Serba salah aku menjawab pertanyaan Noni, aku takut dia salah menfasirkan sikapku, "Om laki-laki yang normal non.. cuma om tahu diri, dan tahu memantaskan apa yang tidak pantas.." Jawabku.
"Aku pantas gak buat om?" Dia mendesakku. Aku bingung menjawabnya.
Aku katakan pada Noni, "Kamu pantas jadi anak om..." Jawabku.
"Kalau aku gak mau jadi anak om gimana?” tanya Noni lagi. "Maunya kamu apa dong?" Aku balik bertanya.
"Aku maunya jadi kesayangan om.. orang yang om sayangi.." Jawabnya.
"Kan kamu sudah jadi orang yang om sayangi? makanya om tidak mau memperlakukan kamu seperti wanita murahan.. " Aku jelaskan pada Noni.
Hari mulai larut malam, di luar hujan masih terus turun. Noni masih terus menggodaku dengan berbagai pertanyaan. Aku mulai merasa perutku masuk angin, karena pakaian dalam yang aku kenakan masih basah. Noni juga masih memakai pakaian dalamnya yang basah.
"Kamu itu baru sembuh Non.. belum boleh terlalu capek, gak boleh melakukan aktivitas yang menguras tenaga..." Aku mengingatkan Noni.
"Sesuatu yang kita lakukan dengan senang, gak akan membuat kita capek om." bantah Noni.
Susah sekali memberikan alasan pada Noni, dia selalu mempunyai jawaban yang cerdas untuk membalikkan ucapanku.
"Suatu saat kita lakukan Non.. kalau sudah waktunya.." Ujarku.
"Noni gak tahu om.. apakah waktu Noni nanti masih ada, karena penyakit Noni ini susah diduga, makanya sebelum waktu Noni habis, Noni ingin menikmatinya.." Mata Noni basah oleh airmata, aku sangat tersentuh dengan ucapannya.
Noni tubuhnya menggigil, tapi suhu tubuhnya sangat panas. Aku mulai agak panik sementara di luar hujan masih sangat deras. Aku bopong Noni ke kamar, aku selimuti seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Bibir Noni terlihat sangat pucat. Aku mencoba membuatkan teh hangat untuk menghangatkan perutnya.
Malam semakin larut, hujan masih belum reda, kilat dan petirpun terus saling menyambar. Aku genggam kedua tangan Noni agar dia merasa hangat. Noni menarikku untuk masuk dalam selimut bersamanya, aku mencoba menuruti keinginan Noni.
"Om.. peluk aku dong, gak kuat Noni om.. dingin sekali.." Ucap Noni dengan memelas.
Aku masuk ke dalam selimut Noni, ternyata Noni sudah tidak mengenakan sehelai pakaian pun yang menutupi tubuhnya. Sehingga seluruh tubuhnya yang hangat menyatu dengan tubuhku.
"Non.. badan kamu panas sekali.. om jadi khawatir kamu kurang sehat.." Ujarku sambil meraba bagian leher dan keningnya.
"Gak papa om.. ntar juga akan turun panasnya, makanya om peluk aku dong.” Pintanya. “Om... pliis lakukan sesuatu dong, Noni lagi kepengen banget.." Noni sangat menginginkan aku menghangatkan tubuhnya.
"Jangan Non.. cukup om peluk kamu, om gak mau nanti sakit kamu tambah parah.." Aku menolak keinginannya.
Noni berusaha mengambil inisiatif, dia mencoba memancing gairahku dengan cumbuannya menyusuri sekujur tubuhku. begitu juga tangannya berusaha menjelajah lembah bawah tubuhku. Aku berusaha untuk menahannya, namun Noni semakin agresif.
Noni mengambil posisi berada di atas tubuhku melakukan atraksi dengan sangat atraktif. Di luar ekspektasiku ternyata Noni tidak sepolos yang aku kira, dia menguasai tekhnik untuk memancing hasrat lawan jenisnya. Noni melucuti bokserku dengan kakinya, aku sangat serba salah menghadapi noni.
Suhu tubuh Noni yang panas karena menahan hasrat dan gairah yang sedang membuncah, Noni bergerak begitu liar, sehingga suasana yang sangat dingin membuat kami begitu panas. Tidak terlihat sama sekali kalau Noni sedang sakit seperti dugaanku.
Sebagai laki-laki yang normal, aku terpancing dan aku mulai membalas serangan Noni, tubuh kami begitu panas. Cuaca yang dingin tidak lagi terasa dingin karena aku dan Noni semakin memanas. Aku mengubah posisi agar Noni tidak lagi di atas, agar aku bisa mengendalikannya.
Aku berusaha untuk menahan diri untuk tidak melakukan penetrasi, aku hanya mencumbu keringat disekujur tubuh Noni, Noni cukup menikmatinya. Noni menginginkkan aku langsung penetrasi, namun aku tetap tidak ingin memenuhi keinginannya.
"Noni.. maafkan om, om tidak bisa melakukannya.. om tidak ingin kamu kecewa.." Ucapku.
Noni sepertinya memaklumi apa yang aku ucapkan, aku benar-benar tidak sampai hati melakukan apa yang tidak pantas aku lakukan. Meskipun Noni mengikhlaskan aku untuk melakukannya. Mungkin aku munafik, mangsa sudah di depan mata tapi aku tidak melahapnya. Hati nuraniku tidak bisa menerima kenyataan tersebut.
Noni hanya diam, dia berbalik memunggungiku, aku merasa dia begitu kecewa karena aku sudah melewatkan kesempatan yang sudah dia berikan. Padahal dia sangat mengharapkan aku melakukannya. Entahlah mungkin aku yang terlalu polos dalam menerima kenyataan. Aku memang sayang sama Noni, aku tidak ingin menyayanginya berbalut nafsu.
Tubuh Noni berguncang, dia menangis sesegukan, ada perasaan bersalah menghinggap dihatiku, namun aku berpikir bahwa pilihanku untuk tidak melakukannya adalah pilihan yang tidak salah.
"Om merasakan gak sih? apa yang aku rasakan?” Tanya Noni dengan terisak sambil tetap memunggungiku.
Bersambung
196. EndingTiga bulan kemudian Noni yang pada awalnya tidak tertarik dengan Nara, menjalin hubungan hanya untuk menyenangkan hati orang tuanya. Lambat laun cintanya berlabuh juga pada Nara, “Mas.. Kok kamu sabar sekali menghadapi aku?” itu dikatakan Noni satu hari sebelum akad nikahnya dengan Nara padaku. “Non, aku sangat yakin dengan kekuatan cinta, mencintai itu seperti titik air di atas batu. Harus intens dan serius, itulah yang akhirnya aku dapatkan.” jawab Nara penuh keyakinan Noni memeluk Nara sangat erat, “Kamu hebat, mas, kesabaran kamulah yang membuat aku jatuh cinta pada akhirnya.” bisik Noni. Nara jelaskan pada Noni, bukan hanya dalam mencintai harus yakin pada perasaan. Tapi, dalam segala hal manusia harus serius pada tujuan hidupnya. Bagi Nara, cukuplah penderitaan sudah menjadi bagian hidupnya. Sekarang dia ingin menghiasi cintanya pada Noni penuh dengan kebahagiaan. “Aku sangat berharap Papa besok hadir pada pernikahanku, tanpa ada Papa hidupku belumlah lengkap.
Satu bulan kemudianPernikahan pak Anggoro dan Adriana tidaklah dirayakan secara meriah, mengingat isteri pak Anggoro juga belum lama meninggal. Sebuah pernikahan yang sangat sederhana, yang dirayakan di villa pak Anggoro di puncak. Aku hadir bersama isteriku, sengaja aku minta Sri untuk menemaniku. Tadinya Sri tidak ingin pergi, karena dia tahu di acara itu pasti ada Widarti Mama Noni, yang merupakan mantanku sebelum menikahi Sri. “Mas.. biarlah aku di rumah saja, aku tidak ingin nanti Widarti malah tidak menerima kehadiranku.” ucap Sri saat itu“Sri.. mas justeru ingin perlihatkan pada Widarti, bahwa aku bahagia bersama kamu. Aku ingin semua orang tahu, bahwa aku bangga sama kamu, Sri.”Akhirnya Sri bersedia menemaniku malam itu. Sri terlihat cantik sekali, karena memang dia tidak pernah berdandan seperti itu. Kami berangkat dari rumah dengan menggunakan mobil kantor yang dipinjamkan pak Anggoro. Sampai di Villa kami agak terlambat, sehingga kedatangan kami menjadi perhatian bany
“Dalam keadaan habis sakit aja stamina om masih okey, gimana sebelumnya ya?” puji Virna “Om cuma bisanya seperti tadi itu, Virna, maaf ya performa om kurang bagus.” aku sedikit merendahkan diriVirna memelukku, “Om.. apa yang aku rasakan tadi sudah lebih dari cukup. Makanya aku membayangkan om saat masih sehat.”Aku jelaskan pada Virna, bahwa sesuai dengan usiaku saat ini performaku sudah jauh menurun. Namun, Virna menganggap kalau aku masih mampu mengimbangi durasinya dalam bercinta. Selama ini Virna bisa merasakan seperti itu jika berhubungan dengan lelaki seusianya. Baginya apa yang aku suguhkan padanya sudah lebih dari cukup. “Ada yang istimewa dari om, cara om memperlakukan aku. Om benar-benar pakai perasaan saat melakukannya.”“Kalau itu soal kebiasaan aja, Vir, om selalu menganggap pasangan bercinta itu adalah kekasih. Om tidak akan bercinta dengan wanita yang tidak om sukai.”Virna mempererat pelukannya, “Terima kasih om sudah perlakukan aku dengan penuh cinta.” ucap Virna
Keesokan harinya Pulang dari Bandung aku semakin percaya diri, terlebih lagi setelah kencan dengan Noni. Ternyata aku memang harus membebaskan diri dari berbagai ketakutan, aku harus lebih santai menghadapi keadaan. Virna memang tidak mungkin telepon aku, karena dia hanya memasukkan nomor ponselnya di daftar kontakku. Aku sangat yakin kalau dia mau menguji aku, apakah aku bersedia untuk meneleponnya. Saat aku berada di taman perumahan aku telepon Virna, “Hai Vir.. kok kamu gak kelihatan di taman?” tanyaku Virna katakan pagi itu dia tidak di rumah, dia sedang berada di luar rumah. Virna mengajakku untuk bertemu, “Di mana Virna?” tanyaku lagiVirna katakan kalau dia sedang staycation di sebuah hotel dan dia memberikan nama hotelnya, juga nomor kamarnya. Aku tidak buang kesempatan itu, aku segera pulang ke rumah untuk segera mandi. Saat aku sedang berpakaian, Sri masuk ke kamar, “Tuh kan! Kalau sudah sehat aja gak betah di rumah, mas mau kemana rapi gitu?” tanya Sri penuh kecurig
Di kantor, aku, Nara dan Noni membicarakan rencana pernikahan Noni dan Nara. Keluarga Noni menginginkan pernikahan dilaksanakan enam bulan lagi. Berbeda dengan keinginan Noni dan Nara, yang menginginkan pernikahan dilaksanakan tahun depan. Noni dan Nara butuh masukan dariku, “Pernikahan itu bisa dilaksanakan tergantung kesiapan kalian, karena yang akan menikah adalah kalian,” itu yang bisa aku katakan“Iya Pa, aku dan mas Nara siapnya tahun depan, tapi Papa dan Mama maunya lebih cepat dari itu.” ujar NoniNara pun menjelaskan, secara finansial dia baru bisa melaksanakan tahun depan. Namun, menurut Nara Jatimin menyanggupi untuk menutupi seluruh biaya. Alasan Jatimin, karena Noni anaknya satu-satunya. “Jadi, sebetulnya alasan kalian menunda juga terlalu prinsip, ya. Ikuti saja keinginan Papa kamu, Non, itulah yang paling baik. Aku jelaskan juga alasan Nara menunda bisa ditanggulangi Jatimin, jadi alasan Nara tidaklah menjadi halangan bagi keluarga Noni. Keluarga Noni tidak terlalu
Satu minggu kemudian Aku dijemput Noni dan Nara, alasannya Noni dan Nara banyak yang ingin dibicarakan di Bandung terkait rencana pernikahan mereka. Di Bandung aku nginap di rumah Nara, rumah yang pernah aku tempati sebagai kepala cabang. Saat aku di kantor menemani Nara dan bertemu dengan karyawan, Noni mengajakku keluar. Alasannya, dia ingin memberikan kejutan padaku. Aku minta izin pada Nara, “Nara.. om izin jalan sama Noni ya, Noni mau kasih kejutan pada om.”“Iya mas.. gak lama kok, aku mau perlihatkan sesuatu pada Papa.”“Okey.. Gak apa-apa kok, silahkan aja Pa.. saya belum bisa menemani karena lagi padat hari ini.” ucap Nara. Noni menyetir mobilnya, aku mendampinginya di depan. Noni cerita, bahwa rumah nenek sudah di renovasi, itulah yang ingin diperlihatkannya padaku. “Rumahnya sudah bagus Pa, yang renovasi Papa Jatimin.”“Jadi kamu mau kasih lihat rumah nenek sama Papa?”“Iya Pa, biar gimanapun rumah itu banyak kenangan kita, Pa. Papa senang gak aku ajak ke sana?”Aku me
Virna belum tahu situasi di kompleks perumahan, dengan entengnya dia mengajakku mampir ke rumahnya, “Om keberatan gak kalau aku ajak mampir ke rumah?”“Keberatan sih gak, Virna, masalahnya kompleks perumahan ini bukanlah seperti perumahan pondok indah. Apa kata warga entar lihat om ke rumah kamu.” aku menolak dengan halus. “Om.. aku mau tanya, sekarang performa om gimana?”Sepertinya Virna mau menguji staminaku, “Performa sih lumayan dibandingkan beberapa bulan yang lalu.”Virna pembicaraannya sudah mulai rada panas, dia menanyakan vitalitasku sudah kembali normal atau belum. Dari gestur tubuhnya Virna terlihat sangat gelisah, seperti ada yang ingin buru-buru dia tuntaskan. Virna mengulurkan tangannya, “Om pegang deh telapak tangan aku..” Aku ambil telapak tangannya, “Lho? Kok basah gini, Vir? Kenapa tuh?” tanyaku pura-pura polos“Aku gitu om.. kalau sudah ketemu yang aku inginkan, aku jadi nervous kalau tidak aku dapatkan.”Aku sebetulnya tahu apa yang Virna sedang alami dan ras
Kesehatanku sudah berangsur pulih, setiap pagi aku mulai melakukan olah raga ringan dengan gerak jalan. Selain itu aku juga mengubah penampilan, yang tadinya lebih klimis, sekarang wajahku mulai ditumbuhi kumis dan brewok tipis. Di taman komplek perumahan aku berlari-lari kecil untuk jarak pendek, sekadar menggerakkan tubuh agar berkeringat. Banyak juga penduduk disekitarnya yang ikut berolahraga. Saat sedang melepas lelah di bangku taman, seorang gadis menghampiriku, “Pagi om.. maaf om warga disekitar komplek ini ya?” tanya gadis itu“Iya dik.. adik juga warga sini ya? Kok om baru lihat kamu?” aku berusaha bersikap seramah mungkin“Kenalin om.. Virna, aku warga baru di sini, baru dua bulan pindah ke sini.” Dia mengulurukan tangan dan memperkenalkan diriAku pun membalas jabatan tangannya sambil memperkenalkan diri, “Danu.. om warga pertama di komplek ini.”Virna yang memakai outfit sport yang ketat dengan belahan depan rendah, sehingga memperlihatkan setiap lekuk tubuhnya yang men
Yosi pada akhirnya datang ke rumahku, dia kaget saat tahu aku lagi sakit, “Ya Tuhan, om.. aku benar-benar gak tahu kalau om sakit. Emang Maura tahu dari mana om sakit, tante?”“Tante juga gahu Yosi, yang jelas dia datang ke rumah saat om lagi sakit. Dia bawa anaknya yang berusia hampir satu tahun.”Yosi ceritakan pada isteriku kenapa dia kenalkan Maura padaku, alasan dia semata-mata karena aku sering menolong orang lain. Yosi katakan kalau dia kasihan pada Maura yang sedang hamil, tapi cowoknya kabur. Saat itu aku hanya diminta mencari solusinya, dan aku memberikan solusinya. “Yang aku tahu gitu tante, Maura juga bilang sama aku kalau om Danu baik dan tidak macam-macam.”“Kamu sering menemui om ya?”“Gak sering tante, baru sekali itu aja.. benar kan om?”“Ya Sri.. Yosi ketemu aku baru kali itu aja.”“Emang Maura cerita apa sama tante soal om?”Sri katakan pada Yosi, bahwa Maura tidak banyak bicara. Maura hanya prihatin melihat keadaanku, dia belum sudah lama tidak bertemu denganku.