Aku benar-benar dilematis antara ingin menikmati dosa dan menolak untuk menambah dosa. Sekali aku lakukan maka aku akan terjebak pada kenimatanan sesaat, yang akibatnya akan aku Hawaii seumur hidupku. Tidak ada satu perbuatan tanpa menimbulkan akibat, yang akan menguras tenaga dan pikiran nantinya.
Kadang makanan yang tersaji hanya lezat dalam pandangan, begitu dimakan tidaklah selezat apa yang terlihat. Itulah tipu daya yang kadang berbaur dengan nafsu, yang manusia jarang kuasa menghadapinya. Aku berpikir harus menjadi pemenang untuk mengalahkan semua keinginan menuruti nafsu.
"Noni, om akan lakukan itu setelah kamu benar-benar sembuh. Setelah om nikahi kamu secara sah.” Ucapku dengan spontan, hanya untuk membuatnya tenang.
Noni kaget mendengar ucapanku itu, dia berbalik badan menghadap ke arahku. Noni tersenyum dengan senang, sementara aku sendiri bingung dengan apa yang sudah aku katakan, bagaimana aku merealisasikan ucapan tersebut pun aku belum tahu seperti apa nantinya.
"Om serius?” Tanya Noni, setelah itu dia memeluk dan menciumku. "Terima kasih ya om.." ucapnya lebih lanjut.
"Om cuma ingin melihat kamu senang dan bahagia, yaudah sekarang kamu tidur ya" bujukku sambil membelai rambutnya.
"Tapi tidurnya dipeluk om ya?" Pinta Noni, aku kembali serba salah.
Aku takut dalam tidur godaan setan itu datang, dan aku tidak bisa menahan diri. Namun aku tetap penuhi permintaan Noni. Aku peluk Noni dengan kasih sayang, dan aku ingin dia merasakan itu bukanlah sebagai peluk an yang berbaur nafsu.
Yang penting bagiku malam itu bisa menenangkan Noni sehingga dia bisa tidur dengan nyenyak, tanpa ada tuntutan harus melalukan hubungan seks. Kami bisa melewati malam itu tanpa ada terjadi sesuatu apa pun sampai pagi menjelang.
Begitu pagi datang, aku ajak Noni segera meninggalkan cottage, dengan alasan siang aku sudah harus ada di Jakarta. Dengan naik taksi dari lembang aku mengantar Noni pulang. Dia terlihat begitu senang, dengan janji yang aku sampaikan tadi malam. Sekarang aku malah yang bingung, gak tahu gimana caranya menepati janji tersebut.
Dalam perjalanan yang cukup jauh dari Lembang menuju jalan Soekarno-Hatta, Noni tertidur dipangkuanku. Sepanjang jalan aku terus berpikir bagaimana mengakhiri hubunganku dengan Noni, karena aku memang merasa tidak nyaman dengan hubungan yang aneh ini. Jarak usia kami terlalu jauh, aku yang sudah menginjak usia 55 tahun, sementara Noni baru 20 tahun.
Kadang aku berpikir, Soekarno saja bisa menikahi Ratna Sari Dewi yang perbedaan usianya juga cukup jauh. Tapi aku juga mencoba untuk realistis, aku siapa sih? Kok mau sok berpoligami? menghidupi satu isteri saja aku masih belum mampu banget. Masih banyak yang harus aku pikirkan tenimbang berpikir untuk berpoligami.
Berbagai pikiran berkecamuk, antar realistis dan tidak realistis, sekadar untuk merasa kasihan terhadap Noni, dengan kemampuan finansilku untuk menghidupinya. Sesampai di rumah Noni, aku bangunkan dia dari tidurnya yang begitu pulas.
"Non kita sudah sampai, om nanti mampir gak lama ya, karena siang om sudah harus di kantor" Ucapku.
"Ya deh om, tapi om jangan lupa janjinya ya?”
Aku minta supir taksinya menunggu sebentar, karena aku gak mau repot-repot cari taksi lagi. Aku mampir kerumah Noni, dan berbincang sama nenek, tidak lama setelah itu aku segera pamit.
"Maaf ya nek, kami tadi malam terpaksa nginap, karena hujannya gak berhenti sampai malam.” Aku minta maaf pada nenek Noni.
"Ya gak papa.. nenek percaya sama nak Danu, bisa menjaga batas hubungan kalian” ucap nenek.
"Alhamdulillah nek, yaudah saya gak bisa mampir lama nek, saya harus sampai Jakarta siang ini"
"Yaudah, hati-hati dijalan"
"Ya nek, In Shaa Allah Noni sehat nek, kemarin gak ada ada keluhan apa-apa, Noni om pulang ya" Danu pamit pada nenek dan Noni
Aku langsung naik taksi menuju ke stasiun bandung. Sepanjang perjalanan menuju stasiun, aku kembali mempertimbangkan janjiku pada Noni. Apa yang harus aku katakan kalau seandainya aku tidak bisa menepati janji tersebut. Bagiku saat itu, aku sudah berhasil mengalahkan keinginan nafsu yang begitu sangat menggoda. Satu tahap sudah aku lalui, dan masih ada tahapan lain yang harus aku hadapi.
Setelah satu minggu sejak kepulanganku dari Bandung, Noni tidak pernah lagi menghubungiku, mungkin dia sangat kecewa karena aku tidak ingin menidurinya. Aku memang tidak sampai hati untuk melakukan itu, karena aku sangat tahu penderitaannya.
Noni adalah gadis yang pantas untuk menjadi anakku, tenimbang menjadi kekasih. Meskipun Soekarno pernah melakukannya, namun aku tidak mungkin menikahi anak yang seusia anakku, dan aku bukanlah seorang seperti Soekarno, aku bukanlah siapa-siapa yang pantas untuk melakukannya.
Ada rasa rindu kepada Noni, beberapa kali aku mencoba menghubunginya, tapi tidak pernah bisa tersambung. Ada rasa khawatir kalau-kalau Noni kembali anpal, karena sakit Noni kadang-kadang bisa mendadak membuatnya pingsan dan perlu penanganan serius.
Bersambung
196. EndingTiga bulan kemudian Noni yang pada awalnya tidak tertarik dengan Nara, menjalin hubungan hanya untuk menyenangkan hati orang tuanya. Lambat laun cintanya berlabuh juga pada Nara, “Mas.. Kok kamu sabar sekali menghadapi aku?” itu dikatakan Noni satu hari sebelum akad nikahnya dengan Nara padaku. “Non, aku sangat yakin dengan kekuatan cinta, mencintai itu seperti titik air di atas batu. Harus intens dan serius, itulah yang akhirnya aku dapatkan.” jawab Nara penuh keyakinan Noni memeluk Nara sangat erat, “Kamu hebat, mas, kesabaran kamulah yang membuat aku jatuh cinta pada akhirnya.” bisik Noni. Nara jelaskan pada Noni, bukan hanya dalam mencintai harus yakin pada perasaan. Tapi, dalam segala hal manusia harus serius pada tujuan hidupnya. Bagi Nara, cukuplah penderitaan sudah menjadi bagian hidupnya. Sekarang dia ingin menghiasi cintanya pada Noni penuh dengan kebahagiaan. “Aku sangat berharap Papa besok hadir pada pernikahanku, tanpa ada Papa hidupku belumlah lengkap.
Satu bulan kemudianPernikahan pak Anggoro dan Adriana tidaklah dirayakan secara meriah, mengingat isteri pak Anggoro juga belum lama meninggal. Sebuah pernikahan yang sangat sederhana, yang dirayakan di villa pak Anggoro di puncak. Aku hadir bersama isteriku, sengaja aku minta Sri untuk menemaniku. Tadinya Sri tidak ingin pergi, karena dia tahu di acara itu pasti ada Widarti Mama Noni, yang merupakan mantanku sebelum menikahi Sri. “Mas.. biarlah aku di rumah saja, aku tidak ingin nanti Widarti malah tidak menerima kehadiranku.” ucap Sri saat itu“Sri.. mas justeru ingin perlihatkan pada Widarti, bahwa aku bahagia bersama kamu. Aku ingin semua orang tahu, bahwa aku bangga sama kamu, Sri.”Akhirnya Sri bersedia menemaniku malam itu. Sri terlihat cantik sekali, karena memang dia tidak pernah berdandan seperti itu. Kami berangkat dari rumah dengan menggunakan mobil kantor yang dipinjamkan pak Anggoro. Sampai di Villa kami agak terlambat, sehingga kedatangan kami menjadi perhatian bany
“Dalam keadaan habis sakit aja stamina om masih okey, gimana sebelumnya ya?” puji Virna “Om cuma bisanya seperti tadi itu, Virna, maaf ya performa om kurang bagus.” aku sedikit merendahkan diriVirna memelukku, “Om.. apa yang aku rasakan tadi sudah lebih dari cukup. Makanya aku membayangkan om saat masih sehat.”Aku jelaskan pada Virna, bahwa sesuai dengan usiaku saat ini performaku sudah jauh menurun. Namun, Virna menganggap kalau aku masih mampu mengimbangi durasinya dalam bercinta. Selama ini Virna bisa merasakan seperti itu jika berhubungan dengan lelaki seusianya. Baginya apa yang aku suguhkan padanya sudah lebih dari cukup. “Ada yang istimewa dari om, cara om memperlakukan aku. Om benar-benar pakai perasaan saat melakukannya.”“Kalau itu soal kebiasaan aja, Vir, om selalu menganggap pasangan bercinta itu adalah kekasih. Om tidak akan bercinta dengan wanita yang tidak om sukai.”Virna mempererat pelukannya, “Terima kasih om sudah perlakukan aku dengan penuh cinta.” ucap Virna
Keesokan harinya Pulang dari Bandung aku semakin percaya diri, terlebih lagi setelah kencan dengan Noni. Ternyata aku memang harus membebaskan diri dari berbagai ketakutan, aku harus lebih santai menghadapi keadaan. Virna memang tidak mungkin telepon aku, karena dia hanya memasukkan nomor ponselnya di daftar kontakku. Aku sangat yakin kalau dia mau menguji aku, apakah aku bersedia untuk meneleponnya. Saat aku berada di taman perumahan aku telepon Virna, “Hai Vir.. kok kamu gak kelihatan di taman?” tanyaku Virna katakan pagi itu dia tidak di rumah, dia sedang berada di luar rumah. Virna mengajakku untuk bertemu, “Di mana Virna?” tanyaku lagiVirna katakan kalau dia sedang staycation di sebuah hotel dan dia memberikan nama hotelnya, juga nomor kamarnya. Aku tidak buang kesempatan itu, aku segera pulang ke rumah untuk segera mandi. Saat aku sedang berpakaian, Sri masuk ke kamar, “Tuh kan! Kalau sudah sehat aja gak betah di rumah, mas mau kemana rapi gitu?” tanya Sri penuh kecurig
Di kantor, aku, Nara dan Noni membicarakan rencana pernikahan Noni dan Nara. Keluarga Noni menginginkan pernikahan dilaksanakan enam bulan lagi. Berbeda dengan keinginan Noni dan Nara, yang menginginkan pernikahan dilaksanakan tahun depan. Noni dan Nara butuh masukan dariku, “Pernikahan itu bisa dilaksanakan tergantung kesiapan kalian, karena yang akan menikah adalah kalian,” itu yang bisa aku katakan“Iya Pa, aku dan mas Nara siapnya tahun depan, tapi Papa dan Mama maunya lebih cepat dari itu.” ujar NoniNara pun menjelaskan, secara finansial dia baru bisa melaksanakan tahun depan. Namun, menurut Nara Jatimin menyanggupi untuk menutupi seluruh biaya. Alasan Jatimin, karena Noni anaknya satu-satunya. “Jadi, sebetulnya alasan kalian menunda juga terlalu prinsip, ya. Ikuti saja keinginan Papa kamu, Non, itulah yang paling baik. Aku jelaskan juga alasan Nara menunda bisa ditanggulangi Jatimin, jadi alasan Nara tidaklah menjadi halangan bagi keluarga Noni. Keluarga Noni tidak terlalu
Satu minggu kemudian Aku dijemput Noni dan Nara, alasannya Noni dan Nara banyak yang ingin dibicarakan di Bandung terkait rencana pernikahan mereka. Di Bandung aku nginap di rumah Nara, rumah yang pernah aku tempati sebagai kepala cabang. Saat aku di kantor menemani Nara dan bertemu dengan karyawan, Noni mengajakku keluar. Alasannya, dia ingin memberikan kejutan padaku. Aku minta izin pada Nara, “Nara.. om izin jalan sama Noni ya, Noni mau kasih kejutan pada om.”“Iya mas.. gak lama kok, aku mau perlihatkan sesuatu pada Papa.”“Okey.. Gak apa-apa kok, silahkan aja Pa.. saya belum bisa menemani karena lagi padat hari ini.” ucap Nara. Noni menyetir mobilnya, aku mendampinginya di depan. Noni cerita, bahwa rumah nenek sudah di renovasi, itulah yang ingin diperlihatkannya padaku. “Rumahnya sudah bagus Pa, yang renovasi Papa Jatimin.”“Jadi kamu mau kasih lihat rumah nenek sama Papa?”“Iya Pa, biar gimanapun rumah itu banyak kenangan kita, Pa. Papa senang gak aku ajak ke sana?”Aku me