Home / Romansa / Terjebak Gairah Sang Bodyguard / Bab 2 : Orang gila, Nggak Sekeren Itu!

Share

Bab 2 : Orang gila, Nggak Sekeren Itu!

Author: Az Zidan
last update Last Updated: 2023-11-03 01:37:19

Wanita bermata cokelat itu turun dari kamarnya. Ia sudah siap hendak pergi ke kampus. Ini adalah tahun terakhir dirinya menimba ilmu di Universitas Negeri Briona. Tanpa pamit, wanita itu lekas mendekati pintu utama. Namun, langkahnya terhenti oleh teriakan sang ayah dari ruang tengah.

“Divya, tunggu!”

Gadis itu memutar tubuhnya dengan enggan. “Apa lagi, Pah?” Ia masih tidak terima hidupnya diatur sedemikian rupa. Divya hanya ingin bebas menentukan jalannya sendiri.

“Mulai sekarang kamu tidak perlu mengemudikan mobil sendiri. Ghazi akan membawanya.”

Alis sebelah Divya terangkat. “Ghazi? Siapa Ghazi? Sopir aku?” Senyum mengejek Divya terbit. Wanita itu acapkali berhasil membuat para sopir-sopir tua itu menyerah dengan pekerjaannya. Divya adalah wanita yang jahil.

“Tidak hanya sopir, tetapi juga pengawal pribadimu. Jadi, dia akan ikut ke mana pun kamu pergi. Bahkan, jika kamu pergi berbelanja sekalipun,” terangnya dengan seraut wajah penuh kemenangan.

“Papa nggak serius kan?”

Wajah Divya kaku, dia ingin protes dan meledakkan amarahnya saat itu juga. Akan tetapi, suara bariton seorang pria menghentikan agrumentasi Divya.

“Selamat pagi, Tuan Hen.”

Laki-laki dengan pakaian serba hitam membungkuk setengah badan pada Hendery. Tanda hormat pada atasannya.

“Tepat waktu. Kamu memang bisa diandalkan. Baiklah! Dia ada di sana. jangan sampai kehilangan sedetik pun pandangan darinya. Dia adalah gadis nakal,” seru Hendery. Ia mendekati Ghazi, lalu menoleh lagi ke arah anaknya berdiri. Masih dengan senyum kepuasannya karena berhasil membuat Divya pagi ini menurut telak.

“Baik, Tuan.”

Mata Divya memicing menatap pria dengan jas. Ya! Tentu kalian tahu pakaian membosankan itu. Sorot matanya penuh dengan kebencian serta ide-ide untuk membuat pria itu menyerah.

“Aku harus pegi, Ghaz. Jaga putriku dengan baik!”

“Siap, Tuan.” Ghazi kembali membungkuk.

Akan tetapi belum sampai ambang pintu utama, Hendery berhenti.

“Ups! Jangan lupa, Divya. Minggu depan, Liam Madhava akan kembali dari Jepang. Bersiaplah!” Hendery memutar tubuhnya kembali menghadap Divya. Mengacungkan kedua jempolnya dan kali ini benar-benar keluar dari rumah. Tanpa mendengarkan ucapan memprotes dari anak satu-satunya yang dia miliki.

“Pa! Papa! Papa nggak bisa seperti ini, dong! Ini namanya pelanggaran hak asasi manusia!” teriak Divya. Mencoba mengejar ayahnya.

Akan tetapi sama sekali tidak di gubris oleh laki-laki setengah abad itu. Ia sudah menghilang dibalik pintu mobil. Kemudian gerobak besi itu mulai berjalan pelan meninggalkan hunian megahnya.

Belum hilang kekesalannya, lagi— Ghazi menambah kesulitan hidupnya.

“Anda sudah siap, Nona Divya?”

“Jangan mengikutiku!” hardik, Divya. Ia melangkah dengan hentakan kaki keluar dari rumah. Sementara Greta hanya menggeleng pelan dengan pemandangan pagi ini. Seperti biasa, dia tidak banyak membantu karena keputusan suaminya juga adalah keputusan baginya.

Bentakan, Divya tidak berarti apa-apa bagi Ghazi. Lelaki itu tetap membukakan pintu mobil untuk Divya. Namun, wanita itu justru memilih membuka pintu bagian depan. Dia hendak menempati kursi kemudi. Akan tetapi, entah bagaimana bisa, Ghazi sudah ada di dekat pintu itu.

“Anda tidak diizinkan untuk mengemudi mulai sekarang dan seterusnya.”

“Bodo! Minggir atau gue teriak maling?!” ancam Divya.

“Silakan Anda boleh teriak sampai ternggorokan Anda kering.”

Divya mengepalkan tangan jengkel. Dia menendang kaki Ghazi dan— percayalah, pria itu tetap diam bak patung monas.

“Dasar laki-laki sialan!” umpatnya.

Lagi-lagi telinga Ghazi seolah tidak mendengar ocehan, Divya.

“Anda mau masuk atau telat kelas?”

Sekali lagi, Divya melayangkan pukulan pada dada pria tinggi besar itu. Tubuhnya seperti tiang listrik jika dibandingkan dengan Divya yang hanya memiliki tinggi seratus enam puluh sentimeter.

“Sepuluh menit harus tiba di rumah temen gue! Satu lagi cari sendiri rumahnya. Gue ogah jadi maps, Lu!” tegas, Divya.

Huh— mampus Lu, batin, Divya. Sejatinya dia masih sangat marah pada— semuanya.

Dia tidak menyukai ide gila ini. Dia tidak mau hidupnya terkekang. Divya memiliki keinginan bahwa sebelum menikah, dia sudah harus merasakan segala kesenangan yang tidak akan pernah dia dapatkan di dunia pernikahan. Salah satunya adalah dugem.

Divya tersenyum setan, dia yakin bahwa laki-laki itu tidak akan pernah bisa menemukan tempat tinggal Ivy. Pun demikian dengan perjalanan ke sana yang paling tidak membutuhkan waktu dua puluh menit paling cepat.

“Jika Lu gagal. Siap-siap enyah dari idup, gue!” seru Divya. Ia sudah duduk di kursi depan. Tepat di samping kursi kemudi.

“Baik.”

Siapa yang sangka Ghazi menyetujuinya. Pria itu, mulai menyalakan mesin. Kemudian melesat perlahan dan kecepatan mobil itu mulai bertambah ketika keluar dari halaman rumah. Ia tidak tampak melihat maps apa pun. Pembawaanya cukup tenang dan percaya diri.

“Delapan menit lagi,” seru Divya. Dia sungguh sudah mulai senang, karena jalan awal yang dipilih sudah salah.

Ghazi tidak menghiraukan suara, Divya. Dia hanya fokus pada jalanan. Menyelinap diantara mobil-mobil lain dan berhasil menjadi pemenang diantara mereka. Pekerjaannya memang sudah bisa dia prediksi. Itulah sebab, dia selalu meminta data para calon tuannya. Agar hal sepele seperti saat ini tidak merusak kinerjanya di hari pertama.

Resume Divya sudah dia terima lewat Hendery semalam. Lengkap dengan data rekan serta kebiasaan Divya nongkrong di titik-titik lokasi yang sama setiap harinya.

“Lima menit,” oceh, Divya.

Setir itu di banting ke kiri. Pertigaan yang kerapkali Divya lewati bersama dengan Ivy. Wanita itu sedikit terkejut. Dari mana dia tahu? Sepintas itulah yang dia pertanyakan.

“Tiga menit.”

Akan tetapi dia menolak untuk kalah dan tepat di menit terakhir. Ghazi menekan rem dengan dalam. Mobil berhenti dan menyisakan bekas menghitam roda di aspal.

“Kita sampai, Nona. Ivy, dua puluh satu tahun. Teman satu angkatan Anda yang terlambat lulus tahun kemarin.”

Divya mendesis kesal. Ia kembali mengepalkan tangannya. “Ini nggak akan semudah itu!”

Divya keluar dan membanting pintu dengan kencang. Namun, hal itu sama sekali tidak membuat Ghazi mengubah ekspresinya.

“Kesel, gue!” keluh Divya begitu tiba di depan pintu Ivy yang terbuka menyambut kedatangannya.

“Widih, tumben banget udah dateng, Div. Naik jet kamu?”

Mimik muka Divya yang kucel itu seolah tidak terlihat oleh Ivy. Ini adalah kali pertama, Divya datang tepat waktu. Bahkan mungkin kelebihan waktu. Biasanya wanita itu baru menjemput dirinya paling cepat jam delapan. Sekarang baru pukul tujuh lebih dua puluh sembilan menit.

“Kenapa, sih? Muka jutek gitu? Bulanan?” Ivy meraih air minum untuk sahabatnya. Akan tetapi uluran tangan itu terabaikan oleh Divya.

“Sudah siap, Nona?”

Lagi-lagi suara itu terdengar oleh Divya. Ivy menoleh ke asal suara dan melongo menatap Malaikat berdiri di ambang pintu Ivy.

Divya membuka kepalan tangannya dan merangkus wajah Ivy. Mendorong mukanya agar dia sadar dari kekaguman yang menjemukan itu.

“Jangan kira dia seperti Gabriel!” seru Divya.

“Bisa, nggak, sih, Lu hanya duduk diem di mobil lalu tungguin gue dan temen gue siap?!” ketus, Divya.

“Tidak.” jawaban singkat yang kian membuat, Divya ingin mencakar wajah kaku pria yang berdiri membantu di ambang pintu.

“Siapa dia?” bisik, Ivy.

“Orang gila! Laki-laki kurang kerjaan!” jawab Divya dengan tanduk yang sudah mulai keluar.

“Nggak ada orang gila segagah itu, gila,” lirih Ivy.

Namun, suaranya tetap di dengar oleh Ghazi dan juga Divya pastinya.

“Mau? Karungin tuh!” Divya meninggalkan Ivy.

Ia mendorong tubuh Ghazi menyingkir dan keluar terlebih dulu. Kembali duduk di kursinya. Melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah yang masih tidak bersahabat.

Ghazi lekas menyusulnya, kemudian Ivy yang terakhir menutup pintu mobil. Ketiganya melesat ke tempat tujuan. UNB.

**

“Gimana ceritanya kamu bisa dapat cowo sekeren itu, Div?” suara Ivy terus muncul. Membuat Divya yang kesal semakin bertambah jengkel.

Divya kira setelah di kampus dia bisa bebas dari laki-laki itu. Ternyata?! Nihil! Pria itu bahkan ikut sampai ambang pintu kelasnya. Kini setelah sedikit ruang dari Ghazi, Ivy memberondongnya dengan pertanyaan yang membosankan.

“Please, dukung gue lah. Bukan malah ngagumin dia kek gitu,” rajuk Divya.

“Bantu apa? Emang dia masalah buatmu?”

“Ivy, dia itu— ah! Ini menyebalkan. Kalau dia terus ngebuntutin gue. Bisa-bisa gue mati berdiri. Nggak ada dugem, nggak ada mabok, nggak ada yang namanya seneng-seneng. Gue gila, Iv!” jelas Divya dengan otot yang sudah sebesar kacang panjang di lehernya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mbulmbul Family
kasihan dibuntutin bodyguard, lagian macam2 sih ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Terjebak Gairah Sang Bodyguard    Bab 95 : Awal Baru

    Sepasang sorot mata yang dulunya bersinar indah dan teduh terus menyorot televisi dengan layar besar di hadapannya. Tanpa dia sadari dari pelupuk kelopak mata tetesan air mata luruh membasahi pipi.Ini bukan tangis kesedihan, ini tangis haru yang dia rasakan setelah bertahun-tahun melewati hidup dalam kesedihan yang nyata. Air mata yang tidak berkesudahan."Mom, sudah dong. Masa tiap liat aku malah nangis. Lama-lama tuh tivi kujual juga," sungut Zie. Sekarang, wanita itu tumbuh menjadi gadis ayu dengan rambut hitam yang panjang. Sama seperti Divya yang selalu menyukai rambut panjang. Berkat kelebihan yang dia miliki saat ini, bukan hanya sang ibu yang mampu memandang dengan tatapan kagum pada Liorazie Fahar Aurora. Namun, seluruh pencinta film yang dia bintangi bisa menikmati wajah yang tidak membosankan itu."Kamu tahu ini tangis bahagia, Nak. Mama bangga sama kamu, mama tidak bisa berkata-kata setiap melihatmu di balik layar.""Semua yang terjadi, semua yang Zie miliki berkat Momm

  • Terjebak Gairah Sang Bodyguard    Bab 94 : Sky Ahlam Gatra Fahar

    Bocah perempuan kecil dengan rambut sebahu itu meraung sangat keras, hingga hidungnya memerah. Sama halnya seperti sang kakak, ia bisa tenang setelah didekap oleh ayahnya.“Kakak siapa? Besok kita beli yang baru okey,” bujuk Ghazi seraya berjalan keluar dari kamar, membiarkan istrinya mengatur emosi serta membetulkan pakaiannya.Setelah tiba di ruang tamu, ternyata bukan hanya Ghea yang menangis, si Zie pun tidak kalah kesalnya terhadap sang kakak yang selalu usil di setiap kesempatan.“Sky, bisa jelaskan?” Ghazi menatap anak keduanya. Jelas dialah pelaku utamanya. Tidak ada yang berani mengusik si kembar jika bukan bocah itu. “Aku hanya meminjam. Aku bersumpah hanya pinjam, Yah. Dia saja yang cengeng, kalian berdua sama-sama cengeng,” efeknya pada Ghea dan Zie. Bukannya merasa bersalah bocah enam tahun itu justru menjulurkan lidahnya. Hal itu kian membuat si kembar menangis dan membuat gaduh seantero rumah. “Sky! Please, minta maaf lalu kembali ke kamarmu!” hardik Divya yang

  • Terjebak Gairah Sang Bodyguard    Bab 93 : Cengeng dan Centil

    Suara tangisan seorang gadis kecil terdengar sangat kencang sejak kaki kecilnya melewati pintu utama rumah. Ia meraung dan berderai air mata guna mencari keberadaan sang ayah. Tangisannya tidak akan berhenti sebelum satu ritual bersama laki-laki pertama dalam hidupnya itu merengkuh tubuh kecilnya. "Hei, ada apa, Sayang?" tanya Ghazi lembut. Ia berjongkok dan mengulurkan tangannya pada balita itu. Usianya baru empat tahun, ia telah menikmati taman bermainnya sekarang. "Huh— kumat lagi, dah," keluh Divya di belakang tubuh si gadis kecil itu. "Diam, mommy! Kamu membuat aku semakin sesak," sergahnya. "Hem— ada apa ini?" Kembali tangisannya memekikkan telinga. Divya mengerutkan keningnya untuk menghalau dengung di telinganya. "Daddy, you can dance with me?" "Oh— ss— sure, Baby." Ghazi membopong tubuh anaknya. Ya— anak keduanya yang kerap dipanggil baby, itu. Gadis kecil manja yang selalu berhasil merebut hati Ghazi dari keduanya kakaknya. Pria dewasa itu melangkah ke kiri dan ka

  • Terjebak Gairah Sang Bodyguard    Bab 92 : Berakhir Bahagia

    Setelah pemakaman Hendery usai, Ghazi dan Divya harus kembali ke rumah sakit. Di tengah acara pemakaman, gadis itu kembali pingsan. Beban berat yang dia tanggung mengguncang pikirannya. Hubungan Divya dengan sang ayah memanglah tidak baik di awal. Namun, ditinggal untuk selamanya tetaplah hal yang sangat menyesakkan. "Aku minta maaf, Ghaz. Aku tahu ini salahku," sesal Ivy. Dia benar-benar merasa bersalah atas segalanya. Jika tidak sibuk mengurus anaknya, Divya akan memiliki banyak waktu untuk Hendery. Bahkan di detik-detik terakhirnya, Divya bisa berada di sisi sang ayah. Akan tetapi, setelah memilih kesibukan bersama dengan kedua anak Ivy, hal itu membuatnya jauh dan mengharuskan diri menjauh dari rumah sakit. Divya tidak ingin kedua anak asuhnya terpapar penyakit dari orang-orang di sana. "Bukan salahmu. Perlu kamu tahu, selama ini ternyata Divya hamil. Sudah menginjak usia empat bulan, Iv. Bisa kamu bayangkan bagaimana lelah dan lemasnya dia?" "Apa?! Kamu serius?" Seraut wajah

  • Terjebak Gairah Sang Bodyguard    Bab 91 : Dua Kabar

    Ditengah kondisi, Divya yang masih sangat rapuh, gadis itu duduk di bangku mobil dengan gusar. Tidak sabar ingin bertemu dengan sang ayah. “Lebih cepat, Big. Aku takut Papa kenapa-kenapa,” cemasnya. “Ini udah cepat, Bee.” Tangan Divya terus meremas jarinya sendiri. Pandangannya kesana kemari. Wanita itu benar-benar khawatir atas mimpi yang baru saja dia dapatkan. Ia juga lupa tentang Wynne dan juga Rayyan. Begitu tiba di rumah sakit, Divya berlarian di koridor untuk menuju ke ruangan sang ayah. Jantungnya kian berdegup dengan cepat. Bahkan ia tak acuh dengan kondisinya sendiri. Banyak yang dikorbankan oleh wanita itu, sangat banyak, secara fisik, Divya sudah sangat jauh berbeda dari dulu. Ia kehilangan kebiasaannya berdandan, kehilangan kebahagiaan yang dia upayakan setiap harinya. Waktunya terus ia habiskan dengan Wynne dan Rayyan. Dia benar-benar membunuh waktu agar melupakan kesialan nasibnya. “Pelan-pelan, Bee,” pinta Ghazi yang membuntuti langkah istrinya. Meskipun, D

  • Terjebak Gairah Sang Bodyguard    Bab 90 : Banyak Hal

    Rengekan gadis kecil dalam gendongan Divya membuat kepalanya kian pening. Tubuhnya juga dipenuhi dengan keringat dingin dan juga dalam kondisi lemas, membuatnya seolah hampir tumbang. Namun, bocah kecil itu masih juga tidak mau terlelap. Biasanya, ketika berada dalam dekapan Divya, ia akan cepat tertidur. Hari ini sangat berbeda, dia rewel dan tidak mau berhenti diayun dalam gendongan Divya. Alhasil Divya harus menahan rasa meriang yang sudah menyerangnya sejak pagi tadi."Tenanglah, girl. Jangan rewel, please," lirih Divya. Berharap anak asuhnya mampu memahami kondisinya. Akan tetapi, bayi berusia satu tahun bisa apa? Dia akan terus menangis jika tidak menemukan kenyamanan yang diinginkan. Jarum sudah menunjukkan pukul tiga sore. Jam pulang Rayyan sudah tiba. Divya semakin kebingungan. Biasanya dia cekatan menjemput anak pertama Ivy itu. Kali ini, dia benar-benar butuh bantuan."Aku pu— Bee!" Belum usai Ghazi menyapa sang istri yang sudah dia nikahi selama dua belas tahun lalu itu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status