“Nghh… Liam. Aku tidak bisa.”
Liam yang sedang menenggelamkan wajahnya di ceruk leher sang istri langsung berhenti ketika mendapatkan penolakan. Wajah pria yang hasratnya telah tinggi itu memerah, dengan rahang yang mengetat.
“Lagi?” kata pria berusia tiga puluh tiga tahun itu menunjukkan rasa marah dan kecewanya.
Bukan sekali dua kali Nala menolak ketika ia menginginkan belaian. Pernikahan mereka yang telah berusia delapan tahun selalu bergairah. Setidaknya, sampai sebelum Nala kembali bekerja.
Semenjak Liam mengizinkan sang istri membantu ekonomi mereka yang mengalami guncangan akibat pandemi, kehidupan rumah tangganya berubah. Tidak ada lagi malam-malam panas bergelora. Tidak ada lagi Nala yang manja dan siap disentuh kapan pun Liam minta.
“Bosku sudah menunggu di kantor, Liam. Kami ada jadwal kunjungan cabang perusahaannya di Singapura.” Nala mendorong tubuh Liam yang masih menghimpitnya tanpa rasa bersalah.
“Ya, ya. Bosmu memang lebih penting dari suamimu.” Embusan napas berat keluar dari bibir Liam.
Nyaris hampir setiap minggu sang istri selalu ada jadwal dinas ke luar negeri.
“Sayang… ayolah,” rayu Nala mencoba menyentuh pipi Liam.
Namun, pria itu sudah terlanjur marah dan menolak untuk disentuh. Pria yang telah bertelanjang dada itu justru bangkit dari ranjang dan keluar dari kamar. Ia memutuskan untuk mandi air dingin di kamar mandi lain.
Tiga puluh menit berlalu, amarahnya sedikit mereda usai ia keramas dan memuaskan hasratnya seorang diri.
Saat ini, Liam sudah berada di dapur menyiapkan sarapan untuknya dan Nala.
Mereka tidak memiliki ART. Dulu, Nala yang mengerjakan semuanya. Mulai dari memasak, merapikan rumah, mengurus semua kebutuhannya.
Sekarang, karena kesibukan Nala yang luar biasa … Liam-lah yang mengambil alih tugas domestik itu. Pria itu tidak suka kehadiran orang asing di rumahnya, terlebih wanita.
Suara ketukan stiletto terdengar. Aroma manis menggoda dari parfum yang sudah dihapalnya tercium. Tak lama, dua buah lengan melingkar di tubuh Liam yang kekar.
“Aku berangkat, ya?” Nala berbisik di telinga Liam. “Aku janji, pulang dinas nanti aku akan kasih servis yang luar biasa ke kamu,” tutupnya diakhiri dengan kecupan di pipi pria itu.
Liam terdiam beberapa detik sebelum mematikan kompor dan membalikkan badan. Mata elang pria itu menatap Nala. Kali ini, sudah jauh lebih lembut. Meski masih ada sisa-sisa kecewa di sana.
“Aku izinkan, tapi ini untuk yang terakhir.”
Suara pria itu terdengar serius. Ia memang tidak sedang bercanda.
“Maksudmu, kamu nyuruh aku resign?” sahut Nala dengan mata membelalak. “Kamu lupa, kita sudah sepakat soal ini?!”
Mata Liam memejam. Perbincangan ini selalu berakhir dengan pertengkaran. Tapi kali ini, Liam sudah tidak bisa lagi menahan kekesalannya.
“Aku setuju mengizinkan kamu bekerja karena ekonomi kita yang belum stabil, Nala. Sekarang, kita tidak kekurangan. Aku bisa mencukupi kebutuhan kita. Dan aku membutuhkanmu di rumah. Untukku. Untuk anak kita kelak.”
“Aku bisa mempekerjakan ART!” sahut sang istri cepat.
Dengusan terlepas dari sela bibir Liam. “Bagaimana dengan urusan ranjang? Kamu juga akan menyuruh ART?”
Nala sempat terkejut sesaat. Akan tetapi, wanita itu justru terkekeh karena menganggap Liam tengah bergurau.
“Ehm…” Nala bergumam sesaat, “Untuk urusan itu, aku janji, setelah aku pulang nanti kita akan bercinta seharian. Aku akan pakai lingerie baru, kesukaan kamu!”
Kecupan mendarat di pipi Liam, kendati pria itu tidak bereaksi. Nala kemudian menjauh sembari menggeret kopernya tanpa peduli pada sarapan yang sedang Liam buat.
Ya, masakan Liam selalu berakhir di tong sampah. Entah karena Nala yang berangkat terlalu pagi sehingga tidak sempat menghangatkan makanan, atau justru terlalu malam dan berdalih kenyang.
Liam mengepalkan kedua tangan di tubuhnya. Bertolak belakang dengan wanita berambut ikal panjang yang melangkah ringan keluar rumah.
Sebelum meraih gagang pintu, Nala memutar tubuh ke arah Liam. “ART kita akan datang sebentar lagi, Liam.”
Dan setelahnya, Nala benar-benar keluar, tanpa peduli pada tanggapan Liam.
Dalam hati, Liam kesal. Tapi sudah biasa diperlakukan seperti ini … tidak dihargai oleh sang istri.
Dia baru saja mengganti pakaiannya, hendak berangkat kerja. Ia menjabat sebagai General Manager di sebuah perusahaan besar. Gajinya tentu cukup untuk membayar satu ART di rumah megahnya itu. Namun, tetap saja dia enggan memiliki ART dan hanya ingin istrinya yang melayaninya.
Namun, semuanya hanya mimpi belaka. Liam tidak akan pernah mendapat pelayanan dari sang istri jika wanita itu masih memilih bekerja, bekerja, dan hanya bekerja.
Liam yang sedang mengenakan dasi itu menoleh ke arah pintu utama, bel rumah berbunyi. Panjang dan berulang kali.
Dengan malas, Liam membukakan pintu dan matanya langsung terbelalak begitu melihat seorang wanita cantik di hadapannya.
“Kamu ….”
“Selamat pagi, Pak. Saya Evi, pembantu baru yang diminta Bu Nala untuk datang ke sini.”
Liam meneliti penampilan wanita muda yang ada di hadapannya itu. Wajahnya tampak cantik, meski tanpa pulasan make up.
Tak berhenti di situ, Liam melirik tubuh wanita itu.
Sebuah dress ketat dengan belahan dada agak rendah membuat dua benda kenyal nan padat itu menyembul. Belum lagi, panjang dress itu tidak sampai menutupi setengah dari paha mulusnya.
Seksi.
Muda.
Menggoda.
Liam meneguk salivanya seketika. Pikirannya meliar. Namun, cepat-cepat ia mengusir jauh pikiran tersebut.
Ia berdeham, sebelum kemudian berujar dengan dingin, “Kamu mau jadi pembantu atau penggoda suami orang?!”
Liam baru saja tiba di kantor. Suasana masih lengang, belum banyak karyawan yang datang.Sinar matahari pagi menembus jendela besar ruangannya, menerangi meja kerjanya yang tertata rapi.Dia baru saja duduk di kursi putar kulit hitam kesayangannya ketika pintu ruangannya terbuka pelan.“Masih pagi, Ardi. Kamu sudah bawa tumpukan dokumen aja,” ucap Liam setengah malas ketika melihat Ardi—sahabat sekaligus rekan kerjanya—muncul sambil menenteng map tebal berisi berkas-berkas yang sepertinya akan menyita banyak waktu.Ardi menyeringai sambil meletakkan dokumen-dokumen itu di meja Liam. “Pak Bos udah nanya dan harus segera konfirmasi ke kamu. Kayaknya dia mau mempercepat progresnya karena duitnya gede. Proyek luar negeri yang kemarin itu,” jelasnya lalu menjatuhkan diri ke sofa di sudut ruangan dan menyilangkan kaki dengan santai.Liam menghela napas lalu mulai membuka halaman demi halaman berkas tersebut. Matanya menelusuri angka dan paragraf panjang dengan ekspresi serius.“Istrimu masi
“Nggak juga. Aku hanya bicara fakta,” ucap Liam pelan dan matanya tak lepas dari wajah Nala yang kini terlihat memerah karena kesal.Wajah itu—yang dulu dia kira anggun dan kuat—kini hanya tampak penuh tuntutan dan keluhan.Tatapan Nala menyala marah, tapi dia tidak berkata apa-apa lagi.Bibirnya terkatup rapat dan kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Napasnya naik turun menahan emosi yang jelas sudah memuncak.Dengan langkah cepat dan berat, Nala berbalik lalu berjalan menuju kamar mandi. Suara pintu kamar mandi yang ditutup sedikit keras menggema di seisi kamar, namun Liam sama sekali tidak bergeming.Liam hanya menggeleng pelan, lalu menghela napas panjang seakan baru saja lolos dari medan pertempuran emosional.Dia meraih ponselnya di meja samping ranjang dan menyalakan layar. Sebuah pesan masuk dari Evi masih menyala di notifikasi.Evi: Terima kasih, Pak.Liam menatap pesan singkat itu. Ada se
Nala beranjak dari duduknya dengan gerakan cepat. Tumit sepatunya menghentak lantai keras, menciptakan bunyi nyaring yang membuat Evi refleks menegakkan tubuhnya.Tatapan dingin Nala menusuk wajah Evi seperti belati. Matanya menyipit penuh amarah, dan napasnya terdengar berat.“Kamu minta uang? Yang benar saja, Evi?!” Suaranya meninggi dan menggelegar di ruang tamu yang tadinya sunyi.“Bahkan kamu dapat informasi soal Liam ada di hotel aja dari aku. Dan kamu minta uang? Apa kamu gila, hah?!”Pekikan itu menghantam telinga Evi seperti tamparan. Tubuhnya langsung menciut. Bahunya menguncup, dan kepala tertunduk rendah. Matanya menatap lantai, nyaris tak sanggup mengangkat wajah.“Ma-maaf, Bu. Saya butuh uang untuk pengobatan ibu saya. Dan Ibu juga sudah menjanjik—”“Menjanjikan apa?!” Nala memotong dengan tajam dan matanya kini melebar.“Aku tidak pernah menjanjikan apa pun ke
Evi menganggukkan kepalanya dengan cepat, nyaris refleks. Napasnya sedikit tertahan, seolah takut satu kata saja bisa membuat Nala meledak.“Iya, Bu. Mungkin sekitar tiga jam saya menunggu di sana. Dan setelah melihat Pak Liam ada di restoran sedang bertemu dengan kliennya itu, saya langsung fotokan. Saya juga menunggu sampai meeting itu selesai, Bu,” ucap Evi setenang mungkin meskipun detak jantungnya berdebar.Dia kembali harus memainkan perannya sebagai mata-mata gadungan, berjalan di atas tali yang sangat tipis—antara perintah Nala dan kenyataan yang sebenarnya jauh lebih rumit dari apa yang terlihat.Sementara Evi berbicara, Nala hanya duduk diam. Kedua tangannya kini dilipat di dada, napasnya diembuskan panjang dari hidungnya, tampak jelas bahwa pikirannya sedang bercabang ke banyak arah.“Bisa-bisanya aku menuduh Liam macam-macam. Padahal aku tahu sifat dia kayak gimana,” gumam Nala lirih, namun masih terdengar jelas o
Nala menggigit bibir bawahnya dengan pelan, menatap layar ponsel yang baru saja menampilkan foto kiriman dari Evi.Jemarinya yang menggenggam ponsel tampak sedikit gemetar. Meski tak ada adegan mesra, hanya dokumentasi formal pertemuan bisnis, tetap saja rasa curiga menusuk dadanya seperti sembilu.Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Tapi sebelum dia bisa berkata-kata, suara berat Rafael memotong keheningan itu dari arah sofa di seberangnya.“Udahlah, Nala. Aku sudah bilang padamu, Liam tidak akan mengkhianatimu. Buktinya dia hanya sedang meeting dengan kliennya,” ucap Rafael santai sambil menyilangkan kaki.Di tangannya, sebatang rokok mengepul, aromanya menyebar memenuhi ruangan hotel yang mereka sewa untuk urusan proyek luar kota.Nala menghela napas kasar, begitu berat hingga dadanya naik-turun. Dia bersandar ke kursi dan mengusap keningnya dengan telapak tangan. “Ya, aku tahu. Aku cuma penasaran kenapa dia menolak bercinta d
Liam mengendikkan bahunya pelan, seperti tidak ingin terlalu larut dalam pembicaraan yang baginya sudah lama dia simpan dalam diam.“Aku sibuk, Evi. Kantorku juga sedang banyak tender dan aku sering meeting ke sana kemari. Tidak sempat mencaritahu apa yang Nala sembunyikan dariku. Tapi, aku sudah menaruh curiga bahwa dia ada main dengan bosnya itu,” ucap Liam sambil menatap langit-langit kamar.Evi terdiam. Tangannya menggenggam selimut di atas tubuhnya, dan matanya perlahan menatap ke arah Liam.Kalimat tadi menghujam keras di benaknya. Ternyata, Liam tahu. Dia tahu semuanya—tapi memilih tidak mencaritahu lebih lanjut.Entah karena tidak sempat, atau memang tidak mau menghadapi kenyataan lebih cepat dari waktunya.Ada rasa aneh yang menggantung di hati Evi. Luka yang samar, seperti tergores tanpa disadari.“Kalau tahu Bu Nala melakukan itu, kenapa Bapak juga lakukan ini dengan saya?” tanyanya dengan suara pelan