Udara di restoran itu seolah menahan napas. Lilin di meja kecil di hadapan Evi bergoyang pelan, seperti ikut menyerap ketegangan yang mengalir di udara.Liam masih berlutut, cincin berkilau di tangannya, sementara mata tajamnya menatap Evi tanpa berkedip, penuh kesungguhan yang membuat dada siapa pun bisa bergetar.Evi menggenggam kedua tangannya di atas dada. Air matanya jatuh membasahi pipinya yang pucat.Tubuhnya gemetar halus, seolah kata-kata yang hendak ia keluarkan tertahan oleh benang kusut yang menjerat di kerongkongan.“Mas,” panggilnya lirih, nyaris patah. “Aku … aku takut.”Liam mengernyit, tapi tatapannya tetap lembut. “Takut apa, Vi?” tanyanya sedikit bingung.Air mata Evi makin deras. Ia menggeleng lemah, matanya berkilat antara sedih dan panik.“Aku takut … aku tidak bisa membahagiakanmu. Aku sudah terlalu banyak dihina, dicibir, dianggap sial oleh orang-orang kam
Satu minggu setelah Nala dipenjara dan diputuskan hukuman selama dua belas tahun penjara. Hati Evi merasa lega meski sedikit iba pada wanita itu.Namun, Liam tak pernah mau Evi mengasihani wanita itu. Karena ulah Nala, Evi diusir dari kampungnya sendiri.Dan kini, Liam membawa Evi ke sebuah restoran untuk makan malam hanya berdua, di mana Evi pun tidak diberitahu.Dari kursi penumpang, Evi sesekali melirik ke arah pria di sebelahnya.Liam tampak tenang, matanya fokus ke jalan, sementara jemarinya mengetuk ringan setir mengikuti alunan musik lembut yang mengalir dari radio.“Kenapa sih kita harus makan di luar? Padahal aku bisa masak sesuatu di rumah,” gumam Evi, mencoba membuka percakapan.Liam hanya tersenyum kecil. “Sekali-sekali kamu harus menikmati sesuatu yang berbeda, Vi. Anggap saja malam ini aku ingin melakukan sesuatu yang istimewa.”Evi mengernyit bingung. “Istimewa? Ada apa?” tanyanya ing
Dua hari kemudian.Di ruang sidang yang sudah dipenuhi orang yang ingin melihat perkara apa lagi yang dilakukan oleh Nala.Nama Nala sudah terlalu sering jadi buah bibir: istri yang ditinggalkan, wanita yang katanya dikhianati, sekaligus sosok penuh skandal yang tak henti membuat sensasi.Di kursi terdakwa, Nala duduk dengan wajah penuh riasan tebal, bibir merah menyala, namun mata menyiratkan amarah bercampur kepanikan.Sesekali dia menoleh ke arah Liam yang duduk di kursi penggugat bersama kuasa hukumnya.Di samping Liam, Evi juga hadir, wajahnya pucat pasi, namun berusaha tegar meski tatapan penuh benci dari Nala menusuknya dari kejauhan.Hakim kemudian mengetuk palu, memulai jalannya sidang.“Sidang dibuka kembali. Hari ini kita akan mendengarkan keterangan tambahan dari pihak tergugat. Saudari Nala, apakah ada yang ingin saudari sampaikan?”Nala bangkit perlahan dan langkahnya sengaja dibuat dramatis, seakan dia sedang berada di panggung sandiwara.Dia menarik napas panjang lalu
Bel pintu berbunyi berkali-kali dan membuat Evi buru-buru menyingkir dari Liam dengan wajah merah padam.Nafasnya masih tersengal, pipinya panas karena ciuman yang baru saja terjadi. Liam menatapnya dalam diam, jelas tidak rela momen itu dipotong, tapi suara bel yang keras tak bisa diabaikan.Dengan helaan napas berat, Liam melangkah ke pintu dan membukanya.Sosok Ardi berdiri di sana, dengan kemeja rapi tapi wajah lelah karena semalam dia juga sibuk mengurus administrasi perkara.“Pagi, Bro!” Ardi menyapa dengan gaya santainya.Namun, tatapannya yang jeli langsung menangkap rona merah di wajah Evi yang terlihat dari dapur. Matanya menyipit curiga, tapi dia menahan diri untuk tidak bertanya.Liam mengusap pelipisnya lalu mempersilakan Ardi masuk. “Ada kabar apa pagi-pagi datang begini?”Ardi langsung duduk di sofa lalu mengeluarkan map berisi dokumen. “Sidang pertama akan dimulai dua hari lagi. Tadi malam
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Liam sudah bersiap dengan kemeja kasual rapi, sedangkan Selly tampak gugup dengan seragam barunya yang terlihat sedikit kebesaran di tubuh mungilnya.Evi berdiri di samping dan mencoba menenangkan adiknya dengan mengelus bahunya.“Jangan tegang, Sel. Kamu pasti bisa berbaur di sana,” ucap Evi dengan nada lembut sambil tersenyum.Selly hanya mengangguk pelan sementara tangannya menggenggam erat tali tas ransel. Matanya menatap Liam yang berdiri di ambang pintu yang siap mengantarnya ke sekolah.“Kalau aku enggak diterima sama teman-teman gimana, Kak?” tanyanya penuh kecemasan khas seorang remaja yang hendak masuk ke lingkungan baru.Liam kemudian menatap adik Evi itu dengan penuh perhatian.“Hei, jangan khawatir. Kamu itu pintar, kamu manis, dan aku yakin mereka bakal suka sama kamu. Lagipula ….” Liam mengedipkan sebelah matanya, “…kalau ada
Setelah memasukan semua barang-barang yang perlu dibawa, mereka bertiga pergi dari kampung itu.Tatapan-tatapan sinis dan juga kelegaan dari mereka tampak terlihat begitu jelas, seolah Evi orang paling berdosa di kampung itu.“Jangan melihat ke belakang lagi. Fokus pada masa depan saja,” ucap Liam sebelum melajukan mobilnya dan berlalu begitu cepat meninggalkan kampung tersebut.Perjalanan yang menempuh empat jam lamanya akhirnya usai. Mereka tiba di kota dan Selly tampak terpukau oleh keindahan kota tersebut.Lampu-lampu kota berkilauan di balik jendela mobil, memantulkan cahaya seperti bintang-bintang buatan manusia.Setelah perjalanan panjang yang senyap, mobil Liam akhirnya berhenti di depan sebuah apartemen modern di pusat kota. Gedung itu menjulang gagah, dengan lobi yang dipenuhi lampu kristal berkilauan.Selly menelan ludah dan matanya membulat. “Mbak? Ini kita … beneran tinggal di sini?” suaranya penuh