Share

Bab 2 : Hidupku Menyakitkan

“Dari mana kamu sampai semalam tidak pulang? Melacur?”

Bentakan Ariani membuat Shanaya diam mematung di ruang tamu. Ibu tirinya itu terlihat murka bahkan memasang muka garang. Shanaya hanya bisa menunduk, tak berani membantah karena sadar sudah melakukan kesalahan.

Perlakuan seperti ini sebenarnya sudah Shanaya dapat sejak berumur delapan tahun. Lebih tepatnya saat Nugroho — sang ayah menikah lagi dengan Ariani. Namun, bagi Shanaya rasanya tetap saja menyakitkan dibentak seperti ini meski sudah kerap mengalami.

“Dasar anak tidak tahu diuntung!”

Suara Ricky kakak tiri Shanaya terdengar dari arah ruang makan. Pria itu mendekat sambil memakai jaket hanya untuk ikut memaki.

“Sana cepat gantikan istriku membantu ayah makan! Sejak semalam Rahma repot karena kamu tidak pulang. Istriku itu hamil anak kembar. Dia butuh banyak istirahat, bukannya malah sibuk mengurus ayah. Kalau sampai terjadi apa-apa pada Rahma, apa kamu mau tanggungjawab?”

Shanaya tak membalas, lebih memilih pergi ke kamarnya untuk meletakkan tas, setelah itu cepat-cepat menuju kamar Nugroho —yang sejak tiga bulan lalu hanya bisa berbaring di atas kasur karena mengalami stroke.

Shanaya menyapa Rahma lantas meminta maaf. Dia hendak mengambil alih piring di tangan kakak iparnya itu tapi ditolak dengan halus.

“Sudah, biar Mbak saja! Kamu ada kuliah tidak pagi ini?”

“Nggak Mbak, tapi aku harus menggantikan temanku di toko. Kami bertukar shift,” jawab Shanaya.

“Ya sudah kamu mandi sana! Masmu sudah berangkat kerja ‘kan?”

Rahma menoleh ke arah pintu kemudian menepuk lengan Shanaya, meminta sang adik ipar bergegas mandi.

Shanaya pun mengangguk, tapi sebelum pergi dia mendekat untuk menyapa ayahnya yang semakin hari terlihat semakin kurus.

“Obat Ayah tinggal hari ini, apa kamu ada uang?”

Meskipun tidak tega melihat Shanaya banting tulang untuk membiayai pengobatan Nugroho, tapi Rahma sendiri bingung harus berbuat apa.  Dia sendiri harus keluar dari pekerjaannya karena hamil.

“Iya Mbak, ada. Nanti aku belikan,” balas Shanaya. Gadis itu tersenyum ke Nugroho, kemudian pamit setelah mengajak ayahnya bercanda.

Dua jam kemudian, Shanaya terlihat berada di tempat kerjanya — sebuah toko roti yang juga menyediakan bermacam-macam jenis kue. Pembeli juga bisa menikmati kue yang dibeli di sana karena terdapat beberapa set tempat duduk.

Sebagai karyawan di sana, Shanaya terbilang sangat rajin. Di saat tidak ada pembeli, dia tidak mau duduk diam. Seperti saat jam makan siang seperti ini, Shanaya sudah mengambil lap untuk membersihkan meja, tapi baru saja melangkah, lonceng di atas pintu toko tiba-tiba berbunyi.

Shanaya buru-buru kembali menuju ke belakang meja kasir. Dia berada di toko sendirian karena dua temannya pamit membeli makan siang.

“Selamat datang!” Sapa Shanaya tanpa menoleh. Gadis itu memperbaiki sejenak mesin kopi yang terlihat eror, setelah itu berjalan dan berhenti tepat di depan si pembeli.

“Silahkan!”

Shanaya mengangkat kepala, kaget mendapati seorang pria sedang memandangi wajahnya. Tatapan mereka bertemu dan Shanaya menelan ludah susah payah karena merasakan de javu.

Gadis itu mengepalkan tangan di sisi badan, meski gemetaran tapi dia tetap bersikap ramah kepada pria di hadapannya ini.

“Ada yang bisa saya bantu?”

“Apa cake yang paling laris di sini?”

Suara pria itu tidak mungkin bisa Shanaya lupa, badannya semakin gemetar bahkan rasa sakit karena kejadian semalam masih dia rasakan.

“Choco monster, Kak. Tapi sayangnya sudah habis.”

Shanaya memanggil Oriaga menggunakan panggilan yang biasa dipakai untuk menyebut pelanggan, meskipun dia tahu pria itu lebih pantas dipanggil paman.

Oriaga memindai isi etalase yang memisahkannya dengan Shanaya, sebelum mengangsurkan pandangan ke wajah gadis itu lagi. Keduanya sempat diam beberapa detik sebelum Oriaga berkata—

“Aku mau peanut cake ini dan sebotol air mineral.”

Shanaya mengambil kotak dan memasukkan kue yang diminta Oriaga, dia juga bertanya apakah pria itu menginginkan air mineral dingin atau biasa.

Shanaya pikir Oriaga akan pergi setelah membayar, tapi pria itu malah duduk di salah satu kursi lantas membuka tutup botol air mineral. Canggung dan bingung harus bagaimana, Shanaya memilih diam di belakang meja kasir. Dia berpura-pura tidak mengenali Oriaga karena sudah berniat memakai uang dari pria itu untuk membeli obat ayahnya.

Shanaya melamun, sampai tak mendengar bunyi lonceng pintu toko. Seorang wanita terlihat masuk dan langsung melempar kotak kue ke meja kasir. Wanita itu marah bahkan memaki Shanaya menggunakan kata-kata kotor.

“Kenapa kuenya tidak sesuai pesanan? Apa kalian tahu? Karena kue ini kejutan yang akan aku berikan ke pacarku menjadi kacau.”

Shanaya membuka kotak untuk melihat kue itu, dia yakin bukan dirinya yang melayani, tapi sebagai pelayan Shanaya tetap bersikap sopan. Dia meminta wanita itu sabar, sementara dirinya mengecek detail pesanan.

Namun, wanita itu malah merangsek masuk ke tempat yang hanya boleh dimasuki oleh karyawan, dia melayangkan tangan hendak memukul Shanaya, tapi tanpa diduga Oriaga lebih dulu menahan.

“Apa kamu ingin jadi jagoan?”

Tatapan dingin Oriaga ke wanita itu cukup membuat Shanaya tercenung.

“Siapa kamu? Tidak usah ikut campur urusan orang!”

“Siapa aku? Aku adalah orang yang bisa membuatmu hidup segan mati tak mau.”

“Apa?”

Shanaya diam membeku, lidahnya bahkan terasa kelu. Tanpa banyak bicara Oriaga menarik paksa pembeli itu keluar dari belakang etalase toko lantas melepas tangannya dengan kasar.

“Aku akan viralkan toko ini, lihat saja!”

Oriaga memulas seringai mendengar ancaman wanita itu dan menjawab dengan enteng, “Silahkan! Kita lihat saja siapa yang akan memakai baju warna oranye jika sampai itu terjadi.”

Tatapan menusuk Oriaga membuat wanita itu memilih pergi, tapi sebelum itu dia sempat meraih kue dari dalam kotak yang ada di meja kasir, lalu melemparnya ke Shanaya. Kue itu mengotori bagian dada, leher dan sedikit dagu Shanaya.

“Dasar babu! Dia gadunmu ‘kan? Pelacur!”

Mata Shanaya berkaca-kaca mendengar hinaan wanita itu. Dia menunduk menahan tangis tapi ternyata tidak bisa. Air mata Shanaya menetes ke pipi, di saat itu Oriaga mengulurkan sapu tangan kepadanya.

“Bersihkan wajahmu!”

Shanaya tak langsung menerima uluran sapu tangan itu. Dia mendongak menatap Oriaga, tak menyangka tangan pria itu bisa menjangkau dagunya.

“Jangan diam saja saat ada orang yang berbuat kasar seperti itu! Kalau kamu merasa benar, melawan bukan sebuah kesalahan,” ucap Oriaga.

Shanaya menjauhkan wajah bahkan sampai mundur satu langkah.

“Kenapa Anda melakukan itu? Saya sudah meminta Anda untuk berhenti, tapi kenapa Anda masih melakukannya?”

Oriaga kaget. Ternyata Shanaya mengingat dirinyalah yang sudah merenggut kesucian gadis itu semalam.

“Apa kamu mengingatku?”

“Kenapa Anda tega melakukan itu? Apa salah saya?”

Shanaya semakin terisak. Dadanya terasa sakit karena bingung harus berbuat apa. Jika dia marah lalu sok memiliki harga diri karena merasa dirugikan Oriaga, maka sudah pasti ayahnya tidak akan minum obat besok pagi.

“Itu salah paham! Aku tidak bermaksud jahat padamu, itu terjadi karena aku salah mengira dirimu adalah …. “

Oriaga menjeda lisan. Dia tahu akan sangat menyakitkan bagi gadis seumuran keponakannya ini jika sampai menyebut kata pelacur.

“Berhentilah menangis dan mari kita bicara!”

Comments (9)
goodnovel comment avatar
Putri Dhamayanti
hmmm...bisa salah sasaran gt, si oom menang banyak, shanaya rugi banyak
goodnovel comment avatar
Neee I
Thank you and stay healthy KK.........
goodnovel comment avatar
Sari 💚
mau ngomong apa pulak, sudah terlanjur. Semoga nantinya Oriaga bisa melepas Shanaya dari rumahnaya agar tidak dimarahi mulu. Tapi ayahnya masih disana dalam keadaan sakit sih ya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status