Aku menjadi sangat mencemaskan keadaan Noni, aku membayangkan hal yang terburuk terjadi pada Noni. Aku kembali meneteskan airmataku. Ini hal yang sebetulnya tidak aku sukai, karena aku terbiasa kuat menghadapi situasi yang sangat sulit sekalipun.
Belum ada tanda-tanda Noni melewati masa kritisnya, aku dan nenek terus berdoa untuk kesembuhan Noni. Hari menjelang malam dokter dan suster masih terus keluar masuk ruang rawat Noni. Aku mengajak nenek ke mushalla rumah sakit untuk melakukan sholat maghrib.
Sekitar jam 12 malam, aku dibangunkan dokter yang jaga, dokter mengatakan kalau Noni sudah melewati masa kritis. Aku diminta untuk terus mengawasi Noni karena ditakutkan kondisinya kembali drop. Aku mencoba mengeggengam tangan Noni, aku usap rambutnya, perlahan-lahan Noni membuka matanya.
"Oom.. kok gak pu..lang..?" Ucap noni terbata-bata
"Om akan jaga kamu sayang.. sampai kamu sembuh.." Aku berusaha untuk menghiburnya.
Noni menatapku dengan sendu, airmatanya berlinang. Aku begitu senang melihat perubahan Noni, aku cuma ingin Noni segera sembuh, aku berjanji akan menyanyanginya seperti anakku sendiri. Noni kembali memejamkan matanya. Tangannya terus kugenggam, Noni menggerakkan tangannya membalas genggaman tanganku.
Ini hari kedua aku di Bandung, kepada anak dan isteriku aku bilang ada pekerjaan di Bandung. Aku merasa berdosa sudah berbohong pada mereka. Namun aku serahkan kepada Tuhan, dan aku memohon ampunnya. Niatku semata ingin memberikan semangat pada Noni agar dia segera sembuh.
Monitor EKG kembali berbunyi, kondisi Noni kembali drop. Aku memencet bel untuk memanggil suster, suster datang bersama dokter yang jaga, aku diminta kembali keluar dan diminta tidak kemana-mana. Nenek masih tertidur pulas dibangku ruang tunggu. Dokter dan suster begitu sibuk menangani Noni.
Setelah mengalami masa kritis yang terus berulang, harapan hidup Noni sangat menipis. Namun, akhirnya atas Kekuasaan Tuhan dan kekuatan doa yang terus dipanjatkan neneknya dan doaku, Noni melewati masa kritis, dan dipindahkan keruang rawat biasa. Noni sudah bisa diajak berinteraksi juga sudah bisa menkonsumsi makanan secara normal.
Aku berjanji pada Noni, kalau dia sembuh aku akan ajak untuk rekreasi, agar bisa menghirup udara segar. Noni begitu senang dengan tawaran aku itu.
"Om janji ya..biar aku cepat sembuh nih.."
Mendung mulai menggelayut, langitpun mulai gelap. Tanda-tanda hujan akan turun pun sudah mulai tampak. Petir pun mulai menyambar, hujan turun begitu lebatnya, dengan kondisi basah-basahan aku dan Noni bergegas menuju cottage. Aku nyalakan perapian yang sudah tersedia di cottage, biar Noni selalu hangat. Aku berikan Noni selimut tebal untuk mengganti pakaiannya yang basah.
Aku juga begitu, mencopot pakaian yang basah dan menggantinya dengan selimut tebal. Kami duduk di depan perapian agar tetap hangat, dan Noni sangat menikmatinya. Badan Noni terlihat tetap menggigil, mungkin suhu tubuhnya belum terlalu normal. Aku mencoba mendekat dan memeluknya, aku takut terjadi sesuatu sama Noni.
"Om..terima kasih ya perhatiannya.. aku bahagia banget dengan suasana ini.." Ucapnya sambil menatapku. Anak ini cantik sekali, dalam hatiku.
"Ya Non.. om takut kamu kenapa-kenapa, karena kamu baru sembuh.." Ucapku sambil terus memeluknya.
"Dengan pelukan om.. aku akan baik-baik aja om.. belum pernah aku rasakan pelukan seorang ayah seperti ini.." Ujar Noni dengan lirih.
Aku semakin mengeratkan pelukanku, dan Noni terlihat begitu nyaman. Kami betul-betul seperti seorang ayah dan anak. Aku jauhkan semua pikiran kotor untuk menodai hubunganku sama Noni, dia begitu polos dan baik tanpa ada kecurigaane sedikit pun.
"Om keringkan pakaian kita dulu ya dekat perapian.." Aku lepaskan pelukanku, dan beranjak membenahi pakaian kami yang basah. Pakaian tersebut aku letakkan di kursi di dekat perapian. Setelah itu aku kembali ke dekat Noni.
Di luar hujan semakin deras, petir dan kilat terus menyambar. Noni semakin cemas dan takut. Suasana di luar begitu gelap, padahal hari belumlah malam. Aku kembali peluk Noni yang mulai menggigil. Dia membuka selimutmya dan menyatu dalam selimutku.
"Begini lebih hangat om... om gak keberatan kan?” tanya Noni. Aku merasakan kehangatan tubuh Noni.
Aku cuma bisa menuruti keinginannya sambil tetap menjaga diri agar tidak hanyut dalam nafsu. Tubuh kami berpagut tidak lagi dibatasi selimut. Tubuh kami sudah melekat satu sama lainnya. Noni menyenderkan tubuhnya di dadaku. Tangannya memeluk erat pahaku yang telanjang.
"Om.. aku ikhlas kok kalau om mau lakukan apa pun sama aku.. mungkin om juga butuh itu.." Ucap Noni tanpa menatapku. Pandangannya tertuju pada perapian yang ada di depannya.
Aku katakan padanya, "Gak Non... om harus konsekuen dengan janji om pada diri om sendiri.." Kataku.
"Emang om janji apa sama diri om?" Tanya Noni sambil menatapku.
"Menjaga dan menyayangi kamu seperti anak sendiri.." Jawabku.
"Atau om memang gak nafsu sama Noni ya?" Noni mulai menyelidik.
"Noni... setiap laki-laki yang normal pasti nafsu sama kamu.” Aku katakan itu untuk menyanjungnya. "Kamu cantik.. tubuh kamu bagus.. kulit kamu pun mulus.." Lanjutku.
"Lah? Emang om bukan laki-laki normal? Kok om gak tertarik sama tubuh aku?" Noni mencecarku dengan pertanyaan.
Bersambung
196. EndingTiga bulan kemudian Noni yang pada awalnya tidak tertarik dengan Nara, menjalin hubungan hanya untuk menyenangkan hati orang tuanya. Lambat laun cintanya berlabuh juga pada Nara, “Mas.. Kok kamu sabar sekali menghadapi aku?” itu dikatakan Noni satu hari sebelum akad nikahnya dengan Nara padaku. “Non, aku sangat yakin dengan kekuatan cinta, mencintai itu seperti titik air di atas batu. Harus intens dan serius, itulah yang akhirnya aku dapatkan.” jawab Nara penuh keyakinan Noni memeluk Nara sangat erat, “Kamu hebat, mas, kesabaran kamulah yang membuat aku jatuh cinta pada akhirnya.” bisik Noni. Nara jelaskan pada Noni, bukan hanya dalam mencintai harus yakin pada perasaan. Tapi, dalam segala hal manusia harus serius pada tujuan hidupnya. Bagi Nara, cukuplah penderitaan sudah menjadi bagian hidupnya. Sekarang dia ingin menghiasi cintanya pada Noni penuh dengan kebahagiaan. “Aku sangat berharap Papa besok hadir pada pernikahanku, tanpa ada Papa hidupku belumlah lengkap.
Satu bulan kemudianPernikahan pak Anggoro dan Adriana tidaklah dirayakan secara meriah, mengingat isteri pak Anggoro juga belum lama meninggal. Sebuah pernikahan yang sangat sederhana, yang dirayakan di villa pak Anggoro di puncak. Aku hadir bersama isteriku, sengaja aku minta Sri untuk menemaniku. Tadinya Sri tidak ingin pergi, karena dia tahu di acara itu pasti ada Widarti Mama Noni, yang merupakan mantanku sebelum menikahi Sri. “Mas.. biarlah aku di rumah saja, aku tidak ingin nanti Widarti malah tidak menerima kehadiranku.” ucap Sri saat itu“Sri.. mas justeru ingin perlihatkan pada Widarti, bahwa aku bahagia bersama kamu. Aku ingin semua orang tahu, bahwa aku bangga sama kamu, Sri.”Akhirnya Sri bersedia menemaniku malam itu. Sri terlihat cantik sekali, karena memang dia tidak pernah berdandan seperti itu. Kami berangkat dari rumah dengan menggunakan mobil kantor yang dipinjamkan pak Anggoro. Sampai di Villa kami agak terlambat, sehingga kedatangan kami menjadi perhatian bany
“Dalam keadaan habis sakit aja stamina om masih okey, gimana sebelumnya ya?” puji Virna “Om cuma bisanya seperti tadi itu, Virna, maaf ya performa om kurang bagus.” aku sedikit merendahkan diriVirna memelukku, “Om.. apa yang aku rasakan tadi sudah lebih dari cukup. Makanya aku membayangkan om saat masih sehat.”Aku jelaskan pada Virna, bahwa sesuai dengan usiaku saat ini performaku sudah jauh menurun. Namun, Virna menganggap kalau aku masih mampu mengimbangi durasinya dalam bercinta. Selama ini Virna bisa merasakan seperti itu jika berhubungan dengan lelaki seusianya. Baginya apa yang aku suguhkan padanya sudah lebih dari cukup. “Ada yang istimewa dari om, cara om memperlakukan aku. Om benar-benar pakai perasaan saat melakukannya.”“Kalau itu soal kebiasaan aja, Vir, om selalu menganggap pasangan bercinta itu adalah kekasih. Om tidak akan bercinta dengan wanita yang tidak om sukai.”Virna mempererat pelukannya, “Terima kasih om sudah perlakukan aku dengan penuh cinta.” ucap Virna
Keesokan harinya Pulang dari Bandung aku semakin percaya diri, terlebih lagi setelah kencan dengan Noni. Ternyata aku memang harus membebaskan diri dari berbagai ketakutan, aku harus lebih santai menghadapi keadaan. Virna memang tidak mungkin telepon aku, karena dia hanya memasukkan nomor ponselnya di daftar kontakku. Aku sangat yakin kalau dia mau menguji aku, apakah aku bersedia untuk meneleponnya. Saat aku berada di taman perumahan aku telepon Virna, “Hai Vir.. kok kamu gak kelihatan di taman?” tanyaku Virna katakan pagi itu dia tidak di rumah, dia sedang berada di luar rumah. Virna mengajakku untuk bertemu, “Di mana Virna?” tanyaku lagiVirna katakan kalau dia sedang staycation di sebuah hotel dan dia memberikan nama hotelnya, juga nomor kamarnya. Aku tidak buang kesempatan itu, aku segera pulang ke rumah untuk segera mandi. Saat aku sedang berpakaian, Sri masuk ke kamar, “Tuh kan! Kalau sudah sehat aja gak betah di rumah, mas mau kemana rapi gitu?” tanya Sri penuh kecurig
Di kantor, aku, Nara dan Noni membicarakan rencana pernikahan Noni dan Nara. Keluarga Noni menginginkan pernikahan dilaksanakan enam bulan lagi. Berbeda dengan keinginan Noni dan Nara, yang menginginkan pernikahan dilaksanakan tahun depan. Noni dan Nara butuh masukan dariku, “Pernikahan itu bisa dilaksanakan tergantung kesiapan kalian, karena yang akan menikah adalah kalian,” itu yang bisa aku katakan“Iya Pa, aku dan mas Nara siapnya tahun depan, tapi Papa dan Mama maunya lebih cepat dari itu.” ujar NoniNara pun menjelaskan, secara finansial dia baru bisa melaksanakan tahun depan. Namun, menurut Nara Jatimin menyanggupi untuk menutupi seluruh biaya. Alasan Jatimin, karena Noni anaknya satu-satunya. “Jadi, sebetulnya alasan kalian menunda juga terlalu prinsip, ya. Ikuti saja keinginan Papa kamu, Non, itulah yang paling baik. Aku jelaskan juga alasan Nara menunda bisa ditanggulangi Jatimin, jadi alasan Nara tidaklah menjadi halangan bagi keluarga Noni. Keluarga Noni tidak terlalu
Satu minggu kemudian Aku dijemput Noni dan Nara, alasannya Noni dan Nara banyak yang ingin dibicarakan di Bandung terkait rencana pernikahan mereka. Di Bandung aku nginap di rumah Nara, rumah yang pernah aku tempati sebagai kepala cabang. Saat aku di kantor menemani Nara dan bertemu dengan karyawan, Noni mengajakku keluar. Alasannya, dia ingin memberikan kejutan padaku. Aku minta izin pada Nara, “Nara.. om izin jalan sama Noni ya, Noni mau kasih kejutan pada om.”“Iya mas.. gak lama kok, aku mau perlihatkan sesuatu pada Papa.”“Okey.. Gak apa-apa kok, silahkan aja Pa.. saya belum bisa menemani karena lagi padat hari ini.” ucap Nara. Noni menyetir mobilnya, aku mendampinginya di depan. Noni cerita, bahwa rumah nenek sudah di renovasi, itulah yang ingin diperlihatkannya padaku. “Rumahnya sudah bagus Pa, yang renovasi Papa Jatimin.”“Jadi kamu mau kasih lihat rumah nenek sama Papa?”“Iya Pa, biar gimanapun rumah itu banyak kenangan kita, Pa. Papa senang gak aku ajak ke sana?”Aku me
Virna belum tahu situasi di kompleks perumahan, dengan entengnya dia mengajakku mampir ke rumahnya, “Om keberatan gak kalau aku ajak mampir ke rumah?”“Keberatan sih gak, Virna, masalahnya kompleks perumahan ini bukanlah seperti perumahan pondok indah. Apa kata warga entar lihat om ke rumah kamu.” aku menolak dengan halus. “Om.. aku mau tanya, sekarang performa om gimana?”Sepertinya Virna mau menguji staminaku, “Performa sih lumayan dibandingkan beberapa bulan yang lalu.”Virna pembicaraannya sudah mulai rada panas, dia menanyakan vitalitasku sudah kembali normal atau belum. Dari gestur tubuhnya Virna terlihat sangat gelisah, seperti ada yang ingin buru-buru dia tuntaskan. Virna mengulurkan tangannya, “Om pegang deh telapak tangan aku..” Aku ambil telapak tangannya, “Lho? Kok basah gini, Vir? Kenapa tuh?” tanyaku pura-pura polos“Aku gitu om.. kalau sudah ketemu yang aku inginkan, aku jadi nervous kalau tidak aku dapatkan.”Aku sebetulnya tahu apa yang Virna sedang alami dan ras
Kesehatanku sudah berangsur pulih, setiap pagi aku mulai melakukan olah raga ringan dengan gerak jalan. Selain itu aku juga mengubah penampilan, yang tadinya lebih klimis, sekarang wajahku mulai ditumbuhi kumis dan brewok tipis. Di taman komplek perumahan aku berlari-lari kecil untuk jarak pendek, sekadar menggerakkan tubuh agar berkeringat. Banyak juga penduduk disekitarnya yang ikut berolahraga. Saat sedang melepas lelah di bangku taman, seorang gadis menghampiriku, “Pagi om.. maaf om warga disekitar komplek ini ya?” tanya gadis itu“Iya dik.. adik juga warga sini ya? Kok om baru lihat kamu?” aku berusaha bersikap seramah mungkin“Kenalin om.. Virna, aku warga baru di sini, baru dua bulan pindah ke sini.” Dia mengulurukan tangan dan memperkenalkan diriAku pun membalas jabatan tangannya sambil memperkenalkan diri, “Danu.. om warga pertama di komplek ini.”Virna yang memakai outfit sport yang ketat dengan belahan depan rendah, sehingga memperlihatkan setiap lekuk tubuhnya yang men
Yosi pada akhirnya datang ke rumahku, dia kaget saat tahu aku lagi sakit, “Ya Tuhan, om.. aku benar-benar gak tahu kalau om sakit. Emang Maura tahu dari mana om sakit, tante?”“Tante juga gahu Yosi, yang jelas dia datang ke rumah saat om lagi sakit. Dia bawa anaknya yang berusia hampir satu tahun.”Yosi ceritakan pada isteriku kenapa dia kenalkan Maura padaku, alasan dia semata-mata karena aku sering menolong orang lain. Yosi katakan kalau dia kasihan pada Maura yang sedang hamil, tapi cowoknya kabur. Saat itu aku hanya diminta mencari solusinya, dan aku memberikan solusinya. “Yang aku tahu gitu tante, Maura juga bilang sama aku kalau om Danu baik dan tidak macam-macam.”“Kamu sering menemui om ya?”“Gak sering tante, baru sekali itu aja.. benar kan om?”“Ya Sri.. Yosi ketemu aku baru kali itu aja.”“Emang Maura cerita apa sama tante soal om?”Sri katakan pada Yosi, bahwa Maura tidak banyak bicara. Maura hanya prihatin melihat keadaanku, dia belum sudah lama tidak bertemu denganku.