Hembusan napas Liam yang lembut mengenai pipinya, begitu dekat hingga membuat bulu kuduknya berdiri. Wewangian maskulin dari parfum pria itu, yang mahal dan menyengat, menciptakan sensasi tak nyaman di rongga hidungnya.
Ia bisa mendengar detak jantungnya seperti hendak melarikan diri dari tubuhnya sendiri.
“Tidak perlu takut,” ucap Liam dengan suara beratnya. Tangannya yang dingin menyentuh pipi Evi dengan punggung jari, seolah mencoba menghapus ketakutan yang tergurat jelas di wajah wanita itu.
“Aku akan bermain dengan lembut. Kamu tenang saja.”
Sentuhan itu terasa asing hingga membuat kulitnya merinding. Ada desakan untuk menjauh, tapi juga suara di dalam dirinya yang mengingatkan: ibunya masih di rumah sakit. Adiknya masih butuh uang sekolah.
“Maafkan saya kalau saya kaku,” bisiknya lirih. “Saya belum pernah melakukan ini,” sambungnya kemudian.
Liam menatapnya dalam, lalu berkata pelan, “Kamu manis saat gugup, Evi.”
Sentuhan tangan Liam berpindah ke bahunya, lalu meluncur perlahan turun ke lengannya.
Liam kemudian membimbingnya ke ranjang. Mereka duduk di tepi kasur, dan Evi bisa merasakan betapa napasnya mulai tak teratur.
Liam menatapnya lalu menyingkap rambut Evi yang tergerai. “Aku tidak akan kasar,” katanya. “Tapi aku tidak akan pura-pura tidak menginginkanmu. Dan kamu tahu itu,” bisiknya. Suaranya terlalu dekat hingga embusan napasnya begitu terasa di wajah Evi.
“Sudah lama sekali milikku tidak pernah menyentuh sesuatu yang hangat, Evi. Dan kamu datang. Anggap saja ini semua adalah simbiosis mutualisme. Sama-sama saling diuntungkan, bukan?” ucap Liam lalu menyunggingkan senyumnya menatap wanita cantik itu.
Evi tidak menjawab. Baginya, ini bukan sistem saling menguntungkan. Dia terpaksa melakukan ini karena desakan yang harus membuatnya ‘menjual diri’.
“Kita mulai saja. Aku sudah tidak tahan lagi.”
Wanita itu menutup mata begitu mendengarnya. Liam memperhatikannya, namun tidak mengatakan apa-apa. Tangannya bergerak ke dagu Evi dan mengangkatnya perlahan agar mereka saling bertatapan.
“Saya mohon, lakukan dengan pelan-pelan, Pak,” pinta Evi dengan suara memohon seraya menatap sayu ke arah Liam.
Mendengar itu, Liam hanya diam. Dia menatap Evi lama, kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, dia mulai mencium bibir Evi, pelan namun menuntut.
Evi memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam momen itu—bukan karena ingin, tapi karena harus. Dia sudah menerima uang dari Liam.
Tubuh mereka bergerak seiring waktu, dalam keheningan yang hanya dipecahkan oleh desahan pendek dan tarikan napas yang dalam.
“Ah! Sakit, Pak … tolong pelan-pelan,” lirih Evi merasakan perih di bawah sana saat Liam memaksa agar masuk lebih dalam.
Liam yang sedang haus akan nafsu birahi tersebut, tidak mendengarkan rintihan kesakitan dari bibir Evi. Ia terus mendesak lebih dalam ketika dirinya berhasil membobol dinding kokoh yang selama ini Evi jaga mati-matian.
Namun, di malam ini, semuanya harus berakhir. Dia bukan lagi wanita suci, kesuciannya telah direnggut bukan oleh pria yang dia cintai, melainkan oleh pria beristri.
Evi membuka mata, menatap pria itu di atasnya. Pria itu tampak menikmatinya, desahan halus terdengar di telinga Evi. Tapi semua itu tak mengubah kenyataan bahwa hubungan mereka tidak dilandasi cinta, hanya kebutuhan dan kesepakatan yang tak adil.
Beberapa saat kemudian, semuanya berakhir. Liam bangkit dari ranjang, dan mengenakan kemeja putihnya kembali. Ia berdiri di sisi tempat tidur, menatap Evi yang masih terbaring di ranjang dengan mata kosong.
Wajahnya pucat dan sembab, rambutnya berantakan, dan tubuhnya lelah.
Tapi bukan itu yang paling menyakitkan, melainkan kesadarannya bahwa ia baru saja menjual kehormatannya demi angka dalam rekening bank.
Liam mendekat, menatap lekat-lekat wajah Evi lalu menyunggingkan senyum miring di bibirnya.
“Kamu sangat nikmat, Evi. Besok malam…,” ucapnya serupa bisikan, “aku membutuhkanmu lagi.”
“Ngapain Rafael datang ke sini tadi?” tanyanya dengan santai meski ada nada curiga yang terselip.Nala menoleh, sedikit kaget karena pertanyaan itu kembali dibahas. “Dia … dia cuma mampir sebentar. Ada dokumen penting yang ketinggalan di rumah waktu meeting pagi tadi. Kebetulan kami lewat sini sebelum ke restoran tempat meeting berikutnya.”Liam mengernyit menandakan tidak puas dengan jawaban Nala tadi, “Restoran? Jam segitu?”“Iya,” Nala mengangguk lalu menyandarkan punggungnya ke sofa.“Ada pertemuan dengan investor dari luar kota. Aku sendiri tahu jadwalnya memang padat banget. Aku yang salah karena meninggalkan dokumen pentingnya di rumah. Makanya kami mampir bareng.”Liam mengangguk pelan dan menghela napasnya. Sepertinya jika terlalu dalam mencari tahu alasan Rafael datang ke rumah itu hanya akan membuat Nala marah lagi“Ada yang ingin aku tanyakan lagi soal dia.&
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Deru mesin mobil terdengar, diikuti suara pintu dibuka dan langkah sepatu yang mantap menuju dalam rumah.Liam baru saja tiba. Wajahnya tampak lelah, dasi longgar tergantung di leher, dan lengan jasnya sedikit basah karena gerimis yang menyambutnya di perjalanan pulang.Begitu membuka pintu, matanya langsung tertuju pada sosok Nala yang duduk di sofa ruang tengah, menyilangkan kaki sambil menatap layar ponsel dengan ekspresi cemberut.“Sudah pulang kamu?” sapanya datar, mencoba mengawali malam dengan tenang.Namun Nala tidak menjawab sapaan itu. Dia hanya mengangkat kepalanya perlahan, menatap Liam dengan tajam, lalu meletakkan ponselnya di meja. Dia terlihat tidak sedang dalam suasana hati yang baik.“Ada yang mau aku bicarakan sama kamu,” ucap Nala datar.Liam menghela napas pelan seraya menatap wajah Nala. “Apa lagi sekarang?” tanyanya dengan suara rendahnya.“Rafael datang ke rumah siang tadi,” katanya dan langsung pada intinya.Liam mengeru
“Tidak, Bu.” Evi menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Saya tidak pernah berniat untuk merayu siapa pun, Bu.”Namun, mata Nala yang tajam itu tampak masih belum percaya dengan ucapan Evi tadi.“Sebenarnya saya tidak mengenalinya, Bu. Banyak pelanggan yang datang dan tentunya saya tidak pernah mengingat siapa saja yang datang saat itu,” jawabnya berusaha setenang mungkin.“Bohong kamu, Evi!” bentak Nala tiba-tiba. “Jelas-jelas Rafael bilang kalau kamu masih ingat sama dia dan mencoba merayunya lagi! Tidak mungkin Rafael berbohong. Dan mataku juga menangkap kamu sedang berbincang dengannya tadi!”“Bu, saya mohon ….” Evi mengangkat kedua tangannya pelan, seperti hendak menenangkan badai.“Sumpah demi Tuhan, saya tidak pernah merayunya. Justru dia yang merayu saya, Bu. Dia yang terus datang ke tempat itu. Dia juga yang meminta saya berhenti kerja dan—”“Alasan!” potong Nala, suaranya meninggi.“Itu cuma dalih kamu saja buat nutupin niat busuk kamu selama ini! Kamu sengaja kerja di sini s
“Iya. Aku udah cari tahu dan nggak ada satu pun bukti yang aku terima. Liam bukan pria seperti itu,” ucap Nala masih yakin bahwa Liam tidak memiliki simpanan wanita seperti dugaannya.Suaranya terdengar mantap, tapi matanya menyimpan sedikit keraguan yang tak bisa ia sembunyikan.Ia masih ingin percaya pada suaminya, pada rumah tangganya yang selama ini ia pertahankan mati-matian.Rafael menaikkan alisnya, kemudian mengangguk-anggukkan kepala seolah sedang memahami, meski sebenarnya tengah menanam benih keraguan lebih dalam lagi.“Kalau begitu, hati-hati saja dengan Evi. Dia itu penggoda handal. Mungkin Liam memang tidak akan tergoda, tapi siapa yang bisa jamin bahwa Evi tidak mengincarnya sejak lama?”Kalimat itu seperti jarum tajam yang menembus ke dinding hati Nala. Untuk sesaat, ia terdiam.Wajahnya tak menunjukkan reaksi apa pun, tapi pikirannya melayang-layang dalam kebingungan.Evi memang selama ini terlihat tenang, tak pernah neko-neko, bahkan cenderung penurut. Tapi… justru i
“Jangan mengada-ngada, Pak! Lepaskan saya!” pekik Evi sekali lagi, suaranya menggema di dalam ruang tamu yang sepi.Suasana mendadak mencekam, hawa dingin dari pendingin ruangan tak mampu menyamarkan ketegangan yang menggantung di udara.Namun Rafael justru menyeringai, genggaman tangannya makin erat pada pergelangan tangan Evi, seolah ia menemukan kesenangan dari penderitaan wanita di hadapannya itu.“Apa kamu tuli, huh?” gumam Rafael dengan nada datar yang menyeramkan. “Aku kan, sudah bilang padamu tadi. Aku sudah mencarimu ke mana-mana, tapi tidak juga ditemukan. Dan sekarang kita sudah bertemu. Tentu saja aku tidak akan melepaskanmu begitu saja.”Tatapan Evi tajam, napasnya terengah karena emosi yang ditahan. Dengan sekuat tenaga, dia menarik lengannya hingga terlepas dari genggaman Rafael.“Bapak gila, huh?” semprotnya, wajahnya memerah karena marah. “Masih banyak perempuan di luar sana yang mau melayani Anda. Jangan cari saya! Saya tidak mau melayani pria seperti Anda!”Kata-kat
Sepulang dari pasar, Evi sempat mampir sebentar ke warung kopi kecil untuk menenangkan pikirannya setelah pertemuannya dengan Hana.Namun, percakapan tadi justru semakin memenuhi kepalanya dengan banyak pertanyaan tentang rumah tangga majikannya, juga tentang perasaan aneh yang semakin tumbuh terhadap Liam—suami dari Bu Nala.Begitu sampai di rumah, suasana tampak sepi. Tak ada suara musik dari kamar atas, tak ada derap kaki Nala yang biasanya sibuk bicara di telepon dengan rekan kerja.Evi membuka pintu rumah perlahan, menyeret kantong belanjaan yang cukup berat ke dalam, dan menutup pintu dengan pelan agar tak mengganggu siapa pun.Namun langkahnya terhenti mendadak begitu kakinya menginjak karpet ruang tengah.Matanya membelalak.Seorang pria asing sedang duduk dengan santai di atas sofa ruang tamu berbalut kulit mahal itu, kaki kirinya disilangkan di atas kanan, satu tangan merogoh saku celana, dan yang lain memegang gelas teh yang entah kapan dihidangkannya.Tatapan mata pria itu