu.

Bodohnya aku, rutuk Alana dalam hati. Seharusnya aku mencatat nomor Papa entah di mana. Sehingga dalam situasi semacam ini masih bisa meminta tolong pada seseorang untuk setidaknya memberi kabar pada Papa.

Alana memohon pada Claudia untuk setidaknya memberi kabar pada sang papa bahwa dirinya tidak jadi berangkat. Dia tidak ingin papanya khawatir. Namun Claudia hanya mengacuhkannya. Alana merasa sangat bersalah pada papanya karena hal itu.

***

Sudah dua hari semenjak pesta pernikahan dan Alana masih dihukum tidak boleh keluar rumah. Karena kuliahnya sedang libur semester, maka dia tidak memiliki alasan untuk pergi keluar.

Sedangkan selama itu Claudia dan Samuel selalu berada di rumah, sehingga Alana tidak bisa mencari dan mengambil barang-barangnya. Dia sudah berkali-kali memohon pada mamanya untuk setidaknya mengembalikan handphone, tetapi Claudia tetap bergeming.

Ceklek!

Alana menoleh saat mendengar suara pintu kamarnya terbuka. Alih-alih Claudia, yang saat itu berdiri di ambang pintu adalah Samuel. Alana langsung  berdiri waspada dan membuat jarak sejauh mungkin di antara mereka.

“Mau apa Om ke sini?” Alam bawah sadar Alana langsung menyuruhnya untuk waspada.

“Mengapa masih memanggil dengan sebutan Om? Panggil Papa, Lana ... Ingat, Om sudah menikah dengan mama kamu. Kita sekarang sudah menjadi keluarga.”

“Om bukan keluarga Lana dan tidak akan pernah jadi keluarga Lana!” Alana berusaha terlihat galak meski sebenarnya semakin ketakutan karena kini Samuel semakin mendekati dirinya.

“Ah, jangan bicara begitu. Itu karena kita belum saling mengenal dekat selama ini. Sebagai orang tua kamu, Papa ingin lebih mengenal kamu.”

Kini Alana sudah tersudut dan tidak bisa mundur lagi.

“Pergi! Keluar dari kamarku!”

Samuel yang melihat ketakutan di wajah Alana kini makin berani. Matanya berkilat licik dan dengan kurang ajar dia mengelus pipi Alana.

“Jangan berani-berani kamu sentuh aku!” Alana berusaha menepis tangan Samuel.

Samuel mencengkram tangan Alana yang terlihat semakin ketakutan.

“Jangan takut, Alana ... Papa tidak akan menyakiti kamu.” Samuel menyeringai semakin lebar dan berusaha memeluk Alana.

Sementara Alana mulai mencakar dan memukuli Samuel. “Mamaaa! Mama, tolong ...!”

“Mama kamu tidak ada di rumah. Kita sedang sendirian, Alana. Tidak ada mama kamu atau siapa pun yang akan mengganggu kita. Dan asal kamu tahu, yang sebenarnya aku cintai itu kamu, bukan mama kamu.”

“Dasar bajingan, berengsek! Lepaskan, jangan sentuh aku!”

Alana meronta, berusaha melepaskan pelukan Samuel yang sekarang bahkan mencoba untuk menciumnya. Namun tubuh Alana jauh lebih kecil dari Samuel, sehingga tidak mudah baginya untuk melepaskan diri.

“Toloong ... Tolooong!”

“Mau kamu berteriak sekencang apa pun, tidak ada yang bisa menolong kamu.”

Samuel berusaha mendorong tubuh Alana. Pada saat itulah Alana mendapat sedikit celah. Dia menendang sekuat tenaga ke arah selangkangan pria paruh baya itu.

Dug!

Seketika Samuel melepaskan pelukannya dan berteriak kesakitan, “Aaahh ... ”

Samuel terhuyung hampir jatuh. Alana memanfaatkan kesempatan itu untuk lari, tetapi Samuel berhasil menarik lengannya.

“Berengsek! Jangan lari kamu!”

Dalam keadaan panik, gadis itu menyambar benda apa pun yang bisa diraihnya. Dengan sekuat tenaga dia memukulkan benda yang ternyata adalah bingkai foto dari kayu tebal yang ada di meja belajar. Bingkai yang berisi foto dirinya dan Claudia saat Alana masih kecil.

Kaca dari bingkai tersebut langsung pecah berserakan. Alana tidak berhenti. Dengan sudut tajam benda itu Alana terus memukuli Samuel yang berusaha menghindar, sengaja menyasar kepala lelaki kurang ajar itu yang mulai berlumuran darah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status