"M-maaf, Pak?"
Evi tertegun. Mata bulatnya membesar, tidak percaya dengan kalimat kasar yang baru saja dilontarkan oleh pria di hadapannya.
Ia datang atas rekomendasi dari tetangganya di kampung yang berkata bahwa sang tuan rumah sedang membutuhkan seorang pembantu sesegera mungkin.
Berbekal uang dan pakaian seadanya, ia buru-buru berangkat dari desa ke kota. Pakaian yang ia kenakan memang agak ketat dan tipis, karena Evi pernah bekerja sebagai pemandu karaoke.
Tapi tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk menggoda suami orang! Ia hanya tidak punya uang lagi untuk membeli pakaian baru.
Sementara itu, Liam meneliti tubuhnya dari ujung kepala hingga kaki. Evi menelan ludah saat tatapan tajam itu menunjukkan ekspresi jijik dan menghakimi.
"Pakaianmu terlalu minim. Kamu pikir ini klub malam?!"
Evi buru-buru melipat tangan ke depan tubuhnya, berusaha menutupi bagian tubuh yang terekspos. Wajahnya memerah, campuran malu dan bingung.
"Sa-saya berangkat terburu-buru, Pak. Bu Kartini bilang saya akan bekerja di rumah ini sebagai pembantu dan harus datang hari ini juga,” jawab Evi gugup. “Saya tidak bermaksud untuk macam-macam.”
Liam mendengus sinis.
Tahu dirinya mungkin akan mendapat penolakan karena pakaiannya, Evi lantas memohon. Dua mata bulatnya berkaca-kaca.
"Saya butuh pekerjaan ini, Pak. Saya mohon. Bapak boleh tes saya kalau tidak percaya. Saya bisa memasak, bersih-bersih rumah, dan semua kebutuhan yang Bapak perlukan.”
Liam menatap wajah polos Evi. Pakaian gadis itu mungkin boleh berani, tapi dari ekspresi dan gesturnya, Liam sedikit sanksi bila gadis itu merupakan wanita penggoda.
Beberapa detik terdiam, Liam akhirnya bersuara. “Baiklah. Kita lihat seberapa ahli kamu. Buatkan sarapan, juga kopi untuk saya. Jangan lama-lama, karena saya harus berangkat kerja.”
Pria itu melihat jam yang melingkar di tangannya, baru menunjuk pukul tujuh lewat empat puluh menit.
Ia kemudian membuka lebar pintu rumahnya, sebelum berjalan mendahului Evi. Gadis berkulit putih susu itu mengekori Liam yang berjalan ke arah dapur.
Di belakang Liam, Evi mengembuskan napas lega. Sesampainya di dapur, Evi langsung mempersiapkan bahan makanan. Sementara Liam terus siaga memperhatikan gerak-gerik wanita itu.
Melihat betapa gesitnya Evi memasak, Liam harus mengakui kalau gadis itu bisa bekerja.
“Ini, Pak.”
Evi menghidangkan seporsi nasi goreng di hadapan Liam yang duduk di kursi kitchen island.
Saat mencicipi makanan itu, Liam sedikit terkesiap. Tapi ia dengan cepat menguasai diri dan menjaga ekspresinya tetap datar.
Evi berdiri di hadapan Liam, menunggu dengan tegang komentar pria itu tentang masakannya. Namun, sampai suapan terakhir pun, Liam tidak berkomentar.
Di akhir, Evi justru diberi tes lain, yaitu membersihkan rumah.
Satu jam kemudian, Evi yang telah selesai menyapu dan mengepel rumah itu duduk di sofa ruang tamu. Sedangkan Liam, duduk di hadapannya.
“Kenapa kamu mau jadi pembantu?” tanya Liam langsung pada inti. Dilihat dari segi mana pun, Liam harus mengakui bahwa Evi layak mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Evi mengulas senyum miris, matanya berkaca-kaca. “Saya butuh biaya besar, Pak. Adik saya harus sekolah. Ibu saya sudah sakit-sakitan, sementara ayah saya sudah tidak ada.”
“Memangnya nggak ada pekerjaan lain yang bisa kamu lakukan?” sasar Liam lagi. Tatapan matanya masih tajam, seolah tidak terlihat terpengaruh dengan kesedihan Evi. “Atau, ini pekerjaan pertama?”
Sesaat, Evi terlihat semakin gugup. Ia lantas menggeleng. Ragu-ragu ia menjawab, “Ehm, saya ….” Evi memainkan ujung pakaiannya karena ragu. “Saya mantan pemandu karaoke.”
Entah perasaan Evi saja atau tidak, ia menangkap ekspresi Liam yang sangat tajam, sesaat berubah. Ada keterkejutan di wajahnya, tapi juga bercampur dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak.
Liam mengangguk-anggukkan kepalanya. “Saya akan kasih kamu waktu probasi tiga bulan. Kalau pekerjaan kamu memuaskan—”
“Saya pasti bisa memuaskan Bapak, Pak. Saya janji!”
Mata Liam melebar, kaget. Respons Evi yang cepat rupanya ditangkap berbeda oleh otaknya.
Pria haus belaian itu justru berpikir Evi dengan suka rela akan memuaskannya juga, di luar pekerjaannya sebagai ART.
Akibat pikirannya yang melenceng itu, usai mengajak Evi berkeliling rumah, Liam yang sudah kembali ke kamar tidak bisa langsung tenang begitu saja.
Sebagai seorang pria matang dan produktif, Liam bisa merasakan juniornya tertarik pada penampilan Evi yang aduhai.
Ketika di kamar, pikiran mesum itu semakin meliar.
“Argh! Sial!” Liam menggeram.
Kalau sudah begini, ia terpaksa harus menenangkannya sendiri.
Biasanya, Liam menonton video dewasa untuk membantunya memacu hasrat. Kali ini, pria itu hanya cukup memejamkan mata, dan bayangan betapa nikmat jika tubuh sang pembantu baru itu bisa berada di atasnya dan memegang kendali.
“Eugh….” Liam melenguh panjang ketika hasratnya sampai. Ia terkulai lemas di sofa kamarnya, dengan wajah yang memerah.
Ini gila! Bisa-bisanya dia terangsang hanya karena gadis itu?!
Sementara itu … Evi mematung di depan pintu kamar yang tidak tertutup.
Tadinya ia bermaksud untuk bertanya soal kamarnya, sebab Liam tiba-tiba pergi begitu saja setelah mengajaknya berkeliling rumah.
Tapi sekarang, tubuh Evi membeku. Ia ingin beranjak dari sana, tapi terlalu terkejut saat melihat Liam yang tengah ‘memainkan miliknya’ seorang diri di dalam sana.
“Ma-maaf, Pak!” seru Evi panik. Ia segera berbalik badan, meski sudah terlanjur melihat ‘milik’ Liam yang sedang ditenangkan.
Gadis itu meremas jemarinya dengan jantung berdegup kencang. Wajahnya terasa panas. Suaranya terbata saat berkata, “Sa-saya hanya ingin bertanya ... k-kamar saya di mana ya, Pak?”
Dua hari sudah Evi melewati masa rawat di rumah sakit, dan kini akhirnya dia kembali ke rumah yang selalu membuatnya merasa aman. Tapi baru saja melangkah melewati pintu, matanya langsung membulat.Balon warna-warni tergantung di langit-langit, pita biru dan putih membentang dengan tulisan besar “Welcome Home, Mommy & Baby Lucas!” di tengahnya.Di bawahnya, Selly berdiri dengan wajah sumringah sambil membawa kue kecil bertuliskan “Selamat Datang di Dunia, Lucas!”.Ardi berdiri di sampingnya, bertepuk tangan dengan gaya berlebihan seperti pembawa acara televisi.“Selamat datang kembali, Evi, Liam, dan … pangeran kecil Lucas!” seru Ardi dengan suara lantang.Evi yang masih agak lemah tertegun di tempatnya. Bibirnya bergetar menahan haru dan matanya memanas.Ia menatap Selly dan Ardi bergantian, sebelum akhirnya tersenyum dan tertawa kecil. “Ya ampun, kalian … bikin aku hampir
Setelah beberapa jam di ruang bersalin, Evi kini sudah dibawa ke ruang rawat.Di ruang rawat yang remang, hanya terdengar suara alat infus dan desahan napas lembut dari Evi yang sedang tertidur pulas.Wajahnya masih tampak lelah, tapi di balik keringat dan pucatnya, tersimpan ketenangan yang luar biasa.Tangannya yang mungil terkulai di sisi tempat tidur, dengan jari-jari yang masih sedikit menggenggam selimut putih itu.Liam duduk di kursi di samping ranjangnya, tak beranjak sejak Evi dipindahkan dari ruang bersalin.Tatapannya lekat pada wajah istrinya itu, seolah takut kalau sebentar saja dia mengalihkan pandangan, semuanya akan menghilang begitu saja.Dengan gerakan lembut, dia mengusap pucuk kepala Evi, membenarkan beberapa helai rambut yang menempel di keningnya.Senyum lirih terbit di bibir Liam. “Kamu hebat sekali, Vi,” gumamnya dengan pelan, suaranya nyaris tak terdengar.“Kamu … benar-benar lu
Udara di rumah sakit malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Bau antiseptik menusuk hidung, berpadu dengan aroma samar cairan infus dan suara langkah kaki perawat yang sibuk berlalu lalang di lorong panjang.Evi terbaring di atas ranjang bersalin, wajahnya pucat, tubuhnya bergetar menahan rasa sakit luar biasa yang datang setiap beberapa menit.Napasnya tersengal, keringat mengucur deras di pelipisnya. Tangannya mencengkeram selimut hingga buku jarinya memutih.“Sudah masuk bukaan lima, Pak. Mohon bersabar, nanti kalau sudah lengkap kami bantu proses persalinan,” ujar seorang dokter kandungan dengan suara lembut namun tegas.Liam yang berdiri di samping ranjang langsung mengangguk cepat. “Iya, Dok. Tolong bantu istri saya, ya.” Suaranya terdengar bergetar dan matanya terus memandang Evi dengan campuran panik dan takut.“Mas Liam,” suara Evi bergetar lirih. “Sakit banget ….”Liam seg
Usia kandungan Evi sudah memasuki sembilan bulan.Langit sore tampak begitu tenang, awan tipis berarak lembut, seolah ikut menikmati momen bahagia sepasang suami istri yang kini tengah berjalan menyusuri koridor toko perlengkapan bayi.Evi dan Liam tampak menonjol di antara para calon orang tua lain—Liam dengan wajah serius dan tatapan penuh perhitungan, sementara Evi dengan perut besarnya tampak cantik dalam balutan dress putih longgar yang sederhana namun anggun.“Mas Liam, jangan asal ambil begitu! Itu baju biru lagi,” omel Evi sambil menatap suaminya yang tengah memegang setelan bayi berwarna biru lembut.Liam mendengus kecil sambil menatap label harga dan bahan bajunya, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.“Tapi yang ini bagus, Sayang. Bahannya lembut, adem, dan biru itu netral, kan?”“Netral dari mananya? Biru itu identik dengan laki-laki!” sahut Evi cepat dan alisnya naik ke atas.“T
Waktu sudah menunjuk angka empat sore dan gedung Liam masih ramai oleh para tamu yang masih betah di sana.Sementara di luar gedung, dua wanita berdiri diam—dalam diam yang bukan karena kagum, tapi karena api yang membakar dada.Sarah menggenggam tas tangannya kuat-kuat, bibirnya mengerucut penuh kekesalan.“Sial,” desisnya pelan. “Kita bahkan tidak diundang. Aku tidak percaya Liam bisa berubah sedingin ini setelah semua yang kulakukan untuknya.”Tari, yang berdiri di sampingnya menatap ke depan tanpa ekspresi.Angin sore meniup rambutnya perlahan, tapi tatapannya tetap fokus ke gedung itu—ke tempat di mana putranya sekarang berdiri dengan bangga bersama wanita yang dulu hanya dianggap ‘mantan pembantu’.“Jangan terlalu berharap dia akan memandangmu lagi, Sarah,” ucap Tari dengan nada datarnya. Suaranya terdengar dingin dan tenang, tapi menusuk.Sarah menoleh cepat. “Ja
Dua minggu berlalu setelah pertemuan terakhir dengan Tari. Waktu berjalan dengan cepat, tapi bagi Liam, setiap detik terasa seperti langkah baru menuju kehidupan yang sepenuhnya ia pilih sendiri.Hari ini, pagi itu, udara masih segar, langit cerah tanpa awan—seolah turut merestui langkah awal yang akan diukirnya.Sebuah gedung dua lantai berdesain minimalis berdiri anggun di tepi jalan utama kota.Di depannya, berjejer karangan bunga ucapan selamat dengan pita-pita warna perak dan emas bertuliskan Selamat & Sukses atas Grand Opening The L’M Corp.Beberapa tamu mulai berdatangan, para klien, rekan bisnis, dan orang-orang yang pernah menjadi bagian dari perjalanan Liam dan Ardi.Di depan pintu kaca besar bertuliskan logo The L’M Corp, Liam berdiri mengenakan setelan abu-abu gelap yang rapi.Senyumnya hangat tapi sarat dengan kebanggaan. Di sisi kirinya, Evi tampak anggun mengenakan dress biru pastel, ram